CASE REPORT
ERUPSI OBAT TIPE PSORIASIFORMIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing : dr. Sunaryo, Sp.KK
Diajukan Oleh : Iin Nila Nuraini, S.Ked J510170011
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017
CASE REPORT
ERUPSI OBAT TIPE PSORIASIFORMIS
Disusun Oleh : Iin Nila Nuraini, S. Ked J510170011
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari,
Desember 2017
Pembimbing: dr. Sunaryo, Sp.KK
(
)
(
)
dipresentasikan di hadapan dr. Sunaryo, Sp.KK
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD KARANGANYAR 2017
BAB I LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien Nama
: Ny. S
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
:
Alamat
: Karanganyar
Status
: Menikah
Suku Bangsa
: Jawa
Tanggal pemeriksaan : 21 Desember 2017
B. Anamanesis a. Keluhan Utama : bercak kemerahan diseluruh tubuh. Pasien mengeluh muncul bercak diseluruh tubuh, timbul diraakan sudah selama 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien mengeluh bercak kemerahan muncul di badan lalu menyebar ke seluruh badan. Keluhan disertai rasa gatal dan nyeri. Pasien juga mengeluh bercak kemerahan sampai ke kaki dan tangan, tapi tidak mengenai bagian wajah. Keluhan tidak disertai mual (-), pusing (-), diare (-), demam (-). Pasien mengatakan keluhan tersebut timbul setelah minum obat puyer bintang toejoe yang dibelinya di warung, obat diminumnya setelah 3 hari keluhan muncul. b. Riwayat Penyakit Dahulu : a) Riwayat pernah mengalami hal sama : disangkal b) Riwayat OAT : disangkal c) Riwayat Hipertensi : diakui d) Riwayat DM : disangkal e) Riwayat Penyakit jantung : disangkal f) Riwayat alergi obat : disangkal c. Riwayat Penyakit Keluarga : a) Riwayat alergi obat b) Riwayat keluhan yang sama c) Riwayat atopi
: disangkal : disangkal : disangkal
d. Riwayat Penyakit Lingkungan: Riwayat keluhan yang sama
: disangkal
C. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang b. Kesadaran : compos mentis c. Vital sign : Tekanan darah 130/ 90 mmHg Nadi 85 x/ menit Laju pernapasan 20x/menit Suhu 36,6 0C Spo2 89% d. Status Generalisata - Kepala : normocephal - Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, reflek cahaya (+/+) - Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum - Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-) - Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan, lidah tidak kotor,faring tidak hiperemis. - Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat - Thorax Paru-paru : Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat Palpasi : Ictus cordis tidak teraba. Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri Batas kanan sela iga V garis sternal kanan Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri Auskultasi : Bunyi jantung I – II murni, murmur (-) Abdomen : Inspeksi : Perut datar simetris. Palpasi : Hepar dan Lien tidak membesar, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri Lepas (-), defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani Auskultasi : Bising usus (+) normal Ekstremitas Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-) Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-) e. Status Dermatologis Lokasi : seluruh tubuh Distribusi : tersebar UKK : patch eritematous, bentuk tidak teratur, batas tegas, beraviarasi 2-3 cm, multiple dan berskuama atau bercak menyerupai psoriasiformis.
D. Diagnosis Banding 1 Erupsi Obat 2. Dermatitis Atopik 3. Dermatitis kontak alergi E. Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan
F. Diagnosis Erupsi Obat tipe psoriasiformis G. Terapi
BAB II ERUPSI OBAT
A. Definisi Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson 2000). Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen sampai kematian. Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).
B. Epidemiologi Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan 1,4,6
efek samping pemakaian obat-obatan.
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi
obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah: • eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%, • urtikaria sebanyak 5,9%, dan • vaskulitis sebanyak 1,4%
C. Faktor resiko Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah: 1. Jenis kelamin
1,4
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini. 2. Sistem imunitas
1,4
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal. 1,4,6
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat. 4. Dosis
4,6
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat
digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka. 5. Infeksi dan keganasan
7
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat. 6. Atopik
1
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan perawatannya.
3,6
D. Patogenesis Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.
1
a. Mekanisme Imunologis Tipe I (Reaksi anafilaksis) Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan
bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.
2,4
Tipe II (Reaksi Autotoksis) Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
2,4
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun) Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.
2,4
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.
2,4
b. Mekanisme Non Imunologis Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.
3
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse.
3
E. Manifestasi Klinis 1. Morfologi dan Distribusi Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya: a. Urtikaria Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema. Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria.
2,7
Gambar 2.1 Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin
b. Eritema Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya
lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut eritema skarlatiniformis.
2
c. Dermatitis medikamentosa Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan simetris.
2
d. Purpura Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat..
2
e. Erupsi eksantematosa Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi kulit.
2,7
Erupsi
eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu 7
memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum.
2
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di tempat yang sama maka disebut dengan eksantema fikstum.
2
Gambar 2.2. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh penggunaan obat golongan sefalosporin
f. Eritema nodosum Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah.
2
g. Eritroderma Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan.
2
h. Erupsi pustuler Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA). 1. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal
seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo. 2. Penyakit
7
Pustulosis
Eksantema
Generalisata
Akut
(PEGA)
memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul 0
bila seseorang mengalami demam tinggi (>38 C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi.
2
i. Erupsi bulosa Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN i. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus foliaceus. ii. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa dengan erythema
multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai diskeratosis.
FDE
kronis
memberikan
gambaran
acanthosis,
hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi.
2,4,8
Gambar 2.3. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan pada penderita FDE
iii. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion). Gambar 2.4. Eritema Multiformis
iv.
Sindrom
pluriorifisialis,
Stevens-Johnson sindrom
(ektodermosis
erosiva
mukokutaneaokular,
eritema
multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
4,9
v. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil (morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya 9
menyerupai luka bakar. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada NET, kuku dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa. NET merupakan penyakit
berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis.
9
2. Perjalanan Penyakit Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut: Tabel 2.3. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem dihubungkan dengan antibodi IgM.
4,6
F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah:
9
1. Pemeriksaan in vivo o Uji tempel (patch test) o Uji tusuk (prick/scratch test) o Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro a. Yang diperantarai antibodi: o Hemaglutinasi pasif o Radio immunoassay o Degranulasi basofil o Tes fiksasi komplemen b. Yang diperantarai sel: o Tes transformasi limfosit o Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya. 1,4
Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu
membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam tahap penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan diagnosis klinis.
1,3
Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami reaksi obat yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala awal seperti eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul beberapa setelah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50% kasus SSJ dan hampir 90% penderita TEN terkait dengan penggunaan obat.
7,10
G. Diagnosis Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah:
2
1. Anamnesis yang teliti mengenai: a. Obat-obatan yang dipakai b. Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris. 2. Kelainan kulit yang ditemukan: a. Distribusi : menyeluruh dan simetris b. Bentuk kelainan yang timbul Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.
1
Tabel 2.4. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan Karakteristik klinis
Tipe lesi primer Distribusi dan jumlah lesi Keterlibatan membran mukosa Tanda dan gejala yang timbul: demam, pruritus, perbesaran limfonodus
Faktor kronologis
Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu pertama pemakaiannya Waktu ketika timbulnya erupsi Interval
waktu
saat
munculnya erupsi kulit
pemberian
obat
dengan
Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai menjadi penyebab Respon saat dilakukan pemaparan kembali Literatur
Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat Daftar pemakaian obat dengan peringatan Bibliografi obat
H. Penatalaksanaan Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.
1,6
a) Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan segera.
1,4
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan.
1,4
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
1,9
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari; khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik
.9
b) Penatalaksanaan Khusus 1. Sistemik a. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat if seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous
immunoglobulin
(IVIG)
terbukti
dapat
menurunkan
progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
2,7
b. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
2
2. Topikal • Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
2,9
• Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan
membasah
dapat
diberikan
hidrokortison 1% sampai 2 ½%.
krim
kortikosteroid,
misalnya
2,9
• Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
2
• Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kena orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.
9
I. Prognosis Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit.
2,4,9
Tabel 5. Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.
BAB III KESIMPULAN
1. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. 2. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat. 3. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, orang dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan. 4. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. 5. Mekanisme
imunologis
sesuai
dengan
konsep
imunologis
yang
dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat). 6. Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata diffuse. 7. Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, erupsi eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan erupsi bulosa. 8. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in vivo. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik invitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. 9. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian
terapi yang bersifat if sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin. 10. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena
DAFTAR PUSTAKA
1. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
3. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K.. 1993. Access on: June 3, 2007. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2
nd
ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp
6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
7. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs. th
In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6 ed. USA: The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2003. p: 1330-1337
8. Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology. No.1. Volume 18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at: www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
10. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu