PRESENTASI KASUS ERUPSI OBAT TIPE MAKULOPAPULAR Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD Kota Salatiga
Pembimbing: dr. Lucky Handaryati, Sp. KK Disusun oleh : Irawati Hidayah 20174011029
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA RSUD KOTA SALATIGA 2019
1
HALAMAN PENGESAHAN Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul
ERUPSI OBAT TIPE MAKULOPAPULAR
Disusun Oleh: Irawati Hidayah 20174011028 Telah dipresentasikan Hari/Tanggal:
Disahkan oleh: Dokter Pembimbing,
dr. Lucky Handaryati, Sp. KK
BAB I LAPORAN KASUS
2
A. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Alamat Agama Pekerjaan Tanggal pemeriksaan Rekam Medik
: Tn. SR : 41 tahun : Perempuan : Guwo, Boyolali : Islam : Petani : 13 Januari 2019 : 19-2-411679
B. Anamnesis Keluhan Utama Gatal dan muncul bintik-bintik kemerahan di dada dan wajah Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dirawat di RSUD Kota Salatiga karena sesak napas dan masalah pada ginjalnya. Oleh dokter spesialis penyakit dalam, pasien dikonsulkan ke dokter spesialis kulit dan kelamin karena keluhan pada kulitnya. Pasien mengeluhkan muncul bintik-bintik kemerahan di dada dan wajah sejak ±2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan awalnya muncul di wajah, kemudian bintik kemerahan, terasa gatal, dan panas muncul di dada serta bibir sedikit melepuh dan muncul bercak kehitaman. Pada saat terjadi keluhan, pasien sedang meminumobat rutin (pasien lupa nama obat dan tidak dibawa ke rumah sakit). Selain itu pasien juga mengeluh rambut disekitar telinga sering rontok, dan sekarang sedikit botak.. Riwayat buang air kecil terasa nyeri disangkal. Keluhan demam dirasakan sebelum keluhan bintik-bintik muncul, demam tidak terlalu tinggi. Keluhan bintik kemerahan, terasa sangat gatal dan panas apabila berekeringat. Makan minum dalam batas normal, BAB dalam batas normal. Riwayat keluhan mata merah, sakit saat menelan, asma, kencing manis, tekanan darah tinggi, alergi obat, alergi makanan dan sering bersin disangkal oleh pasien. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien pernah mengalami keluhan serupa ± 4 tahun yang lalu, pasien berobat ke dokter dan keluhan membaik. Riwayat mondok dirumah sakit dan mempunyai penyakit berat disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga 3
Tidak ada keluarga lain yang mengalami keluhan serupa. Keluhan kencing manis, asma, tekanan darah tinggi pada keluarga disangkal oleh pasien. Riwayat Personal Sosial Pasien seorang peserta BPJS. Bekerja sebagai petani di desa. Saat ini pasien tinggal bersama suami dan dua orang anaknya. Suami pasien juga seorang petani. Hubungan dengan keluarga dan tetangga sangat baik. Dalam sehari pasien rutin makan 3x, menjaga kebersihan dengan mandi 2x dan ganti pakaian serta pakaian dalam 2x. Pasien jarang mengkonsumsi sayur dan jarang berolahraga. Riwayat merokok dan mengkonsumsi alcohol disangkal oleh pasien. Rumah pasien berada di pedesaan, akses air bersih mudah dan ventilasi rumah cukup. C. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Suhu aksila Status gizi
: Cukup : Compos mentis : 145/80 mmHg : 87 kali/ menit, regular dan kuat angkat : 20 kali/menit, regular, simetris : 36,7o C : Kesan cukup
Status Generalis Kepala dan Leher Bentuk kepala
Normocephali Simetris, terdapat papul dan macula eritem serta
Wajah
hiperpigmentasi di region bucal simetris bilateral, erosi dan hiperpigmentasi di bibir Edema palpebra (-/-)
Mata
Conjungtiva anemis (-/-), reflek pupil (+/+) Sklera ikterik (-/-) Inspeksi: JVP R+2 cm H2O bentuk tidak nampak kelainan,
Leher
deviasi trakea (-) Palpasi: trakea teraba di garis tengah, pembesaran limfonodi (-)
Thorax Pulmo
Inspeksi: terdapat papul dan macula eritem dan hiper[igmentasi, krusta (+), bentuk thorax simetris, 4
ketertinggalan gerak (-), retraksi (-) Palpasi: pengembangan dada simetris, vocal fremitus simetris, nyeri (-) Perkusi: sonor (+/+), batas paru-hepar dalam batas normal Auskultasi: suara dasar vesikuler +/+, ronkhi basah halus -/Inspeksi: tidak nampak pulsasi di ictus cordis Palpasi: teraba ictus cordis di sic V linea midclavicularis kiri, diameter 2 cm, kuat denyut, thrill (-) Perkusi: batas kanan bawah paru-jantung pada sic V line Cor
sternalis kanan, batas kanan atas paru-jantung pada sic III line sternalis kanan. Batas kiri paru-jantung pada sic V linea midclavicularis kiri, batas atas kiri paru-jantung pada sic III linea parasternalis kiri. Auskultasi: BJ 1 dan BJ 2 ireguler, punctum maximum pada sic V linea midclavicularis kiri, murmur (-), gallop (-), splitting (-)
Abdomen Inspeksi
Simetris, tidak nampak distensi
Auskultasi
Bising usus (+, normal)
Palpasi
Distensi (-), defans muskular (-), nyeri tekan ulu hati Timpani pada semua lapang perut, shfting dullness (-), liver
Perkusi
span lobus dexter 11 cm, lobus sinister 6 cm. Area traube timpani.
Extremitas Inspeksi
Jaringan nekrosis (-), ulkus (-)
Palpasi
Capillary refill time < 2 detik, akral dingin Edema -
Status Dermatologis
Regio : facial dan thorax UKK : Tampak makula eritema, disertai papul, multiple, batas tidak tegas, diffus simetris bilateral pada facial. Tampak erosi dan lesi hiperpigmentasi 5
pada bibir. Tampak makula eritema, disertai papul, multiple, batas tidak tegas, diffus pada region thorax.
Gambar hari Ke-1. Diambil Tanggal 13-Januari-2019
Gambar hari Ke-2. Tanggal 14-Januari-2019
6
Gambar hari Ke-3. Tanggal 15-Januari-2019
Gambar hari Ke 4. Tanggal 16-Januari-2019
Gambar Tanggal 24-Januari-2019 (saat pasien kontrol) D. Diagnosis Banding Erupsi obat tipe makulopapular e.c susp obat yang tidak diketahui Suspek lupus nefritis Steven Jonson Syndrome
7
E. Pemeriksaan Penunjang PEMERIKSAAN HEMATOLOGI Leukosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC Trombosit Golongan Darah ABO
HASIL 2.65 2.16 6.6 19.1 88.4 30.6 34.6 375 O
NILAI RUJUKAN 4.5 – 11 3.80 – 5.80 11.5 – 16.5 35 - 47 80 – 96 28 – 33
SATUAN ribu/uL juta/uL g/dL % fL pg g/dL 103/uL
33 – 36 150 – 450 HITUNG JENIS Eosinofil% Basofil% Limfosit% Monosit% Neutrofil%
1.4 0.0 17.5 19.5 61.6
2-4 0.0-1.0 25-60 2-8
% % % % %
40-75 KIMIA GDS Ureum Creatinin SGOT SGPT
88 134 1.8 45 18
<140 10-50 0.6-1. 1 <31
mg/Dl mg/Dl mg/Dl U/L U/L
<32 F. Tatalaksana Cek Sel LE: hasil positif Medikamentosa Terapi sistemik - Kortikosteroid : Metilprednisolon 62,5 mg / 12 jam - Antihistamin : cetirizine 1 x 10 mg Terapi topikal Mometasone cream 3x dioles pada wajah Desoxymethasone cream 25% dioles pada dada Kenalog orabase Non-medikamentosa (edukasi)
8
-
Edukasi terhadap pasien dan keluarga untuk selalu memperhatikan apabila terdapat reaksi alergi selanjutnya atau terdapat perburukan gejala, karena apabila terdapat lesi lain yang lebih parah, presentase kesembuhannya juga
-
berbeda Selalu memperhatikan jenis obat apapun yang dikonsumsi dan dipakai, baik yang diminum atau pemakaian luar, serta jamu-jamuan, karena dapat mencetuskan alergi, serta reaksi yang ditimbulkan
G. Diagnosis Kerja Erupsi obat tipe makulopapular e.c susp obat yang tidak diketahui Lupus Nefritis H. Prognosis 1. Qua ad Vitam : bonam 2. Qua ad Sanationam : bonam 3. Qua ad Kosmetikam : bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.1,2 9
Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi.2,3 Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi atau erupsi obat. Sekitar 2-3% pasien rawat inap mengalami erupsi obat. Beberapa golongan yang sering menyebabkan reaksi tersebut antara lain; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; golongan beta lactam, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol. 2,3 Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong ‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut. 4,5 Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.3 A. Epidemiologi Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.1,4,6 Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan. 10
Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah: 1,5 • eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%, • urtikaria sebanyak 5,9%, dan • vaskulitis sebanyak 1,4% Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah: 1. Jenis kelamin1,4 Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini. 2. Sistem imunitas1,4 Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia1,4,6 Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat. 4. Dosis4,6 Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka. 5. Infeksi dan keganasan7 11
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat. 6. Atopik1 Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan perawatannya.3,6 B. Patogenesis Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. 1 Tabel. Reaksi imunologis dan non imunologis
12
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Available at: www.aafp.org/afp
13
1. Mekanisme Imunologis Tipe I (Reaksi anafilaksis) Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok. 2,4
Tipe II (Reaksi Autotoksis) Adanya ikatan antara IgG dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis. 2,4 Tipe III (Reaksi Kompleks Imun) Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. 2,4 Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen. 2,4 2. Mekanisme Non Imunologis Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.3 14
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse.3 3. Unknown Mechanisms Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat dijelaskan.3 C. Manifestasi Klinis 1. Morfologi dan Distribusi Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya; a. Urtikaria dan Angioedema Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua. Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul mendadak dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika yang baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema. Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat
15
lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria. 2,7 Gambar. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
16
Gambar A dan B menunjukkan erupsi obat eksantematosa dengan makula dan papula yang memiliki ukuran yang bervariasi dan bergabung membentuk plak. Erupsi yang terlihat pada gambar A cukup ringan, dengan makula dan papula berwarna pink simetris, sedangkan erupsi pada gambar B terlihat lebih intensif, dengan lesi berwarna merah dan lebih meninggi. Gambar C menunjukkan reaksi obat eksantematosa yang melibatkan paha, dengan makula dan papul merah yang membentuk plak dan biasanya memiliki keterlibatan proksimal yang lebih besar. Gambar D menunjukkan urtikaria dengan karakteristik pucat di tengah dan merah pada tepi. Gambar E menunjukkan reaksi fototoksik dari doksisiklin. Reaksi kulit seperti terbakar matahari hanya terlihat pada area yang terekspos sinar matahari. Gambar F menunjukkan erupsi obat dengan hiperpigmentasi dari reaksi sebelumnya dan pada tempat yang sama terjadi erythema akibat reeksposur dari obat kausatif. Gambar G menunjukkan 17
campak dengan makula dan papul warna merah muda yang bersatu membentuk plak pada pasien yang hanya menerima vaksin dalam satu dosis.4 b. Eritema Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut eritema skarlatiniformis. 2 c. Dermatitis medikamentosa Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan simetris. 2 d. Purpura Purpura
adalah
perdarahan
di
dalam
kulit/mukosa
berupa
bercak/pembengkakan berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila ditekan. 1 Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas. Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa gatal.1,5 Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3 mm, merah, kemudian ® coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis (makula kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam; kemudian ® menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura berbentuk linear), Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan kulit / mukosa. Berjumlah cukup banyak ® pembengkakkan & fluktuasi)1
Beberapa
obat penyebab purpura
trombositopenik
adalah
asetilsalisilat,
karbamazepin,
asam
18
indometasin, isoniazid, nitrofurantoin, penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura
non
trombositopenik
adalah
ampisilin,
penisilin,
sulfatrimetoprim,
sulfonamid, asam asetilsalisilat.5 e. Erupsi Makulopapular Erupsi
makulopapular
atau
morbiliformis
atau
disebut
juga
erupsi
eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.
Erupsi
yang
muncul
dapat
berbentuk
morbiliformis
atau
makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi kulit.
2,7
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh
banyak obat termasuk penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. 7 Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum. 2
Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.1,8 Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari 19
pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.6,8 Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin, NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis, fenobarbital, dan bahkan retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika β laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksantem yang sukar dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.6 Tabel. Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa
Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di tempat yang sama maka disebut dengan eksantema fikstum.2 20
Gambar. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh penggunaan obat golongan sefalosporin.
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 f. Eritema nodosum Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah.
2
EN
merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa eritema yang lunak dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya disertai gejala umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat predileksinya di daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan lengan. Awitan EN cepat namun regresi perlahan. EN dapat pula 21
disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi streptokokus, dan leprae.
Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral.1 Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN.2 g. Eritroderma Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan.2 DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki3. Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah penghentian obat. Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama, skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. 6,12 Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe IV. DE dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih dilanjutkan. 2 DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis, atau berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan lainnya.1,5 Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin, fenilbutason, allopurinol,
dan garam emas.1 22
h. Erupsi Pustuler Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).
Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo.7
Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi (>38 0C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi. 2 Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut(PEGA) atau acute generalized eksantematosa pustulosis(AGEP) jarang terjadi, diduga disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri, dan dermatitis kontak.3 Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi(>38 0C), dan pustule-pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari.3
23
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. i. Erupsi bulosa Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN
Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus foliaceus. 4,7
Fixed Drug Eruption (FDE). FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering dijumpai ketiga. Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan 24
eosinofil dan neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi. 2,4,8 Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate, trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.11
Gambar 2.3. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan pada penderita FDE
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion). Eritema Multiforme atau
disebut juga Herpes iris, dermatostomatitis dan eritema eksudativum multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spectrum(polimorfik) dan gambaran khas bentuk iris. Pada kasus yang berat disertai symptom konstitusi dan lesi vesikel.15 Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi system yang dapat 25
menyebabkan kelainan. Terdapat dua tipe dasar yaitu tipe makula eritema dan tipe vesikobulosa.3 Tipe makula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas , dan selaput lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris(target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.3 Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat juga mengenai selaput lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia dan proteinuria ringan.3 Gambar 2.4. Eritema Multiformis
Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133139
26
Sindrom
Stevens-Johnson
(ektodermosis
erosiva
pluriorifisialis,
sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.4,9 Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1 Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graftversus-host, neoplasma dan radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ. Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab tersering. Penyakit ini serupa dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik).
Nekrolisis
Epidermal
Toksik
(NET)
adalah
penyakit
kulit akut
dan berat 27
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil (morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka bakar.9 Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada NET, kuku dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia.
Kadang-kadang
dapat
terjadi
perdarahan
di
traktus
gastrointestinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa. NET merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis. 9
2. Perjalanan Penyakit 28
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya gejalagejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut: Tabel. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu
Sumber: Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf07AlergiObat006.mht Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem dihubungkan dengan antibodi IgM.4,6 D. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah: 9 1. Pemeriksaan in vivo
Uji tempel (patch test)
Uji tusuk (prick/scratch test)
Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro 29
a. Yang diperantarai antibodi:
Hemaglutinasi pasif
Radio immunoassay
Degranulasi basofil
Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
Tes transformasi limfosit
Leucocyte migration inhibition test Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.
1,4
Sejumlah tes yang dilakukan dengan
teknik invitro didesain untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam tahap penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan diagnosis klinis. 1,3 Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami reaksi obat yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala awal seperti eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul beberapa setelah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50% kasus SSJ dan hampir 90% penderita TEN terkait dengan penggunaan obat.7,10 E. Diagnosis Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah: 2 1. Anamnesis yang teliti mengenai:
Obat-obatan yang dipakai 30
Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat
Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
2. Kelainan kulit yang ditemukan:
Distribusi : menyeluruh dan simetris
Bentuk kelainan yang timbul Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis
lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.1 Tabel. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan Karakteristik
Tipe lesi primer
klinis
Distribusi dan jumlah lesi Keterlibatan membran mukosa Tanda dan gejala yang timbul: demam, pruritus, perbesaran
Faktor kronologis
limfonodus Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu pertama pemakaiannya Waktu ketika timbulnya erupsi Interval waktu saat pemberian obat dengan munculnya erupsi kulit Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai menjadi penyebab
Literatur
Respon saat dilakukan pemaparan kembali Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat Daftar pemakaian obat dengan peringatan Bibliografi obat 31
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 F. Penatalaksanaan Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut. 1,6 1. Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan segera.1,4
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan. 1,4
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.1,9
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari; khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 9
2. Penatalaksanaan Khusus a. Sistemik 32
Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat if seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama. 2,7
Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid. 2
b. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.2,9
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%.2,9
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian. 2
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kena orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak. 9
I. Prognosis 33
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit. 2,4,9 Tabel 5. Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.
34
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp
BAB III PEMBAHASAN Erupsi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya yan terjadi selama atau setelah pemakaian obat dalam rentang dosis normal. Erupsi obat eksantematosa (yang juga disebut morbiliformis atau erupsi obat makulopapular) adalah erupsi akibat obat yang paling umum. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita.Golongan obat yang sering menyebabkan erupsi obat ini antara lain obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; golongan beta lactam, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, dan juga golongan obat umum lainnya seperti benzodiazepin, kaptopril, floroquinolon, gold, lithium, obat anti hiperglikemik oral, fenotiazin, quinidine, diuretik thiazid.3 Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan tanda dan gejala yang mengarah diagnosis “erupsi obat tipe makulopapular e.c obat yang tidak diketahui” dan luus nefritis. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya ruam berupa bintik-bintik kemerahan di wajah dan dada sejak ±2 minggu terakhir. Keluhan awalnya muncul di wajah, kemudian bintik kemerahan, terasa gatal, dan panas muncul di dada serta bibir sedikit melepuh dan muncul bercak kehitaman. Pada saat terjadi keluhan, pasien sedang meminumobat rutin (pasien lupa nama obat dan tidak dibawa ke rumah sakit). Selain itu pasien juga mengeluh rambut disekitar telinga sering rontok, dan sekarang sedikit botak. Riwayat buang air kecil terasa nyeri disangkal. Keluhan demam dirasakan sebelum keluhan bintik-bintik muncul, demam tidak terlalu tinggi. Keluhan bintik kemerahan, terasa sangat gatal dan panas apabila berekeringat. Status dermatologis didapatkan makula 35
eritema, disertai papul, multiple, batas tidak tegas, diffus simetris bilateral pada facial. Tampak erosi dan lesi hiperpigmentasi pada bibir. Tampak makula eritema, disertai papul, multiple, batas tidak tegas, diffus pada region thorax Erupsi eksantematosa terlihat sebagai ruam yang luas, simetris dengan komposisi makula dan papula merah & merah muda yang dapat terdiri dari plak. Meskipun membran mukosa biasanya bertahan, kemerah-merahan tanpa lepuh dapat terjadi pada tempat tersebut. Pruritus sering terjadi namun dengan variasi yang bermacam-macam, dan demam ringan dengan suhu dibawah 38,5 derajat celsius umumnya terjadi. Tatalaksana yang diberikan pasien berupa terapi sistemik, antara lain pemberian kortikosteroid Metilprednisolon 62,5 mg / 12 jam, antihistamin cetirizine 1 x 10 mg untik mengurangi gatal dan terapi topikal yaitu mometasone cream 3x dioles pada wajah, desoxymethasone cream 25% dioles pada dada serta kenalog orabase. Edukasi terhadap pasien dan keluarga sangat penting untuk dilakukan dan selalu memperhatikan apabila terdapat reaksi alergi selanjutnya atau terdapat perburukan gejala, karena apabila terdapat lesi lain yang lebih parah, presentase kesembuhannya juga berbeda. Selalu memperhatikan jenis obat apapun yang dikonsumsi dan dipakai, baik yang diminum atau pemakaian luar, serta jamu-jamuan, karena dapat mencetuskan alergi, serta reaksi yang ditimbulkan. Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. Erupsi obat tipe makulopapular juga dapat berkembang menjadi eritroderma atau SJS/TEN, dapat juga berkembang menjadi Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS).
36
BAB IV KESIMPULAN Telah dilaporkan pasien perempuan usia 41 tahun dengan diagnosis erupsi obat tipe makulopapular ec obat yang tidak diketahui dan lupus nefritis. Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat memicu timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, 37actor resiko, manifestasi klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat menurunkan morbiditas EOA. Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlesin, sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-4. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006. Hal :154-158. 2. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333352 3. Docrat ME. Fixed Drug Eruption. In: current Allergy & Clinical Immunology No.1. volume 18. Wale street chambers. Cape town. 2005. Available at: www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf 4. Lee A. Thomson J. DrugInduced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 nd ed Pharmaceutical Press 2006. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 5. Andrew J.M, Sun. cutaneous Drugs Eruption. In: Hong Kong Practicioner. Volume 15. Department of Dermatology University of Wales Collage of Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K, 1993. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
6. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. P: 133139 7. Adithan C. StevenJohnson Syndrome. In: Drug Alert. Vol.2. Issue 1. Department of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Available at: www.jipmer.edu
8. Thong, BY. Update on the Management of Antibiotic Allergy. Allergy Asthma Immunol Res. 2010 April;2(2):77-86 9. Lobera T, et al. Allergy to Quinolones: Low Cross-reactivity to Levofloxacin. J Investig Allergol Clin Immunol 2010; Vol. 20(7): 607-611 10. Baldo BA, Pham NH. Classification and Descriptions of Allergic Reactions to Drugs. In : Clinical Aspects, Diagnosis, Mechanisms, Structure-Activity Relationships. Springer Science+Business Media, LLC ; 2013. P 15-35. 11. Gruchalla RS, Pirmohamed M. Antibiotic Allergy. N Engl J Med 2006;354:601-9. ed from nejm.org 12. Solensky R, Khan DA. Drug Allergy: An Updated Practice Parameter. Annals Of Allergy, Asthma & Immunology. Volume 105, October, 2010 38
13. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical
Press.
2006.
Available
at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 14. Barlianto W. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Keparahan Erupsi Obat pada Anak. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 26, No. 1, Februari 2010 15. Hasan R, et al. Cutaneous morphological patterns of adverse drug reactions: a study of 50 cases. Journal of Pakistan Association of Dermatologists 2010; 20: 206-211. 16. Phillips CA, et al. Rifaximin induced Stevens-Johnson syndrome in a patient of acute on chronic liver failure. Onc Gas Hep Rep 2015;4:110-3
39