PRINSIP ETIKA BISNIS ISLAM MAKALAH Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Islam
Oleh : Kelompok 1 Herdi Dian
141002114
Makhrus
141002116
Abdul Karim
141002118
Isna Adistya
141002119
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS SILIWANGI 2014/2015
LEMBAR PENGESAHAN/PENERIMAAN
Makalah ini telah diterima pada hari…………………… tanggal………………….. oleh Dosen Mata Kuliah Etika Bisnis Islam,
Agus Ahmad N, SEI., M.Esy
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt. Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah mampu menyelesikan makalah yang berjudul “Prinsip Etika Bisnis Islam”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam. Etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character). Secara terminologis kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah Al-Qur’an yaitu al-khuluq (akhlaq). Prinsip Etika Bisnis Islam meliputi Tauhid, Justice, Free Will, Responsibility, Kindness Or Benevolence, Halal Dan Haram Earning Kami menyadari dalam penulisan makalah ini, kami banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. 2. 3. 4.
Dr. H. Cucu Hidayat, M. Pd., selaku ketua dekan; Hj. Lina Marlina, S.Ag., M.Ag., selaku ketua prodi; Joni Ahmad Mughni, M.Esy., selaku wali dosen; Agus Ahmad N, SEI., MEsy., selaku dosen mata kuliah Etika Bisnis Islam yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini; Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih
memiliki
banyak
kekurangan,
baik
dalam
hal
isi
maupun
sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan
saran
dan
kritik
yang
membangun
demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bisa
1
memberikan manfaat khisusnya bagi kami dan umumnya bagi kita semua. Amin. Tasikmalaya, 23 Februari 2015 Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i DAFTAR ISI…………..………………………………………………………….. ii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………..
1
B. Rumusan Masalah………………………………………. ……...
2
C. Tujuan Makalah………………………………………………... 2 D. Kegunaan Makalah…………………………………………….. 2 E. Prosedur Makalah……………………………………………… 3 BAB II
PEMBAHASAN A. Pengertian
Etika
…………………………………. 4 B. Prinsip Etika Bisnis Islam 2
Bisnis
Islam.
1. Tauhid……………………………………………………….5 2. Justice……………………………………………………….. 6 3. Free Will……………………………………………………..8 4. Responsibility……………………………………………… 12 5. Kindness
Or
Benevolence………..
………………………....13 6. Halal Dan
Haram
Earning…………………………………..14 BAB III
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan………………………………………………………..1 6 B. Saran…………………………………………………………….1 6
DAFTAR PUSTAKA………………………………………...…………………… 17
3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem Etika Bisnis islam berbeda dengan sistem etika sekuler.
Melalui
perkembangan
peradaban,
sistem
sekuler
mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis, karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilainilai
temuan
manusia.
Seperti
halnya
epicurianism
atau
kebahagiaan hanya untuk kebahagiaan itu sendiri. Sistem etika tersebut mengusulkan sebuah sistem penceraian antara etika dengan agama. Sedangkan kode moralitas yang diadopsi agama selain Islam lebih sering menekankan kepada pengkaburan eksistensi kehidupan manusia di muka bumi. Seperti halnya dalam agama Kristen misalnya,
terlalu
berlebihan
dalam
menekankan
kepada
monasticism (kebiarawanan) yang menganjurkan kepada para pengikutnya untuk menarik diri dari segala hiruk pikuk dan kesibukan hidup keduniaan. Lain halnya dengan sistem Islam, nilai moralitas etika Islam menanamkan anjuran akan hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena Allah SWT. Maha sempurna
lagi Maha Mengetahui, kode
etika seorang muslim sudah melampaui setiap batasan waktu ataupun perilaku bias dari kemanusiaan. Sistem etika Islam bisa ditekankan kapan saja, tidak terikat dengan satu masa tertentu, karena Allah sebagai sang pencipta dan para pencatatnya sangat
1
dekat dengan manusia sebagai hamba, dengan kedekatan yang tidak lebih jauh antara tenggorokan dan urat jakun. Bagi orang muslim, kemapanan paradigma konvensional akan arti manusia sebagai “homo economicus” (pelaku ekonomi yang mencari keuntungan bagi dirinya tanpa mengindahkan kepentingan orang lain) tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai etika Islam.
2
2
Oleh sebab itu, morality concept dalam perspektif Islam diusung pada saat pencerahan aksioma-aksioma yang sudah terlanjur kondang (dari sistem kapitalis misalnya). Alhasil, apresiasi manusia umum akan materi (proprty of wealth) pelan-pelan harus digeser melalui arahan rambu imperatif syariah. Pergeseran ini diharapkan dapat membantu bentukan sistem aplikasi manual dari mekanisme produk ekonomi syariah, karena muatan “tercerah” dan perspektif ini adalah adanya dimensi moral berbasis wahyu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
di
atas,
kami
merumuskan rumusan masalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4.
Apa Apa Apa Apa
yang dimaksud dengan etika? yang dimaksud dengan etika bisnis? yang dimaksud dengan etika bisnis islam? saja prinsip etika bisnis dalam islam?
C. Tujuan Makalah Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1. 2. 3. 4.
Untuk Untuk Untuk Untuk
mengetahui mengetahui mengetahui mengetahui
apa apa apa apa
yang dimaksud dengan etika. yang diamksud etika bisnis. yang dimaksud etika bisnis islam. saja prinsip etika bisnis dalam islam.
D. Kegunaan Makalah Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan pembelajaran etika bisnis islam
3
khususnya tentang prinsip etika bisnis islam. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi 1. penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang prinsip bisnis islam. 2. pembaca atau dosen, sebagai media informasi tentang prinsip etika bisnis islam baik secara teoritis maupun secara praktis.
E. Prosedur Makalah Makalah
ini
disusun
dengan
menggunakan
pendekatan
kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini kami akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas dan komperhensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka, artinya kami
mengambil
data
melalui
kegiatan
membaca
berbagai
literature yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut kemudian diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Bisnis Dalam Islam Etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character). Etika merupakan studi sistematis tentang tabia’at konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip
umum
mengaplikasikannya
yang
atas
membenarkan
apa
saja.
Disini
kita
untuk
etika
dapat
dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan disaat bersamaan juga sebagai filusufnya dalam berprilaku. Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral yang memuat keyakinan benar dan tidak sesuatu. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah bila melakukan sesuatu yang diyakininya tidak benar. Tindakan yang diambil olehnya harus ia pertanggung jawabkan pada diri sendiri. Begitu juga sikapnya
terhadap
orang
lain
bila
pekerjaan
tersebut
mengganggu atau sebaliknya mendapatkan pujian. Secara terminologis kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah Al-Qur’an yaitu al-khuluq (akhlaq). Etika Bisnis sebagai seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain etika bisnis berarti seperangkat prinsip dan norma dimana para pelaku bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berprilaku, dan berelasi guna unuk mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan
4
selamat. Selain itu, etika bisnis juga dapat berarti pemikiran tentang moralitas dalam ekonomi dalam ekonomi dan bisnis, yaitu tentang baik, buruk, terpuji, tercela, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari prilaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja.
5
5
Etika Bisnis Islam. Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis, berarti mempelajari tentang mana yang baik, buruk, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari prilaku manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis islam susunan diatas ditambah dengan halal dan haram, sebagaimana disinyalir oleh Husein Sahatah, dimana beliau memaparkan sejumlah prilaku etis bisnis (akhlaq al-islamiyah) yang dbungkus dengan batasan syari’ah.
B. Prinsip Etika Bisnis Ekonomi Islam Ada enam prinsip etika bisnis ekonomi islam, diantaranya adalah : 1. Tauhid Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sempurna atas makhluk-makhluk-Nya.
Konsep
tauhid
(dimensi
vertikal)
berarti Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-batas tertentu atas prilaku manusia sebagai khalifah, untuk
memberikan
manfa’at
pada
mengorbankan hak-hak individu lainnya. Masudul Alam Choudhury dalam
individu
tanpa
pemaparannya
mengenai endogeneity of ethics in islamic socio-scientific order menyatakan bahwa Ibnu Arabi dan para filisuf atomism dari asharites (Qadhri: 1988) meyakini bahwa mencermati keberaturan segala sesuatu di alam semesta ini berarti dapat menembus esensi dari keesaan Tuhan (the essence of the Oneness of God).
6
Hal ini berarti pranata sosial, politik, agama, moral, dan hukum
yang
mengikat
masyarakat
berikut
perangkat
institusionalnya disusun sedemikian rupa dalam sebuah unit bersistem
terpadu
untuk
mengarahkan
setiap
individu
manusia, sehingga mereka dapat secara baik melaksanakan, mengontrol,
serta
mengawasi
aturan-aturan
tersebut.
Berlakunya aturan-aturan ini selanjutnya akan membentuk ethical organizational climate tersendiri pada ekosistem individu dalam melakukan aktifitas ekonomi. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam
hubungan
horizontal
dengan
kehidupan
sesama
manusia dan alam semesta secara keseluruhan untuk menuju tujuan akhir yang sama. Semua manusia tergantung pada Allah, semakin ketat ketergantungan mausia kepada Allah, maka akan semakin dicintai-Nya. Individu-individu memiliki
kesamaan
dalam
harga
dirinya sendiri sebagai manusia. Diskriminasi tidak bisa diterapkan atau dituntut hanya berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin, atau umur. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu disesuaikan dengan
kapabilitas
dan
kapasitas
yang
dimiliki
dan
singkronisasi pada setiap peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial. Berdasarkan hal inilah, beberapa perbedaan peranan muncul antara orang-orang dewasa, disatu pihak, dan orang jompo atau remaja, dipihak lain, atau antara laki-laki dan perempuan. Kapan saja ada perbedaan-perbedaan seperti ini, maka hakhak dan kewajiban-kewajiban mereka harus diatur sedemikian rupa sehingga tercipta keseimbangan. Islam tidak mengakui
7
adanya kelas-kelas sosioekonomis sebagai sesuatu yang bertentangan Karena
dengan
mematuhi
prinsip
ajaran-ajaran
persaudaraan islam
dalam
(ukhuwah). aspeknya,
dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan ridha Allah.
2. Justice (Keadilan) Keadilan. Allah swt telah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Adil yang dimaksud disini adalah tidak mendzalimi dan tidak di dzalimi, sehingga penerapannya dalam kegiatan ekonomi adalah manusia tidak boleh berbuat jahat kepada orang lain atau merusak alam untuk memperoleh keuntungan pribadi. Menelan dan memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam. Berikut pengertian keadilan menurut para filsof dan para ahli hukum : a. Plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal
itu.
Untuk
istilah
keadilan
ini
Plato
menggunakan
kata
yunani”Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan social. Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain.
8
b. Aristoteles, adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus. Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu: 1) Keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. 2) Keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang atau kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan. c. Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma “adil” hanya kata lain dari “benar”. d. Jhon Rawls, Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual
rawls
menjelaskan
keadilan
sebagai
fairness,
yang
mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya
9
hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki. e. Soekanto, menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil. 1) Pertama, Naminem Laedere, yakni "jangan merugikan orang lain", secara luas azas ini berarti "Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". 2) Suum Cuique Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding". Secara luas azas ini berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya". Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.
3. Free Will (Kehendak Bebas) Konsep islam memahami bahwa seperti
pasar
dapat
berperan
efektif
institusi ekonomi dalam
kehidupan
ekomomi. Hal ini dapat berlaku secara efektif, dimana pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas penetuan harga atau private sektor dengan kegiatan monopolistik. Manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dalam segala hal, tak terkecuali kebebasan dalam melakukan kontrak di pasar. Oleh sebab itu, pasar seharusnya menjadi cerminan dari berlakunya hukum penawaran dan permintaan yang diinterpretasikan oleh harga, pasar tidak terdistorsi oleh tanga-tangan yang sengaja mempermainkannya. Bagi Smith
10
bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak tampak (the invisible
hand),
untuk
mencapai
yang
terbaik
pada
masyarakat. Aktivitas ekonomi dalam konsep ini diarahkan kepada kebaikan setiap kepentingan untuk seluruh komunitas islam, baik sektor pertanian, perindustrian, perdagangan, maupun yang
lainnnya.
kecurangan,
dan
Larangan praktik
adanya riba
adlah
bentuk
monopoli,
jaminan
terhadap
terciptanya suatu mekanisme pasar yang yang sehat dan persamaan
peluang
untuk
berusaha
tanpa
adanya
keistimewaan-keistimewaan pada pihak-pihak tertentu. Salah satu kekhasan dan keunggulan sistem etika ekonomi islam adalah kebersatuannya dengan nilai-nilai moral dan spiritual. Tanpa filter moral, maka kegiatan ekonomi rawan kepada perilaku destruktif yang dapat merugikan masyarakat
luas.
Tanpa
kendali
moral,
kecenderungan
penguatan konsumtivisme, misalnya akan muncul praktik riba, monopoli, dan kecurangan akan menjadi tradisi. Inilah kebebasan ekonomi bermoral terkendali (al-hurriyah)yang menjadi ciri dan prinsip sistem islam, seperti kebebasan memiliki
unsur
produksi
dalam
menjalankan
roda
perekonomian. Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis
islam,
tetapi
kebebasan
itu
tidak
merugikan
kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
11
potensi yang dimilikinya. Kcenderungan manusia untuk terusmenerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang terbatas dikendalikan
dengan
adanya
kewajiban
setiap
individu
terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah. Keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif inilah yang
menjadi
pendorong
bagi
bergeraknya
roda
perekonomian tanpa merusak sistem sosial yang ada. Sebuah hadits diriwayatkan al-Bazaar menyatakan : “ Pekerjaan apakah yang paling baik ya Rasulullah? Rasulullah bersabda : “Seorang bekerja dengan tangan sendiri dan melakukan jual beli dengan bersih”. Di lain pihak, “Rasulullah bersabda : “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adlah kebersamaan para nabi, orang shadiqin, dan para suhada” (HR.
Tirmidzi
dan
Hakim).
Kedua
hadits
diatas
mengilustrasikan kepada umat muslim untuk bekerja dan berproduksi
dalam
semua
sektor.
Bahkan
para
ulama
menyatakan bahwa kerja profesionalisme, dimana pada setiap komunitas muslim harus ada pihak yang mengembangkan produktivitasnya pada salah satu sektor tersebut. Para ulama klasik menegaskan bahwa urusan agama dan dunia tidak akan bisa tercapai bila tidak ada pihak muslim yang berandil dalam sektor-sektor tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa
profesionalisme dan pabrikasi dapat dikategorikan sebagai kepentingan umat secara kumulatif, semua berhak untuk turut andil didalamnya, pengembangan sektor-sektor tersebut bukan hak pribadi seseorang maupun kelompok tertentu, dan sebaliknya, tak satupun pihak didunia ini mempunyai otoritas untuk bisa melarang ataupun membatasi pihak lain untuk
12
berandil didalamnya. Menurut Ibnu Khaldun dan al-Satibi, keduanya sepakat bahwa pembatasan pada aktivitas produksi oleh pihak-pihak tertentu tak terkecuali pemerintah untuk tujuan monopolistik adalah inti dari pemahaman modern akan monopoli itu sendiri, apalagi jika hal tersebut ditujukan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Namun demikian, harus dipahami dengan cermat dan digaris bawahi, bila saja pembatasan tersebut ditujukan untuk kepentingan umum, maka hal ini dapat ditolelir, karena kaidah yang dianut kemudian dikembalikan kepada kaidah umum dalam islam, atau dalam bahasa dapat ditegaskan bahwa kepentingan umum, maka kepentingan umum, maka kepentingan
umum
inilah
yang
menjadi
alasan
untuk
memberikan ruang toleransinya. Menurut hemat penulis, jika para ulama memerangi perilaku monopolistik pada industri dan kerja profesional, maka sudah barang tentu mereka juga akan mempunyai opini yang
sama
diasumsikan
pada
aktivitas
ekonomi
sebagai
sebuah
kezaliman
dipasar. bila
Dapat
membatasi
transaksi jual beli dan menutup pasar untuk pihak-pihak tertentu, atau yudifikasi yang melarang sebuah industri, barang maupun jasa, untuk masuk pasar, atau adanya tindakan penimbunan komoditas industri tertentu, barang maupun jasa, pada sebuah pasar. Dalam hal diatas, otoritas pemerintah harus bisa berperan untuk menggusur pihak-pihak yang melakukan praktik-praktik monopolistik. Ibnu Taimiyah menegaskan : “Terkadang ada pihak-pihak tertentu dipasar yang suka membiasakan diri untuk tidak memberikan hak jual sebuah
13
komoditas kecuali pada orang-orang tertentu yang sudah dikenal,
dengan
ketentuan
yang
dibuat-buat
bahwa
komoditas tersebut dikhususkan untuk orang-orang tertentu dan hanya mereka yang berhak untuk menjualnya, pada kasus seperti inilah pihak yang mempunyai otoritas dapat mengintervensi
pasar
dengan
mematok
harga
untuk
komoditas tersebut, dimana para pejual tersebut dilarang untuk menjual komoditas tadi kecuali dengan harga yang sudah ditentukan, dan mereka pun tidak diperkenankan untuk membeli aset orang lain kecuali sesuai harga yang dipatok”... untuk ini Ibnu Taimiyah meyakini bahwa para ulama
madzhab
ataupun
lainnya
(Imam
Abu
Hanifah
misalnya) menyetujui adanya intervensi (kontrol harga) pada kasus seperti ini. Namun disisi lain, Ibnu Khaldun mengilustrasikan bahwa sangat berbahaya bagi pemerintah jika memonopoli pasar dengan
mempersempit
ruang
industri
dan
perniagaan
rakyatnya, prinsip kesempatan yang sama bagi siapa pun untuk bereproduksi haruslah dianut, kehidupan perekonomian menjamin terjadinya proses inputasi antarsektor atau antara produsen ke konsumen dlam kesempatan yang sama. Jika pasar dapat mengkodinir bentuk-bentuk kebebasan diatas, hal ini berarti pasar sudah berperan sebagai instrumen terstruktur untuk pendistribusian barang dan jasa, efesiensi produksi, dan distribusi income.
4. Responsibility
14
Penerimaan pada prinsip tanggung jawab individu ini berarti setiap orang akan diadili secara personal di hari kiamat kelak. Tidak ada satu cara pun bagi seseorang untuk melenyapkan perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali dengan memohon ampunan Allah dan melakukan perbuatan yang baik. Setiap individu mempuyai hubungan langsung dengan Allah, tidak ada perantara sama sekali. Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang Rasul atau petunjuk Allah yang diwahyukan untuk kepentingsn umat manusia. Tidak ada seorangpun memiliki
otoritas
untuk
memberikan
keputusan
atas
namanya. Setiap individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi dengan sumber islam (Al-Qur’an dan AsSunnah). Tanggung
jawab muslim yang sempurna
tentunya
berdasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling tegas yang perlu diambilnya. Perpsektif islam menekankan bahwa individulah yang penting dan bukan komunitas masyarakat ataupun bangsa. Individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat melainkan masyarakatlah yang harus melayani individu. Tidak ada satu komunitas ataupun bangsa bertanggung jawab dihadapan masyarakat
Allah
sebagai
bertanggung
kelompok, jawab
melainkan
dihadapan-Nya
anggota secara
individu. Dari sinilah ukuran yang benar dari suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggita
15
masyarakat untuk mengembangkan kepribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal mereka. 5. Kindness or Benevolence (Ihsan) Ihsan, artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut (Beekun, 1997) atau dengan kata lain beribadah dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu, maka yakinlah
Allah
melihat.
Siddiqi
(1979)
melihat
bahwa
keihsanan lebih penting kehadirannya ketimbang keadilan dalam kehidupan sosial. Jika keadilan dapat menyelamatkan lingkungan sosial dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan dan kegetiran hidup, ke ihsanan justru membuat kehidupan sosial ini menjadi manis dan indah. Seorang muslim diperintahkan untuk selalu mengingat Allah, baik dalam kondisi bisnis yang sukses atau dalam kegagalan bisnis. Orang muslim yang beriman harus bekerja keras untuk mendapatkan fasilitas terbaik diakhirat nanti, dengan cara memanfaatkan setiap karunia yang diberikan Allah dimuka bumi ini. (Al-Qur’an 28: 76-77). Manusia
juga
diwajibkan
untuk
mengenal
dan
mengobservasi skala prioritas Qur’an seperti : a. Lebih memilih kepada penghargaan akhirat ketimbang penghargaan duniawi.
16
b. Lebih memilih kepada tindakan yang bermoral ketimbang yang tidak bermoral. c. Dan lebih memilih halal ketimbang yang haram (Ahmad, 1995). Hal
lain
yang
tak
kalah
penting
adalah
spirit
persaudaraan sesama muslim dapat pula direfleksikan kepada persoalan bisnis dan transaksi yang sudah dibatasi dalam frame syari’at, agar Allah SWT selalu membukakan pintu keberkahan kepada umat dalam setiap hubungan ekonomi antara yang mengusung semangat persaudaraan sekalipun harus tetap dilandasi agama dan tidak diperkenankan untuk memungkiri
batasan
melaksanakan
aturan
mengokohkan ikatan
syari’ah, syari’at
karena
justru
persaudaraan
kewajiban
bertujuan
diantara
untuk
orang-orang
islam. 6. Halal and Haram Earning Islam
adalah
agama
universal
yang
dapat
pula
dimengerti sebagai pandangan hidup, ritualitas dan syari’ah, agama
dan
negara,
intuisi
dan
aturan
main.
Syariah
mengandung kaidah-kaidah hukum dan aturan tentang ritual ibadah dan muamalah untuk membimbing manusia agar hidup layak, patuh pada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an aturan halal dan haram, bisnis diatur secara umum, firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
17
jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ... (QS. An-nisa : 4). Kemudian dalam sebuah hadits Rasulullah dinyatakan yang artinya : “Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara yang haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat perkaraperkara yang syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barang siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah terbebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus kedalam perkara haram seperti, penggembala yang
menggembala
kemungkinan
besar
disekitar
tempat
gembalanya
akan
terlarang, masuk
maka tempat
terlarang tadi. Ingat!
Sesungguhnya
didalam
tubuh
itu
ada
sebuah
gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain ia adlah hati” (HR.Muslim).
BAB III SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian bab sebelumnya kami dapat mengemukakan simpulan sebagai berikut. 1. Etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character). Secara terminologis kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah Al-Qur’an yaitu al-khuluq (akhlaq) 2. Prinsip etika bisnis islam meliputi : Tauhid, Justice (Keadilan), Free Will (Kehendak Bebas), Responsibility, Kindness or Benevolence (Ihsan), Halal and Haram Earning. 3. Di
dalam
kehidupan
alangkah
baiknya
apabila
kita
menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis dalam islam B. Saran Sejalan dengan simpulan di atas, kami merumuskan saran sebagai berikut. 1. Dalam bisnis aspek yang harus kita lakukan salah satunya adalah jujur dan menerapkan kaidah-kaidah etika bisnis dalam islam. 2. Dalam melakukan transaksi apapun harus ada etikanya. 3. Menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis dalam islam, dalam kehidupan kita sehari-hari.
16
DAFTAR PUSTAKA Badroen, F. et al (2006). Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Kencana Majid, F (1996). Etika Dalam islam. Jakarta: Pustaka Pela
17