Adat Istiadat Daerah Batak
Sistem Kekerabatan Suku Batak
Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis.Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis.Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masingmasing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka.Satu puak bisa memiliki banyak marga. Marga pada Batak Karo terdapat 5 marga, yaitu marga Karo-karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima marga tersebut terdapat submarga lagi. Total submarganya ada 84. Adapun Batak Toba, dikatakan sebagai marga ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede. Pada suku Batak Pakpak, mereka diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dinamakan sulang silima yang terdiri dari lima unsur, yaitu Sinina tertua (Perisang-isang, keturunan atau generasi tertua), Sinina penengah (Pertulan tengah, keturunan atau generasi yang di tengah), Sinina terbungsu (perekur-ekur, keturunan terbungsu), Berru yakni kerabat penerima gadis, dan Puang yakni kerabat pemberi gadis. Kelima unsur ini sangat berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks
komunitas lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang diambil menjadi sah secara adat. Lalu pada Batak Simalungun terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba.Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon (permusyawaratan besar) antara empat raja besar dari masing-masing raja tersebut, untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan. Sementara pada Batak Mandailing hanya dikenal beberapa marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Kelompok kekerabatan Batak diambil dari garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya. Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias. Untuk menentukan seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana, mereka menggunakan Torombo.Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam sebuah marga.Orang Batak meyakini, bahwa kekerabatan menggunakan Torombo ini dapat diketahui asalusulnya yang berujung pada Si Raja Batak. Bagi Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan Debata Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di daerah bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat tinggal Si Raja Batak dan keturunannya.Daerah ini adalah tanah Batak, dimana tempat seluruh orang Batak berasal.
Perkawinan
Bagi bangasa Batak, khusunya Batak Toba, sesama satu marga dilarang saling mengawini. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga seseorang.Juga supaya keturunan marga tersebut dapat berkembang.Ini menunjukan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan marga memiliki kedudukan yang tinggi. Bagi bangsa Batak, perkawinan mengandung nilai sakral.Oleh karenya kesakralan tersebut harus disertai dengan sebuah adat perkawinan.Dikatakan sakral karena bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan.Ia “berkorban” memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuan kepada orang lain pihak paranak, pihak penganten pria. Pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor sapi atau kerbau. Hewan tersebut akan menjadi santapan atau makanan adat dalam ulaon unjuk (adat perkawinan Batak). Terdapat beberapa rangkaian upacara adat perkawinan bangsa Batak. Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata atau lamara. Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih lanjut mengenai rencana perkawinan serta pestanya.Ketiga adalah Patua Hata, yakni para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang amat serius. Keempat adalah rangkaian yang dinamakan Marhata Sinamot, yakni pihak pria mendatangi pihak wanita untuk membicarakan uang jujur atau dalam bahasa Batak adalah tuhor.Selanjutnya adalah Pudun Sauta atau makan bersama kedua belah pihak.Makanan yang dibawa berasal dari pihak pria. Lalu dilanjutkan dengan rangkaian keenam yakni Martumpol, yaitu penandatanganan surat perstejuan kedua belah pihak. Kemudian rangkaian ketujuah adalah Martonggo Raja, yaitu seremoni atau pernikahan yang akan digelar. Prosesi ini memberitahukan kepada masyarakat mengenai pernikahan yang akan digelar. Rangkaian kedelapan adalah Manjalo Pasu-pasu Parbagosan, yaitu pemberkatan kedua pengantin yang dilakukan oleh pihak gereja bila agama mereka adalah Kristen Protestan.Prosesi ini merupakan hal yang terpenting dan tak boleh dilewatkan karena orang Batak adalah penganut Kristen yang taat.Rangkaian terakhir adalah Pesta Unjuk.Prosesi ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan rangkaian pernikahan.Semua keluarga berpesata dan membagikan jambar atau daging kepada pihak keluarga. Rangkaian tersebut memang nampak ribet, rumit dan merepotkan.Tetapi itu merupakan suatu kebudayaan yang dimiliki salah satu suku bangsa Indonesia.
Upacara Kematian Adat Batak
Kematian. Satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi. Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau
lambat
akan
menjemput
kehidupan
dari
masing-masing
manusia.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua. Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia. Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu), 2.
Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).
Kesenian Daerah 1.
Tarian Daerah Tari Tor Tor
Tari Tor Tor Tari tor tor merupakan salah satu tarian tradisional yan berasal dari kebudayaan masyarakat Batak, Provinsi Sumatera Utara. Awalnya tarian ini hanya dikenal sebagian masyarakat suku batak yang meliputi daerah di sekitar Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Toba Samosir. Adapun karena keunikan dan juga nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, tarian ini sekarang sudah dikenal bahkan sampai ke mancanegara. Menurut sejarahnya, tari tor tor ini diperkirakan sudah ada sejak zaman batak purba. Di masa itu, tarian ini dipakai untuk tari persembahan bagi roh nenek moyangnya. Penggunaan properti berupa patung yang terbuat dari batu adalah ciri khas utama dari pertunjukan tari bernama tor tor di masa lampau. Patung batu ini bisa bergerak dan menari seiring dengan bunyi tetabuhan musik sesudah dimasuki oleh roh nenek moyang. Saat ini, penggunaan tari tor tor sebagai sarana ritual keagamaan sudah beralih fungsi sebagai sarana hiburan sekaligus juga media komunikasi diantara sesama warga. Oleh sebab itu, tari tor tor ini dibagi ke dalam 3 peruntukan, yakni tor tor pangurason, tor tor sipitu cawan, dan tor tor tunggal panaluan.
2. Alat Musik Tradisional Gordang
Gambar alat musik gordang Gordang juga termasuk kedalam alat musik tradisional Sumatera Utara yang dimainkan dengan cara dipukul, sebuah gendang dari taganing yang berperan sebagai pengatur ritme dan sangat serbaguna, itulah Gordang. Gordang merupakan instrumen musik yang terdiri dari 9 buah Gendang, bentuk dari Gordang sendiri adalah susunan dari gendang-gendang besar yang tersusun secara rapi dan urutan. Gordang biasanya dimainkan saat pertunjukkan upacara adat, penyambutan, acara pernikahan dan juga terkadang pada saat adanya “acara kematian”. Gordang umunya dimainkan dengan alat musik tradisional dari Sumatera Utara yang lainnya.
3. Pakaian Adat
Pakaian Adat Batak Toba Suku Batak sendiri sebetulnya terbagi-bagi menjadi beberapa subsuku. Salah satunya adalah sub-suku Batak Toba. Sesuai namanya, suku ini adalah suku batak yang mendiami daerah sekitar danau Toba, danau terluas di Asia Tenggara. Suku Batak Toba memiliki pakaian adat sehari-hari yang terbuat dari kain tenun khas Batak, yakni kain ulos. Secara umum,
kain ulos inilah yang menjadi identitas dan ciri utama pakaian adat Sumatera Utara di kancah nasional. Berikut adalah gambar dari seseorang yang mengenakan kain ulos. Kain ulos merupakan kain yang ditenun secara manual dari bahan benang sutra berwarna hitam, merah, dan putih dengan dihiasi motif berupa benang emas atau perak. Berdasarkan coraknya, kain ulos ada beragam jenisnya, antara lain yaitu Ulos Antakantak, Ulos Bintang Maratur, Ulos Bolean, Ulos Mangiring, Ulos Padang Ursa, Ulos Pinan Lobu-lobu, Ulos Pinuncaan, dan masih banyak lagi. Masing-masing motif memiliki filosofi dan kegunaan yang berbeda-beda. Pakaian Adat Mandailing Batak Mandailing adalah sub suku batak yang mendiami daerah di sekitar Kabupaten Tapanulis Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, serta Kabupaten Padang Lawas. Sub suku Batak ini memiliki pakaian adat yang nyaris serupa dengan Batak Toba, yakni berupa perpaduan kain ulos dengan beragam aksesoris lainnya.
4.
Rumah Adat
Ruma Bolon Rumah adat Batak Toba yang paling sering kalian lihat di media massa atau internet biasanya rumah yang ukurannya paling besar atau disebut Ruma Bolon. Biasanya Ruma Bolon ini menjadi ajang pamer antar-huta, karena biasanya setiap huta hanya memiliki satu Ruma Bolon.
Rumah Bolon/chandra Tapi sama seperti ukurannya, untuk membangun Ruma Bolon juga butuh tenaga, dana, dan waktu yang besar juga 5. Senjata Tradisional Senjata Tradisional Sumatera Utara - Piso Gaja Dompak Piso Gaja Dompak adalah senjata tradisional Sumatera Utara yang berbentuk pisau yang berfungsi untuk memotong dan menusuk. Senjata Tradisional Sumatera Utara tersebut dikenal Piso
Gaja Dompak karena pada gagang pisau tersebut terdapat ukiran berbentuk gajah. Piso Gaja Dompak dipercaya merupakan pusaka kerjaan Batak dimasa raja Sisingamangaraja I. Sebagai pusaka kerjaan, senjata tradisional Sumatera Utara ini tidak diperuntukan untuk membunuh, sebagai senjata pusaka Piso Gaja Dompak ini dipercaya memiliki kekuatan supranatural yang akan memberikan kekuatan spiritual kepada pemegangnya.