EKSPOSISI 1 KORINTUS 9 – 10 oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Nats: 1 Korintus 9:15-18 (1) Ketika kita membaca bagian ini kita mungkin sedikit bingung. Kalau Paulus memang tidak mau menggunakan hak yang seharusnya ia terima sebagai rasul (9:15-18, juga 9:12b), mengapa ia perlu bersusah payah menjelaskan hak-hak para rasul (9:4-6) dan argumen-argumen (9:7-14) yang melandasi hak tersebut? Semua ini harus dipahami dalam konteks relasi antara Paulus dan jemaat Korintus yang unik (4:15; 9:1-2) sekaligus kurang harmonis (4:3-5).Kerasulan Paulus sempat diragukan oleh sebagian jemaat. Hal ini berkaitan dengan khotbah Paulus yang dianggap kebodohan (1:18-21) dan cara berkhotbah yang tidak sesuai dengan hikmat maupun retorika Yunani waktu itu (2:1-5). Situasi bertambah parah kala Paulus memutuskan untuk tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus. Sebaliknya, ia lebih memilih bekerja keras membuat tenda; sebuah pekerjaan yang dianggap hina pada waktu itu (4:12). Dengan menegaskan status kerasulannya (9:1-3), hak-hak para rasul (9:4-6), maupun alasan-alasan di balik hak tersebut (9:7-14) Paulus ingin mengoreksi konsep pikir jemaat Korintus yang keliru.Ia tidak mau menerima tunjangan buka karena ia tidak berhak atau karena ia bukanlah seorang rasul. Keputusan untuk tidak mau menerima tunjangan lebih didasarkan pada pertimbangan efektivitas Injil (9:12b, 1518), bukan ketidaklayakan Paulus untuk mendapatkan hak tersebut. Pasal 9:15-18 merupakan elaborasi yang lebih detail dari apa yang sudah disinggung secara sekilas di ayat 12b. Bagian ini diawali dengan pernyataan bahwa Paulus tidak mau menggunakan satu pun dari hak itu (ay. 15a-b).Pernyataan ini selanjutnya diikuti serangkaian kalimat penjelasan yang diawali dengan kata sambung “karena” (gar, ay. 15c, 16a, 16b, 16c, 17a).Sesudah rangkaian kalimat ini Paulus menutup dengan penjelasan tentang upah yang sesungguhnya, yaitu memberitakan Injil tanpa upah (ay. 18). Paulus Tidak Mau Menggunakan Hak (ay. 15a-b) Pernyataan Paulus di sini mengandung penekanan. Ia menambahkan kata ganti “aku” (egō) sekaligus meletakkannya di awal kalimat (ay. 15a). Penekanan pada kata “aku” di sini dimaksudkan untuk menunjukkan keunikan sikap Paulus.Ia tidak sedang mengecam atau merendahkan rasul-rasul lain yang mau menerima tunjangan hidup (mereka semua memang memiliki hak untuk itu), tetapi ia hanya menegaskan posisi dirinya dalam pelayanan, terutama dalam relasi dengan jemaat Korintus. Penekanan lain terletak pada pemakaian kata “satu pun” (oudeni) dan penggunaan tense perfect untuk kata “mempergunakan” (kechrēmai). Tense ini menyiratkan bahwa ketidakmauan untuk menerima tunjangan merupakan sikap Paulus dari dahulu sampai sekarang. Dengan kata lain, ini sudah menjadi gaya pelayanan Paulus. Pernyataan di atas sempat dipersoalkan oleh beberapa penafsir.Mereka menganggap Paulus terlalu melebih-lebihkan hal ini, karena dalam kenyataannya Paulus beberapa kali mau menerima tunjangan dari jemaat Filipi (Flp. 4:14-20; 2Kor. 11:8-9).Apakah Paulus benar-benar kurang jujur dalam hal ini? Sama sekali tidak! Kita harus mengetahui bahwa dalam konteks 1 Korintus 9:1-18 Paulus sedang membicarakan tentang tunjangan tetap sebagai pemberita Injil/rasul. Di manapun seorang rasul melayani, jemaat setempat berkewajiban untuk melayani kebutuhan hidup dan pelayanan rasul itu.Hal ini jelas berbeda dengan pemberian yang diberikan oleh jemaat FIlipi.Mereka tidak memberikan tunjangan secara periodik dan tetap (Flp. 4:10, 15-16).Pemberian ini bersifat sukarela dan insidentil. Bagian Alkitab yang lain menunjukkan bahwa bekerja keras untuk memnuhi kebutuhan hidup dan pelayanan sudah menjadi kebiasaan Paulus (1Tes. 2:9; 2Tes 3:8; 1Kor. 4:12; Kis. 18:3). Setelah menandaskan bahwa ia tidak mau menggunakan hak sebagai rasul (ay. 15a), Paulus segera menambahkan kalimat “Aku tidak menulis semuanya ini, supaya akupun diperlakukan juga demikian” (ay. 15b). Kalimat ini perlu ditambahkan supaya tidak ada kesan (kesalahpahaman) bahwa Paulus sedang menyindir jemaat Korintus.Ini menunjukkan kepekaan Paulus dalam pelayaan pastoral,
khususnya dalam hal materi. Sikap seperti ini juga tercermin dalam suratnya yang lain. Ketika ia menerima pemberian kasih dari jemaat Filipi melalui Epafroditus (Flp. 2:25), Paulus bersyukur atas kesempatan yang dimiliki oleh jemaat Filipi untuk mengambil bagian dalam pelayanan Paulus (Flp. 4:10, 14-16). Tidak lupa ia menegaskan bahwa ucapan syukur ini bukan dimaksudkan sebagai sindiran agar jemat Filipi lebih sering memberikan dukungan materi (Flp. 4:11). Di samping menunjukkan kepekaan Paulus dala pelayanan pastoral, pernyataan tersebut juga menyiratkan konsistensi sikap.Ia menolak pemberian tunjangan dari jemaat Korintus bukan hanya pada saat ia melayani di sana. Ketika ia menulis surat ini pun Paulus tetap tidak mau mengharapkan hal itu. Ia bahkan mengambil sikap yang sama di tempat-tempat lain. Konsistensi seperti ini jelas tidak mudah, karena kadangkala Paulus benar-benar berada dalam keadaan yang mengenaskan dan memerlukan bantuan dari orang lain (2Kor. 4:23-28). Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan orang yang baik tetapi ia gagal mempertahankan sikap itu dalam segala situasi. Benarlah apa yang dikatakan penulis amsal bahwa menemukan orang setia jauh lebih sulit daripada menemukan orang baik (Ams. 20:6).
Karena Lebih Baik Mati daripada Injil Terhalang (ay. 15c-d) Bagian ini dimulai dengan kata sambung gar (“karena”) yang menyiratkan bahwa bagian ini merupakan penjelasan atau alasan bagi sikap di ayat 15a-b. Mengapa Paulus tidak mau menggunakan hak sebagai rasul maupun tidak mau dianggap sedang menyindir jemaat Korintus? Karena ia lebih suka mati daripada...... (LAI:TB, ay. 15c). Terjemahan LAI:TB “lebih suka” sedikit kurang tepat. Terjemahan ini bisa menyiratkan kesan bahwa sikap di ayat 15c hanyalah masalah perasaan Paulus semata-mata.Walaupun beberapa versi juga mengadopsi terjemahan ini (RSV/NIV/ESV), tetapi terjemahan “lebih baik” (KJV/NASB/NET) sebaiknya dipertahankan. Teks Yunani dalam bagian ini memakai kata kalon mallon (“lebih baik”). Jika arti harfiah ini dipertahankan maka akan menyiratkan bahwa sikap yang diambil Paulus bukan hanya secara subyektif lebih disukai Paulus, namun secara obyektif memang lebih baik. Ini bukan tentang kenyamanan perasaan Paulus, tetapi tentang kebenaran yang obyektif. Dalam teks Yunani kalimat Paulus memang tidak sempat diteruskan sampai engkap (LAI:TB mencoba mempertahankan terjemahan harfiah dengan cara memberi tanda titik panjang setelah kata “daripada”). Gaya penulisan seperti ini disebut dengan istilah aposiopes, yang biasa dipakai pada saat seseorang dikuasai oleh perasaannya dengan begitu kuat sehingga ia tidak berkuasa meneruskan kalimat yang ia sudah ucapkan/teruskan. Hal yang sama dapat kita jumpai dalam tulisan Paulus yang lain (Gal. 2:6). Gaya ini memberitahu kita bahwa Paulus menuliskan ayat 15c dengan penuh perasaan, walaupun ini bukan hanya masalah perasaan pribadi Paulus. Dengan kata lain, perasaannya sedang dikuasai oleh sebuah kebenaran penting tentang Injil. Bagaimana kita sebaiknya menebak kelanjutan dari kalimat Paulus?Beberapa versi memilih untuk tidak berspekulasi (NRSV/NET).Beberapa menganggap ayat 15d sebagai kelanjutan (Paulus lebih baik mati daripada seseorang meniadakan kemegahannya, lihat KJV/RSV/NIV/ESV).Pilihan pertama tidak terlalu banyak membantu.Pilihan kedua ini sebaiknya ditolak, karena secara tata bahasa ayat 15d memang bukan kelanjutan dari ayat 15c.Ayat 15c merupakan kalimat tersendiri yang tidak lengkap.Berdasarkan konteks yang ada, Paulus kemungkinan besar ingin mengatakan bahwa lebih baik baginya mati daripada menerima upah tetapi Injil terhalang (ay. 12b). Dengan kata lain, Paulus lebih memilih mati daripada injilnya yang mati. Ini merupakan ungkapan dari seseorang yang menyadari bahwa hidupnya adalah untuk Injil.Injil adalah lebih penting daripada kehidupan pemberita Injil itu sendiri. Tidak heran dalam sejarah misi dunia, Allah dalam kedaulatan-Nya membiarkan para pemberita Injil mati syahid, tetapi Ia tidak pernah membiarkan Injil-Nya mati (tidak diberitakan). Di ayat 15d Paulus menambahkan bahwa ia tidak mau seorang pun meniadakan kemegahannya. Konsep tentang “bermegah” dalam Alkitab bisa bermakna positif maupun negatif. Sebelumnya Paulus
sudah menyinggung tentang dua makna ini dalam konteks yang sama (1:29, 31). Apa yang dimaksud dengan kemegahan di ayat 15d ini? Paulus jelas tidak sedang membanggakan diri di atas para rasul yang mau menerima tunjangan dari jemaat.Para rasul memang berhak atas hal tersebut.Lagipula, Paulus tidak pernah membanggakan kelebihan dirinya.Ia sebaliknya selalu membanggakan Allah atau kelemahan dirinya yang justru menunjukkan kekuatan Allah. Ia bermegah dalam kelemahan (2Kor. 12:9-10). Dalam konteks 1 Korintus 9 ia sedang membanggakan kehinaannya sebagai pekerja kasar (4:11-13). Pekerjaan ini memang hina, tetapi Paulus justru bermegah di atas kehinaan, karena semua itu untuk kemajuan Injil.Kemegahan di atas kelemahan dan kehinaan jelas sangat kontras dengan prinsip dunia yang mengagung-agungkan kelebihan dan kehormatan.Paulus tidak mau kemegahan tersebut ditiadakan. Kata Yunani “ditiadakan” (kenōsei, dari kata dasar kenoo) sebenarnya lebih bermakna “dikosongkan”. Hampir semua versi memilih terjemahan “dihilangkan” atau “dicabut”. Melalui pemilihan kata “dikosongkan” Paulus ingin menegaskan bahwa ia tidak ingin terlihat hebat di luar tetapi di dalamnya tidak ada isi sama sekali. Ia tidak mau terlihat bersusah-payah bagi Injil tetapi dengan motivasi yang keliru. Ia melakukan pekerjaan berat bukan supaya terlihat menderita dan akhirnya dibantu banyak orang. Ia tidak perlu menyimpan otivasi terselubung semacam itu karena ia sudah menikmati kemegahan di dalam penderitaan dan kehinaan tersebut. Karena Dalam Pemberitaan Injil Tidak Ada Dasar Untuk Bermegah (ay. 16-17) Bagian ini merupakan penjelasan terhadap ayat 15d. Ia tidak ingin disalahpahami oleh orang lain, seolah-olah ia sedang menyombongkan diri. Dalam taraf tertentu Paulus memang memiliki kemegahan (ay. 15d), tetapi bukan dalam arti mutlak (ay. 16a). Jika ia melakukan pemberitaan Injil secara terusmenerus (bdk. tense present pada kata euangelizomai), hal itu bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan. Apa maksud Paulus di sini? Apakah ayat 16a berkontradiksi dengan ayat 15d? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan baik apabila kita mengetahui perbedaan dasar kemegahan yang sedang dibicarakan oleh Paulus. Di ayat 15d ia menyinggung tentang pekerjaannya yang hina sebagai pembuat tenda. Kehinaan yang harus dipikul ketika melayani Tuhan merupakan kehormatan bagi seorang pelayanan Tuhan.Paulus bermegah atas hal ini. Di sisi lain, konsistensi Paulus dalam memberitakan Injil tidak boleh dilebih-lebihkan seolah-olah hal ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa atau seolah-olah Paulus sendiri memang mengambil inisiatif untuk melakukan itu. Tidak ada yang istimewa dari apa yang dilakukan Paulus. Mengapa demikian? Alasan pertama berkaitan dengan keharusan dalam memberitakan Injil (ay. 16b “ini merupakan keharusan bagiku”).Secara harfiah frase ini berarti “keharusan yang diletakkan di pundakku”.Bentuk pasif yang tidak disertai subyek seperti dalam kasus ini secara tata bahasa disebut pasif ilahi (divine ive), yang menyiratkan bahwa Allah sebagai subyek (NLT “I am compelled by God”). Paulus sangat mungkin sedang memikirkan pilihan ilahi dalam hidupnya sejak ia berada dalam kandungan (Gal. 1:15-16) atau panggilan Tuhan yang tidak terelakkan pada waktu ia bertobat (Kis. 26:14; dalam NLT ungkapan “sukar bagimu menendang ke galah rangsang” diterjemahkan “it is useless for you to fight against my will”). Jika pemberitaan Injil merupakan keharusan yang sudah ditetapkan Allah, maka Paulus tidak memilki alasan untuk bermegah.Ia hanya melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia tidak memiliki motivasi lain di luar penetapan ilahi ini. Jadi, ini bukan masalah perasaan pribadi (Paulus memangs edang bepergian ke mana saja) maupun kepentingan pribadi (Paulus ingin mendapatkan sesuatu untuk dirinya dari pemberitaan Injil). Keharusan untuk memberitakan Injil ini berbeda dengan keharusan untuk menerima tunjangan dari pemberitaan tersebut.Dari sisi pemberita Injil tunjangan adalah hak (bukan keharusan), walaupun dari sisi penerima Injil ini merupakan kewajiban.Sebagai sebuah hak (sekalipun sah) tunjangan hidup dapat dikesampingkan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik (supaya Injil tidak terhalang). Kelonggaran memang ada dalam taraf tunjangan pemberita Injil, tetapi dalam hal pemberitaan tidak ada kelonggaran sama sekali. Kita memang bebas untuk tidak menerima dukungan materi dari pemberitaan Injil, tetapi kita tidak bebas untuk tidak memberitakan Injil (we are free not to accept , yet we are not free not to preach the gospel). Dengan kata lain, tugas tidak boleh ditolak, upah dari tugas tersebut bisa
ditolak....... (bersambung) # Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 28 Maret 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%2009%20ayat%2015-18%20%281%29.pdf “Mengenal kehendak Allah bukanlah proses menerima informasi langsung dari Allah tentang persoalan hidup, tetapi proses mengenali persoalan hidup berdasarkan wahyu yang telah diberikan Allah kepada kita.” (Rev. Prof. Gary T. Meadors, Th.D., Decision Making God’s Way, hlm. 185)
EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (1) oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Pembacaan sekilas dari bagian ini mungkin akan memberikan kesan bahwa bagian ini tidak terlalu berkaitan dengan pembahasan sebelumnya di pasal 9. Pada bagian ini Paulus tidak menyinggung tentang status maupun hak sebagai seorang rasul (topik yang ia sudah bahas secara panjang lebar mulai 9:2-18). Ide tentang kebebasan yang menjadi fokus pembahasan di 9:19-23 juga sekilas berkontradiksi dengan penekanan Paulus di 9:15-18 bahwa dirinya adalah hamba yang tidak memiliki kebebasan selain melakukan apa yang ia harus lakukan. Lebih jauh, bagian ini pun tidak memperlihatkan keterkaitan yang eksplisit dengan isu tentang makan persembahan berhala yang menjadi inti persoalan di pasal 8-10. Kesan di atas akan segera sirna apabila kita membaca 9:19-23 secara lebih teliti. Bagian ini memiliki keterkaitan dan fungsi yang penting bagi seluruh pembahasan di pasal 9.Ada beberapa petunjuk yang mengarah pada kesimpulan ini.Yang paling penting, ungkapan “aku bebas” di 9:19 jelas merujuk balik pada pertanyaan Paulus di awal pasal ini (9:1 “bukankah aku orang bebas?”). Dengan demikian kita seharusnya melihat 9:19-23 sebagai elaborasi dari pertanyaan “bukankah aku orang bebas?”, sedangkan 9:1b-14 sebagai uraian bagi pertanyaan “bukankah aku rasul?”). Selain itu, ajaran Paulus di 9:19-23 tentang kerelaan menjadi hamba bagi orang lain merupakan teladan lain dari hidup berdasarkan kasih sebagaimana yang ia sudah ajarkan di pasal sebelumnya (8:1). Berbeda dengan jemaat Korintus yang secara salah mempertahankan kebebasan mereka sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain (8:9, 11), Paulus justru melepaskan kebebasan tersebut supaya dapat memenangkan banyak orang (9:19-23). Sebagian penafsir berpendapat bahwa 9:19-23 memiliki fungsi yang lebih daripada sekadar memaparkan teladan hidup Paulus. Bagian ini diyakini juga berfungsi sebagai pembelaan Paulus terhadap mereka yang mengritik pola pelayanan Paulus yang dipandang tidak konsisten: di suatu konteks Paulus melakukan X, tetapi di konteks lain ia mengambil sikap Y. Paulus dianggap mengajarkan kebebasan dari Taurat supaya ia bisa menyenankan banyak orang (Gal. 1:10). Penekanannya pada anugerah Allah membuat dia difitnah telah mengajarkan kehidupan Kristiani yang sembarangan (Rom 3:8). Di kalangan orang-orang Yahudi ia tidak jarang dimusuhi karena dituduh telah membatalkan Hukum Taurat (Kis. 21:21). Beberapa penafsir bahkan menduga sikap sebagian jemaat Korintus yang makan di kuil dengan mengatasnamakan kebebasan Kristiani (8:7-9) merupakan usaha mereka untuk “mengikuti” pola hidup Paulus yang tampak tidak konsisten. Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat ini (tidak ada petunjuk yang konklusif untuk membenarkan maupun menyanggah hal ini), sikap Paulus yang terkesan situasional di 9:19-23 memang bisa menjadi masalah yang pelik di kalangan gereja mula-mula yang sering berhadapan langsung dengan isu tentang makanan (Kis. 15:29; Why. 2:14).Paulus bahkan pernah menegur Petrus yang bersikap munafik soal makanan (Gal. 2:11-14). Sekarang kita berpindah pada struktur 1 Korintus 9:19-23. Alur berpikir Paulus di bagian ini cukup mudah untuk diikuti. Ayat 19 dan 22b menyatakan prinsip yang sama, sedangkan ayat 20-22a menguraikan prinsip tersebut dalam 4 kategori. Yang agak sulit ditentukan secara pasti adalah fungsi
ayat 23.Apakah ayat ini sebaiknya disatukan ayat 22b ataukah disendirikan dengan fungsi yang sedikit berbeda?Pengamatan yang cermat menunjukkan bahwa ayat 23 sebaiknya dipahami secara tersendiri sebagai alasan bagi semua pembahasan di ayat 19-22. Dengan demikian alur berpikir Paulus di 9:19-23 dapat digambarkan sebagai berikut: Pendahuluan: aku bebas tetapi aku menjadi hamba bagi semua orang demi Injil (ay. 19) Penjelasan prinsip (ay. 20-22a) Bagi orang Yahudi (ay. 20a) Bagi orang yang di bawah Hukum Taurat (ay. 20b) Bagi orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (ay. 21) Bagi orang yang lemah (ay. 22a) Penutup: aku menjadi segalanya bagi semua orang demi Injil (ay. 22b) Alasan: aku melakukan semua ini demi Injil dan
Pendahuluan: Aku Bebas Tetapi Aku Menjadi Hamba bagi Semua Orang Demi Injil (ay. 19) Ayat ini dimulai dengan kata sambung gar (lit. “karena”) yang dalam beberapa versi (NIV/NLT/LAI:TB) sengaja tidak diterjemahkan karena terkesan agak janggal. Keputusan ini dari sisi keindahan kalimat memang bisa dipahami, namun berpotensi untuk mengaburkan keterkaitan yang erat antara ayat ini dengan ayat 15-18. Paulus sengaja menggunakan kata sambung gar untuk mempertegas keterkaitan itu. Dalam hal ini ayat 19 seharusnya dilihat sebagai penjelasan dari bagian sebelumnya.Maksudnya, kebebasan yang dinyatakan Paulus di ayat 18 bersumber dari status dan sikap Paulus di ayat 15-18. Paulus adalah hamba Allah (9:17), sehingga ia tidak mungkin menjadi hamba orang lain. Jika ia mau menghambakan diri pada orang lain (9:19, 22b), maka itu merupakan pilihan dari pihak Paulus, bukan paksaan atau keharusan. Status Paulus sebagai hamba Allah memang membuat dia tidak memiliki kebebasan apa pun di hadapan Allah (9:16), namun hal ini tidak berarti bahwa ia juga kehilangan kebebasan di hadapan manusia. Ia tetap orang yang bebas. Pemikiran seperti ini sebelumnya sudah diungkapkan Paulus pada waktu ia membicarakan tentang paradoks budak-orang bebas (7:22 “sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya”). Struktur kalimat di ayat 19 menyiratkan bahwa Paulus sedang menekankan kata “kebebasan” (eleutheros).Hal ini tampak dari posisi kata eleutheros di awal kalimat. Para penafsir meyakini bahwa kebebasan yang dimaksud di sini bukan hanya secara theologis (sebagai hamba Allah Paulus bukanlah hamba manusia), tetapi juga secara sosiologis (ketidakmauan Paulus menerima tunjangan hidup dari jemaat membuat ia bebas dari tekanan maupun pembatasan oleh orang lain). Jika Paulus mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus, maka ia pun dituntut mengikuti selera jemaat dalam hal khotbah. Mereka ingin menggantikan Injil - yang dianggap kebodohan – dengan filsafat dunia (1:18, 22-23).Mereka ingin Paulus lebih menekankan kemampuan retorika daripada kuasa Roh Kudus (2:1-5). Dengan tidak menerima tunjangan dari mereka, Paulus memiliki kebebasan penuh untuk memberitakan Injil tanpa harus menuruti kemauan orang lain yang melawan kebenaran. Walaupun Paulus adalah bebas terhadap semua orang, tetapi ia mau menghambakan dirinya kepada semua orang. Dalam kalimat Yunani kata “semua orang” diulang dan diletakkan berdekatan untuk mempertegas kontras (lit. “karena walaupun aku adalah bebas dari semua orang, kepada semua orang aku menghambakan diriku”). Bentuk lampau dari “menghambakan” (edoulosa, KJV/NASB/RSV/NRSV “I have made”, kontra NIV “I make”) menyiratkan bahwa apa yang dilakukan Paulus di sini merupakan tindakan yang sudah ia lakukan. Ia mengajarkan apa yang ia sudah lakukan, bukan hanya berusaha melakukan apa yang ia ajarkan (bdk. Ezr. 7:10 “sebab Ezra telah bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel”). Apa yang dilakukan Paulus ini merupakan sesuatu yang luar biasa jika kita membandingkan dengan
dua fakta. Pertama, Paulus sebenarnya tidak anti terhadap kebebasan.Ia memberi ijin dan dorongan bagi orang percaya untuk menggunakan kebebasan mereka (7:21, 35, 39). Paulus pun tidak jarang menegaskan kebebasan Kristiani di daam Kristus Yesus. Di dalam Kristus orang percaya tidak lagi hidup di bawah tuntutan Taurat maupun berbagai tradisi manusia (Kol. 2:16-17). Ketika ia melepaskan kebebasan – yang sangat ia tekankan – maka Paulus pada dasarnya telah melepaskan apa yang ia anggap sangat penting dalam hidupnya. Melepaskan sesuatu yang berharga dalam hidup kita jelas bukan hal yang mudah. Kita mungkin dengan mudah membiarkan sesuatu yang tidak penting dalam hidup kita untuk dikorbankan bagi orang lain, namun akan menjadi sangat sulit ketika kita harus melepaskan hal yang sangat berharga dalam hidup kita bagi orang lain. Kedua, filsafat Stoa waktu itu mengajarkan bahwa orang yang bebas adalah mereka yang melakukan apa saja yang mereka kehendaki tanpa memikirkan pandangan orang lain. Pandangan yang sekilas sangat menekankan kebebasan yang benar-benar bebas ini sebenarnya tidak lebih daripada sebuah perbudakan.Jika kita selalu menuruti kebebasan kita, maka kita pada dasarnya telah diperbudak oleh kebebasan tersebut. Orang yang benar-benar bebas adalah mereka yang benarbenar bebas untuk melepaskan kebebasannya demi kepentingan orang lain. Jika kita mengetahui kebenaran ini, maka kebenaran ini akan memerdekakan kita dalam arti yang sesungguhnya (Yoh. 8:32). Darimana Paulus memahami rahasia dari kebabasan yang sejati ini? Mengapa ia bisa melepaskan kebebasannya untuk melayani orang lain? Tindakan Paulus ini pasti berakar dari ajaran dan teladan hidup Tuhan Yesus. Dalam kitab Injil diajarkan bahwa keunikan kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang menghamba (Mat. 20:26-28//Mrk. 10:43- 45). Yesus mau meninggalkan kemuliaan sorga untuk menjadi hamba yang taat (Flp. 2:5-8) demi menyelamatkan manusia.Ia yang berada di atas Hukum Taurat telah menaklukkan diri-Nya di bawah hukum itu demi menyelamatkan mereka yang takluk kepada Hukum Taurat (Gal. 4:4-5). Teladan inilah yang seharusnya menjadi pola hidup setiap orang Kristen. Siapa yang menghambakan diri kepada Kristus berarti siap menghambakan diri kepada orang lain (2Kor.. 4:5). Kita memang tidak menjadi hamba orang lain. Satu budak hanya boleh memiliki satu tuan. Jika kita sudah menjadi hamba Allah (9:16-18), maka kita tidak mungkin sekaligus menjadi hamba orang lain. Bagaimanapun, dalam taraf tertentu kita adalah hamba orang lain, dalam arti bahwa Allah sebagai Tuan kita telah memberi tugas kepada kita untuk melayani orang-orang tersebut (2Kor.. 4:5). Hamba Than adalah milik jemaat hanya dalam arti bahwa jemaat pun pada gilirannya adalah milik Kristus (1Kor. 3:21-23). Seorang hamba Tuhan sepenuh waktu adalah hamba Tuhan (bukan hamba jemaat), tetapi ia harus melayani jemaat (menghambakan diri kepada mereka) karena Tuhan Yesus sudah mempercayakan jemaat untuk dilayani para hamba-Nya (Kis. 20:28). Hamba Tuhan tidak boleh diperlakukan seperti karyawan, namun hamba Tuhan juga tidak boleh memposisikan diri sebagai penguasa (bos). Bagian terakhir ayat 19 menjelaskan tujuan dari sikap Paulus di ayat 19a.Motivasi di balik itu tidak berhubungan dengan kepentingan Paulus, melainkan kepentingan Injil Kristus.Ia berbeda dengan pemberita Injil lain yang condong pada kepentingan diri sendiri (bdk. Flp. 1:17; 2:21). Paulus berani melepaskan kebebasan demi orang lain bukan supaya ia disukai semua orang. Di tempat lain ia bahkan mengajarkan bahwa mereka yang berusaha memperkenankan semua orang pada dasarnya justru bukanlah hamba Kristus (Gal. 1:10). Ini adalah tantangan yang cukup pelik bagi seorang hamba Tuhan.Penerimaan yang baik dari jemaat merupakan faktor yang penting dalam pelayanan hamba Tuhan.Bagaimanapun, hamba Tuhan tidak boleh mengorbankan kepentingan Allah demi mempertahankan penerimaan manusia. Teguran kepada jemaat memang berpotensi merusak relasi hamba Tuhan dan jemaat, namun mengabaikan teguran justru akan merusak relasi jemaat dengan Tuhan. Bagi Paulus, penghambaan ini ia lakukan hanya untuk satu tujuan: memenangkan sebanyak mungkin
orang (ay. 19b). Pemilihan kata “memenangkan” (kedraino, kata ini muncul 5 kali di ay. 19-21) di bagian ini merupakan sesuatu yang cukup menarik.Di ayat 22b Paulus memilih kata “menyelamatkan” (sozo) yang memang lebih lazim dipakai dalam konteks pemberitaan Injil. Pemakaian kata kedraino berfungsi untuk mengaitkan bagian ini dengan bagian perikop sebelumnya tentang upah pemberita Injil (9:15-18), karena kata ini secara hurufiah biasanya berarti “mendapatkan materi/keuntungan” (Mat. 16:26//Mrk. 8:36//Luk. 9:25; Mat. 25:16-17, 20, 22; Yak. 4:13), walaupun kata ini juga kadangkala dipakai untuk “mendapatkan Kristus” (Flp. 3:8) maupun “memenangkan orang lain pada keselamatan” (Mat. 18:15; 1Pet 3:1). Penggunaan kata kedraino di ayat 19b menyatakan bahwa inilah upah Paulus dalam pemberitaan Injil, yaitu kebebasan dari semua orang dan kebebasan untuk melepaskan kebebasan tersebut demi semua orang.
Aplikasi Budaya postmodern yang sangat menekankan kebebasan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi orang Kristen.Ditambah dengan natur kita yang berdosa dan condong pada egoisme, melepaskan kebebasan demi orang lain benar-benar merupakan tugas yang sangat sulit.Kalau pun kita berhasil melakukan hal ini, motivasi di balik semua itu seringkali tidak tepat. Kita hanya mencari penerimaan dari orang lain. Kunci dari semua kesulitan di atas adalah posisi Injil dalam kehidupan kita. Jika kita meletakkan Injil di atas segalanya – termasuk kebebasan, kenyamanan, popularitas, penerimaan orang lain, dsb., – maka melepaskan kebebasan tampak menjadi lebih ringan bagi kita. Sebaliknya, jika kebebasan menjadi barang yang paling berharga dalam hidup kita, maka kita akan mengaami kesulitan untuk melepaskan hal tersebut, apalagi demi Injil yang bagi kita tidak terlalu penting. Biarlah kuasa Injil yang membebaskan kita dari dosa benar-benar membebaskan kita juga dari perbudakan kebebasan. Kebebasan sejati adalah mengesampingkan kebebasan tersebut untuk menghambakan diri bagi orang lain demi kepentingan Injil Kristus. Soli Deo Gloria. #
Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 25 April 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%209%20ayat%2019-23%20%28Bagian %201%29.pdf
EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (2) oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Dalam khotbah yang lalu kita sudah bersama-sama belajar bahwa 9:19-23 merupakan penjelasan bagi status Paulus sebagai orang yang bebas (9:1). Sebagai hamba yang dipercaya Allah (9:17-18) Paulus tidak mungkin pada saat yang bersamaan menjadi hamba pihak lain. Jika ia adalah hamba Allah, maka ia bukanlah hamba manusia (Gal. 1:10). Walaupun Paulus tidak terikat pada siapapun, namun ia bersedia melepaskan kebebasannya itu. Ia mau menjadi hamba bagi semua orang (9:19). Semua ini ia lakukan bukan untuk mengambil hati banyak orang bagi kepentingannya sendiri, tetapi untuk membawa sebanyak mungkin orang kepada Kristus. Dalam khotbah kali ini kita akan belajar bagaimana Paulus mau menjadi hamba bagi orang-orang Yahudi dan mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat (9:20-21). Bagi Orang Yahudi Paulus Menjadi Seperti Orang Yahudi (ay. 20a) Ungkapan Paulus di bagian ini sekilas sulit untuk dipahami. Bagaimana Paulus yang adalah seorang Yahudi tulen (2Kor. 11:22; Flp. 3:4-6) berusaha menjadi seperti orang Yahudi? Mengapa ia memakai ungkapan “bagi orang Yahudi” dan bukan “bagi teman sebangsaku”? Ungkapan ini jelas tidak boleh dipahami secara etnis maupun keterkaitan secara biologis.Jika ini adalah masalah etnis atau hubungan darah, maka Paulus tidak bisa menjadi “seperti orang Yahudi”.Ia adalah orang Yahudi! Semua ini sebaiknya dipahami dalam konteks kebiasaan Yahudi.Pendapat ini sesuai dengan pokok masalah utama
yang sedang dibahas Paulus di 1 Korintus 8-10, yaitu perdebatan seputar makanan (1Kor. 8-10). Bagi orang Yahudi makanan merupakan masalah religius.Mereka hanya makan makanan yang halal (Im. 11).Lebih jauh, mereka mempraktekkan peraturan halal (kosher) yang jauh lebih detail dan kompleks daripada yang diajarkan dalam Alkitab. Peraturan ini mencakup pemilihan bahan makanan, cara memasak maupun cara memakan. Persoalan seputar makanan ini sering kali menjadi masalah serius dalam interaksi bangsa Yahudi dengan bangsa lain, karena orang-orang non-Yahudi biasanya memakan daging yang dianggap najis menurut kitab suci Yahudi maupun melanggar tradisi lisan tentang tata cara memasak maupun memakan yang halal. Orang non-Yahudi juga sering bersentuhan dengan makanan berhala.Gesekan kultural seputar isu ini menjadi bahaya rentan yang tidak terelakkan.Alkitab sendiri memberikan beberapa contoh tentang gesekan ini.Orang-orang Farisi pernah mengecam murid-murid Yesus karena makan dengan tangan yang tanpa dicuci (Mat. 15:1-2). Para pemimpin gereja mula-mula bahkan perlu untuk mengadakan konsili gereja guna membahas masalah ini dan masalah-masalah kultural yang lain (Kis. 15:28-29). Paulus pun pernah terlibat perbedaan pendapat yang tajam dengan Petrus karena ia menganggap Petrus telah melakukan kesalahan fatal dalam hal ini (Gal. 2:11-14). Kesalahan yang dilakukan Petrus ini merupakan sesuatu yang luar biasa, karena Petrus sebelumnya sudah diajar oleh Tuhan sendiri melalui sebuah penglihatan bahwa apa yang dinyatakan halal oleh Allah tidak boleh dipandang haram oleh manusia (Kis. 10:15; 11:9). Di tengah budaya yang sangat sensitif terhadap isu tentang makanan seperti ini, Paulus memilih untuk mengadaptasi kebiasaan Yahudi.Tindakan ini tidak boleh dianggap sebagai kemunafikan maupun penyangkalan terhadap kebebasan Kristiani di dalam Injil.Dalam theologi Paulus, makanan tidak mempengaruhi status seseorang di hadapan Allah (8:8; Rm. 14:1-3). Ini semua hanyalah tentang hal-hal yang sementara dan tidak memiliki nilai kekal di hadapan Allah (Kol. 2:22).Semua yang diberikan Allah adalah baik dan tidak haram, jika dinikmati dengan ucapan syukur (1Tim. 4:4), apalagi Tuhan Yesus juga sudah mengajarkan bahwa semua makanan adalah halal (Mrk. 7:19). Dengan konsep seperti di atas, theologi Paulus membuka ruang bagi orang-orang Yahudi Kristen untuk tetap memperhatikan kebiasaan makan yang lama maupun mengabaikannya.Seandainya mereka memutuskan untuk tetap mengikuti kebiasaan lama, mereka harus melakukannya dengan motivasi yang berbeda. Kalau orang Yahudi begitu menjaga peraturan tentang makanan supaya mereka diperkenan atau dibenarkan oleh Allah, orang Kristen tidak boleh menganggap bahwa tindakan mereka seputar makanan akan mempengaruhi kesalehan mereka di hadapan Allah. Seandainya mereka memutuskan untuk mengabaikan peraturan Yahudi tentang makanan, maka tindakan ini pun tidak apa-apa.Sikap mana pun yang kita pilih, hal itu harus ditujukan untuk kepentingan Injil (9:20) dan kemuliaan Allah (10:31; Rm. 14:6). Sikap Paulus yang terlihat situasional ini tidak boleh dipahami sebagai sebuah kemunafikan maupun sikap bunglon.Yang terutama kita perlu menyadari bahwa tidak ada satu kebenaran pun yang dikompromikan oleh Paulus. Yang ia korbankan bukan kebenaran Injil, tetapi kebebasannya yang ia terima dari Injil. Ia bisa tetap mengikuti maupun mengabaikan semua peraturan itu, namun demi kepentingan Injil ia bersedia terikat dengan peraturan tersebut. Jika Paulus memang bersikap situasional dalam hal makanan, mengapa ia menegur Petrus pada saat Petrus bersikap mendua soal makanan kala ia berada di Anthiokia dan bahkan menganggap tindakan itu sebagai kemunafikan (Gal. 2:11-14)? Untuk memahami problem ini kita perlu menyadari bahwa yang dipersoalkan Paulus di Galatia 2:11-14 adalah sikap Petrus yang menjauhi orang-orang non-Yahudi karena takut kepada orang-orang Yahudi garis keras dari Yerusalem (Gal. 2:12; bdk. Kis. 11:2-3). Ia sudah tahu bahwa semua makanan adalah halal (Kis. 10:9-16; 11:4-10), namun ia takut kepada orangorang Yahudi, seolah-olah peraturan tentang makanan masih mengikat hidupnya. Di sisi lain, sikap Paulus yang situasional (dalam konteks misi sikap ini disebut kontekstualisasi) bukan didasari oleh ketakutan, tetapi demi perkembangan Injil. Perbedaan lain antara sikap Paulus dan Petrus adalah ini: sikap Petrus berpotensi menghalangi pemberitaaan Injil (Gal. 2:14), sedangkan sikap Paulus justru
membuka ruang bagi efektivitas pekabaran Injil (1Kor. 9:20a). Jadi, yang menjadi faktor pembeda dalam hal ini adalah motivasi (ketakutan vs. kepentingan Injil) dan konsekuensi (menghalangi vs. membantu).
Bagi Orang yang Berada Di Bawah Hukum Paulus Menjadi Seperti Orang yang Di Bawah Hukum (ay. 20b) Bagian ini menimbulkan sedikit kesulitan bagi para penafsir. Jika Paulus sudah menyinggung tentang orang Yahudi (9:20a), mengapa ia masih perlu membahas tentang orang-orang yang hidup di bawah hukum (9:20b)? Bukankah “orang Yahudi” identik dengan “mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat”? Beberapa penafsir mengusulkan “orang-orang di bawah Hukum Taurat” sebagai golongan proselit atau orang-orang yang takut kepada Allah, yaitu orang-orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi (Mat. 23:15; Kis. 10:2), sedangkan yang lain mencoba memahami kata nomos di sini secara umum (hkum sipil, terutama hukum Romawi). Pengamatan yang teliti tampaknya mengarah pada kesimpulan bahwa nomos yang dimaksud Paulus adalah Hukum Taurat (NASB “Law”) dan orang-orang yang ada di bawah hukum ini adalah orang-orang Yahudi. Pilihan ini bisa dibenarkan berdasarkan beberapa pertimbangan: (1) semua pemunculan kata nomos dalam Surat 1 Korintus merujuk pada Hukum Taurat (9:8, 9; 14:21, 34; 15:56); (2) seandainya ini adalah hukum Romawi, maka Paulus tidak mungkin menambahkan “walaupun aku tidak berada di bawah hukum”; (3) secara mendasar tidak ada perbedaan etika antara orang-orang Yahudi asli dengan golongan proselit/orang yang takut kepada Allah. Jika nomos identik dengan Taurat, mengapa Paulus perlu menambahkan kategori “mereka yang berada di bawah Taurat”? Ada beberapa jawaban atas pertanyaan ini.Pertama, ayat 20b berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang “seperti orang Yahudi” di ayat 20a.Menjadi seperti orang Yahudi berarti menjadi seperti orang yang berada di bawah Taurat. Tanpa penjelasan tambahan di ayat 20b, maka ayat 20a akan menjadi lebih sulit untuk dipahami. Kedua, ayat 20b memberikan prinsip yang lebih luas daripada ayat 20a.Paulus tidak hanya membatasi sikap kontekstualisasi dalam konteks makanan saja (ay. 20a), tetapi juga aspek-aspek lain dalam Taurat (ay. 20b).Ketiga, ayat 20b menjelaskan alasan di balik sikap Paulus di ayat 20a. Kontekstualisasi Paulus bukan berarti bahwa ia berada kembali di bawah Taurat, karena itu ia merasa perlu menambahkan frase “sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah Hukum Taurat” (ay. 20b). Tambahan “sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah Hukum Taurat” di ayat 20b merupakan batasan tegas bagi Paulus.Ia melakukan semua ini bukan karena ia masih terikat oleh Taurat. Ia adalah orang bebas, baik dari orang lain (9:19) maupun Taurat (Rm. 6:14). Apa yang dilakukan Paulus di tengah masyarakat Yahudi mungkin secara eksternal tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi lain, tetapi motivasi di balik tindakan itu sangat berbeda. Orang Yahudi melakukan semua ini untuk mendapatkan kebenaran dari Allah dan dengan konsep bahwa mereka masih terikat oleh Taurat, tetapi Paulus melakukan itu justru untuk kepentingan Injil. Bagi Paulus berada di bawah Taurat berarti akan dihakimi menurut Taurat (Rm. 2:12), di bawah hukuman Allah karena melanggar Taurat (Rm. 4:15) dan di bawah kutuk Taurat (Gal. 3:10). Paulus tidak sedang mengajarkan nilai teologis ketaatan terhadap Taurat, namun ia juga tidak menganggap Hukum Taurat sebagai perintah yang sudah tidak relevan. Ia tidak melarang orang-orang Yahudi meneruskan beberapa kebiasaan mereka sesuai Taurat, tetapi ia secara tegas menolak keyakinan bangsa Yahudi kepada Taurat sebagai jalan keselamatan (Rm. 3:19-20). Ia juga dengan keras menentang kesalahpahaman di kalangan orang Yahudi tentang nilai teologis dari semua kebiasaan Yahudi (Kol. 2:16-17). Bagaimanapun, demi kepentingan Injil ia mau bersusah-payah menghormati kebiasaan Yahudi yang tekait dengan Taurat, sekalipun ia meyakini bahwa semua itu tidak mempengaruhi status seseorang di hadapan Allah. Sikap seperti ini berpotensi untuk disalahpahami, baik oleh orang Yahudi maupun bangsa lain. Paulus sering kali dianggap meniadakan Hukum Taurat (Kis. 21:21) atau mengajarkan hidup yang bebas tanpa aturan sama sekali (Rm. 3:8) guna mencari
perkenanan manusia (Gal. 1:10). Walaupun resiko yang muncul cukup besar, tetapi Paulus tetap berpegang pada prinsip ini, karena semua ini dilakukan demi efektivitas Injil. Alkitab memberikan beberapa contoh konkrit tindakan Paulus yang masih mau mengikuti peraturan Hukum Taurat demi kepentingan Injil. Paulus yang sangat menentang manfaat sunat bagi keselamatan (Gal. 5:12; Flp. 3:2-3) ternyata justru meminta Timotius untuk menyunatkan diri demi efektivitas pekabaran Injil yang akan mereka lakukan (Kis. 16:3). Di kesempatan yang lain Paulus tetap menghormati peraturan Hukum Taurat tentang nazar berupa pencukuran rambut, walaupun ia tidak harus melakukan itu di Yerusalem (Kis. 18:18; Bil. 6:5, 13). Ketika ia ada di Yerusalem dan sedang digunjingkan oleh banyak orang karena dituduh mengabaikan Hukum Taurat, Paulus bersedia membiayai dan menjalani proses pentahiran menurut adat istiadat Yahudi (Kis. 21:21-26). Dari perspektif Paulus ia jelas memandang semua ritual pentahiran ini sebagai tindakan kesalehan yang tidak ada nilainya di hadapan Allah, tetapi ia tetap mau melakukan itu demi Injil dan karena tindakan itu pada dirinya sendiri bukanlah dosa. Ritual ini bukan dosa, hanya sesuatu yang tidak berguna.Yang menjadi dosa adalah motivasi yang keliru di balik ritual tersebut. Salah satu contoh lain yang menarik dari kemauan Paulus untuk mengadaptasi diri dalam konteks budaya dan keagamaan Yahudi adalah kesediaannya untuk disesah sebanyak lima kali dengan 39 pukulan dalam setiap sesahan (2Kor. 11:24). Hukum Taurat mengatur bahwa orang yang menghujat TUHAN harus dilenyapkan dari tengah bangsa Yahudi (Bil. 15:30-31).Perintah ini tidak bisa dipraktekkan begitu saja dalam konteks hukum Romawi, karena wewenang untuk menghukum mati seseorang melalui prosedur hukum hanya boleh dilakukan melalui pejabat Romawi.Mahkamah Agama Yahudi tidak diberi wewenang tersebut. Untuk menyiasati hal itu, tradisi Yahudi mengganti hukuman yang ada dengan cara lain. Menurut tradisi Yahudi seperti yang tertuang dalam Mishnah, seorang yang dianggap penghujat akan dikeluarkan dari komunitas orang Yahudi. Tindakan ini sering kali disebut “dikucilkan dari synagoge (Yoh. 9:22; 12:42; 16:2). Bagi seorang penghujat yang ingin tetap dianggap sebagai bagian dari komunitas Yahudi, orang tersebut harus rela menerima disiplin secara Yahudi, yaitu berupa pukulan sebanyak 40 kurang satu pukulan (Ul. 25:2-3). Di tengah dua pilihan ini, Paulus memilih yang terakhir. Ini ia lakukan bukan hanya sekali, namun lima kali. Paulus bisa saja memilih alternatif pertama dan tidak peduli lagi dengan keselamatan rohani orang-orang yang menganggap dia sebagai penghujat. Bagaimanapun, ia justru memilih berkorban bagi mereka. Jika semua tindakan Paulus di atas dicermati, maka kita akan setuju bahwa tindakan itu sangat luar biasa. Paulus adalah orang yang sangat tegas sehubungan dengan kebenaran, tetapi ia masih mau mengompromikan beberapa hal yang tidak prinsip dan tidak terlalu berkaitan dengan kebenaran itu. Ia juga adalah seorang dengan temperamen sangat keras, tetapi ia telah belajar untuk memahami dan berkorban bagi orang lain. Semuanya ini pasti tidak mungkin dilakukan Paulus jikalau ia tidak menerima anugerah dari Allah dan menyadari bahwa tujuan hidup kita adalah kemuliaan Allah melalui pekebaran Injil. Orang-orang yang menempatkan kemuliaan Allah sebagai prioritas hidup tidak akan kesulitan untuk mengorbankan hak, kebebasan, dan kenyamanan hidup mereka. Jikalau kita sulit melepaskan sesuatu demi Injil, maka itu menjadi tanda atau bukti betapa kita sudah terikat kepada dan memberhalakan hal tersebut. Aplikasi Apakah selama ini kita sudah meletakkan kepentingan Injil di atas segalanya?Apakah kita telah belajar mengalah supaya Kristus dimuliakan? Apakah kita rela bersabar terhadap orang lain dan berusaha memahami dia demi kepentingan Injil? Biarlah teladan Kristus di atas kayu salib terus menjadi fokus hidup dan dorongan bagi kita. Dia mau mengorbankan kemuliaan sorga dan menjadi sama dengan manusia supaya Ia bisa menyelamatkan kita. Soli Deo Gloria. # Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 9 Mei 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%209%20ayat%2019-23%20%28Bagian %202%29.pdf
EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (3) oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Dalam beberapa khotbah yang lalu kita sudah belajar bahwa status Paulus sebagai hamba Allah (9:1518) membuat ia bebas dari semua orang (seorang budak tidak mungkin memiliki dua tuan). Walaupun ia bebas dari semua orang, namun Paulus rela menghambakan diri pada semua orang (9:19). Sebagai contoh, ia mau menjadi seperti orang Yahudi maupun mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat supaya ia bisa memenangkan mereka (9:20). Dalam khotbah kali ini kita akan melihat dua kelompok orang yang lain yang kepada mereka Paulus pun mau menghambakan diri. Mereka adalah orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (9:21) dan mereka yang lemah (9:22a). Bagi Orang yang Tidak Hidup Di Bawah Hukum Taurat (ay. 21) Di ayat ini Paulus menyinggung tentang orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (ay. 21a). Dalam teks Yunani dipakai sebutan anomos (a = tidak; nomos = hukum). Kata ini dalam Alkitab seringkali memiliki arti negatif yang merujuk pada orang/tindakan yang anti atau melanggar hukum (Luk. 22:37; Kis. 2:23; 2Tes. 2:8; 1Tim. 1:9; 2Ptr. 2:8).Apakah arti seperti ini yang dimaksud Paulus di 1 Korintus 9:19-23? Kita tampaknya harus memikirkan alternatif arti yang lain, karena arti di atas tidak sesuai dengan konteks 1 Korintus 9:19-23. Paulus sedang memikirkan anomos dalam arti status (orang yang tidak memiliki Hukum Taurat = non Yahudi), bukan tindakan (orang durhaka/pelanggar Hukum Taurat). Ada beberapa alasan yang kuat mengapa kita sebaiknya memahami anomos di ayat ini bukan secara negatif.Pertama, walaupun kata sifat anomos sering berarti negatif, tetapi kata keterangan anomōs pernah dipakai Paulus untuk orang-orang non Yahudi secara umum yang berdosa tanpa Hukum Taurat (Rm. 2:12).Dari konteks yang ada anomōs di sini berarti “orang yang tidak memiliki Taurat”, bukan yang melanggar Taurat (bdk. “berdosa tanpa Taurat”, “dihakimi tanpa Taurat”). Kedua, paralelisme dengan kelompok “mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat” (hypo nomon, 9:20b) mendorong kita menafsirkan anomos secara sejajar tetapi kebalikan dari hypo nomon. Karena hypo nomon lebih mengarah pada status sosial Yahudi, maka anomos juga kemungkinan besar dipahami dalam konteks status sosial non-Yahudi. Ketiga, jika anomos di 9:21 merujuk pada pelanggar Hukum Taurat, maka Paulus tidak mungkin mengungkapkan “aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah Taurat”.Ia tidak mungkin mengikuti dosa mereka, apalagi di ayat ini ia juga menambahkan “aku tidak hidup di luar hukum Allah tetapi di bawah Hukum Kristus”. Jadi, anomos di sini merupakan ungkapan lain untuk orang-orang non-Yahudi yang tidak hidup di bawah Taurat. Ketika Paulus mengatakan bahwa ia hidup seperti anomos, ia tidak mungkin memaksudkan ini secara etnis, karena ia secara etnis tidak mungkin berubah dari orang Yahudi menjadi orang non-Yahudi. Ungkapan ini pasti merujuk pada kebiasaan hidup atau budaya non Yahudi.Secara khusus, Paulus sedang membicarakan tentang kebiasaan makan, karena memang isu di pasal 8-10 adalah tentang makanan.Di tengah komunitas non-Yahudi Paulus mengikuti pola makan mereka.Ia tidak keberatan jika harus membeli bahan makanan di pasar yang pasti sudah dipersembahkan sebelumnya kepada para dewa (10:25-26). Ia tidak menghindari ajakan makan orang lain (10:27). Tindakan ini membutuhkan keberanian yang besar dan pemahaman teologis yang kuat. Bagi orang Yahudi, makan bersama orang non-Yahudi merupakan sesuatu yang sangat sensitif, menimbulkan ketidaknyamanan dan agak mustahil untuk dilakukan (Kis. 10:11-15, 28; Gal. 2:11-14). Cara memasak maupun memakan orang non-Yahudi tidak mungkin memenuhi peraturan kosher (halal) versi Yahudi. Bagaimanapun, Paulus rela membangun relasi dengan orang non-Yahudi dengan resiko bahwa ia harus merasa tidak terbiasa dan berpotensi untuk disalahpahami orang Yahudi yang lain. Ia bisa saja dianggap sebagai pelanggar Taurat atau orang yang gaya hidupnya plin-plan sesuai pergaulan yang ada. Paulus selanjutnya memberi tambahan bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah (ay. 21b). Dalam teks Yunani kita dengan mudah menemukan permainan kata di sini: Paulus menjadi seperti anomos, tetapi ia sendiri bukanlah anomos Allah. Ia memang mengadopsi kebiasaan orang non-Yahudi yang tidak memiliki Taurat, tetapi bukan berarti bahwa ia sendiri hidup tanpa aturan. Ia mau menjadi “without law” (tanpa hukum), tetapi ia bukan“lawless” (“pelanggar hukum”). Hal ini mengajarkan sesuatu yang
sangat penting bahwa kebebasan Kristiani di dalam Kristus bukan berarti “antinomianisme” (sebuah paham yang menekankan kebebasan mutlak tanpa aturan sama sekali). Kita memang tidak hidup di bawah Taurat lagi, namun itu bukanlah izin untuk hidup secara sembarangan (Rm. 6:14-15). Bagi Paulus orang percaya tidak mungkin hidup tanpa hukum.Kita berada di bawah hukum Allah (7:19).Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa selalu ada batasan dalam kebebasan Kristiani. Dalam kaitan dengan isu seputar makanan, Paulus pun memiliki batasan yang jelas. Ia tidak mau makan bersama orang non-Yahudi di dalam kuil mereka, karena itu tergolong penyembahan berhala (10:6-22). Ketika ia menerima undangan makan orang lain dan tindakan itu menjadi batu sandungan, Paulus memilih untuk tidak meneruskan makan (10:28). Penegasan Paulus bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah merupakan sesuatu yang perlu dilakukan. Paulus memikirkan dua tujuan di sini.Ia ingin menghindari kesalahpahaman atau fitnahan orang lain yang sering menuduh dia meniadakan tuntutan hukum (Kis. 21:21; Rom 3:8) untuk menyenangkan hati banyak orang (Gal. 1:10). Ia juga ingin menegur sebagian jemaat Korintus yang menganggap keselamatan di dalam Kristus sebagai alasan untuk hidup sembarangan (5:1-3; 6:13). Mereka secara sembarangan menggunakan kebebasan Kristiani sampai menjadi batu sandungan bagi orang lain (8:9). “Hukum Allah” yang dimaksud Paulus sangat berkaitan dengan Kristus (ay. 21c).Hukum ini adalah hukum Kristus.Paulus jelas tidak sedang mengatakan bahwa Hukum Taurat bukanlah hukum dari Allah.Apa yang ingin disampaikan Paulus di sini adalah perspektif yang baru tentang Taurat. Orang Kristen tetap memiliki “Taurat”, yaitu Taurat yang dituliskan Allah dalam hati kita sebagai tanda perjanjian yang baru, seperti yang dinubuatkan oleh para nabi (Yer 31:31-33).Hukum ini diletakkan di dalam diri kita melalui karya Roh Kudus (36:26-27).Dalam Roma 8:2 Paulus secara jelas mengajarkan (NASB “For the law of the Spirit of life in Christ Jesus has set you free from the law of sin and of death”). Semua tuntutan Taurat sudah digenapi di dalam Kristus melalui ketaatan-Nya yang sempurna (Rm. 8:34).Ia memang datang untuk menggenapi Taurat, bukan meniadakannya (Mat. 5:17-19). Di dalam Kristus Taurat telah diberi makna baru.Bagi orang Kristen Taurat bukanlah sebuah legalisme ataupun kumpulan persyaratan untuk keselamatan. Keagamaan legalistik seperti ini (terutama versi Farisi) pasti akan menimbulkan rasa letih lesu dan menjadi beban yang sangat berat bagi mereka yang hidup di bawahnya (Mat. 11:28), karena itu Yesus menawarkan sesuatu yang lain. Kekristenan tetap memiliki beban dan kuk tersendiri, namun kuk ini enak dan bebannya pun ringan, karena kekristenan merupakan proses belajar dari Tuhan Yesus (Mat. 11:29-30). Hidup Kristus merupakan “Taurat” bagi kita.Inilah yang dimaksud dengan hukum Kristus. Sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih kepada orang lain, demikian pula ketika kita melakukan hal yang sama kita telah memenuhi hukum Kristus (Gal. 6:2). Sama seperti Kristus telah rela menghambakan diri bagi orang lain (Mrk. 10:43-45), demikian pula Paulus mau mengikuti hukum Kristus ini dengan jalan menjadi hamba bagi semua orang (1Kor. 9:19, 22b). Pendeknya, apa yang dinasehatkan Paulus di 1 Korintus 8-10 dapat dirangkum dalam satu kalimat “jadilah pengikutku sama seperti aku telah menjadi pengikut Kristus” (11:1). Inilah hukum Kristus, Taurat yang sejati.
Bagi Orang yang Lemah (ay. 22a) Kelompok terakhir yang disinggung Paulus adalah orang yang lemah (asthenēs, ayat 22a). Sekilas kita mungkin berpikir bahwa Paulus sedang membicarakan tentang orang yang lemah secara hati nurani di 8:7-13. Dalam Roma 14:1-15:3 Paulus juga membahas tentang perdebatan seputar makanan dan ia menyinggung tentang orang yang lemah secara hati nurani. Kesan tersebut akan memudar apabila kita memperhatikan konteks yang lebih sempit di 9:19-23. Dalam konteks ini Paulus sedang membicarakan tentang orang-orang yang belum diselamatkan, sebagaimana tersirat dari frase “supaya aku memenangkan mereka…” yang muncul berkali-kali. Dari petunjuk ini kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang lemah di 9:22a bukanlah orang Kristen, sedangkan orang yang lemah hati nuraninya di 8:11 adalah orang yang sudah percaya.
Alasan lain mengapa orang yang lemah di 9:22a tidak boleh dipahami sebagai lemah secara hati nurani adalah ketidakadaan kata “seperti” di ayat 22a yang sebelumnya kita dipakai sejak ayat 20. Dalam hal ini terjemahan LAI:TB “aku menjadi seperti orang yang lemah” tidak terlalu tepat (terjemahan ini mungkin dipengaruhi oleh KJV/NKJV “I became as weak”). Semua versi lain memilih “I became weak” (ASV/NASB/RSV/NRSV/NIV/ESV/NET). Jika terjemahan hurufiah ini diikuti maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Paulus benar-benar lemah.Ia tidak menambahkan “walaupun aku…*tidak lemah+” seperti yang ia pakai di dua ayat sebelumnya (9:20-21), karena ia memang benar-benar lemah. Seandainya lemah di 9:22a dipahami dalam hal hati nurani, maka Paulus pun memiliki kelemahan itu, padahal bukan itu yang terjadi. Jadi, lemah di sini pasti bukan secara hati nurani.Kelemahan di sini adalah kelemahan yang memang dimiliki oleh Paulus juga. “Orang yang lemah” di 9:22a sebaiknya dilihat dari sisi sosial. Kita sudah membahas berkali-kali bahwa di mata jemaat Korintus Paulus tampak sangat lemah (4:10; 2Kor. 10:10; 11:21; 13:4, 9). Gaya berkhotbah Paulus terlihat lemah jika dibandingkan dengan para orator ulung waktu itu, baik dari sisi isi, penampilan pembicara, maupun cara penyampaian (2:1-5). Pekerjaan Paulus yang kasar sebagai pembuat tenda ikut menegaskan kelemahan Paulus (4:10-13). Semua ini dilakukan Paulus karena ia ingin memenangkan orang lain yang lemah. Jemaat Korintus sendiri dahulu adalah orang-orang yang lemah menurut ukuran dunia (1:2628).Setelah bersentuhan dengan hikmat duniawi mereka malah merasa diri kuat dan hebat (1:18, 2223).Kesombongan inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam jemaat, sehingga Paulus berkali-kali perlu mengajarkan kepada mereka bahwa kekuatan sejati adalah kelemahan di dalam Kristus (2Kor. 11:30; 12:5, 9-10; 13:9). Jika kita lemah, maka kita kuat (2Kor. 12:10a). Sebaliknya, orang yang merasa teguh berdiri maka ia akan jatuh (1Kor. 10:13). Sebuah paradoks yang indah! Apa yang diajarkan dan dilakukan Paulus di sini bersumber dari ajaran Tuhan Yesus (1Kor. 11:1). Kristus mau mengasihi orang yang lemah (Rm. 5:6).Ia mau menjadi miskin untuk memperkaya orang lain (2Kor. 8:9). Ia disalibkan dalam kelemahan, tetapi dihidupkan dalam kuasa Allah (2Kor. 13:4). Begitu pula dengan Paulus.Ia belajar menjadi lemah menurut ukuran dunia demi injil yang ia beritakan (2Kor. 6:8-10). Sukacita Paulus adalah ketika kelemahannya justru dipakai Tuhan untuk menguatkan orang lain (2Kor. 13:9 “sebab kami bersukacita apabila kami lemah dan kamu kuat).
Aplikasi Memahami orang lain demi kepentingan Kristus tidaklah mudah. Mengutamakan kepentingan orang merupakan tugas yang rumit. Menjadi seperti orang lain adalah pergumulan yang paling sulit. Bagaimanapun, Allah telah memberikan teladan bagi kita sebagai dorongan bahwa hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Sama seperti Kristus telah rela meninggalkan kemuliaan sorga dan menjadi sama seperti manusia – bahkan lebih hina daripada semua orang ketika ia menanggung kutuk Allah di kayu salib – demikian pula kita harus mau menjadi lemah demi keselamatan orang lain. Sama seperti Paulus telah mengikuti teladan Yesus yang mau berkorban, demikian pula kita harus mau kehilangan hak dan kebebasan demi injil. Soli Deo Gloria. # Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 23 Mei 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1 Korintus%2009%20ayat%2019-23%20(3).pdf
EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (4) oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Dalam beberapa khotbah yang lalu kita sudah belajar bahwa status Paulus sebagai hamba Allah (9:1518) membuat ia bebas dari semua orang (seorang budak tidak mungkin memiliki dua tuan). Walaupun ia bebas dari semua orang, namun Paulus rela menghambakan diri pada semua orang (9:19). Sebagai contoh, ia mau menjadi seperti orang Yahudi maupun mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat supaya ia bisa memenangkan mereka (9:20). Dalam khotbah kali ini kita akan melihat dua kelompok
orang yang lain yang kepada mereka Paulus pun mau menghambakan diri. Mereka adalah orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (9:21) dan mereka yang lemah (9:22a). Bagi Orang yang Tidak Hidup Di Bawah Hukum Taurat (ay. 21) Di ayat ini Paulus menyinggung tentang orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (ay. 21a). Dalam teks Yunani dipakai sebutan anomos (a = tidak; nomos = hukum). Kata ini dalam Alkitab seringkali memiliki arti negatif yang merujuk pada orang/tindakan yang anti atau melanggar hukum (Luk. 22:37; Kis. 2:23; 2Tes. 2:8; 1Tim. 1:9; 2Ptr. 2:8).Apakah arti seperti ini yang dimaksud Paulus di 1 Korintus 9:19-23? Kita tampaknya harus memikirkan alternatif arti yang lain, karena arti di atas tidak sesuai dengan konteks 1 Korintus 9:19-23. Paulus sedang memikirkan anomos dalam arti status (orang yang tidak memiliki Hukum Taurat = non Yahudi), bukan tindakan (orang durhaka/pelanggar Hukum Taurat). Ada beberapa alasan yang kuat mengapa kita sebaiknya memahami anomos di ayat ini bukan secara negatif.Pertama, walaupun kata sifat anomos sering berarti negatif, tetapi kata keterangan anomōs pernah dipakai Paulus untuk orang-orang non Yahudi secara umum yang berdosa tanpa Hukum Taurat (Rm. 2:12).Dari konteks yang ada anomōs di sini berarti “orang yang tidak memiliki Taurat”, bukan yang melanggar Taurat (bdk. “berdosa tanpa Taurat”, “dihakimi tanpa Taurat”). Kedua, paralelisme dengan kelompok “mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat” (hypo nomon, 9:20b) mendorong kita menafsirkan anomos secara sejajar tetapi kebalikan dari hypo nomon. Karena hypo nomon lebih mengarah pada status sosial Yahudi, maka anomos juga kemungkinan besar dipahami dalam konteks status sosial non-Yahudi. Ketiga, jika anomos di 9:21 merujuk pada pelanggar Hukum Taurat, maka Paulus tidak mungkin mengungkapkan “aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah Taurat”.Ia tidak mungkin mengikuti dosa mereka, apalagi di ayat ini ia juga menambahkan “aku tidak hidup di luar hukum Allah tetapi di bawah Hukum Kristus”. Jadi, anomos di sini merupakan ungkapan lain untuk orang-orang non-Yahudi yang tidak hidup di bawah Taurat. Ketika Paulus mengatakan bahwa ia hidup seperti anomos, ia tidak mungkin memaksudkan ini secara etnis, karena ia secara etnis tidak mungkin berubah dari orang Yahudi menjadi orang non-Yahudi. Ungkapan ini pasti merujuk pada kebiasaan hidup atau budaya non Yahudi.Secara khusus, Paulus sedang membicarakan tentang kebiasaan makan, karena memang isu di pasal 8-10 adalah tentang makanan.Di tengah komunitas non-Yahudi Paulus mengikuti pola makan mereka.Ia tidak keberatan jika harus membeli bahan makanan di pasar yang pasti sudah dipersembahkan sebelumnya kepada para dewa (10:25-26). Ia tidak menghindari ajakan makan orang lain (10:27). Tindakan ini membutuhkan keberanian yang besar dan pemahaman teologis yang kuat. Bagi orang Yahudi, makan bersama orang non-Yahudi merupakan sesuatu yang sangat sensitif, menimbulkan ketidaknyamanan dan agak mustahil untuk dilakukan (Kis. 10:11-15, 28; Gal. 2:11-14). Cara memasak maupun memakan orang non-Yahudi tidak mungkin memenuhi peraturan kosher (halal) versi Yahudi. Bagaimanapun, Paulus rela membangun relasi dengan orang non-Yahudi dengan resiko bahwa ia harus merasa tidak terbiasa dan berpotensi untuk disalahpahami orang Yahudi yang lain. Ia bisa saja dianggap sebagai pelanggar Taurat atau orang yang gaya hidupnya plin-plan sesuai pergaulan yang ada. Paulus selanjutnya memberi tambahan bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah (ay. 21b). Dalam teks Yunani kita dengan mudah menemukan permainan kata di sini: Paulus menjadi seperti anomos, tetapi ia sendiri bukanlah anomos Allah. Ia memang mengadopsi kebiasaan orang non-Yahudi yang tidak memiliki Taurat, tetapi bukan berarti bahwa ia sendiri hidup tanpa aturan. Ia mau menjadi “without law” (tanpa hukum), tetapi ia bukan“lawless” (“pelanggar hukum”). Hal ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting bahwa kebebasan Kristiani di dalam Kristus bukan berarti “antinomianisme” (sebuah paham yang menekankan kebebasan mutlak tanpa aturan sama sekali). Kita memang tidak hidup di bawah Taurat lagi, namun itu bukanlah izin untuk hidup secara sembarangan (Rm. 6:14-15). Bagi Paulus orang percaya tidak mungkin hidup tanpa hukum.Kita berada di bawah hukum Allah (7:19).Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa selalu ada batasan dalam kebebasan Kristiani. Dalam kaitan dengan isu seputar makanan, Paulus pun memiliki batasan yang jelas. Ia tidak mau makan
bersama orang non-Yahudi di dalam kuil mereka, karena itu tergolong penyembahan berhala (10:6-22). Ketika ia menerima undangan makan orang lain dan tindakan itu menjadi batu sandungan, Paulus memilih untuk tidak meneruskan makan (10:28). Penegasan Paulus bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah merupakan sesuatu yang perlu dilakukan. Paulus memikirkan dua tujuan di sini.Ia ingin menghindari kesalahpahaman atau fitnahan orang lain yang sering menuduh dia meniadakan tuntutan hukum (Kis. 21:21; Rom 3:8) untuk menyenangkan hati banyak orang (Gal. 1:10). Ia juga ingin menegur sebagian jemaat Korintus yang menganggap keselamatan di dalam Kristus sebagai alasan untuk hidup sembarangan (5:1-3; 6:13). Mereka secara sembarangan menggunakan kebebasan Kristiani sampai menjadi batu sandungan bagi orang lain (8:9). “Hukum Allah” yang dimaksud Paulus sangat berkaitan dengan Kristus (ay. 21c).Hukum ini adalah hukum Kristus.Paulus jelas tidak sedang mengatakan bahwa Hukum Taurat bukanlah hukum dari Allah.Apa yang ingin disampaikan Paulus di sini adalah perspektif yang baru tentang Taurat. Orang Kristen tetap memiliki “Taurat”, yaitu Taurat yang dituliskan Allah dalam hati kita sebagai tanda perjanjian yang baru, seperti yang dinubuatkan oleh para nabi (Yer 31:31-33).Hukum ini diletakkan di dalam diri kita melalui karya Roh Kudus (36:26-27).Dalam Roma 8:2 Paulus secara jelas mengajarkan (NASB “For the law of the Spirit of life in Christ Jesus has set you free from the law of sin and of death”). Semua tuntutan Taurat sudah digenapi di dalam Kristus melalui ketaatan-Nya yang sempurna (Rm. 8:34).Ia memang datang untuk menggenapi Taurat, bukan meniadakannya (Mat. 5:17-19). Di dalam Kristus Taurat telah diberi makna baru.Bagi orang Kristen Taurat bukanlah sebuah legalisme ataupun kumpulan persyaratan untuk keselamatan. Keagamaan legalistik seperti ini (terutama versi Farisi) pasti akan menimbulkan rasa letih lesu dan menjadi beban yang sangat berat bagi mereka yang hidup di bawahnya (Mat. 11:28), karena itu Yesus menawarkan sesuatu yang lain. Kekristenan tetap memiliki beban dan kuk tersendiri, namun kuk ini enak dan bebannya pun ringan, karena kekristenan merupakan proses belajar dari Tuhan Yesus (Mat. 11:29-30). Hidup Kristus merupakan “Taurat” bagi kita.Inilah yang dimaksud dengan hukum Kristus. Sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih kepada orang lain, demikian pula ketika kita melakukan hal yang sama kita telah memenuhi hukum Kristus (Gal. 6:2). Sama seperti Kristus telah rela menghambakan diri bagi orang lain (Mrk. 10:43-45), demikian pula Paulus mau mengikuti hukum Kristus ini dengan jalan menjadi hamba bagi semua orang (1Kor. 9:19, 22b). Pendeknya, apa yang dinasehatkan Paulus di 1 Korintus 8-10 dapat dirangkum dalam satu kalimat “jadilah pengikutku sama seperti aku telah menjadi pengikut Kristus” (11:1). Inilah hukum Kristus, Taurat yang sejati.
Bagi Orang yang Lemah (ay. 22a) Kelompok terakhir yang disinggung Paulus adalah orang yang lemah (asthenēs, ayat 22a). Sekilas kita mungkin berpikir bahwa Paulus sedang membicarakan tentang orang yang lemah secara hati nurani di 8:7-13. Dalam Roma 14:1-15:3 Paulus juga membahas tentang perdebatan seputar makanan dan ia menyinggung tentang orang yang lemah secara hati nurani. Kesan tersebut akan memudar apabila kita memperhatikan konteks yang lebih sempit di 9:19-23. Dalam konteks ini Paulus sedang membicarakan tentang orang-orang yang belum diselamatkan, sebagaimana tersirat dari frase “supaya aku memenangkan mereka…” yang muncul berkali-kali. Dari petunjuk ini kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang lemah di 9:22a bukanlah orang Kristen, sedangkan orang yang lemah hati nuraninya di 8:11 adalah orang yang sudah percaya. Alasan lain mengapa orang yang lemah di 9:22a tidak boleh dipahami sebagai lemah secara hati nurani adalah ketidakadaan kata “seperti” di ayat 22a yang sebelumnya kita dipakai sejak ayat 20. Dalam hal ini terjemahan LAI:TB “aku menjadi seperti orang yang lemah” tidak terlalu tepat (terjemahan ini mungkin dipengaruhi oleh KJV/NKJV “I became as weak”). Semua versi lain memilih “I became weak” (ASV/NASB/RSV/NRSV/NIV/ESV/NET). Jika terjemahan hurufiah ini diikuti maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Paulus benar-benar lemah.Ia tidak menambahkan “walaupun aku…*tidak lemah+” seperti yang ia pakai di dua ayat sebelumnya (9:20-21), karena ia memang benar-benar lemah.
Seandainya lemah di 9:22a dipahami dalam hal hati nurani, maka Paulus pun memiliki kelemahan itu, padahal bukan itu yang terjadi. Jadi, lemah di sini pasti bukan secara hati nurani.Kelemahan di sini adalah kelemahan yang memang dimiliki oleh Paulus juga. “Orang yang lemah” di 9:22a sebaiknya dilihat dari sisi sosial. Kita sudah membahas berkali-kali bahwa di mata jemaat Korintus Paulus tampak sangat lemah (4:10; 2Kor. 10:10; 11:21; 13:4, 9). Gaya berkhotbah Paulus terlihat lemah jika dibandingkan dengan para orator ulung waktu itu, baik dari sisi isi, penampilan pembicara, maupun cara penyampaian (2:1-5). Pekerjaan Paulus yang kasar sebagai pembuat tenda ikut menegaskan kelemahan Paulus (4:10-13). Semua ini dilakukan Paulus karena ia ingin memenangkan orang lain yang lemah. Jemaat Korintus sendiri dahulu adalah orang-orang yang lemah menurut ukuran dunia (1:2628).Setelah bersentuhan dengan hikmat duniawi mereka malah merasa diri kuat dan hebat (1:18, 2223).Kesombongan inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam jemaat, sehingga Paulus berkali-kali perlu mengajarkan kepada mereka bahwa kekuatan sejati adalah kelemahan di dalam Kristus (2Kor. 11:30; 12:5, 9-10; 13:9). Jika kita lemah, maka kita kuat (2Kor. 12:10a). Sebaliknya, orang yang merasa teguh berdiri maka ia akan jatuh (1Kor. 10:13). Sebuah paradoks yang indah! Apa yang diajarkan dan dilakukan Paulus di sini bersumber dari ajaran Tuhan Yesus (1Kor. 11:1). Kristus mau mengasihi orang yang lemah (Rm. 5:6).Ia mau menjadi miskin untuk memperkaya orang lain (2Kor. 8:9). Ia disalibkan dalam kelemahan, tetapi dihidupkan dalam kuasa Allah (2Kor. 13:4). Begitu pula dengan Paulus.Ia belajar menjadi lemah menurut ukuran dunia demi injil yang ia beritakan (2Kor. 6:8-10). Sukacita Paulus adalah ketika kelemahannya justru dipakai Tuhan untuk menguatkan orang lain (2Kor. 13:9 “sebab kami bersukacita apabila kami lemah dan kamu kuat).
Aplikasi Memahami orang lain demi kepentingan Kristus tidaklah mudah. Mengutamakan kepentingan orang merupakan tugas yang rumit. Menjadi seperti orang lain adalah pergumulan yang paling sulit. Bagaimanapun, Allah telah memberikan teladan bagi kita sebagai dorongan bahwa hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Sama seperti Kristus telah rela meninggalkan kemuliaan sorga dan menjadi sama seperti manusia – bahkan lebih hina daripada semua orang ketika ia menanggung kutuk Allah di kayu salib – demikian pula kita harus mau menjadi lemah demi keselamatan orang lain. Sama seperti Paulus telah mengikuti teladan Yesus yang mau berkorban, demikian pula kita harus mau kehilangan hak dan kebebasan demi Injil. Soli Deo Gloria. #
Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 25 Juli 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%2009%20ayat%2019-23%20(4).pdf
EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (5) oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Posisi ayat 23 dalam perikop 9:19-23 masih diperdebatkan oleh beberapa para penafsir. Sebagian menganggap ayat ini sebagai penutup yang sesuai, sedangkan yang lain melihat ayat 23 sebagai tambahan yang ‘merusak’ alur pemikiran di 9:19-23. Yang lain lagi bahkan mengusulkan agar ayat 23 dipandang sebagai permulaan dari perikop sesudahnya (9:24-27). Keberagaman pendapat di atas memang bisa dipahami.Ada dua poin utama yang memicu perdebatan ini.Pertama, faktor sastra. Pembacaan sekilas akan menunjukkan bahwa ayat 19 dan 22b membentuk sebuah inclusio (bagian awal dan akhir sama) yang indah. Inclusio ini menjadi petunjuk bahwa perikop 9:19-23 seharusnya berhenti di ayat 22b. Keberadaan ayat 23 justru berpotensi merusak struktur sastra tersebut.Kedua, faktor konteks. Ayat 23 sekilas menyiratkan bahwa Paulus sedang membicarakan tentang berkat yang akan dia terima dari pemberitaan Injil yang ia lakukan (“supaya aku memperoleh
bagian dalamnya”). Ide ini dianggap tidak sesuai dengan 9:19-22 dan lebih cocok jika dikaitkan dengan 9:24-27 (ay. 27 “supaya sesudah aku memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”). Sebagaimana akan dijelaskan berikut ini, dua kesan di atas tidak sepenuhnya benar. Walaupun ayat 19 dan 22b memang mengungkapkan ide yang hampir sama, namun ayat 23 tetap memiliki fungsi yang penting dalam pembahasan di 9:19-23. Ayat ini menunjukkan alasan bagi tindakan di ayat 19-22. Kalau sebelumnya Paulus hanya menyatakan tujuan dari tindakan itu, yaitu memenangkan orang lain (ay. 19b, 20, 21, 22a, 22b), sekarang ia menjelaskan alasannya. Seandainya ayat 23 dipisahkan dari ayat 19-22, maka kita akan mengalami kesulitan menemukan fungsi ayat 23 di perikop sesudahnya. Dengan kata lain, ayat 23 lebih pas diletakkan sebagai penutup 9:19-22 daripada pendahuluan 9:24-27.
Gaya Hidup yang Diwarnai Injil (ay. 23a) Sebagian versi menerjemahkan bagian ini dengan “segala sesuatu ini” (LAI:TB; RSV/NRSV/NIV/NET/ESV), sedangkan yang lain memilih “ini aku lakukan” (KJV/NKJV). Sesuai dengan teks Yunani yang ada, kata “ini” sebenarnya tidak muncul dalam bagian ini.Paulus hanya memakai kata panta (“segala sesuatu”).Ia bisa saja menambahkan kata “ini”, tetapi ia memutuskan untuk tidak melakukan hal tersebut. Hal ini pasti memiliki maksud tertentu. Penambahan kata “ini” akan memberi kesan bahwa Paulus hanya memikirkan tindakannya di ayat 19-22. Ketidakadaan kata “ini” menunjukkan bahwa Paulus sedang memikirkan semua tindakan lain di luar ayat 19-22. Bagi Paulus, apa saja yang ia lakukan pasti berkaitan dengan Injil, baik pada waktu ia tidak mau menerima tunjangan dari jemaat (9:15-18), ketika ia menghambakan diri kepada semua orang (9:1923), maupun ketika ia mendisplin diri secara rohani (9:24-27). Tidak ada tindakan apa pun yang terpisah dari Injil. Kita bahkan bisa meyakini bahwa “segala sesuatu” di ayat 23a mencakup hal-hal lain di luar konteks pemberitaan Injil.Apa saja yang kita lakukan, baik makan, minum, atau yang lain, kita harus melakukannya untuk kemuliaan Tuhan (10:31). Untuk menegaskan poin di atas, Paulus sengaja memakai kata kerja present tense untuk kata “aku lakukan”. Tense ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Paulus sudah menjadi kebiasaan (baca: gaya hidup). Tindakan ini bukan hanya yang berkaitan secara langsung dengan pemberitaan Injil secara verbal.Dalam segala situasi dan segala waktu, Injil selalu menjadi kekuatan yang menggerakkan dan mengarahkan hidup Paulus (driving force).Dalam kehidupan Paulus, Injil bukan hanya menjadi obyek pengetahuan, tetapi perspektif untuk mengetahui segala sesuatu.Injil bukan hanya menjadi salah satu bagian dari hidup Paulus, tetapi seluruh hidupnya adalah Injil. Di akhir ayat 23a Paulus memberikan tambahan frase “karena Injil” (LAI:TB). Frase ini diterjemahkan sedikit berbeda di berbagai versi.Sebagian memilih “karena Injil” (NET/YLT “because of the gospel/good news”).Sebagian besar menggunakan terjemahan “demi Injil” (KJV/ASV/RSV/NRSV/NIV “for the sake of the gospel/the gospel’s sake”). Alternatif ke-1 menyiratkan alasan dari semua yang dilakukan Paulus (apa yang mendorong Paulus melakukan semua itu?), sedangkan alternatif ke-2 lebih mengarah pada tujuan dari semuanya itu (untuk apa Paulus melakukan itu?). Dari sisi tata bahasa, frase dia to euangelion memang bisa diterjemahkan dengan dua cara di atas. Alternatif mana yang lebih baik?Kita sulit menentukan sekarang, karena jawabannya tergantung pada penafsiran kita terhadap ayat 23b.Berdasarkan kesulitan ini, kita sebaiknya langsung membahas ayat 23b, kemudian kita baru kembali lagi pada pertanyaan ini.
Mengambil Bagian Di Dalam Injil (ay. 23b) Ayat 23b merupakan bagian yang paling sulit dalam pasal 9. Secara hurufiah bagian ini dapat diterjemahkan “supaya aku menjadi pengambil bagian bersama-sama di dalamnya” (NASB “that I may become a fellow partaker of it”, juga KJV/NKJV). Kata “nya” (autou) jelas merujuk pada Injil.Paulus ingin mengambil bagian di dalam Injil. Bagaimanapun, apa diambil dari Injil tetap tidak terlalu jelas. Apa yang dimaksud dengan “mengambil bagian di dalam Injil”?
Para penafsir mengusulkan 3 alternatif.Pertama, mengambil bagian di dalam berkat-berkat Injil (RSV/NRSV/NIV/ESV/NLT “its blessings”).Pandangan ini merupakan pandangan tradisional dan populer di kalangan para penafsir. Sebagian dari mereka bahkan hanya mengutip pandangan ini tanpa merasa perlu memberikan argumen apa pun, seolah-olah pandangan tradisional ini sudah pasti benar. Beberapa yang memberikan argumen biasanya terbatas pada dua hal: konteks 9:24-27 dan pemunculan kata “mengambil bagian” di Roma 11:17. Mereka yang memegang alternatif ini meyakini bahwa berkat rohani yang dipikirkan Paulus berkaitan dengan kehidupan kekal di sorga kelak (bdk. ay. 27 “supaya jangan aku sendiri ditolak”).Beberapa menduga berkat ini adalah kemuliaan atau upah di sorga (bukan kehidupan kekalnya).Untuk memperkuat dugaan tersebut, mereka mengajukan Roma 11:17 sebagai dukungan.Di teks ini kata “pengambil bagian” diterapkan pada bangsa-bangsa non-Yahudi sebagai cabang zaitun liar yang dicangkokkan ke pokok zaitun dan mengambil bagian dalam akar pohon itu.Pemakaian seperti ini dianggap memberi kesan bahwa cabang itu mengambil keuntungan dari akar pohon. Jika diterapkan pada 1 Korintus 9:23b, mengambil bagian di dalam Injil berarti mengambil keuntungan/berkat dari Injil. Walaupun pandangan ini banyak dipegang oleh para penafsir, namun argumen yang dipakai tidak terlalu meyakinkan.Seperti sudah disinggung sebelumnya, ayat 23 lebih berkaitan dengan ayat 19-22 daripada ayat 24-27.Ayat 23b tampaknya tidak mengarah pada ayat 27b. Ayat 27b berbicara tentang kehidupan kekal, dan ini tidak mungkin bisa diraih melalui usaha Paulus (bdk. ay. 23 “segala sesuatu aku lakukan...”). Kehidupan kekal adalah anugerah cuma-cuma dari Kristus. Paulus tidak pernah mengajarkan bahwa kehidupan kekal dapat diusahakan oleh manusia melalui cara aapun (Ef 2:8-9). Seandainya kita menafsirkan “berkat” sebagai kemuliaan/upah di sorga, hal ini tetap tidak menghilangkan sebuah kesulitan yang besar.Inti di pasal 9 adalah kerelaan Paulus untuk tidak menggunakan satu pun hak (9:15-18) dan kebebasannya demi menyelamatkan orang lain (9:19-22). Paulus tidak mengambil keuntungan apa pun dalam pemberitaan Injil. Inti ini akan menjadi mubazir apabila Paulus menutupnya dengan menyatakan keuntungan apa yang menjadi bagiannya sendiri dalam pemberitaan Injil. Penutup seperti ini sangat berkesan egosentris dan bertolak belakang dengan inti di seluruh pasal 9. Pernyataan ini tidak berarti bahwa pemberita Injil tidak mendapat upah kekal dari Tuhan. Semua pekerja patut mendapatkan upahnya sesuai kadar pekerjaan masing-masing orang (3:9). Bagaimanapun, bukan ini yang sedang dipikirkan Paulus di 9:23. Kedua, mengambil bagian di dalam pekerjaan atau perkembangan Injil. Pandangan ini secara eksplisit diekspresikan dalam terjemahan NEB “All this I do for the sake of the Gospel, to bear my part in proclaiming it” (juga NLT/NJB). Menurut pandangan ini Paulus di ayat 23b sedang merujuk balik pada tujuan yang dia ulang terus di ayat 19-22, yaitu supaya dia memenangkan/menyelamatkan orang-orang lain. Dengan melakukan segala sesuatu bagi Injil, maka Injil menjadi semakin berkembang. Konteks pasal 9 secara keseluruhan juga dianggap memberikan dukungan yang meyakinkan. Semua yang dilakukan Paulus di pasal 9 memiliki satu tujuan: supaya Injil jangan terhalang (ay. 12). Jika memang tujuan Paulus adalah “supaya Injil jangan terhalang” (9:12), maka tujuan ini dapat diekspresikan melalui cara lain sebagai “supaya Injil cepat berkembang”. Kesejajaran inilah yang dimaksud Paulus ketika ia mengatakan “mengambil bagian di dalam *perkembangan+ Injil”. Sebagai dukungan tambahan, penganut pandangan ini menyinggung penggunaan kata “pengambil bagian” di Filipi 1:7.Dalam teks ini “mengambil bagian di dalam kasih karunia” dijelaskan dalam berbagai tindakan, yaitu dipenjara karena Injil, membela Injil, dan meneguhkan berita Injil. Walaupun dalam teks ini ungkapan yang dipakai tidak persis sama (“mengambil bagian dalam kasih karunia”, bukan “mengambil bagian dalam Injil”), namun penggunaannya tetap mengarah pada melakukan sesuatu untuk pekerjaan Injil. Pandangan ini lebih meyakinkan daripada yang pertama.Satu-satunya kelemahan dari pandangan ini adalah kesan pengulangan yang tidak diperlukan.Seandainya Paulus hanya ingin menegaskan bahwa
tujuan dari semua yang dilakukan adalah memberikan kontribusi bagi perkembangan/kemajuan Injil, maka hal ini sudah tersampaikan dengan jelas di ayat 19-22.Dalam bagian ini Paulus bahkan berkalikali mengungkapkan bahwa tujuan dari semua itu adalah pertobatan banyak orang. Dengan kata lain, jika pandangan ke-2 ini diambil, maka ayat 23 menjadi mubazir. Ketiga, mengambil bagian di dalam hakekat/natur Injil.Inti dari pandangan ini adalah “tindakan Paulus dalam pemberitaan Injil di pasal 9 menyiratkan hakekat dari Injil itu sendiri”.Sama seperti berita Injil tentang Kristus yang rela mengorbankan kemuliaan sorgawi untuk menyelamatkan manusia (Flp 2:511), demikian pula Paulus merelakan hak dan kebebasannya demi menyelamatkan orang lain (9:1922).Sama seperti Paulus telah diselamatkan secara cuma-cuma melalui Injil, demikian pula Paulus sekarang memberitakan Injil secara cuma-cuma (9:15-18).Apa yang dia lakukan dalam pemberitaan Injil sesuai dengan hakekat Injil yang ia beritakan. Pandangan ini sesuai dengan penggunaan kata “mengambil bagian” di Roma 11:17 dan Wahyu 1:7. Inti yang ingin disampaikan Paulus dalam gambaran tentang pohon zaitun di Roma 11:17 bukanlah “cabang mengambil keuntungan dari akar” (kontra pandangan ke-1), melainkan “memiliki persekutuan dengan akar”.Hal ini tampak dari peringatan Paulus bahwa cabang-cabang cangkokan suatau ketika juga bisa dipotong dan dibuang, sehingga yang asli bisa kembali dicangkokkan ke pohon zaitun.Gambaran ini sangat mirip dengan Yesus sebagai pokok anggur yang menuntut murid-murid-Nya tinggal di dalam-Nya (Yoh. 15).Poin penting dalam hal ini adalah “menjadi sama/satu dengan batang/akar pohon”.Dalam Wahyu 1:7 kata “mengambil bagian” juga dipahami dalam arti persekutuan dalam kesusahan. Maksudnya, Yohanes dan penerima Kitab Wahyu berbagi sesuatu yang sama, yaitu kesusahan. Dalam teks ini kata “mengambil bagian” jelas tidak mungkin memiliki arti “mengambil keuntungan dari sesuatu” atau “membuat sesuatu berkembang”. Inti yang ingin disampaikan adalah persekutuan. Pandangan terakhir ini memang tidak terlalu banyak dipegang oleh para penafsir, tetapi pandangan ini justru yang paling sesuai dengan konteks 1 Korintus 9 secara keseluruhan.Jika ini diterima, maka penekanan Paulus di ayat 23b terletak pada keinginanya untuk menyamakan dirinya dengan hakekat Injil. Paulus tidak hanya mampu memberitakan Injil yang menghidupkan, tetapi juga menghidupi Injil yang ia beritakan. Berdasarkan posisi ini, perbedaan terjemahan di ayat 23a (“karena atau demi Injil”?) dapat dijawab dengan lebih mudah.Paulus lebih memikirkan alternatif yang pertama. Semua yang ia lakukan didorong oleh Injil. Hakekat Injil itulah yang memampukan Paulus melakukan segala sesuatu sesuai dengan Injil yang ia percayai, hidupi, dan beritakan.
Penutup Salah satu kelemahan terbesar orang Kristen adalah tidak memiliki wawasan dunia Kristen yang terintegrasi. Kita sering kali tidak menyadari bahwa apa pun yang kita lakukan atau pikirkan harus dilihat dari perspektif keberdosaan manusia à penebusan di atas kayu salib à kehidupan yang diarahkan untuk kemuliaan Allah à persekutuan kekal dengan Allah di sorga. Tanpa salib Kristus maka manusia tidak mungkin akan menemukan tujuan hidup yang jelas. Tanpa salib manusia tidak akan memiliki standar kehidupan yang tepat. Tanpa salib manusia tidak akan memiliki nilai hidup yang benar. Biarlah salib Kristus selalu menjadi perspektif kita dalam melihat segala sesuatu.Biarlah kita bukan hanya menjadi pemberita Injil, tetapi sekaligus contoh hidup (living paradigm) dari Injil itu. Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 8 Agustus 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%2009%20ayat%2019-23%20(5).pdf
EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:24-25 oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Sebagian penafsir mempersoalkan posisi 9:24-27. Menurut mereka, bagian ini tidak memiliki keterkaitan yang jelas dengan keseluruhan pasal 9. Gambaran tentang olahragawan di bagian ini diyakini tidak berhubungan dengan tema makan makanan berhala (pasal 8) maupun kebebasan/hak yang dikorbankan demi kepentingan orang lain (pasal 9). Berdasarkan keyakinan ini mereka menduga
bahwa 9:24-27 merupakan tambahan dari orang lain yang disisipkan secara keliru di posisi seperti sekarang. Spekulasi di atas tidak bisa dibenarkan. Poin yang ingin disampaikan dalam ilustrasi di 9:24-27 melengkapi prinsip yang sudah diajarkan di 9:-13. Sebelumnya Paulus sudah memberikan contoh dari pelayanannya sendiri tentang bagaimana kita melepaskan kebebasan dan hak kita demi mencapai tujuan yang mulia, yaitu memenangkan orang lain bagi Injil. Prinsip ini sama dengan kehidupan para atlet. Demi sebuah kemenangan, mereka rela mengorbankan kenyamanan hidup, mengontrol nafsu makan, dan menguasai keinginan.Dalam latihan ini mereka jelas harus mengorbankan kebebasan dan hak mereka. Walaupun mereka berhak makan apa pun, namun akhirnya mereka memilih untuk mengabaikan itu demi suatu tujuan yang mereka anggap lebih berharga daripada soal makanan. Walaupun mereka bebas untuk mengatur aktivitas hidup mereka (istirahat, bersantai, latihan fisik), tetapi demi sebuah hadiah mereka akhirnya memilih untuk melepaskan kebebasan ini. Begitu pula dengan prinsip hidup Paulus di 9:1-23. Ia mau melepaskan hak dan kebebasannya demi Injil. Keterkaitan lain mungkin didapatkan dari fakta bahwa pertandingan akbar olah raga sering kali dilakukan dalam konteks memperingati atau menghormati dewa tertentu, yang pasti melibatkan melibatkan unsur relijius di dalamnya. Sangat mungkin isu relijius inilah yang dianggap Paulus relevan dengan isu tentang makan makanan berhala di pasal 8, karena itu ia sengaja memilih ilustrasi dari pertandingan olah raga. Gambaran tentang pertandingan olah raga di 9:24-27 pasti sudah sedemikian akrab bagi jemaat Korintus. Pertanyaan “tidak tahukah kamu?” di awal ayat 24 merupakan pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab.Penggunaan iustrasi dari dunia olah raga untuk mengajakan semangat perjuangan yang kuat merupakan fenomena yang sangat umum pada waktu itu.Baik penulis Yahudi (Philo) maupun penulis kafir (Epictetus) beberapa kali memakai gambaran seperti ini.Bagaimanapun, khusus bagi jemaat Korintus, ilustrasi dari dunia olah raga memiliki kesan yang berbeda.Mereka mengetahui selukbeluk pertandingan olah raga bukan hanya dari tulisan, tetapi melalui pengalaman langsung.Mereka pasti sudah sering mendengar atau bahkan menonton pertandingan Isthmian.Pertandingan yang dilaksanakan di sebuah tempat berjarak 24 km dari Korintus ini bahkan sering kali dikutip oleh para penulis kuno terkenal.Pertandingan ini dilakukan setiap dua tahun dan mempertandingkan berbagai cabang olah raga.Dibandingkan dengan jenis perhelatan olah raga besar lainnya, pertandingan Isthmian adalah yang terbesar kedua setelah pertandingan Olympic. Pertandingan lain yang kalah populer dari Isthmian adalah Delphi dan Nemea. Bagi orang Korintus pertandingan Isthmian merupakan kebanggaan mereka. Usia pertandingan yang sudah berabad-abad menjadi salah satu keunggulan dari pertandingan ini. Walaupun pada tahun 146 SM perhelatan olah raga ini sempat berhenti seiring dengan kehancuran kota akibat invasi militer Romawi, pada tahun 44 SM penduduk Korintus kembali menggalakkan pertandingan ini. Orang-orang kaya mengumpulkan dana yang besar untuk membangun kembali stadion yang hancur dan membiayai penyelengaraan lomba. Semua ini mereka lakukan demi sebuah kehormatan. Paulus sendiri pasti cukup mengenal pertandingan ini, terutama ketika ia dulu berada di Korintus. Menurut Kisah Para Rasul 18 Paulus sempat melayani di Korintus selama hampir 2 tahun sebelum Galio akhirnya menjadi gubernur di Akhaya dan mempersulit pelayanannya di sana (18:9-12). Dengan mempertimbangkan catatan historis bahwa Galio menjadi gubernur di sana sekitar tahun 50 atau 51 M, kita mendapatkan bukti yang cukup kuat untuk meyakini bahwa Paulus dalam taraf tertentu sangat mengenal pertandingan Ishtmian. Ia mungkin mengenal pertandingan ini pada tahun 49 atau 51 atau dua-duanya. Dugaan seperti ini tidak berlebihan.Selain Paulus sendiri memang menyukai olah raga (terlihat dari kebiasaan Paulus memakai ilustrasi dari bidang ini, Gal. 5:7; Flp. 2:13-14, 16; 2Tim. 2:5; 4:8), pekerjaan Paulus sebagai pembuat tenda memang berkaitan dengan penyelengaraan pertandingan di Isthmian. Selama berlangsungnya pertandingan ini banyak orang dari berbagai penjuru dunia berkunjung ke Korintus/Isthmian untuk menyaksikan perlombaan akbar ini. Pada waktu itulah mereka sangat membutuhkan tenda untuk tempat tinggal sementara. Bagi Paulus, hal ini adalah kesempatan untuk mendapatkan uang yang bisa ia pakai untuk mendukung pemberitaan Injil yang ia lakukan. Di samping itu, kedatangan ribuan orang dari berbagai etnis dan belahan dunia merupakan kesempatan
yang besar bagi Paulus untuk memberitakan Injil, sehingga Injil lebih cepat tersebar ke seluruh dunia.Pola pemikiran ini sangat mungkin meniru dari pola kerja Allah pada Hari Pentakosta (Kis. 2:111).Mengapa Roh Kudus dicurahkan pada saat hari raya ini dilaksanakan? Mengapa pertobatan massal terjadi pada momen yang sama? Jawabannya berkaitan dengan rencana ilahi untuk membawa Injil sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8).Pada saat Hari Pentakosta inilah semua orang Yahudi di perantauan datang ke Yerusalem.Dengan menjangkau mereka pada momen seperti ini berarti Injil disebarkan ke seluruh dunia dengan lebih cepat dan efisien. Melalui ilustrasi dari dunia olah raga di 9:24-27 Paulus ingin mengajarkan bahwa kehidupan rohani dan pelayanan dapat diibaratkan seperti kehidupan seorang atlet. Kehidupan rohani tidak bisa dijalani dengan santai dan tanpa tujuan. Beberapa ungkapan yang digunakan di 9:24-25 menunjukkan usaha yang begitu keras untuk menjalani. Sama seperti seorang atlet lari, kita harus berlari sekuat tenaga kita (9:24b). Atlet yang ikut dalam pertandingan disebut dengan “ho agōnizomenos”.Kata dasar agōnizomai bisa memiliki arti “berjuang” (Luk. 13:24; 1Tim. 4:10), “melawan” (Yoh. 18:36), “bergumul” (Kol. 1:29; 4:12), atau “bertanding” (1Tim. 6:12; 2Tim. 4:7).Semua arti ini menyiratkan usaha yang penuh kesungguhan dan kerja keras. Tidak heran, di perkembangan selanjutnya kata agōnizomai memiliki makna yang berkaitan dengan ide “menderita”, misalnya Bahasa Inggris “agonize” yang berarti “menderita sekali”. Kehidupan rohani memang sebuah perjuangan melawan diri sendiri, Iblis, dan dunia (1Yoh. 2:16; Ef. 6:10-18).Tidak ada waktu untuk bersantai.Pepatah “biar lambat agar selamat” tidak berlaku dalam urusan pertumbuhan rohani.
Syarat Kemenangan (ay. 24-25a) Paulus tidak hanya menunjukkan bahwa kehidupan rohani atau pelayanan ibarat sebuah pertandingan. Ia juga memberikan rahasia atau strategi bagaimana pertandingan tersebut dapat dimenangkan. Apa saja syarat untuk meraih kemenangan ini? Berlari Sedemikian Rupa (ay. 24b) Ilustrasi yang dipakai Paulus di bagian ini menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang. Problem ini terutama berkaitan dengan “hanya satu orang yang mendapatkan hadiah”.Apakah Paulus memaksudkan bahwa semua orang Kristen harus berlari tetapi hanya ada satu orang Kristen saja yang berhasil mendapatkan hadiah? Lalu apa yang terjadi dengan mereka yang tidak mendapatkan hadiah? Apakah kehidupan kekristenan memang sebuah kompetisi dengan sesama orang Kristen? Beberapa orang berusaha memberikan solusi dengan cara menafsirkan “satu orang” sebagai gereja secara keseluruhan, sedangkan orang-orang laina dalah “non Kristen”. Sebagian memahami “satu orang” sebagai Kristus yang sudah mewakili kita dalam perlombaan iman. Yang lain lagi menganggap Paulus memang salah memilih ilustrasi yang tepat. Semua upaya ini sebenarnya tidak diperlukan. Kesulitan untuk memahami ilustrasi ini muncul karena ketidaktahuan tentang cara menafsirkan ilustrasi. Sebuah ilustrasi tidak boleh dipahami secara detil seolah-olah setiap aspek yang berkaitan dengan ilustrasi itu memiliki makna spiritual. Dalam menafsirkan ilustrasi atau gambaran kita harus memperhatikan poin analogi utama. Dalam metafora di 9:24-27 inti yang mau disampaikan bukan jumlah peserta, tetapi betapa sulitnya mendapatkan hadiah. Poin inilah yang ingin ditonjolkan oleh Paulus.Ia tidak menyinggung tentang apakah para pelari itu memiliki hubungan kekeluargaan atau tidak. Yang ingin ditekankan hanya satu: karena hadiah hanya diperuntukkan bagi satu orang, maka setiap pelari harus berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkannya. Poin ini dipertegas dengan nasehat Paulus “karena itu larilah sedemikian rupa”. Jika kita mengamati secara lebih seksama, penekanan pada nasehat ini bukan terletak pada kata “lari”.Semua peserta, baik yang menang maupun yang kalah, memang harus terus berlari.Yang ditekankan adalah kata “sedemikian rupa”.Dalam kalimat Yunani kata ini diletakkan di bagian awal ayat 24b, sehingga bagian ini secara hurufiah dapat diterjemahkan “sedemikian rupa kalian harus berlari untuk mendapatkannya”.Berlari saja tidak cukup.Kita harus berlari sedemikian rupa.Kita harus memberikan usaha terbaik, bukan yang biasa saja.
Di tempat lain Paulus pernah mengajarkan tips berlari yang baik (Flp. 3:13-14). Orang yang berlari tidak boleh terbebani dengan apa yang ada di belakang. Ia harus “melupakan” semua itu dan mengarahkan diri ke depan (Flp. 3:13). Matanya harus diarahkan pada hadiah yang ingin diraih (Flp. 3:14). Dengan kata lain, pelari harus memiliki fokus. Ia tidak boleh terganggu oleh apa pun juga. Demikian pula dengan kerohanian dan pelayanan kita.Kita pun harus mengarahkan hidup kita pada Injil. Menguasai Diri Dalam Segala Hal (ay. 25a) Syarat lain untuk meraih kemenangan adalah menguasai diri dalam segala hal. Menurut kebiasaan waktu itu, para atlet yang ingin mengambil bagian dalam pertandingan di Olympic/Isthmian harus menjalani pemusatan latihan selama 10 bulan.Pada bulan yang terakhir, latihan dipusatkan di stadion tempat berlangsungnya pertandingan.Semua ini dimaksudkan agar mereka memiliki peluang yang makin besar untuk memenangkan pertandingan.Selama latihan inilah kekuatan seseorang dalam menguasai dirinya benar-benar diuji. Penambahan kata “dalam segala sesuatu” menyiratkan cakupan yang inklusif, sama seperti sikap Paulus yang mau menjadi segala-galanya bagi semua orang (9:23). Seorang atlet bukan hanya dituntut untuk menjalani program latihan yang ketat, tetapi ia juga harus menjaga pola makan. Epictetus, seorang penulis kafir kuno, pernah menggambarkan latihan keras yang dijalani atlet dengan kalimat sebagai berikut: “kalian harus tunduk pada disiplin, mengikuti diet yang ketat, mengabaikan kue yang manis, latihan di bawah tekanan pada jam tertentu, baik di cuaca panas maupun dingin; engkau tidak boleh minum air dingin atau anggur sewaktu-waktu seperti yang engkau mau”. Penguasaan diri dalam konteks pertandingan olah raga waktu itu juga mencakup kepatuhan pada peraturan olah raga.Para atlet yang ingin bertanding harus mengambil sumpah untuk mematuhi semua peraturan pertandingan dan menjalani latihan yang ketat.Tidak salah jika kita merangkum semua ini dalam kalimat “kemenangan di pertandingan tidak mungkin diperoleh tanpa keringat”. No pain, no gain. Sebagai seorang manusia, atlet jelas memiliki hak dan kebebasan untuk makan apa pun yang mereka inginkan atau beristirahat kapan pun mereka mau. Bagaimanapun, mereka akhirnya memilih untuk mengorbankan semua hak, kebebasan, dan kenyamanan hidup mereka demi memperoleh hadiah.Hadiah itulah yang dianggap lebih penting daripada segala tantangan dan penderitaan fisik yang harus dijalani. Begitu pula dengan kehidupan rohani kita. Kalau kita menganggap bahwa penerimaan Injil oleh orang lain sebagai tujuan hidup yang penting (9:19-23 “supaya aku dapat memenangkan sebanyak mungkin orang”), maka kita pasti akan rela menanggalkan semua hak/kebebasan kita (9:15-18) guna mencapai tujuan tersebut. Kita tidak akan mengijinkan hak/kebebasan itu menjadi penghalang bagi tujuan yang akan kita capai (9:12b). Sikap di atas tidak dimiliki oleh jemaat Korintus. Mereka tidak mau peduli dengan kehidupan rohani orang lain. Mereka menggunakan kebebasan secara sembarangan (8:9), sehingga orang lain justru tersandung karena tindakan itu (8:11). Seharusnya mereka bersedia mengorbankan “kebebasan” untuk makan makanan persembahan berhala demi kepentingan orang lain. Kegagalan mereka melakukan hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bisa menguasai diri.Kalau atlet saja mau mengorbankan kebebasan demi membangun tubuh fisik mereka, jemaat Korintus seharusnya lebih bersedia untuk berkorban demi membangun sesama tubuh Kristus (8:1). Hadiah yang Diperoleh (ay. 25b) Dalam pertandingan kuno waktu itu, ujuan utama seorang atlet bukanlah materi, seperti sebagian besar atlet profesional sekarang. Masyarakat Romawi meletakkan kehormatan di atas segalanya.Materi memang penting, namun hal itu masih di bawah kehormatan.Justru materi harus dipakai sebagai sarana untuk memperoleh kehormatan.Demikian pula dengan para atlet.Mereka adalah atlet amatir yang terobses terutama oleh ketenaran. Momen yang paling mengesankan bagi mereka adalah ketika terompet ditiup, semua penonton diharuskan berdiam diri, nama pemenang diumumkan, dan sebuah mahkota diletakkan di atas kepala mereka, dengan diiringi oleh tepuk-tangan semua penonton. Tujuan seperti ini jelas tidak berlangsung lama.Mahkota untuk para juara yang biasanya terbuat dari
daun tumbuhan tertentu dalam beberapa minggu pasti sudah layu. Penonton tidak akan memberikan tepuk-tangan terus-menerus. Nama pemenang pun dalam beberapa tahun sudah dilupakan orang.Tidak ada nilai permanen dalam semua ini. Para filsuf Stoa memiliki konsep yang sedikit lebih mendalam.Bagi mereka hadiah yang paling penting bukanlah mahkota atau ketenaran.“Hadiah” yang sesungguhnya adalah kepribadian positif yang terbentuk, ketahanan diri menghadapi penderitaan, dan kedamaian hati karena berhasil menguasai diri.Semua hadiah ini dianggap memiliki nilai yang lebih permanen daripada sekadar mahkota atau tepukan tangan penonton. Bagaimanapun, konsep hadiah menurut Stoa tetap tidak bisa menandingi konsep hadiah yang diajarkan Paulus dalam bagian ini.Mahkota yang menanti orang percaya bukan hanya tahan lama, tetapi abadi (ay. 25b).Mahkota ini adalah “suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga” (1Ptr. 1:4).Hadiah seperti ini jelas melampaui segala macam hadiah yang ditawarkan oleh dunia. Yang dimaksud mahkota di bagian ini tentu saja bukan kehidupan kekal itu sendiri.Keselamatan kita tidak perlu diusahakan; semua berdasarkan anugerah cuma-cuma dari Allah (Ef. 2:8-9).Mahkota di sini berbicara tentang kualitas hidup kekal atau upah yang menyertai keselamatan kita. Ada beberapa alasan yang mendukung ke arah konklusi ini: (1) konteks pasal 9 secara keseluruhan bukanlah “bagaimana kita bisa selamat”, tetapi “bagaimana kita seharusnya memberitakan Injil”. Konteks pembicaraan Paulus di pasal ini bukan tentang keselamatan, tetapi pelayanan/pemberitaan Injil; (2) Paulus sebelumnya sudah menyinggung tentang upah yang akan ia terima sebagai pelayan Tuhan (3:8) dan upah ini dibedakan dengan keselamatan rohani (3:14-15); (3) di tempat lain mahkota dikaitkan dengan kemuliaan (1Ptr. 5:4) atau kebenaran (2Tim. 4:8); (4) di beberapa tempat “mahkota” tampak dibedakan dari dan dipakai untuk menerangkan kualitas kehidupan kekal (Yak. 1:12; Why. 2:10 “mahkota kehidupan”).
Aplikasi Allah sudah menyiapkan hadiah yang terbaik bagi kita, suatu hadiah yang kekal dan sangat mulia.Kalau atlet duniawi saja mau berkorban begitu rupa untuk hadiah yang fana dan kurang mulia, bukankah kita seharusnya lebih mau berkorban lagi demi mendapatkan sesuatu yang jauh lebih mulia?Mengapa kita justru tampak tidak bergairah menjalani pertandingan rohani kita?Mengapa kita sering kali tidak mau berkorban untuk hal-hal rohani yang bernilai kekal?Biarlah firman Tuhan kali ini menggugah semangat kita untuk serius menghadapi kehidupan rohani kita dan bersedia berkorban waktu, tenaga, pikiran, maupun perasaan kita demi pekerjaan Tuhan di muka bumi. Soli Deo Gloria. Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 22 Agustus 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%2009%20ayat%2024-25.pdf
EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:26-27 oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Kata sambung “sebab itu” (toinyn) di awal 9:26 menyiratkan bahwa bagian ini merupakan aplikasi atau konsekuensi dari bagian sebelumnya (9:24-25). Dalam kalimat Yunani kata “aku” (egō) muncul dengan penekanan. Kata ini muncul di bagian paling depan. Dari posisi seperti ini terlihat jelas bahwa Paulus sedang menampilkan dirinya sendiri sebagai sebuah contoh.Ia bukan hanya bisa mengajarkan nasehat (9:24-25), tetapi ia juga mampu melakukan apa yang ia nasehatkan. Inilah yang beberapa kali ditandaskan Paulus di pasal 8-10 (8:13; 9:7-18, 19-23; 11:1 “jadilah pengikutku”). Dengan menampilkan dirinya sebagai teladan Paulus ingin mencapai dua tujuan sekaligus.Sebuah teladan sering kali lebih efektif daripada pesan verbal (lewat kata-kata).Di samping itu, Paulus ingin memberikan pembelaan atas tuduhan jemaat Korintus (9:3). Ketidakmauan Paulus untuk menerima
tunjangan dari jemaat (9:7-18) maupun sikap hidup akomodatif yang ia praktekkan (9:19-23) dilakukannya untuk suatu tujuan yang rohani, bukan karena ia tidak layak menerima atau karena ia ingin menyenangkan manusia. Bertolak dari kepentingan inilah, ia sengaja menampilkan dirinya sebagai contoh konkrit tentang sikap hidup yang berfokus pada Injil dan diwarnai oleh penguasaan diri. Paulus bukan tanpa tujuan (ay. 26) Di 9:24b Paulus memberikan nasehat “karena itu larilah begitu rupa”. Sekarang ia sendiri mengatakan, “aku berlari sedemikian rupa” (egō houtōs trechō, NASB “therefore I run in such a way”). Ia bukan hanya berlari (9:25a “semua peserta turut berlari”), tetapi berlari begitu rupa, seperti yang ia sudah nasehatkan. Paulus bukan orang yang suka bersantai dalam hal kerohanian dan pelayanan. Hanya saja, ia menambahkan bahwa “bukan tanpa tujuan” (ouk adēlōs, 9:26a). Kata keterangan adēlōs yang hanya muncul sekali dalam Alkitab ini (bentuk kata sifat muncul di 14:8) dipahami secara berbeda oleh penerjemah. Beberapa memilih “tanpa kepastian” (KJV/NKJV/ASV/NET), sementara yang lain memilih “tanpa tujuan” (NASB/RSV/NRSV/NIV/NLT). Terjemahan pertama lebih merujuk pada ketidakadaan keyakinan dalam diri pelari, sedangkan yang kedua mengarah pada ketidakadaan tujuan yang jelas. Dari dua alternatif ini, yang terakhir tampaknya lebih sesuai dengan konteks.Paulus tidak sedang membicarakan tentang pentingnya kepercayaan diri bagi seorang atlet. Sebaliknya, ia sedang menekankan pentingnya hadiah sebagai tujuan. Kesejajaran dengan metafora selanjutnya tentang petinju yang tidak sembarangan memukul (9:26b) turut mempertegas hal ini. Paulus tidak menyinggung sama sekali tentang kepercayaan diri atau kepastian kemenangan dari seorang petinju. Untuk mempertegas poin di atas, Paulus sekarang berpindah ke metafora tinju (9:26b). Dua cabang olah raga ini memang cukup populer pada waktu itu.Beberapa penulis kuno juga kadangkala memakainya untuk ilustrasi.Demikian pula dengan Paulus. Paulus bukanlah seorang petinju yang “sembarangan saja memukul” (ouk aera derōn, LAI:TB). Mayoritas versi menerjemahkan frase ini dengan “memukul udara” (KJV/ASV/NASB/NIV/RSV/NRSV/NET). NLT memahami frase ini sebagai rujukan pada “bertinju melawan bayangan” (“shadow-boxing”) yang biasa dilakukan seorang petinju sebelum ia naik ke atas ring. Dua kemunginan ini juga dapat ditemukan dalam tafsiran bapa-bapa gereja awal.Berdasarkan konteks yang menekankan nilai penting “tujuan” dalam berlomba, Paulus sangat mungkin memikirkan yang pertama.Shadow-boxing bukanlah aktivitas yang tanpa tujuan.Ini dilakukan sebagai bagian dari latihan yang harus dijalani oleh petinju. Sebaliknya, seorang petinju di atas ring yang memukul tanpa tujuan yang jelas bukanlah petinju yang baik. Ia hanya menghabiskan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tidak membawa hasil apa pun. Apa yang disampaikan Paulus di 9:26 mungkin tampak agak mubazir. Semua pelari tentu saja memiliki tujuan atau arah.Paling tidak mereka ingin sampai di garis terakhir.Begitu pula dengan petinju.Mereka pasti mengarahkan pukulan pada titik tertentu di tubuh atau wajah lawan. Tidak mungkin ada pelari atau petinju yang tidak memiliki tujuan! Justru absurditas metafora inilah yang menjadi poin dalam hal ini.Maksudnya, seorang Kristen pasti memiliki tujuan rohani (mahkota kekal, 9:25); jika ada orang yang tidak memiliki hal itu, maka ini merupakan sesuatu yang tidak wajar atau hampir mustahil.Tindakan jemaat Korintus yang tidak mau mengorbankan kebebasannya demi tujuan yang lebih kekal dan mulia jelas merupakan sikap yang sulit diterima oleh akal sehat. Paulus Menguasai Tubuhnya (9:27) Bagian ini melanjutkan metafora tinju di 9:26b sekaligus menyinggung ulang topik tentang penguasaan diri di 9:25. Paulus mengatakan bahwa ia melatih (hypōpiazō) tubuhnya. Beberapa penerjemah mencoba menerjemahkan dengan “mendisiplin” (NKJV/ESV). Yang lain memilih “menaklukkan” (NET). Beberapa bahkan melangkah terlalu jauh dengan memilih terjemahan “menghukum” (NJB/NRSV “punish”, YLT “chastise”). Secara hurufiah kata hypōpiazō berarti “memukul” (NIV “beat”, ASV/NASB “buffet”). Dalam konteks bertinju, kata ini secara khusus merujuk pada pukulan yang diarahkan di bawah mata (bdk. kata “hypopion” = bagian di bawah mata”). Yang mengagetkan, obyek pukulan yang dimaksud Paulus bukanlah tubuh lawan, namun tubuhnya
sendiri.Apakah maksud “memukul tubuh” di sini? Apakah Paulus sedang mengajarkan asketisisme, yaitu pola hidup menyiksa tubuh dengan cara menjauhi semua keinginannya (puasa, selibat, kemiskinan, dsb)? Sama sekali tidak! Paulus sebelumnya sudah menunjukkan sikap yang positif terhadap tubuh. Tubuh adalah anggota Kristus (6:15) dan bait Roh Kudus (6:19), sehingga seharusnya dipakai untuk memuliakan Allah (6:20). Frase “memukul tubuh” dipakai Paulus hanya untuk menyiratkan tindakan yang sungguh-sungguh dan usaha yang keras, sama seperti seorang janda yang berjuang keras mencari keadilan dari hakim yang tidak benar (bdk. Luk.18:5 kata “menyerang” di ayat ini memakai hypōpiazō).Penggunaan frase tersebut pada bagian ini mungkin merujuk pada segala macam kesulitan fisik yang harus ditanggung oleh Paulus dalam pelayanan (4:11-13; 2Kor. 11:23-28), terutama masalah kelaparan (2Kor. 6:5; 11:27). Tujuan dari ketahanan di atas adalah supaya Paulus dapat “menguasai seluruhnya” (LAI:TB). Penerjemah LAI:TB menambahkan kata “seluruhnya” untuk mengekspresikan ketegasan makna dalam kata doulagōgeō (lit. “memperbudak”, NRSV/NIV/NET). Jadi, kita dituntut untuk menguasai tubuh (9:25) dalam arti menjadikannya sebagai budak (9:27a). Bukan kita yang mengikuti kemauan tubuh, tetapi tubuhlah yang harus mengikuti kemauan kita, termasuk masalah makanan. Kita tidak seharusnya mengumbar kebebasan dan nafsu makan kita sehingga melukai hati nurani orang lain (8:7b, 9, 11-12). Selama kita belum bisa memperbudak tubuh kita sendiri, kita tidak mungkin mampu menjadi hamba bagi semua orang (9:19, 23). Tujuan final dari memukul dan memperbudak tubuh adalah supaya Paulus tidak ditolak setelah ia memberitakan Injil (9:27b). Ada beberapa penekanan dalam ungkapan ini. Kata “tidak” (mē) sengaja diletakkan di depan untuk penekanan. Penggunaan kata autos, yang oleh sebagian besar versi secara tepat diterjemahkan “sendiri”, juga memberikan tambahan penekanan. Kata kēryssō (LAI:TB “memberitakan Injil”) memiliki beragam pemakaian. Kata ini bisa menyiratkan tindakan mengumumkan berita penting dari penguasa, memberitakan kabar baik, atau mewartakan sesuatu.Kēryssō juga bisa menunjuk pada tindakan mengumumkan nama-nama peserta lomba dan peraturan-peraturan dalam perlombaan itu, sehingga sebagian penafsir meyakini bahwa dalam bagian ini Paulus masih melanjutkan metafora seputar dunia olah raga.Walaupun pandangan ini cukup menarik, tetapi sebaiknya ditolak.Kata kēryssō merupakan kata yang biasa dipakai Paulus untuk “memberitakan Injil” (1:23; 15:1, 12).Konteks pasal 9 secara keseluruhan terfokus pada pelayanan pemberitaan Injil yang dilakukan Paulus (9:14, 16, 18, 23). Selain itu, dalam metafora olah raga di 9:24-26b Paulus menekankan pada aspek hadiah dan apa yang harus dilakukan seorang atlet. Ketika mengalikasikan metafora tersebut Paulus pun memposisikan diri sebagai atlet. Ia tidak sedang membahas tentang petugas pengumuman perlombaan. Jadi, kita sebaiknya memandang 9:27b sebagai aplikasi dalam konteks pemberitaan Injil Paulus. Seandainya Paulus memang sedang menyinggung pemberitaan Injil yang ia lakukan, maka ungkapan di 9:27b pasti menimbulkan kesulitan theologis bagi sebagian orang. Walaupun kita semua mengetahui bahwa tindakan pemberitaan Injil tidak menjamin keselamatan rohani dari pemberitanya, namun “kehilangan keselamatan” yang disiratkan dalam ungkapan Paulus tersebut sulit dipahami.Bagian ini terkesan berkontradiksi dengan doktrin kepastian keselamatan. Terjemahan Alkitab Geneva yang sangat diwarnai oleh theologi Reformed mencoba menghindari kesulitan ini dengan memilih terjemahan “jangan aku sendiri ditegur/dimarahi”. Beberapa theolog Reformed lain cenderung menolak kesan adanya kemungkinan bagi hilangnya keselamatan Paulus. Untuk menghindari kesulitan di atas, beberapa penafsir mencoba memahami kegagalan yang dikuatirkan Paulus hanya dalam konteks kerasulan atau tugas pemberitaan Injil, bukan keselamatan. Dengan kata lain, Paulus takut bahwa suatu ketika kelak ia didapati tidak cocok atau layak untuk tugas pemberitaan Injil atau ia gagal mendapatkan upah dari usaha pekabaran Injil yang ia lakukan atau ia gagal memenuhi standar yang ia buat sendiri. Argumen yang dipakai biasanya ada tiga: (1) pasal 9 berbicara tentang sikap Paulus dalam memberitakan Injil, bukan kehidupan rohani Paulus; (2) mahkota yang dimaksud dalam metafora di 9:25 bukan kehidupan kekal, tetapi upah di sorga; (3) Paulus sebelumnya pernah mengajarkan kepastian keselamatan pekerja sekalipun ia menderita kerugian dalam pekerjaan tersebut (3:15). Kehilangan seperti apa yang sedang dipikirkan Paulus? Beberapa versi memilih terjemahan yang lebih tegas, misalnya “ditolak” (ASV “be rejected”), “dibuang” (KJV “be a castaway”) atau “didiskualifikasi” (RSV/NRSV/NKJV/ NET/NLT/NJB), tanpa memberi tambahan
didskualifikasi dalam hal apa. Kata “ditolak” (adokimos) sendiri memiliki arti umum “tidak memenuhi tuntutan ujian” ini (2Kor. 13:5-7; 2Tim. 3:8), tetapi ujian seperti apa yang dimaksud tetap harus ditentukan dari konteks yang ada. Penerjemah NIV mencoba memperjelas hal ini dengan menambahkan “for the prize” setelah kata “didiskualifikasi”.Tambahan ini menunjukkan bahwa penerjemah NIV tidak memikirkan kemungkinan hilangnya keselamatan. Jika diselidiki secara cermat, Paulus memang tampaknya sedang membicarakan tentang keselamatan dirinya.Peringatan yang keras kepada jemaat Korintus tentang kebinasaan saudara seiman mereka (8:11) maupun diri mereka sendiri (10:5-11) cukup jelas menunjang keseriusan pernyataan Paulus di 9:27. Di tempat lain Paulus bahkan tidak segan-segan untuk memperingatkan Timotius agar menjaga diri dan ajarannya sehingga ia menyelamatkan dirinya sendiri dan orang lain (1Tim. 4:16). Apakah hal ini berarti bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk menjamin keselamatan kita? Sama sekali tidak! Allah tidak akan mencobai melampaui kekuatan kita dan Ia selalu memberikan jalan keluar dalam setiap pencobaan (10:13). Allah pasti menjaga kita. Bagaimanapun, kita harus mengingat bahwa cara Tuhan memastikan keselamatan kita adalah melalui ketaatan kita. Nah, salah satu cara untuk menghasilkan ketaatan adalah melalui peringatan keras. Nasehat ini diberikan supaya kita tidak menganggap diri kuat, sehingga kita justru akan terjatuh (10:12). Dengan kata lain, Alkitab selalu membicarakan kepastian keselamatan dalam kaitan dengan peringatan keras (5:1-6, 7-8; 6:1-10, 11; 10:1-12, 13).Dua hal ini tidak boleh dipandang sebagai dua musuh bebuyutan.Sebaliknya, keduanya adalah sahabat karib. Maksudnya, salah satu cara Allah menjamin keselamatan kita adalah melalui peringatan yang keras. Peringatan di atas terutama sangat perlu disampaikan kepada jemaat Korintus yang merasa diri sombong karena memiliki hikmat (8:1). Mereka juga memiliki konsep tentang kebebasan Kristiani dan kepastian keselamatan yang keliru, sehingga menganggap apa pun yang mereka lakukan terhadap tubuh mereka tidak akan mempengaruhi kerohanian mereka (6:12-13; 10:23). Orang-orang seperti ini sudah selayaknya diperingatkan dengan keras. Jangan sampai mereka menjadi pemberita kebenaran tetapi hidup mereka justru berkontradiksi dengan ajaran mereka, sama seperti bangsa Yahudi yang menjadi pengajar Taurat tetapi mereka sendiri menjadi pelanggarnya (bdk. Rm. 2:17-24). # Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 12 September 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%2009%20ayat%2026-27.pdf
EKSPOSISI 1 KORINTUS 10:1-5 oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Pemunculan sapaan “saudara-saudara” di 10:1 menyiratkan perubahan pokok pikiran yang baru. Walaupun perubahan ini dengan mudah dideteksi, tetapi perubahan seperti apa yang dipaparkan Paulus dalam bagian ini tidaklah terlalu jelas. Persoalan ini semakin kentara karena di beberapa versi kata sambung gar (“karena”, NIV/NASB/ASV) tidak diterjemahkan (LAI:TB). Sebagian penafsir yang mengalami kesulitan dalam menemukan keterkaitan antara bagian ini dengan dua pasal sebelumnya berpandangan bahwa bagian ini diadopsi dari surat Paulus yang lain yang secara tidak tepat telah diletakkan di posisi yang sekarang. Jika kita mengamati secara lebih teliti, maka kita pasti akan menemukan beberapa poin keterkaitan yang cukup jelas. Kegagalan bangsa Israel memiliki tanah perjanjian karena mereka menyembah berhala (10:5) merupakan contoh konkrit tentang bagaimana orang-orang yang dulu pernah memiliki pengalaman rohani bersama Tuhan (10:1-4) juga bisa gagal mencapai garis akhir.Cerita ini merupakan peringatan bagi jemaat Korintus. Tindakan mereka yang makan daging persembahan berhala di kuil (8:7-10) bukan hanya berpotensi membinasakan iman saudara seiman lain yang tidak berpengetahuan (8:11-12), tetapi juga bisa membuat mereka sendiri gagal mencapai garis akhir. Berbagai macam karunia rohani (pasal 12-14) dan pengetahuan (8:1, 7, 10) yang dimiliki mereka tidak menjamin kesuksesan rohani, sama seperti berbagai pengalaman rohani yang dialami bangsa Israel dulu pun tidak menjamin mereka sampai ke tanah perjanjian.
Poin di atas sekaligus memberi pencerahan tentang keterkaitan antara bagian ini dengan pasal sebelumnya.Di bagian akhir pasal 9 Paulus sudah menggambarkan kehidupan rohani kita seperti seorang atlet yang harus menguasai diri dan berusaha sekeras mungkin untuk mencapai garis akhir (9:24-27). Paulus sendiri bahkan mendisiplin diri sedemikian rupa supaya ia pada akhirnya tidak didiskualifikasi (9:27). Nasehat ini dipertegas lagi dengan menampilkan contoh-contoh orang di PL yang gagal dan didiskualifikasi (10:5). Alur berpikir Paulus di 10:1-5 tampaknya cukup mudah untuk diketahui, walaupun ada beberapa kesulitan dalam taraf detil. Melalaui sapaan “nenek moyang kita” (10:1a) Paulus meletakkan dasar theologis yang kuat bahwa jemaat Korintus merupakan kelanjutan dari umat Allah di PL, walaupun mereka bukan berasal dari etnis Yahudi. Selanjutnya Paulus memaparkan dua pengalaman rohani yang spektakuler yang dialami bangsa Israel di padang gurun (10:1b-4), yaitu pembebasan yang dasyat dari tangan Mesir dan perlindungan TUHAN yang ajaib (10:1b-2) serta pemeliharaan TUHAN yang luar biasa (10:3-4). Pada bagian akhir Paulus menyatakan sebuah situasi yang sangat ironis: walaupun semua orang Israel memiliki pengalaman rohani yang sama, tetapi sebagian besar dari mereka justru tidak berhasil mencapai garis akhir (10:5).
Pendahuluan Nasehat (10:1a) Paulus memulai bagian ini dengan ungkapan “aku mau supaya kamu mengetahui”. Dalam kalimat Yunani yang ada, ungkapan ini secara hurufiah diterjemahkan “aku tidak mau supaya kamu tidak mengetahuinya”. Ungkapan yang muncul beberapa kali dalam tulisan Paulus ini (1Tes 4:13; 2Kor. 1:8; Rm. 1:13; 11:25) jelas berbeda dengan ungkapan “tidak tahukah kamu?” yang juga beberapa kali digunakan Paulus (Rm. 6:13; 1 Kor 3:16; 5:6; 6:2, 3, 9, 15, 16, 19; 9:13). Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh para penafsir, ungkapan “aku tidak mau supaya kamu tidak mengetahuinya” berfungsi sebagai petunjuk bahwa suatu topik pikiran yang baru dan penting sedang diajarkan, karena itu tidak heran ungkapan ini selalu muncul bersama dengan sapaan “saudarasaudara”. Fungsi lain dari ungkapan ini adalah untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui oleh pembaca, tetapi makna dan implikasi dari hal tersebut belum sepenuhnya dipahami. Berdasarkan makna dalam ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwa jemaat Korintus pun sudah terbiasa dengan cerita-cerita dalam PL. Mereka pasti mengetahui tersebut secara lisan dari khotbah para rasul atau membaca langsung kitab PL dalam versi Septuaginta (LXX). Paulus selanjutnya menggunakan ungkapan lain yang tidak kalah menariknya. Ia memakai kata ganti “kita” dalam ungkapan “nenek moyang kita”. Sebagaimana kita dahulu sudah pelajari bersama, mayoritas jemaat Korintus adalah orang-orang non-Yahudi.Paulus seharusnya mengatakan “nenek moyang mereka” atau “nenek moyang bangsa Yahudi” Kenyataannya, Paulus tetap secara sengaja memakai ungkapan ini. Jika dibandingkan dengan salah satu tradisi kerabian Yahudi, cara Paulus di sini menunjukkan keunikan konsep kekristenan. Menurut salah satu tulisan para rabi, orang-orang nonYahudi yang memeluk agama Yahudi (biasa disebut “proselit” atau “orang yang takut Tuhan”) tetap tidak diperbolehkan untuk menyebut para patriakh atau tokoh-tokoh PL sebagai nenek moyang mereka, karena secara etnis mereka bukan keturunan biologis dari tokoh-tokoh Israel di masa lampau. Dalam theologi Paulus sendiri kesatuan antara umat Allah di PL dan PB merupakan hal yang cukup sering kita temukan. Bagi Paulus, gereja adalah Israel yang baru (Rm. 2:26-29; 4:12, 16; 11:17-24; Gal. 3:6-9, 29; 6:16; Flp. 3:3), walaupun gereja terdiri dari etnis yang sangat variatif. Theologi semacam ini didasarkan pada pemahaman Paulus bahwa yang disebut Israel bukanlah secara etnis atau biologis (Rm. 9:6).Dari sejak zaman dahulu kala, sebutan “umat Allah” adalah berdasarkan pilihan, bukan kelahiran.Walaupun Ismael keturunan bilogis dari Abraham dan Esau adalah anak kandung Ishak, tetapi yang disebut “Israel” adalah Ishak dan Yakub (Rm. 9:7-13).Di bagian lain Surat Roma Paulus memberikan argumen dari perspektif yang sedikit berbeda.Ia menunjukkan bahwa Abraham dibenarkan karena iman, sebelum ia bersunat (Rm. 4:2, 10-11). Abraham juga menerima janji Allah sebagai bapa dari bangsa yang besar berdasarkan iman, bukan ketaatan kepada Taurat (Rm. 4:13-16).Bertolak dari
fakta ini, maka semua orang yang beriman kepada Allah Abraham adalah keturunan Abraham. Dengan menegaskan keterkaitan theologis di atas, Paulus ingin menunjukkan kesamaan antara bangsa Israel dan jemaat Korintus.Mereka sama-sama umat Allah. Mereka memiliki kitab suci yang sama. Mereka mempnyai pengalaman rohani yang luar biasa dari Allah. Kesamaan inilah yang membuat nasehat dan peringatan di 10:1-5 menjadi lebih relevan bagi jemaat Korintus.
Pengalaman Rohani yang Luar Biasa (10:1b-4) Di bagian ini Paulus menjelaskan beberapa pengalaman rohani yang luar biasa yang pernah dialami bangsa Israel selama di padang gurun. Apa saja pengalaman yang spektakuler tersebut? Pembebasan dari Mesir dan perlindungan di padang gurun (10:1b-2) Dalam hal ini, bangsa Israel mengalami 3 hal yang luar biasa: di bawah perlindungan awan, melewati laut, dan menjadi pengikut Musa. Mari kita melihat tiga hal ini satu persatu.Pertama, di bawah perlindungan awan. Terjemahan LAI:TB di sini sudah merupakan penafsiran. Dalam teks Yunani hanya disebutkan “berada di bawah awan” (versi Inggris “under the cloud”).Awan yang dimaksud dalam bagian ini jelas bukan awan biasa.Awan ini adalah tiang awan yang menyertai mereka (Kel. 13:21, 22; 14:19; 33:9-10). Persoalannya, tiang awan selalu terletak di depan mereka (Kel. 13:21, 22). Pada waktu mereka melintasi Laut Teberau, tiang awan ada di belakang mereka (Kel. 14:19). Tiang awan tidak pernah berada di atas mereka! Jadi, bagaimana Paulus bisa mengatakan bahwa mereka di bawah awan? Kunci untuk persoalan ini adalah dengan memahami fungsi ganda dari tiang awan: sebagai tuntunan dalam perjalanan (Kel. 13:21; Mzm. 78:14) dan perlindungan dari terik matahari (Mzm. 105:39). Dalam hal ini Paulus hanya menyoroti fungsi yang terakhir, karena itu ia merasa bebas untuk menyinggung aspek perlindungan ini dengan menggambarkan seolah-olah bangsa Israel berada di bawah awan. Kedua, melewati laut.Peristiwa ini merujuk pada kejadian spektakuler ketika TUHAN mengeringkan Laut Teberau sehingga bangsa Israel dapat berjalan melewati daratan yang kering (Kel. 14:21–22; Mzm. 78:13).Begitu hebatnya kejadian ini, sampai-sampai bangsa-bangsa lain pun menjadi gentar terhadap bangsa Israel (Yos 2:9-10). Ketiga, menjadi pengikut Musa. Terjemahan LAI:TB “untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut” dalam hal ini juga sudah melibatkan unsur penafsiran. Dalam kalimat Yunani tidak ada kata “untuk menjadi pengikut”.Teks asli hanya berbunyi, “dan mereka semua dibaptis ke dalam Musa dalam awan dan dalam laut”.Apakah maksud “dibaptis ke dalam Musa”? Bukankah selama perjalanan di padang gurun tidak ada cerita apa pun tentang Musa yang membaptis mereka? Paulus tampaknya sedang menceritakan peristiwa di PL dengan menggunakan ungkapan di PB.Sebagaimana semua orang percaya di PB dibaptis ke dalam Yesus, demikian pula orang percaya di PL dibaptis ke dalam Musa.Mengapa Yesus dibandingkan dengan Musa dalam bagian ini?Dalam tradisi Yahudi memang sudah dikenal sebuah pengharapan mesianis bahwa Mesias merupakan Musa yang baru (Ul 18:18). Salah satu peranan Mesias adalah sama dengan Musa, yaitu memimpin bangsa Israel. Berdasarkan tradisi inilah, Paulus menyandingkan Musa dan Yesus. Makna yang ingin disampaikan adalah sisi kepemimpinan mereka, karena itu LAI:TB dengan tepat memberi tambahan “untuk menjadi pengikut Musa”. Peristiwa bangsa Israel melintasi Laut Teberau dan orang-orang percaya dibaptis memang memiliki kesamaan.Keduanya jelas melibatkan unsur air.Lebih jauh lagi, kedua peristiwa ini merupakan titik balik perubahan status umat Allah.Sebelum melewati Laut Teberau status bangsa Israel masih sebagai budak, setelah itu mereka baru menjadi umat Allah dalam arti yang sesungguhnya.Baptisan juga begitu.Sebelum dibaptis orang-orang percaya dianggap masih berada dalam status yang lama (walaupun dari sisi iman mereka sudah berubah di hadapan Allah). Pemeliharaan di padang gurun (10:3-4) Pemberian manna (Kel. 16; Mzm. 78:23–29) dan air minum melalui batu karang (Kel. 17:1–7; Bil.
20:2–13; Mzm. 78:15–16; 105:41; 114:8) merupakan peristiwa yang sangat akrab bagi kita. Ketika mereka tidak mungkin untuk bercocok tanam maupun memiliki suatu sungai atau sumber air secara permanen, TUHAN memelihara mereka secara ajaib dengan cara memberi roti dari sorga dan air minum dari gunung. Penyebutan dua peristiwa ini di 10:3-4 sangat problematis. Pertama, apa maksud “rohani” pada ungkapan “makanan dan minuman rohani”? Sebagian penafsir menganggap Paulus sedang melihat manna dan air semacam perjamuan kudus di PL. Pandangan ini tampaknya hanya bersifat dugaan semata, karena tidak didukung oleh petunjuk apa pun dalam teks. Kita sebaiknya memahami “rohani” di bagian ini dalam konteks sumbernya dari Allah dan tujuannya bersifat rohani (Kel. 16:4, 15).Manna adalah roti dari sorga yang diberikan supaya bangsa Israel bersandar pada dan menaati TUHAN.Kenyataannya, mereka justru serin bersungut-sungut dan meninggalkan TUHAN yang sudah memelihara mereka. Kedua, apa maksud “batu karang yang mengikuti mereka”? Sebagian penafsir meyakini bahwa Paulus sedang mengadopsi legenda Yahudi yang menceritakan bahwa batu karang sebagai sumber air bangsa Israel benar-benar mengikuti bangsa Israel ke manapun mereka pergi. Mereka meyakini bahwa dua batu karang di Keluaran 17:1–7 dan Bilangan 20:2–13 adalah sama. Teori seperti ini jelas tidak masuk akal. Selain itu, seandainya bangsa Israel sudah memiliki sumber air yang permanen dari batu karang yang selalu mengikuti mereka, untuk apa TUHAN masih memerintahkan Musa untuk mengeluarkan air dari batu karang itu lagi? Kita sebaiknya memahami bahwa yang dipentingkan Paulus di sini bukanlah batu karang itu, tetapi Allah sebagai Pemberi air.Dengan pemahaman seperti ini, maka ungkapan “batu karang yang mengikuti mereka” sebenarnya berarti “Allah selalu mengikuti dan memberi mereka air”.Hal inilah yang selanjutnya dijadikan dasar bagi Paulus untuk menyatakan bahwa batu karang itu adalah Kristus. Ketiga, apakah penafsiran “batu karang itu adalah Kristus” menunjukkan bahwa Paulus menggunakan metode penafsiran alegoris?Penafsiran alegoris adalah bentuk penafsiran yang meyakini bahwa dalam setiap kata selalu ada makna rohani tambahan.Metode ini sangat subyektif, karena tidak ada standar yang jelas.Paulus tidak menggunakan metode ini.Penafsiran Paulus di 10:4 harus dilihat dari konteks pemahaman theologis bangsa Israel sendiri. Bagi mereka, batu karang yang memberi minum tidak lain adalah TUHAN sendiri (Ul 32:4, 15, 18, 30-31). Allah yang memberi mereka minum, bukan batu karang itu. Berdasarkan pemahaman seperti ini, Paulus dengan mudah dapat mengebangkannya sebagai berikut: batu karang = TUHAN = Kristus. Jadi, ini bukan penafsiran alegoris.
Hasil yang Kontras (10:5) Dalam ayat ini Paulus memberikan beberapa penekanan. Ia memakai kata sambung alla (“tetapi”) yang memuat makna kontras yang lebih kuat daripada kata de. LAI:TB dengan tepat mengekpresikan dalam kalimat “tetapi sungguh pun demikian”. Penekanan lain terletak pada posisi kata “tidak” (ouk) di awal kalimat. Melalui posisi seperti ini Paulus seolah-olah ingin menegaskan bahwa Allah sungguh-sungguh tidak berkenan kepada bangsa Israel.Penggunaan kata “bagian yang terbesar dari mereka” menampilkan sebuah ironi yang menyedihkan.Pada bagian sebelumnya kata “semua” muncul berkalikali. Mereka semua memiliki pengalaman spektakuler yang sama. Bagaimanapun, yang akhirnya mencapai garis akhir adalah sangat sedikit (bdk.Bil. 14:29–32; 26:65). Allah hanya berkenan pada Yosus dan Kaleb. Kata sambung “karena” (gar) di 10:5b berfungsi sebagai penjelasan atau bukti. Ketidakberkenanan Allah terhadap bangsa Israel dinyatakan melalui kematian mereka di padang gurun. Dalam hal ini Paulus memakai ungkapan yang jauh lebih kuat daripada sekadar “menewaskan” (LAI:TB). Allah menyerakkan mereka! (NIV). Bahasa yang tegas ini sangat mungkin berasal dari Bilangan 14:16 yang menggambarkan kematian mereka dengan ungkapan “TUHAN menyembelih”, walaupun dalam kenyataannya mereka tidak disembelih. Ungkapan yang sangat keras ini dimaksudkan untuk memperingatkan jemaat Korintus.Jemaat Korintus pasti dengan mudah menangkap ketegasan dalam peringatan Paulus di bagian ini.Mereka dalam taraf tertentu bahkan sudah mengalami kejadian
serupa.Banyak di antara mereka yang berdosa dan akhirnya dihukum Tuhan dengan penyakit, kelemahan, bahkan kematian (11:30).Jadi, mereka tidak boleh merasa diri kuat dengan berbagai karunia dan pengetahuan rohani mereka, karena mereka justru bisa jatuh (10:12). #
Sumber: Mimbar GKRI Exodus, 26 September 2010 http://www.gkri-exodus.org/image-/SER-1Korintus%2010%20ayat%2001-05.pdf