LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa
: Theresia Aquila Yuliana
NIM
: 030.11.286
Bagian
: Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode Kepaniteraan
: 19 Desember 2016 – 25 Februari 2017
Judul Referat
: Spondilitis Tuberkulosis
Pembimbing
: dr. David Idrial, Sp.OT
Jakarta, 11 Februari 2017 Pembimbing,
1
dr. David Idrial, Sp.OT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas rahmat dan izinNya penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul ”Spondilitis Tuberkulosa” ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. David Idrial, Sp.OT yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta. Dan juga ucapan terima kasih tidak lupa penyusun sampaikan kepada teman - teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun. Penyusun menyadari referat ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 11 Februari 2017
Theresia Aquila Yuliana, S.Ked 2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
1
KATA PENGANTAR ...................................................................................
2
DAFTAR ISI .................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................
4
BAB II
TINJAUN PUSTAKA ...............................................................
5
Spondilitis Tuberkulosis 2.1 Anatomi dan Fisiologi Vertebra .........................................
5
2.2 Definisi ...............................................................................
9
2.3 Epidemiologi ......................................................................
9
2.4 Etiologi ...............................................................................
10
2.5 Klasifikasi...........................................................................
10
2.6 Patofisiologi .......................................................................
13
2.7 Manifestasi Klinis ..............................................................
17
2.8 Penegakkan Diagnosis .......................................................
19
2.9 Diagnosis Banding .............................................................
26
2.10 Penatalaksanaan ...............................................................
29
2.11 Komplikasi .......................................................................
39
2.12 Prognosis ..........................................................................
39
KESIMPULAN.........................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
41
BAB III
3
BAB I PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di dunia terutama di negara yang belum dan sedang berkembang. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi tiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.(1) Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, terdapat 9 juta kasus TB baru dan 1,5 juta penduduk dunia meninggal akibat infeksi kuman tuberkulosa. Indonesia menempati peringkat kelima setelah India, Tiongkok, Nigeria dan Pakistan sebagai negara yang memiliki jumlah penderita TB terbanyak, dengan jumlah 410.000–520.000 kasus TB. (2) Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang, yaitu sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang. Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi pada system genitourinarius.(3,4) Tulang belakang adalah tempat keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5 – 15 % dari seluruh pasien dengan tuberkulosis, dianggap paling berbahaya karena keterlibatan medulla spinalis dapat menyebabkan gangguan neurologis. Daerah lumbal dan torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat, sedangkan insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2 – 3 %.(4) Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat pembentukan abses dingin, jaringan granulasi, jaringan nekrotik, dan sequestra dari tulang atau jaringan diskus intervertebralis, dan kadang – kadang thrombosis vascular dari arteri spinalis.(5) Penanganan yang dilakukan berupa terapi dasar tuberkulosis dengan obat anti tuberkulosis ( OAT ), penggunaan obat ortosis serta operatif dengan tindakan debridemen, evakuasi pus, dan stabilisasi segmen tulang belakang pada spondilitis tuberkulosis. Penilaian keberhasilan operatif spondilitis tuberkulosis dapat dilihat dari perkembangan derajat neurologis dan fusi tulang belakang. Keberhasilan fusi tulang belakang pada spondilitis tuberkulosis dapat
4
menghilangkan sumber infeksi, mengoreksi deformitas, dan mempertahankan stabilitas, mengatasi komplikasi neurologis, mengurangi nyeri, serta mobilitas jadi lebih baik.(6,7) BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Vertebra
5
Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang (columna vertebralis)
Columna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang, di antara tiap dua ruas tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Secara anatomis setiap ruas tulang belakang akan terdiri dari dua bagian : 1. Bagian depan Bagian ini struktur utamanya adalah badan tulang belakang (corpus vertebrae). Bagian ini fungsi utamanya adalah untuk menyangga berat badan. Di antara dua korpus vertebra yang berdekatan dihubungkan oleh struktur yang disebut diskus intervertebralis yang bentuknya seperti cakram, konsistensinya kenyal dan berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber). 2. Bagian belakang Bagian belakang dari ruas tulang belakang ini fungsinya untuk: Memungkinkan terjadinya pergerakan tulang belakang itu sendiri. Hal
ini dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian. Fungsi perlindungan, oleh karena bagian ini bentuknya seperti cincin dari tulang yang amat kuat dimana di dalam lubang di tengahnya
terletak sumsum tulang belakang (medulla spinalis/spinal cord) Fungsi stabilisasi. Karena fungsi tulang belakang untuk manusia adalah sangat penting, maka fungsi stabilisasi ini juga penting sekali. Fungsi ini didapat oleh kuatnya persendian di bagian belakang yang diperkuat oleh adanya ligamen dan otot-otot yang sangat kuat. Kedua struktur terakhir ini menghubungkan tulang belakang baik dari ruas ke ruas yang berdekatan maupun sepanjang tulang belakang mulai dari servikal sampai kogsigeal.
6
Seluruh rangkaian tulang belakang terdiri dari 33 ruas yaitu : 7 ruas tulang leher (servikal), 12 ruas tulang dada (torakal), 5 ruas tulang pinggul (lumbal), 5 ruas tulang duduk (sakral) dan 4 tulang ekor (kogsigeal). o Vertebra Servikalis terbentuk dari 7 ruas tulang vertebra, vertebra sevikalis pertama dan kedua dimodifikasikan untuk menyangga dan menggerakan kepala. Corpus dari vertebra yang paling atas adalah Atlas dan yang menyatu dengan vertebra dibawah adalan Aksis.
Gambar 2. Rangkaian ruas vertebra servikalis
o Vertebra Torakalis Vertebra torakalis terbentuk dari 12 ruas tulang vertebra, memiliki prosesus spinosus panjang yang melengkung kebawah dan processus transversus panjang dengan facet untuk tuberkulum costae. Vertebra torakalis merupakan regio kolumna vertebralis yang paling stabil dengan limitasi gerak lebih dominan karena stabilisasi rongga toraks. Gambar 3. Ruas vertebra torakalis
o Vertebra Lumbalis Verterbra lumbalis terbentuk dari 5 ruas tulang vertebra, 7
merupakan vertebra terpanjang dan terkuat. Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil. Gambar 4. Ruas Vertebra Lumbalis
o Vertebra Sakralis Dimana sacrum adalah tulang triangular. Bagian dasar tulang ini berartikulasi dengan vertebra lumbal kelima. Terdapat 5 tulang dibagian ini ( S1S5 ). Tulang-tulang bergabung dan tidak memiliki celah atau diskusi intervertebra satu sama lainnya.
Gambar 5. Anatomi ruas vertebra sakralis
Vaskularisasi 8
Pembuluh darah yang memperdarahi tulang-tulang vertebralis berasal dari aorta asenden yang memperdarahi vertebra servikalis dan desenden yang memperdarahi sisa vertebra lainnya. Aorta asenden akan bercabang menjadi brachiocephalic trunk, common carotid, dan arteri subklavia. Brachiocephalic trunk akan terbagi menjadi arteri subklavia dan common carotid. Aorta desenden berjalan bersamaan dengan kolum vertebralis, dimana pada setiap vertebralis akan terdapat percabangan dari aorta desenden, seperti thoracic segmental arteries dan lumbal segmental arteries yang juga memperdarahi medulla spinalis dan tulang iga. Vena yang memperdarahi tulang vertebra servikalis adalah vena jugularis interna dan eksterna yang merupakan percabangan dari vena kava superior. Sedangkan vena yang memperdarahi tulanga vertebra lainnya berasal dari vena kava inferior. Selain itu, vena azygos berkomunikasi dengan pleksus Batson yang berfungsi sebagai jalur alternative ketika vena kava superior teroklusi, maupun secara parsial atau total. Pleksus Batson berjalan pada foramen vertebralis, merupakan vena yang tidak memiliki katup.
2.2 Definisi Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium Tuberculosa yang mengenai tulang vertebra. Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott ( Pott’s Disease ) bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.(7) 2.3 Epidemiologi Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, terdapat 9 juta kasus TB baru dan 1,5 juta penduduk dunia meninggal akibat infeksi kuman tuberkulosa. Indonesia menempati peringkat kelima setelah India, Tiongkok, Nigeria dan Pakistan
9
sebagai negara yang memiliki jumlah penderita TB terbanyak, dengan jumlah 410.000 – 520.000 kasus TB. (2) Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.(8) Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum longitudinal anterior terjadi sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan.(9)
2.3. Etiologi Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 μm.(9) 2.4. Klasifikasi 10
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal 3 bentuk Spondilitis : A. Peridiskal / paradiskal Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal. B. Sentral Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalah artikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal. C. Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. D. Bentuk Atipikal Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di kanalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%.
Adapun klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan. Sistem klasifikasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, 11
antara lain ; formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I, II, dan III)(Tabel 1).(21)
Tabel 1. Klasifikasi Spondilitis TB menurut GATA (21)
12
Mengingat defisit neurologis merupakan salah satu komplikasi dari spondilitis tuberkulosa, maka begitu penting mengetahui sejauh mana / gradasi dari suatu defisit neurologis dari perjalanan penyakit pasien. Tingkatan ini merupakan indikator tidak langsung dari keparahan kompresi atau cedera tulang belakang. Selama pengobatan, penilaian neurologis serial dilakukan untuk mendeteksi peningkatan atau penurunan. Klasifikasi yang ideal seharusnya tidak hanya mengukur tingkat keparahan defisit neurologis akibat kompresi tetapi juga harus cukup sensitif untuk mendeteksi perubahan sekecil apapun dalam status neurologis pasien.(28) Tabel 2. Klasifikasi menurut Tuli ( Tuli’s Grade )(28)
Grade Grade I - Negligible
Pasien menyadari adanya defisit neurologis, dokter mendeteksi
Grade II - Mild
adanya tanda – tanda lesi UMN Pasien menyadari adanya defisit neurologis tapi masih bisa
Grade III - Moderate
berjalan dengan bantuan Tidak berdaya karena kelumpuhan (dalam ekstensi), defisit
Grade IV - Severe
sensorik kurang dari 50% Grade III + fleksor kejang / kelumpuhan pada fleksi / keadaan normal / defisit sensorik lebih dari 50% / sfingter yang terlibat
2.5.Patofisiologi Paru merupakan port d’entrée pada lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran bakteri sangat kecil yaitu 15 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.(9) Fokus utama penyakit tuberkulosis adalah visera (paru, ginjal, kelenjar getah bening), keterlibatan sistem muskuloskeletal terjadi melalui hematogen. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic 13
spread), kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru..(11,12,13) Ada konsensus umum menyatakan bahwa penyebaran tuberkulosis (TB) pada tulang belakang merupakan akibat penyebaran basil tuberkel secara hematogen dari fokus primer atau yang mengalami reaktivasi. Mycobacterium tuberculosis bisa tetap berada dalam kondisi dorman di dalam tulang belakang untuk waktu panjang sebelum muncul manifestasi klinis. (10) Sekali terendap di suatu tempat, organisme ditangkap oleh sel mononuklear. Sel mononuklear kemudian menyatu ke dalam sel epitheloid, dan tuberkulum terbentuk saat limfosit membentuk cincin di sekitar sekelompok sel epitheliod. Kemudian terbentuk pengkejuan di pusat tuberkulum tersebut. Respons inflamasi tubuh meningkat, mengakibatkan eksudasi dan pencairan, dan terbentuklah cold abscess. Cold abscess terdiri dari serum, leukosit, pengkejuan, debris tulang, dan basil. Hasilnya tergantung pada karakteristik dan sensitivitas organisme, status sistem kekebalan tubuh host, tahap penyakit, dan pengobatan. Hasil akhir mungkin meliputi resolusi dengan minimal atau tanpa morbiditas, sembuh dengan deformitas sisa, dinding lesi menghilang dengan kalsifikasi jaringan pengkejuan, lesi granular kronis derajat ringan, dan penyebaran lokal atau milier penyakit yang dapat menyebabkan kematian.(9) Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.(14).
14
Bagan 1. Patofisiologi Spondilitis TB
Reaksi tubuh manusia setelah terserang kuman tuberkulosis dibagi menjadi 5 stadium, yaitu :(4) 15
o Stadium I (Implantasi) Stadium ini terjadi awal, bila keganasan kuman lebih kuat dari daya tahan tubuh. Pada umumnya terjadi pada daerah torakal atau torakolumbal soliter atau beberapa level o Stadium II (Destruksi awal) terjadi 3 - 6 minggu setelah implantasi. Mengenai diskus intervertebralis. o Stadium III (Destruksi lanjut dan kolaps) terjadi 8 - 12 minggu setelah stadium II. Bila stadium ini tidak diterapi maka akan terjadi destruksi hebat dan kolaps dengan pembentukan bahan pengejuan dan pus (cold abscess). o Stadium IV (Gangguan Neurologis) terdapat komplikasi neurologis, dapat berupa gangguan motoris, sensoris dan otonom. o Stadium V (Deformitas dan Akibat) biasanya terjadi 3 - 5 tahun setelah stadium I. Kifosis atau gibus tetap ada, bahkan setelah terapi. Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif. (14) Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari: (15) 1) Usia dan Jenis kelamin Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen. Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi.
Sebelum
pubertas, lesi primer di paru merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14 tahun. 16
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru. Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun. 2) Nutrisi Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap penyakit. 3) Faktor toksik Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain. 4) Penyakit Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa. 5) Lingkungan yang buruk Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh. 6) Ras Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.
2.6. Manifestasi Klinis Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan menolak untuk menggerakkan punggungnya, sehingga seakan - akan kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. 17
Keluhan deformitas pada tulang belakang (kifosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut (gambar 6), merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif. Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia atau tanpa paraplegia. Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal.(5,15,16)
Gambar 6. Tampak gambaran gibbus pada vertebra pasien dengan Spondilitis Tuberkulosa
2.7. Penegakkan Diagnosis
18
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.(5,16) Untuk menegakkan diagnosis Spondilitis Tuberkulosa,dilakukan beberapa hal yang merupakan faktor penting : a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis o Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas. o Riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa. Inspeksi o Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
19
o Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung. o Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal. o Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). o Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis. o Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan pinggul dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul. 20
o Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi. o Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan
refleks
tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal. o Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa. Palpasi o Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. o Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena. Perkusi o Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. b) Pemeriksaan Penunjang Uji Intradermal
21
Pemeriksaan kulit intradermal untuk mendapatkan respons inflamasi telah banyak digunakan. Ini termasuk tes Mantoux, tes Heaf dan tes Tine. Pemeriksaan ini relatif murah dan secara teknis mudah. Namun kelemahannya harus dibaca pada saat tertentu mengikuti waktu inokulasinya; hal ini dapat menyebabkan ketidakakuratan jika pasien tidak kembali pada saat yang ditentukan. Hasil positif palsu karena pasien peka dengan vaksinasi BCG (Bacilli Calmette Guerin) atau paparan terhadap lingkungan mycobacterium. Negatif palsu terjadi karena imunosupresi HIV, atau infeksi tuberkulosis sitotoksik atau kejadian luar biasa serta malnutrisi. Uji tuberkulin umumnya dipakai untuk mengetahui seseorang telah terinfeksi kuman tuberkulosis atau menentukan tuberkulosis laten. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis tinggi uji tuberkulin kurang berarti sebagai alat bantu diagnostik penyakit pada dewasa.(17,18) Pemeriksaan Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebropinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan biopsi jaringan (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH) dapat dibuatkan sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan ditambahi NaCl 0,9% 3 – 5 ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan bakteriologi cara mikroskopis biasa dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan mikroskopis fluoresens dengan pewarnaan auramin-rhodamin.(17) Pemeriksaan Hematologi Hitung leukosit biasanya normal dan terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang rata-rata mencapai 100 mm/jam. Pada beberapa kasus anemia terjadi akibat penyakit yang bersifat kronis dan faktor malnutrisi. Dapat juga ditemukan hypoalbuminemia.(18) Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Temuan histologi pada infeksi TB jaringan adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma epiteloid), sel datia langhans dan nekrosis kaseosa.(30) Sel epiteloid adalah sel mononuklear yang memfagositosis basil tuberkulosis dengan sisa-sisa lemak kuman pada sitoplasmanya.(31) Granuloma epiteloid dapat ditemukan pada 89 persen spesimen 22
yang merupakan gambaran khas histologi infeksi TB. Superinfeksi kuman piogenik telah dilaporkan pada beberapa kasus. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi. Sebaiknya diambil 2 sediaan biopsi, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.(17) Adanya granuloma pengkejuan dengan temuan bakteri tahan asam/Acid Fast Bacilli (AFB) merupakan diagnostik. Granuloma adalah kecurigaan suatu tuberkulosis dan diagnosis tergantung pada konteks klinis.(18)
Gambar 7. Ilustrasi Gambaran Histologis Granuloma TB
Gambar 8. Penampang Histologis Granuloma TB
Pemeriksaan Radiologis Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi : (10,19) a. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal). b. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3 - 8 minggu onset penyakit. Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral c. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
23
anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous d. Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal. e. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses). Computed Tomography – Scan (CT) Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan. Pemeriksaan CT – Scan dapat menggambarkan keadaan sklerosis dan proses destruksi tulang dalam korpus vertebrae. Selain itu, gambaran abses epidural, fragmentasi tulang, kompresi kanalis pinalis juga terlihat sangat baik. CT mielografi dapat mengevaluasi medula kompresi medula spinalis, jika tidak tersedia Magnetic Resonance (MR). CT juga dapat untuk panduan biopsi perkutaneus struktur tulang maupun jaringan lunak yang terinfeksi.(20) Magnetic Resonance Imaging (MRI) Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif serta membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya
adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses. 24
Gambar 9. Gambaran MRI tulang belakang 2.8. Diagnosis Banding Diagnosis banding Spondilitis Tuberkulosis antara lain : 1) Spondilitis Non-Tuberkulosis(15) a. Infeksi Piogenik dan Enterik Contohnya karena staphylococcal / suppurative spondylitis, tifoid, paratifoid. Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu, keterlibatan dua atau lebih korpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain. Pada infeksi enterik, perbedaan dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium. b. Spondilitis ankilosa Suatu penyakit inflamasi progresif, biasanya mengenai pria dewasa muda, sering disertai riwayat penyakit keluarga (95% pasien membawa antigen leukosit manusia; HLA-B27). Gambaran radiologis : sakroilitis biasanya ditemukan sebelum pemeriksaan radiografi dengan pengaburan dan batas tidak tegas pada tepi sendi, kemudian terjadi erosi dan sklerosis tulang yang 25
menyebabkan kecenderungan terjadinya penyatuan sendi sakroiliaka komplit. Biasanya mengenai dua sendi (bilateral), dibedakan dengan TB yang unilateral. Selain itu, pada region lumbar akan berlanjut pada verterbra torakal dan servikal. Gambaran yang paling sering adalah squaring pada badan vertebra pada pembentukan tulang baru pada korpus vertebra anterior dan terisinya kecekungan bagian anterior yang normal oleh kalsifikasi ligamen longitudinal ; kalsifikasi ligamen spinal lateral dan anterior untuk menghasilkan gambaran bamboo spine yang klasik. c. Scheuermann’s Disease Penyakit ini mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebra, kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. 2) Metastase Tulang(22) Metastase tulang merupakan tumor tulang ganas yang paling sering. Metastase terutama menyebar ke tulang-tulang yang mengandung sumsum sehingga lebih sering ditemukan pada tulang-tulang axial. Setiap tumor primer dapat bermetastase ke tulang, namun metastase yang paling sering adalah: o Payudara : memiliki insidens yang tinggi untuk deposit tulang, biasanya bersifat litik namun dapat sklerotik atau campuran, merupakan penyebab deposit sklerotik yang paling sering pada wanita. o Prostat : hampir selalu sklerotik, deposit litik jarang ditemukan, merupakan penyebab deporit sklerotik pada pria. o Paru : deposit litik; deposit perifer di tangan dan kaki jarang, namun jika ada cenderung berasal dari karsinoma bronkus. o Ginjal dan Tiroid : Litik dan dapat sangat vaskuler dengan terjadinya perluasan tulang.
26
o Kalenjar adrenal : Secara dominan bersifat litik. Gambaran radiologis dari metastase tulang dapat litik atau sklerotik : Deposit Litik : gambaran utama berupa destruksi tulang dengan batas yang tidak jelas dan dapat menyebabkan fraktur patologis. Reaksi periosteal lebih jarang jika dibandingan tumor ganas primer. Deposit Sklerotik : terlihat sebagai peningkatan densitas yang tidak berbatas tegas diikuti hilangnya arsitektur tulang. Lesi sekunder pada vertebra dapat berupa pedikel yang sklerotik. Dengan adanya lesi multiple, diagnosa
metastase
hampir
dapat
dipastikan.
Metastase
dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya korpus vertebra tetapi berbeda dengan
spondilitis
tuberkulosa
karena
ruang
diskusnya
tetap
dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas
3) Trauma(23) Pemeriksaan yang dilakukan pada trauma tulang belakang umumya adalah ; pemeriksaan konvensional, tomografi konvensional, CT- Scan atau CT mielo. MRI Tergantung pada indikasinya. Dan pemeriksaan konvensional masih pemeriksaan utama dan yang lain melengkapi untuk evaluasi lebih mendetail. Pemeriksaan radiologi tergantung pada keadaan pasien pada pasien dengan trauma berat ( tidak sadar, fraktur multiple, dan sebagainya ) pemeriksaan dilakukan dengan hati – hati dan semua foto harus dibuat dengan posisi terlentang dan manipulasi seminimal mungkin. Foto yang terpenting adalah foto lateral dengan pasien berbaring dan sinar horizontal.
27
Mekanisme cedera biasanya bersifat kompresi dan trauma langsung. Pada kompresi dapat terjadi fraktur kompresi dan pada trauma langsung dapat timbul fraktur elemen posterior vertebra, korpus vertebra dan iga di dekatnya. Pada fraktur kompresi tampak korpus vertebra berbentuk baji pada foto lateral. Pada foto AP adanya pelebaran bayangan mediastinum di daerah yang bersangkutan menunjukan adanya hematom paravertebral. Pada daerah torakolumbal dan lumbal, mekanisme terjadi bersifat fleksi, ekstensi, rotasi, atau kompresi vertikal. Trauma fleksi merupakan yang paling sering dan menimbulkan fraktur kompresi. Trauma rotasi paling sering terjadi pada torakolumbal ( Tx – L1 ) dan dapat menimbulkan fraktur dislokasi disebabkan karena kerusakan pada elemen posterior vertebra. Pengendara mobil dapat mengalami seat belt injury ( chance fracture ) didaerah lumbal jika kendaraan melaju cepat dan mendadak direm. Trauma vertebra terjadi karena fleksi tulang belakang dan menyebabkan kerusakan pada elemen posterior vertebra.
2.9. Manajemen Terapi Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan
28
TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Pada sidang WHO ke-67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan: 1) Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015. 2) Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk). Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah ; 1) Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit, 2) Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis. Terapi Konservatif a) Pemberian nutrisi yang bergizi b) Pemberian Obat Anti Tuberkulosa ( OAT ) Sebelum ditemukannya OAT yang efektif, penganganan spondilitis TB hanya dengan metode imobilisasi, yaitu tirah baring dan korset/bidai. Mortalitas dan angka relaps sangat tinggi saat itu. Sekarang, penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan mengobati defi sit neurologis, serta memperbaiki kifosis. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip : 29
Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi Diberikan dalam dosis yang tepat Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud : Tahap Awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun selama 2 minggu. Tahap Lanjutan : Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten, sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Umumnya, komposisi OAT yang digunakan pada TB paru juga dapat digunakan pada TB ekstra paru dengan durasi yang masih berbeda-beda menurut para ahli.(26) Pada sub bagian bedah orthopedi FKUI-RSCM, untuk terapi medikamentosa regimen yang biasanya dipergunakan ialah kombinasi 4 kemoterapi (RHZE) dimana etambutol dan pirazinamid diberikan dalam 2 bulan pertama, kemudian INH dan rifampisin diberikan selama 12 bulan. Menurut World Health Organization (WHO), kemoterapi sebaiknya diberikan setidaknya selama 6 bulan. British Medical Research Council
30
menyarankan untuk spondilitis TB torakolumbal dilakukan kemoterapi OAT selama 6-9 bulan.(26)
Tabel 3. OAT Lini Pertama
Jenis
Sifat
Efek Samping
Isoniazid (H)
Bakterisidal
Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin (R)
Bakterisidal
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urin berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopenia, demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal
Gangguan gastrointestinal,gangguan fungsi hati, gout artritis
Streptomisin (S)
Bakterisidal
Nyeri di tempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia agranulositosis, trombositopenia
Etambutol (E)
Bakteriostatik
Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
Tabel 4. Dosis Rekomendasi OAT pada Anak (<12 tahun) dan Dewasa
31
Dosis mg/kgBB (dosis maksimum) Obat
Harian
2x/minggu
3x/minggu
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
INH
10-20
5
20-40
20-40
20-40
15
RIF
10-20
10
10-20
10-20
10-20
10
PRZ
15-30
15-30
50-70
50-70
50-70
50-70
ETB
15-25
15-25
50
25-30
25-30
25-30
SM
20-40
12-18
25-30
25-30
25-30
25-30
Keterangan : INH;Isoniazid,
RIF;Rifampisin,
PRZ;Pirazinamid,
ETB;Etambutol,
SM;Streptomisin. Dosis berdasarkan berat badan harus disesuaikan pertambahan berat badan. Semua pasien yang menerima dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya. PRZ dan SM tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk pasien anak karena sulit diobservasi fungsi visualnya. 32
Pada pasien – pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik. Multi Drugs Resistance (MDR) dijumpai pada 1,8-5% kasus. Biasanya menyebabkan kegagalan terapi medis dan operatif, ditunjang hasil sensitivitas. Saat MDR ditegakkan maka pengobatan diubah menjadi amikasin atau kanamisin (6 bulan), ofloksasin, etionamide, etambutol, PZA, INH, dan RIF dapat dipertimbangkan untuk mencegah resistensi. Protokol MDR juga mengharuskan injeksi intravena golongan aminoglikosida sehingga membutuhkan kepatuhan pasien dan dukungan keluarga. Pemberian subkutan dapat dipertimbangkan pada anak untuk menghindari nyeri akibat injeksi intramuskular.(18) Pemberian natrium diklofenak yang termasuk golongan obat antiinflamasi nonsteroid ditujukan untuk pengobatan akut dan kronis gejala-gejala rheumatoid arthritis, osteoartritis dan ankilosing spondylitis. Obat ini memiliki aktivitas antiinflamasi,
analgesik
dan
antipiretik
dengan
menghambat
enzim
siklooksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat sehingga mengurangi nyeri yang dialami oleh pasien.(18) Pemberian Vit B1, B6, dan B12 ditujukan untuk suplemen atau terapi if, seperti vitamin B1 bermanfaat untuk membantu mengatasi gejala kelelahan karena sifatnya yang dapat berperan dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi dan dapat mengurangi penumpukan asam laktat. B6 diberikan untuk mengantisipasi efek samping dari pemberian rifampisin, sedangkan vitamin B12 dapat membantu pembentukan sel darah merah yang akan digunakan untuk menghasilkan oksigen yang akan diberikan ke seluruh jaringan dan mencegah terjadinya hipoksia terutama sistem persarafan. Kombinasi ketiganya juga dapat mempengaruhi pembentukan serotonin dimana serotonin sangat terlibat dalam proses relaksasi.(23, 24)
c) Tirah Baring(24,26) 33
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket, sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. d) Tindakan Operatif Terapi konservatif memberikan hasil yang baik, namun pada kasus tertentu diperlukan tindakan operatif. Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Indikasi tindakan operatif antara lain : (25, 26) Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis
dan radiologis memburuk Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multiple Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit
neurologik, terdapat abses paravertebral Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak
dapat ditanggulangi hanya dengan OAT Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak Meskipun beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaaan
yang signifikan spondilitis tuberkulosa yang diterapi konservatif maupun operatif, namun ada beberapa keunggulan dari tindakan operatif. Keunggulan tersebut antara lain kejadian kifosis lebih sedikit, pembebasan jaringan saraf yang terkompresi dengan cepat, nyeri lebih cepat berkurang, tingginya persentasi dari 34
fusi tulang, fusi tulang yang lebih cepat, tingkat relaps yang lebih rendah, dapat kembali beraktivitas lebih cepat dan lebih sedikit kehilangan jaringan tulang.(25) Prof. Subroto Sapardan pada tahun 1984 mengembangkan pendekatan tata laksana total spondilitis TB untuk mengatasi beragam masalah spondilitis tuberkulosis pada anak, dewasa maupun orang tua. Khusus pada penderita anak, evaluasi jangka panjang pendekatan tata laksana total spondilitis tuberkulosis menyisakan beberapa masalah seperti kelainan postural, disproporsional panjang badan terhadap panjang tungkai, deformitas tulang belakang dan implant failure. Tata laksana total yang diperkenalkan oleh Prof. Subroto Sapardan dari Universitas Indonesia tahun 1984 merupakan panduan penatalaksanaan untuk spondilitis tuberkulosis dengan membagi sepuluh alternatif pengobatan yang memudahkan seorang ahli bedah memilih jenis tindakan yang sesuai dengan perkembangan penyakitnya. Tatalaksana Total Subroto Sapardan bertujuan menyembuhkan infeksi, mencapai tulang belakang yang stabil dan bebas dari rasa sakit, tanpa deformitas serta mengembalikan fungsi tulang belakang dan organ yang terlibat sehingga memungkinkan penderitanya dapat kembali ke kehidupan sosial, keluarga dan lingkungan kerjanya.(29) Dahulu seperti yang diketahui bersama, Prof. Subroto Supardan telah mengembangkan metode terapi yang menggabungkan tindakan konservatif dan operatif berdasarkan masalah yang ada pada masing-masing pasien, metode tersebut terdiri dari 11 protokol yang meliputi : (29) 1. Konservatif dengan obat-obatan 2. Operasi untuk evakuasi abses 3. Hongkong method, debridement anterior dan fusi anterior 4. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method pada pasien spondilitis TB dengan deformitas kifosis yang tidak kaku. 5. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method dan shortening pada penderita spondilitis TB dengan deformitas kifosis yang kaku. 6. Hongkong method disertai dengan instrumentasi anterior. 7. Instrumentasi posterior dan debridement melalui costotraversectomy dapat disertai shortening pada lamina dan pedikel. 8. Instrumentasi posterior saja pada pasien yang dilakukan total posterior shortening atau pada pasien yang dilakukan posterolumbar intervertebral fusion. Hal ini dilakukan pada pasien spondilitis TB dengan deformitas kifosis di lumbal.
35
9. Hanya
dilakukan
tindakan
posterior
debridement,
laminektomi,
biopsi
transpedikuler dan instrumentasi. Hal ini dilakukan bila tidak ada abses, operasi anterior dipertimbangkan resikonya lebih besar. 10. Spondilitis yang sudah sembuh dengan kifosis berat (>60°) terutama pada defisit neurologis dilakukan tindakan posterior dan shortening lamina, pedikel dan korpus. 11. Spondilitis TB dengan deformitas >90° disertai kelumpuhan atau paralisis spastik dilakukan tindakan dekompresi medula spinalis dan fusi minimal dengan atau tanpa koreksi. (29) Pada perkembangannya, Tahapan Tatalaksana Total Subroto Sapardan dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu : mengidentifikasi dan klarifikasi masalah yang ada, membuat daftar modalitas operasi mulai dari konservatif sampai invasif, menyesuaikan daftar masalah dengan pengobatan yang tepat untuk masing-masing pasien, dan memberikan sepuluh pilihan pengobatan dari sepuluh alternatif yang tersedia. Metode Tata Laksana Total Subroto Sapardan juga meliputi 10 alternatif, yaitu: (29)
Alternatif 1: Metode konservatif dengan obat - obatan dan penyangga tubuh dari luar untuk keadaan infeksi stadium dini, keadaan umum baik, keluhan minimal dan pasien atau keluarga yang tidak bersedia dilakukan operasi.
Alternatif 2: Operasi untuk evakuasi abses, dilakukan pada kasus infeksi dengan abses dingin yang besar tetapi dengan lesi tulang yang minimal dengan atau tanpa nyeri.
Alternatif 3: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi anterior, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi di daerah torakolumbal dengan kifosis minimal (< 10°) dengan atau tanpa nyeri.
Alternatif 4: Operasi dengan pendekatan anterior dan posterior satu tahap, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi dengan tulang belakang yang tidak stabil dan nyeri hebat.
Alternatif 5: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi anterior, atau pendekatan anterior dan posterior satu tahap, debridemen dan fusi spontan untuk kasus infeksi dengan kifosis yang kaku, dengan atau tanpa nyeri. 36
Alternatif 6: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi di daerah torakal.
Alternatif 7: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi di daerah lumbal disertai kifosis sedang (< 75°).
Alternatif 8: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi di daerah lumbal disertai kifosis moderate (75-89°).
Alternatif 9: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen, distraksi dan fusi untuk kasus infeksi dengan defisit neurologi disertai kifosis berat (> 90°).
Alternatif 10: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen, distraksi dan fusi untuk kasus infeksi tanpa kelainan neurologis disertai kifosis berat (> 90°).
37
2.10. Komplikasi Komplikasi yang bisa terjadi : (8) a) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuester tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat terapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. b) Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.
2.11. Prognosis
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi. Kepatuhan terapi dan resistensi obat juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kesembuhan. Prognosis pasien dengan spondilitis TB juga dipengaruhi oleh usia, deformitas kifotik, letak lesi, defisit neurologis, diagnosis dini, kemoterapi, fusi spinal, komorbid, tingkat edukasi dan sosioekonomi. Faktor usia muda dihubungkan dengan prognosis yang lebih baik.
(27)
Mortalitas pasien spondilitis
tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat). Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%. Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.(27) Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara 38
umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini. Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis tuberkulosa.(27)
BAB III KESIMPULAN
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda. Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity, In : Fundamentals of Anatomy and Physiology, 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001 : 132,151 2. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. Geneva: WHO Press; 2014. 3. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi, Edisi ke – 2. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2003 : 195 – 197 4. Hidalgo JA, Alangaden G. Pott’s Disease ( Tuberculous Spondylitis ). Available at : http://www.emedicine.com/. Diakses pada : 7 Januari 2017. 5. Fang D, Leong J.C., Harry S.Y. Tuberculosis Of The Upper Cervical Spine. Departement of Orthopaedic Surgery, University of Hong Kong 6. Herkowitz HN, Garfin SR, Eismont FJ, Bell GR, Balderston RA. Minimally Invasive Posterior Surgical Approaches The Lumbar Spine dalam Simeone R,editor, Edisi ke – 5. Philadelphia : Saunders Elsevier, 2006 : 333 – 41 7. Wim de Jong. Spondilitis TBC. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC, 2005 8. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nd ed. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388 9. Salter B. Tuberculous osteomyelitis. In : The Musculoskeletal System. 2nd Ed. New York : Williams & Wilkins.1984.p.186 – 9 10. De Backer A,I., Mortele K.J., Vanschoubroeck I.J. Tuberculosis of The Spine: CT and MR Imaging Feature. Proceedings of The SRBR-KBVR Osteroarticular Section. 2005:92-7 11. Tuli SM. General principles of osteoarticular tuberculosis. Clin Orthop Rel Res 2002;398:11-9 12. Tuli SM. Tuberculosis of the Skeletal System: Bones, ts, Spine and Bursal Sheaths, 3rd ed. Bangalore: Jaypee Brothers, 2004 13. Tuberculous Spondilytis. Available at http://www.orthoguide.co.id . Accessed on February 2017 14. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : Springer-Verlag, 1997 : 378-87 15. Milenkovićs, Saveski J, Hasani I. Late Diagnosed Cervical Spine TBC Spondylitis: Case Report, Scientific Journal of the Faculty of Medicine in Niš. 2012;29(4):205-11 16. Li. Y. W. A case of cervical tuberculous spondylitis: an uncommon cause of neck Pain. Hong Kong Journal of Emergency Medicine. Hong Kong j. emerg. med. Vol. 14(2). Apr 2007 17. Tim Kelompok Kerja TB Perhimpunan Dokter Spesialis Paru (PDPI). Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta, 2011 18. Dunn R. The medical management of spinal tuberculosis. SA Orthopaedic J. 2010:37 19. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletal Imaging: A Concise Multimodality Approach. New York : Thieme, 2001 : 150, 334-36 40
20. E L H J Teo, W C G Peh. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004 Vol 45(9):439-45 21. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, et al. A new classifi cation and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics (SICOT). 2008; 32:127–33 22. Ikayuda I. Tumor Tulang dan Lesi yang menyerupai Tumor tulang. Radiologi Diagnostik edisi 2.Jakarta.Balai Penerbit FKUI.2005 : 74-84 23. Treatment of Tuberculosis: guidelines. Edisi ke-4. Geneva: World Health Organization Press; 2010 24. Sudjadi CV. Pengaruh Pemberian Tablet Kombinasi Vitamin B1, B6, dan B12 Terhadap Kelelahan Otot. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010 25. Sell P. Expert's comment concerning Grand Rounds case entitled "Posterior listhesis of a lumbar vertebra in spinal tuberculosis (by Matthew A. Kirkman and Krishnamurthy Sridhar). Eur Spine J. 2011; 20(1):6-8 26. Zuwanda, Janitra R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK. 2013; 40(9):661-73 27. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: A review. The Journal of Spinal Cord Medicine. 2011; 34(5):44054 28. Jain AK, Kumar S & Tuli SM. Tuberculosis of spine (C1−D4). Spinal cord1999; 37: 362−369. 29. Salim R, Kurniawati T, Setiawaty V. Preservasi kolum posterior dengan menggunakan teknik debridement invasi minimal pada penderita spondilitis tuberkulosis torakal umur 2 tahun. Media Litbangkes 2015; 25: 9-18. 30. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. Sept 2006.Vol.39. No.3 31. Tay BKB, Deckey J, Hu SS. Spinal Infections. J Am Acad Orthop Surg. 2002;10:188-97.
41