Pemeriksaan Fisik Dan Neurologis Pada Ekstremitas Bawah 3p386o

PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS PADA EKSTREMITAS BAWAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan semakin majunya dan berkembangnya alat diagnostic pada saat ini, banyak klinis yang kurang memperhatikan pemeriksaan biasanya

fisik

diikuti

dan

neurologis.

dengan

Sebuah

pemeriksaan

pemeriksaan

neurologis.

fisik

Meskipun

pemeriksaan fisik secara umum dilakukan tergantung pada kondisi pasien. Pemeriksaan fisik pada pasien neurologi tidak perlu terlalu spesifik atau menyebabkan kondisi pasien tidak nyaman, akan tetapi cukup dilakukan seperlunya untuk menemukan kelainan pada pasien. Pemeriksaan membutuhkan

neurologis

kemapuan,

dan

penegtahuan

pemeriksaan dan

fisik

kesabaran.

Pemeriksaan dilakukan sesuai urutan dan waktu yang cukup. Sebagaimana berkembanganya alat diagnostic, maka pemeriksaan fisik dan neurologi juga berkembang dalam hal intrepetasi hasilnya. Pemeriksaan

fisik

maupun

pemeriksaan

neurologis

dilakukan pada seluruh bagian tubuh, baik system indera, maupun ekstremitas. Pada kali ini, penulis ingin menjabarkan pemeriksaan fisik dan neurologis yang dilakukan pada ekstremitas bawah. B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologi pada ekstremitas bawah C. Manfaat Penulisan Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai aspek pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis pada ekstremitas bawah. Manfaat klinis adalah diharapkan agar dapat menjadi dasar baru dalam praktek dengan memperhatikan aspek pemeriksaan fisik dan neurologis pada ekstremitas bawah.

BAB II Tinjauan Pustaka A. Pemeriksaan Fisik Sebuah

pemeriksaan

fisik

biasanya

diikuti

dengan

pemeriksaan neurologis. Meskipun pemeriksaan fisik umum dilakukan tergantung pada kondisi pasien. Pemeriksaan fisik pada

pasien

neurologi

tidak

perlu

terlalu

spesifik

atau

menyebabkan kondisi pasien tidak nyaman, akan tetapi cukup dilakukan seperlunya untuk menemukan kelainan pada pasien (Boulet, 2002) Dokter penyakit dalam melakukan pemeriksaan fisik engkap akan melakukan pemeriksaan neurologis yang dilakukan oleh neurologis.

Sebaliknya,

neurologis

melakukan

pemeriksaan

neurologis lengkap, akan tetapi melakukan pemeriksaan fisik umum dilakukan umumnya. Kedua hal ini dilakukan untuk efisiensi dan efektifitas pemeriksaan yang biasa dilakukan (Fagan, 2003) Pemeriksaan fisik dimulai dengan observasi pasien selama anamnesis. Bahkan suara pasien bisa menjadi kunci penting, ketika serak, disfonia, afasia, disartria, bingung dan beberapa kunci penting dalam neurologi yang mungkin muncul pada tahap awal.

Pemeriksaan

HEENT

adalah

pemeriksaan

untuk

mengevaluasi nervus cranialis. Ketika melakukan pemeriksaan pupil dan ekstraokuler, untuk melihat kelainan pada mata dan adneksa okuler, seperti konjungtivitis, exoftalmos, xantelasma dan jaundice. Dengan pemeriksaan mulut, sebagai tambahan pada pemeriksaan fisik umum, untuk menemukan lesi intraoral, leukoplakia atau kelainan lainnya. Pemeriksaan optic diskus, pemeriksaan retina untuk melihat adanya retinopati diabetikum

atau hipertensif. Pemeriksaan neurologis pada ektremitas bagian atas,

adanya

clubbing,

sianosis,

perubahan

pada

kuku,

deformitas pada tangan, artropati. Pemeriksaan kaki untuk kekuatan, reflex, sensasi dan respon plantar sambil melihat keadaan

kulit

dan

kuku.

Pemeriksaan

edema

pretibial,

diskrepansi panjang kaki, bengkak atau deformitas sendi lutut dan ankle, atau kelainan lain. Tidak lupa untuk memperhatikan panjangnya rambut, perubahan pada kuku dan pulsasi darah kaki. (Timothy et al, 2006) Pemeriksaan

neurologis

dilakukan

dikombinasi

dengan

pemeriksaan fisik. Pada akhirnya pemeriksaan neurologis yang baik, harus melakukan pemeriksaan jantung dan paru serta dilakukan palpasi abdomen sebagai pemeriksaan fisik umum (Fagan et al, 2003) Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien neurologis adalah (Fagan et al, 2003): 1. Tanda vital Mengukur tekanan darah pada kedua lengan sangat penting dengan penyakit cerebrovascular. Pengukuran tekanan darah dengan supinasi, duduk. Pulsasi dan jenis pulsasi kenaikan

sangat

penting,

tekanan

terutama

intracranial.

dicurigai

Pulsasi

terdapat

yang

cepat

menandakan aorta regurgitas atau hipertiroidisme, dan pulsasi yang lambat dan kecil mendadakan stenosis aorta. Kelainan

respirasi,

seperti

Cheyne

Stokes,

Biot

dan

Kussmaul dapat terlihat pada pasien koma dan gangguan neurologis lainnya. Pasien dengan peningkatan tekanan intracranial dan gangguan pada hipotalamus dapat terjadi hiperpnea atau apnea. 2. General Appereance Penampilan secara umum pasien dapat menunjukkan penyakit akut maupun umum; demam, nyeri maupun distress; penurunan berat badan; kelainan postur tubuh,

kepala

dan

ekstremitas;

aktivitas

motoric,

perilaku

abnormal, gelisah dan imobilitas. Penurunan berat badan dan tanda-tanda malnutrisi menunjukkan hipertiroidisme, Alzheimer, Whiple atau amyloidosis. Kadar dan distribusi lemak

tubuh,

merupakan

prkembangan tanda

tanda

penting

sekunder

untuk

seksual

mendiagnosis

endocrinopaty dan kelaianan pada hipotalamus. Kelainan postur tubuh yang abnormal yang dapat terjadi pada system saraf. Hemiparesis spastik menyebabkan fleksi pada ekstremitas atas dengan fleksi dan aduuksi pada bahu, fleksi pada siku dan pergelangan tangan, dleksi dan aduksi pada jari; pada ekstremitas bawah terdapat ekstensi pada pinggul, lutut dan mata kaki, dengan deformitas equinus pada kaki. 3. Kepala Kelainan pada kepala merupakan kunci penting dalam sebuah pemeriksaan. Inspeksi bentuk, simetris dan ukuran dari kepala untuk melihat adanya kelainan. Penutupan sutura cranialis pada bayi premature dapat menyebabkan ukuran kepala yang tidak normal. Palpasi pada cranium dapat menunjukkan kelaianan akibat trauma lama, defek craniotomy, dan bekas luka. Ukuran fontanella merupakan hal yang wajib diperiksa pada anakanak. Perkusi pada cranium menunjukkan permukaan tumor atau

hematom

subdural

atau

perkusi

timpani

pada

hidrosefalus dan peningkatan tekanan intracranial pada bayi dan anak-anak. Auskultasi kepala terkadang membantu. Bruit dapat terdengar pada bagian temporal, bola mata dan mastoid. Bruit cephalic

dapat

terjadi

pada

angioma,

aneurisme

dan

malformasi arterivena, neoplasma yang menekan arteri besar

dan terdapat plak arterisklerosis yang menyumbat arteri karotis. 4. Mata Kelainan pada mata dapat disebabkan oleh kelainan neurologis maupun dapat disebabkan oleh kelainan sistemik yang menyebabkan munculnya gejala neurologis. Misalnya terjadinya

exoftalmus

bilateral

akibat

gangguan

tiroid,

proptosis bilateral akibat tiroid. 5. Telinga Pemeriksaan telinga hal yang penting dilakukan pada pasien dengan penurunan pendengaran atau vertigo. Hal yang perlu disingkirkan adalah terjadinya perforasi membrane timpani. Pemeriksan canalis auricular dapat menunjukkan tumor dengan sindrom foramen jugular, munculnya vesikula akibat infeksi herpes zoster. Otore yang merupakan cairan cerebrospinal dapat menyebabkan discharge darah maupun jernih. Sebelum melakukan tes kalori pada pasien, perlu dilakukan pemeriksaan apakah membrane timpani intak dan kanalis aurikularis lapang. 6. Hidung, Mulut dan Tenggorokan Perforasi

pada

septum

nasi

dapat

menunjukkan

penggunaan kokain. Pada anemia pernisiosa, lidah menjadi licin dengan atrofi papilla. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah xerostamia pad sindrom Sjogren, trismus pada tetanus atau polimiositis dan ulserasi pada Behcets. 7. Leher Perlu diperhatikan pada adenopati, masa tiroid, deformitas, kekakuan, postur yang tidak normal, asimetris dan nyeri pada saat digerakkan. Pada keadaan normal, leher dapat difleksikan sampai menyentuh dada dan dapat gerak ke kanan dan kiri tanpa masalah sama sekali. 8. Sistem respiratorius dan thoraks

Komplikasi neurologis dari penyakit paru adalah hal yang biasa terjadi. Laju pernafasan, ritme, kedalaman dan tipe pernafasan perlu diperhatikan. Nyeri saat bernafas, dyspnea, orthopnea atau nafas yang pendek pada saat beraktifitas merupakan tanda yang pening. Insufisiensi pernfasan adalah hal yang biasa terjadi pada penyakit neuromuskulo. 9. Sistem Kardiovaskular Pemeriksaan

kardiovaskular

merupakan

hal

yang

wajib

dilakukan Karen komplikasi neurologis yang sering terjadi adalah hipertensi, aterosklerosis, endocarditis, aritmia dan gangguan katup. Hubungan aterosklerosis pada aliran darah perifer sering dikaitkan dengan gangguan cerebrovascular. 10. Abdomen Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan massa abnormal, pembesaran visceral, pulsasi abnormal atau adanya cairan. Ekimosis pada tubuh dapat menjadi tanda terdapat pleksopati lumbosacral akibat hematoma retroperitoneal. 11. Genitalia dan Rektum Pemeriksaan genitalia jaarang dilakukan pada pasien neurologi, akan tetapi dapat menunjukan adanya ulserasi pada penyakit behcet. Pemeriksaan rektal dilakukan pada pasien dengan mielopati atau cauda equine atau sindrom conus medularis. 12. Tulang Belakang Pemeriksaan

tulang

belakang

merupakan

pemeriksaan

penting pada pasien neurologi. Pemeriksaan berkaitan dengan deformaitas, postur maupun gerakan yang tidak normal, distrofi muscular akibat terjadinya lordosis lumbal, dan scoliosis. Kaku yang terlokalisir dengan scoliosis dan tidak adanya lordosis normal merupakan gejala yang seringterjadi pada radikulopati lumbosacral. 13. Ekstremitas

Pemeriksaannya adalah deformitas, kontraktur, edema dan perubahan warna. Variasi ukuran dari bentuk normalnya baik ukuran, bentuk tangan, kaki dan jaari, deformitas, perubahan sendi, kontraktur, nyeri atau keterbatasan gerak, kakau yang terlokalisir, clubbing finger, ulserasi merupakan tanda yang penting. Edema merupakan bukti gagal jantung kongestif atau kardiomiopati. Artropati merupakan tanda pada jaringan ikat, sarkoidosis, atau penyakt Whipple. 14. Kulit Pemeriksaan neurologis.

pada

Gejala

kulit

yang

dapat

menunjukkan

berhubungan

dengan

gejala

neurologi

seperti spider angioma pada penggunan alcohol, purpuran dan petechiae pada thrombosis tromocytopenia purpura. Perubahan

pada

kulit

juga

merupakan

tanda

defisiensi

vitamin. B. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilakukan sesuai urutan pada tabel 2.1. Pemeriksaan tidak harus dilakukan sesuai urutan pada table. Pemeriksaan neurologis lengkap merupakan pemeriksaan yang rumit dan sulit untuk dilakukan. Dalam kenyataan, hanya beberapa neurologis yang melakukan pemeriksaan neurologis secara lengkap. Seperti pada pemeriksaan fisik umum, riwayat pemeriksaan

neurologi

focus

terhadap

gejala

klinis

yang

dikeluhkan. Pemeriksaan neurologi pada pasien dengan nyeri kepala akan berbeda dengan pasien dengan nyeri punggung. Pada

pasien yang tidak

kooperatif atau koma, dilakukan

pemeriksaan neurologi mini yang cukup untuk mendeteksi gejala minor dan intermiten. Salah satu contoh pemeriksaan pada table 2.2 (Campbell, 2002; Louis et al 2002) Tabel 2.1 Pemeriksaan Neurologis Mayor Status mentalis Nervus cranialis

Motorik Sensorik Refleks Fungsi cerebellum dan koordinasi Cara jalan Gejala lain Terdapat 2 cara untuk melakukan pemeriksaan neurologi yaitu regional dan sistemik. Sistemik menilai system motoric, system sensorik dan lain lain. Regional menilai semua system pada suatu region

seperti

ekstremitas

atas,

lalau

ekstremitas

bawah.

Pemeriksaan screening dijelaskan pada table 2.3 adalah pendekatan secara regional dan sistemik untuk efisiensi pemeriksaan. Konsep pemeriksaan yang membutuhkan system saraf membutuhkan ketelitian tingkat tinggi, gejala yang sensitive. Sistem saraf dapat mealkukan tugas rumit dengan sempurna, pemeriksaan yang dilakukan harus dapat mendeteksi kelainana pada system saraf secara efektif (Caplan et al, 2001; Gilman, 2000) Tabel 2.2 Pemeriksaan Neurologis Screening Komunikasi selama pemeriksaan Nervus cranialis II,III,IV,VI Nervus cranialis VII, VIII, IX, X,XII Tonus, kekuatan otot, gerakan abnormal Sensoris : nyeri dan suhu pada semua ekstremitas, getaran pada mata kaki Koordinasi pada tangan, jari-hidung, cara jalan Refleks : bisep, trisep, brachioradialis, quadrisep, achiles, plntar, clonus Tabel 2.3 Tahap screening pemeriksaan neurologi Pemeriksaan status mentalis Menggunakan penlight Pupil Gerakan ekstraokuler Faring dan lidah Fungsi motoric wajah (menyeringai, menutup mata dengan rapat) Lapang pandang Fundus Kekuatan ekstremitas atas – deltoid, triceps, ekstensor pergelangan

tangan dan tangan Pemeriksaan stereognosis ektremitas atas dan stimulasi ekstremitas atas-bawah (evaluasi control motoric halus pasien) Pemeriksaan koordinasi jari-hidung Pemeriksaan lenagn dan jari Pemeriksaan kekuatas ekstremitas bawah Pemeriksaan sensoris Pemeriksaan reflex tendon pada ekstremitas atas dan bawah Respon elisitasi plantar Pemeriksaan cara berjalan, tumit-jempol, tandem gait, romberg C. Pemeriksaan fisik dan neurologis pada ekstremitas bawah Pemeriksaan pada ekstremitas bawah sedikit lebih mudah dibandingkan

dengan

ekstremitas

atas.

Beberapa

otot

pada

ekstremitas bawah melakukan aktivitas yang saling bertentangan dengan otot yang sama (misalnya harmstring membuat lutut fleksi akan tetapi ekstensi pinggul). (Campbell, 2002; Dejoong 2005). 

Sendi panggul Pergerakan dari pinggul adalah fleksi, ekstensi, abduksi,

aduksi dan rotasi internal dan eksternal. Otot fleksor utama adalah illiopsosas. Otot fleksor tambahan adalah rectus femoris, Sartorius, dan tensor fascia lata. Illiopsoas memiliki 2 bagian yaitu psoas dan iliaca yang memiliki fungsi yang sama. Bagian psoas diinervasi oleh cabang pleksus lumbosakralis (L1-L4). Illiaca diinervasi oleh nervus femoralis (L2-L4). Kedua

otot

illiopsoas

ini

harus

bekerjasama

untuk

mempertahankan postur dengan menyeimbangkan tulang belakang dan pelvis dengan femur, mencegah badang condong ke belakang. Ketika kaki terfiksasi, halini akan menyebabkan badan pelvis fleksi kea rah epan, seperti melakukan kegiatan sit-up . Kekuatas otot fleksor diuji dengan menyuruh pasien memfleksikan pinggulnya melawan tahanan ( Gambar 2.1) Ini dapat dilakukan dalam keadaan duduk maupun supinasi. Jika duudj, pasien sebaiknya tidak duduk bersandar ke belakang, dan normalya otot fleksor akan dapat melawan

tahanan

tangan

pemeriksa.

Ketika

melakukan

pemeriksaan dalam posisi supinasi, pasien dengan kelemahan otot

fleksor

panggil

akan

dapat

mengangkat

kakai

dengan

mengekstensikan lutut, apabila kelemahan berat, panggul hanya dapat fleksi apabila lutut fleksi. Tes fleksor panggul lainnya, yaitu pasien mencoba untuk mempertahankan kedua ekstremitas bawah fleksi pada panggul dan ekstensi pada lutut, kaki sekitar 45 derajat jauh daari tempat tidur, kaki terpisah. Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan pasien. Jika terdapat kelemahan pada otot panggul, misalnya lesi pada cortikospinalis, akan menyebabkan ekstremitas bawah akan turun ke bawah lebih cepat daripada sebelahnya.

Jenis pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk

melihat kelmahan pada otot harmstring.

Gambar 2.1 Pemeriksaan fleksor pada paha. Pasien memfleksikan paha dengan melawan tahanan, lutut fleksi dan kaki bertumpu pada lengan pemeriksa. Otot ekstensor panggul yang utama adalah musculus gluteus maksimus

(nervus

gluteus

inferior,

L5-S2).

Muskulus

gluteus

maksimus merupakan ekstensor terbesar dan terkuat untuk posisi rtasi eksternal. Otot ekstensor panggul tambahan yaitu musculus glutei medius, musculus gluteus minimus, harmstring dan musculus abductor dari panggul (ketika panggul fleksi). Musculus gluteus maksimus sangat penting pada gerakan naik tangga, lompat dan berdiri dari kursi. Fungsi ekstensor panggul dapat diperiksa dengan

menaikkan lutut yang difleksikan dan pemeriksa menekan ke arah bawah (Gambar 2.2). Muskulus gluteus maksimus juga dapat diuji dengan posisi pasien berbaring dan mengekstensikan panggul atau duduk dan menekan lutut kea rah bawah melawan tangan pemeriksa atau dengan kemampuan pasien berdiri dari posisi jongkok. Apabila terdapat kelemahan, makan pasien menggunakan tangannya untuk dapat berdiri dari posisi jongkok

(gower’s

maneuver Gambar 2.3)

Gambar 2.2

Pemeriksaan ekstensor paha pada panggul. Pasien

berbaring tengkurap dengan lutut dalam keadaan fleksi, mencoba mengangkat paha melawan tahanan, kontraksi muskulus gluteus maksimus dan ekstensor lainnya dapat dilihat dan diraba. Otot primer abductor panggul adalah muskulus gluteus medius, gluteus minimus dan tensor fascia lata. Muskulus ini diinervasi oleh L4-S1 melalui nervus gluteus superior. Otot ini juga berfungsi sebagai rotator internal panggul. Otot abductor ini diperiksa dengan posisi supinasi atau duduk dimana pasien menahan ekstremitas bawah kea rah luar, mata kaki terpisah jauh, dimana pemeriksa berusaha untuk mendekatkan kedua mata kaki (Gambar 2.4)

Gambar 2.4 abduksi paha pada panggul. Pasien mencoba untuk mengekstensikan kaki ke arah luar melawan tahanan.

Gambar 2.3 Gower’s maneuver Abduktor panggul sangat penting untuk berjalan. Dalam setiap langkah, posisi kaki harus mengeluarkan tenaga yang cukup

untuk

menyeimbangkan seluruh tubuh untuk

menjaga

posisi

panggul. Tanpa kontraksi dari abductor panggul, panggul akan mirng dan menyebabkan posisi kaki aduksi. Ketika abductor panggul mengalami kelemahan dikarenakan adanya ayunan panggul yang berlebihan ketika posisi berdiri dimana panggul akan condong ke arah kaki yang melangkah (tanda Trendelenburg) . Ketika terjadi bilateral, maka akan timbul gaya berjalan panggul berayun dengan pelan seperti ayunan panggul yang berlebihan pada model. Gaya berjalan ini sangat umum terjadi pada pasien dengan miopati. Gejala Trendelendburg unilateral merupakan tanda melemahnya otot abductor panggul unilateral seperti radikulopati lumboskaral. Aduksi dari panggul dilakukan oleh ketiga otot aduktor yaitu longus, brevis, dan magnus. Aduktor magnus adalah otot aduktor terpanjnag dan terkuat. Illiopsoas juga berfungsi sebagai aduktor panggul ketika panggul

fleksi. Beberapa otot lainnya

hanya

berperan kecil. Muskulus grasilis berfungsi sebagai fleksor lutut tetapi juga dapat berfungsi sebagai aduktor. Ketiga otot aduktor dan muskulus grasilis diinervasi oleh L2-L4 melalui nervus obturatorius. Aduktor magnus juga menerima inervasi dari L4-L5. Otot aduktor dapat diperiksa dengan posisi pasien supinasi, duduk maupun berbaring pada satu sisi. Pasien berusaha untuk mendekatkan kakinya sementara pemeriksa akan mempertahankan agar kedua kaki pasien tetap terpisah (Gambar 2.5) Sebagaimana abductor, otot aduktor sangat kuat sehingga akan sangat membantu apabila kedua lutut pasien ekstensi penuh untuk memberikan keuntugan lebih pada pemeriksa. Ketika melakukan pemeriksaan dengan posisi pasien decubitus, pemeriksa mengangkat sebagian besar kaki pasien dan pasien mempertahankan agar kedua kakinya tetap dalam keadaan dekat, dan untuk melakukan ini maka dada pasien akan ikut terangkat secara tidak langsung. Apabila aduktor bagian atas mengalami kelemahan, maka kaki akan abduksi dan dada tidak akan naik ke atas, dan sebaliknya apabila terjadi kelemaha pada

otot aduktor pada bagian bawah maka, kaki tidak akan dapat naik ke atas dan akan tetap di tempat tidur.

Gambar 2.5 Pemeriksaan aduksi paha pada panggul. Rotasi panggul baik internal dan eksternal dilakukan oleh otot abductor panggul (m. glutei medius,m. glutei minimus dan tensor fascia lata, dan beberapa aduktor. Untuk pemeriksaan rotasi internal, pasien berbaring posisi supinasi dengan panggul dan lutut fleksi. Pasien kemudian berusaha untuk menggerakan kaki melawan tahanan pemeriksa (Gambar 2.6). Rotasi internal dapat diperiksa dengan pasien posisi supinasi dan kaki ekstensi, rotasi kaki seolaholah ibu jari kaki menyentuh kea rah tempat tidur. Rotas kaki ke arah tengah dengan ekstensi lutut menghasilkan gerakan panggul yang sama seperti ketika mengangkat kakki dengan fleksi pada lutut. Dengan lesi kortikospinal unilateral, rotasi internal akan lemah. Ketika pasien berbaring dengan posisi supinasi, kaki yang mengalami kelemahan akan berotasi eksternal dibandingkan kaki satunya. Keasimetrisan posisi kaki merupakan kunci penting adanya hemiparesis pada pasien hiposensitivitas.

Gambar

2.6

Pemeriksaan

rotasi

internal

pada

paha.

Pasien

berbaring, dengan kaki fleksi pada lutut, mencoba untuk melawan tahanan dari pemeriksa. Rotasi eksternal pada panggul dilakukan oleh muskulus gluteus maksimus. Muskulus obturatot internus (diinervasi oleh L5S1), dan obturator eksternus (diinervasi oleh L3-L4) juga membantu gerakan

rotasi

eksternal.

Muskulus

piriformis

akan

merotasi

eksternal paha dalam posisi ekstensi akan tetapi mangabduksi dalam posisi fleksi. Rotasi eksternal diperiksa dengan maneuver yang sama dengan rotasi internal, tetapi dengan pasien merotasi panggul kea rah luar dengan menggerakan kaki ke arah tengah melawan tahanan. Apabila otot ini mengalami paralisis, maka seluruh kaki akan bergerak ke arah dalam. 

Sendi lutut Gerakan yang dilakukan oleh sendi lutut adalah fleksi dan

ekstensi. Gerakan rotasi internal dan eksternal pada lutut secara klinis tidak berpengaaruh. Otot fleksor lutut adalah otot harmstring (m. biceps femoris, m. semimembranosus, m. semitendinosus). Otot lain seperti m. popliteus, m.gracilis, m.sartorius, m. gastrocnemius juga

memainkan

peran

penting.

Otot

harmstring

merupakan

ekstensor panggul yang cukup kuat. M. biceps femoris memiliki dua jenis yaitu longus dan brevis (diiinervasi oleh L5, S1-S2), akan tetapi m. biceps femoris longusdiinervasi dari cabang pada tibia dan m.

femoris brevis dari cabang peroneal. Inervasi m. femoris brevis daari cabang peroneal merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk membedakan lesi yang berkaitan dengan nervus peroneus di lutut. Pergerakan daari m. femoris brevis tidak dapat diperiksa dengan pemeriksaan

fisik

akan

tetapi

dapat

diperiksa

dengan

elektromiografi. Nervus peroneus pada kaki berada di tengah dari tendon

biceps

femoris.

Muskulus

semimembranosus

dan

semitendinosus diinervasi oleh cabang nervus skiatika (L5, S1-S2). Fleksi pada lutut dilakukan pada posisi pasien tengkurap, supinasi ataupun duduk. Dengan sebagian lutu fleksi menahan pemeriksa meluruskan lutut pasien. Fleksor lutut sangat kuat dan jarang

dapat

ditahan.

Pemeriksa

ainnya

pada

posisi

pasien

tengkurap mempertahankan posisi fleksi pada lutu sekitar 45 derajat horizontal dengan kedua kaki sedikit terbuka. Ketika fleksor lutut mengalami kelemahan pada satu siis, seperti pada lesi kortikospinallis, maka kaki yang mengalami kelemahan akan jatuh, baik perlahan maupun secara cepat (tanda Barre). Pemeriksaan fleksi lutut pada saat pasien tengkurap memudahkan untuk melihat dan palpasi kontraksi otot dan mengurangi kesalahan interpretasi gerakan akibat gerakan dari fleksor panggul. M. Sartorius akan diperiksa dimana pasien melawan tahanan pada fleksi panggul dan rotasi ke arah samping(Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Pemeriksaan fleksi pada lutut. M. quadriceps femoris (diinervasi oleh nervus femoralis, l2-L4) adalah ekstensor lutut primer, terdiri aras m. rectus femoralis, . vastus lateralis, m.vastus medialis, dan m. vastus intermedius. Otot quadriceps diperiksa dengan posisi pasien duduk atau supinasi, berusaha untuk ekstensi pada lutut melawan tahanan pemeriksa (gambar 2.8) Otot quadriceps sangat kuat dan hampir tidak mungkin untuk dapat menahan gerakannya pada orang dewasa. Beberapa teknik untuk memeriksa ekstensi lutut adalah peganagn barkeeper.

Untuk

memeriksan

muskulus

quadriceps

kanan,

pemeriksa berdiri pada bagian luar dari lutut dan memegang bagian dalam lutut, meletakkan siku kiri, lengan atas pronasi diatas lutut pasien, meletakkan tangan kanan sejauh mungkin dari tungkai, kemudian mengunci gerakan kaki pasien dari depan dan belakang. Pemeriksa menarik kea rah atas dengan siku dan menekan ke bawah

dengan

tangan

ketika

pasien

mencoba

untuk

mengekstensikan lututnya (Gambar 2.9) Pada kelemahan muskulus quadriceps, pasien duduk akan condong kea rah belakang ketika mengekstensikan lutut, berusaha untuk mengekstensikan lutut secara paksa dengan muskulus rectus femoris

berkontraksi

pada

panggul.

Pasien

akan

mengalami

kesulitasn untuk berdiri dari posisi berlutut atau menaiki tangga;, pasien dapat berjalan mundur tetapi sulit untuk berjalan kea rah depan.

Gambar 2.7 Pemeriksaan ekstensi pada lutut

Gambar 2.8 pegangan barkeeper. 

Sendi pada pergelangan kaki Gerakan

pada

pergelangan

kaki

adalah

plantar

fleksi,

drsofleksi, eversi dan inversi. Plantar fleksi dilakukan oleh m. gastrocnemius dan m. soleus (m. gastrosoleus, m. trisep surae). Otot lainnya menyilangi bagian posterior dari roatsi pergelangan kaki, akan tetapi karena factor mekanik tidak efektif sebagai plantarfleksor. M. gastrocnemius juga berperan dalam fleksi lutut. M. gastrosoleus dalam mengangkat tumit, seperti berjalan dan inversi kaki. Otot betis diinervasi oleh nervus tibialis (S1-S2). Fungsi dari otot ini diperiksa secara manual dengan pasien melakukan plantar fleksi dan pemeriksa memberian tahanan pada tumit (Gambar 2.9). Plantar fleksor merupakan otot yang kuat, dan tidak dapat ditahan dengan kekuatan tangan dan lengan sendiri. Teknik yang dilakukan yaitu dengan menggunakan lengan bawa sebagai tuas dengan memegang tumit pasien dengan tangan dan menekan

berlawan

dari

arah

kaki

dengan

telapak

tangan.

Normalnya, plantar fleksor akan dapat melawan gerakan ini. Pemeriksaan plantarfleksor yang lebih baik dilakukan ketika pasien jinit. Normalnya, pasien akan dengan mudah menahan beban tubuh pada 1 kaki jinjit, lompat pada satu kaki bahkan melakukan beberapa kali jinjitan pada satu kaki. Jumlah jinjitan semakin

ditambahn pda kedua sisi untuk membandingkan dan dapat mendeteksi kelemahan seperti pada radikulopati S1.

Gambar 2.9 Pemeriksaan plantar fleksi pada kaki Dorsofleksi pada pergelangan kaki dilakukan oleh m. tibialis anterior, dibantu oleh m. ekstensor digitorum longus dan m. halluces longus. M. tibialis anterior diinervasi oleh nervus peroneus (L4-L5). Ketika kaki diletakkan pada permukaan datar, m. tibilais anterior akan miring mengikuti arah kaki kea rah depan, seperti pada posisi berjalan. Otot dorsofleksor diperiksa dengan cara pasien mengangkat kaki kea rah atas melawah tahanan pemeriksa (Gambar 2.10) Kelemahan dapat dideteksi dengan menahan posisi kaki

pada

plantar

fleksor

dan

pasien

berusah

untuk

mendorsofleksikan kakinya. Teknik ini merupakan teknik yang penting untuk medeteksi kelemahan unilateral. Dorsofleksi juga dapat

diperiksa

dengan

pasien

berdiri

pada

tumitnya

dan

mengangkat ibu jari kaki setinggi mungkin. Ibujari kaki pada sisi yang mengalami kelemahan tidak akan setinggi ibu jari kaki satunya. M. tibialis anterior adalah otot yang iinervasi ole miotom L5 dan radikulopati L5 adalah penyebab kelemahan yang paling sering terjadi. Kelemahan pada dorsofleksi akan menyebabakan foot drop. Pasien akan berjalan dengan gerakan stepagge mengangkat kaki lebih tinggi dengan melebihkan gerakan fleksi pada panggul dan lutut. Pada gaya berjalan yang normal, tumit akan menyentuh lantai lebih dulu. Pada drop foot akan terdengar derapan kaki karena jari

kaki lebih dulu menyentuh lantai, baru diikuti dengan tumit. Pasien tidak bisa mengangkat kaki dari lantai saat mencoba berdiri dengan tumit. Istilah drop foot

terkadang digunakan pada kelemahan

dorsofleksi, meskipun gejala ringan menyebabkan gaya berjalan steppage, yaitu gaya berjalan sepertu penabuh drum dengan ataksia sensorik ketika pasien menghentakkan kakinya untuk melakukan propriosptif.

Gambar 2.10 Pemeriksaan dorsofleksi kaki 

Otot pada kaki dan ibu jari Fungsi pada otot kaki dan ibu jari tidak dapat dibedakan

secara jelas seperti pada tangan. Gerakan seperti dorsofleksi dan plantarfleksi dari ibujari kaki. Ekstensor pada ibu jari kaki adalah m. ekstensor digitorum longus(EDL) dan m. ekstensor digitorum brevis(EDB) dan m ekstensor halucis longus(EHL) dan m. halucis brevis. Semua otot ini diinervasi oleh n. peroneus profunda (EHL: L5; EDL dan EBL L5-S1) Fleksi pada jari kaki dilakukan oleh m. fleksor digitorum dan m. halucis longus, m. fleksor digitorum dan m. halucis brevis dan beberapa otot instrinsik dari telapak kaki. Otot ini diperiksa dengan cara pasien memfleksikan jaari kaki melawan tahanan (Gambar 2.11) Fleksor jari kedua adalah otot pada betis, dinervasi oleh nervus tibilais (L5, S1-S2). Otot ini memfleksikan phalang kelima jari kaki. Otot ini juga sebagai plantar fleksor dari sendi pergelangan kaki. Fleksor pada jari kaki kelima diinervasi oleh nervus plantar

medialis,

S1-S2)

pada

metotarsophalangeal .

interphalang

proksimal

dan

sendi

Abduksi dan aduksi merupakan gerakan

yang sangat lemah, dan fleksor jari kaki kelima lebih kuat jika dibandingkan dengan otot instrinsik. Otot instrinsik pada kaki lebih berfungsi

untuk

mempertahankan

bentuk

menggerakan jari-jari kaki (Gambar 2.12)

Gambar 2.11 Pemeriksaan fleksi pada jari kaki

kaki

dibandingakan

Gambar 2.12 Cupping dari telapak kaki a. Tonus Otot Tonus otot adalah tekanan pada otot saat berelaksasi atau tahanan pada gerakan pasif ketika kontraksi volunteer tidak ada. Tonus otot saat beristirahat sangat dipengaruhi oleh aktivitas spinalis yang menginervasinya. Pemeriksaan tonus sedikit sulit untuk dilakukan dikarenakan subjektivitas dan tergantung pada tiap pemeriksa. Tidak ada cara mengukur tonus secara kuantitatif. Pemeriksaan

tonus

membutuhkan

pasien

yang

tenang

dan

kooperatif. Observasi harus dilakukan dengan baik karenan postur yang tidak normal atau posisi istirahat yang tidak normal dapat mengindikasikan perubahan tonus. Palpasi otot juga penting, akan tetapi otot pada pasien yang rajin berolahraga akan lebih kokoh dibandingkan tonus istirahat pada orang normal (Fowler, 2000) Pemeriksaan pada ekstremitas bawah untuk melihat adanya spastik, dimanan tangan dibelakang lutut, pemeriksa secara pelan memfleksikan dan mengektensikan lutut pada pasien supinasi dan tenang. Dengan relaksasi yag adekuat kaki akan tetap berada di tempat tidur. Setelah ebberapa kali pengulangan, maka dari posisi ekstensi total, pemeriksa secara tiba-tiba dan kuat mnarik lutut kea rah atas. Ketika tonus dalam keadaaan normal, maka kaki akan turun ke bawah kembali ke tempat tidur, dan apabila terdapat spastik maka kaki akan tetap di atas dengan gerakan menendang. Pada tes ibu jari-tumit, pemeriksa memegang kaki pasien dengan posisi lutut dan pinggang fleksi, satu tangan berada di belakang lutut, dan satunya menyokong kaki. Kaki tiba-tiba dilepaskan. Jika terdapat spastik maka otot quadriceps akan jatuh tiba-tiba dengan gerakan terhentak-hentak. Terdapat lebih banyak tahanan pasif untuk ekstensi daripada fleksi pada ekstremitas atas dan lebih banyak pada gerakan fleksi pada ekstremitas bawah. Meskipun spastisitas pada ekstremitas bawah lebih banyak menyerak otot ekstensor, dan pada pasien dengan myelopathy atau lesi cerebral,a

kan terdapat hipertonus pada otot fleksor, sehingga menyebabkan paraplegi fleksi(Fowler, 2000). b. Gerakan dan posisi Indera kinetic atau kinestetik adalah kesadaran akan gerakan pada beberapa bagian tubuh, baik posisi, postur dan kemampuan untuk menilai jarak dan kedalaman. Pada ekstermitas bawah, pemeriksaan biasnaya dilakukan pada sendi metatarsophalangeal pada ibu jari. Jika pada sendi distal normal maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan pada sendi yang proksimal. Pemeriksaan dilakukan dengan mata pasien tertutup. Pemeriksa

menggerakan

jari kaki pasien dan pasien menebak arah dari gerakan jari kaki tersebut. Pada kaki, sensasi akan hilang pada jari kelingking lebih dulu daripada pada ibu jari kaki. Tidak dapat membedakan gerakan pada ibu jari merupakan tanda kelainan pada kategori umur manapun.

Kesalahan

pada

2

pemeriksaan

membutuhkan

pemeriksaan klinis lebih lanjut. Apabila kehilangan indera gerakan dan posisi pada satu jari, maka harus dilakukan pemerksaan lanjutan pada sendi yang proksimal seperti pergelangn kaki, lutut. Kelainan pada sendi besar biasanya dibebakan oleh ataksia sensorik dan kelainan neurologis lainnya (Fowler, 2000). c. Refleks otot(Dick, 2003; Pryse-Phillips, 2003)  Refleks patella : kontraksi m. quadriceps

femoris,

menghasilkan gerakan kestensi pada lutut, sebagai respon dari perkusi pada tendon patella (Gambar 2.12) Apabila reflex berlebihan, maka respon yang diperoleh tidak hanya dari mengetuk pada tendon di tempat yan biasanya melainkan juga ditas patella, tendon dapat diperkusi secara langsung atau pemeriksa dapat menletakkan ibu jari baru melakukan perkusi pada patella pasien. Refleks patella yang berlebihan dapat diikuti dengan clonus patella. Apabila reflex patella tidak ada disebut tanda Westphal. Refleks patella yang ke arah dalam dapat terlihat pada lesi pada nervus yang menginervasi quadriceps.

Gambar 2.12 Pemeriksaan reflex patella  Refleks Achilles : kontraksi pada m. cruris posterior, m. gastrocnemius,

m.

soleus,

plantarfleksi..

Reflek

yang

m.

plantaris

menyebabkan

berlebihan

menandakan

terdapatnya kelainan pada traktus kortikospinal.

Gambar 2.13 pemeriksaan reflex Achilles  Refleks adductor : perkusi pada epicondylus femur atau condyles media dari os tibia akan menyebabkan kontraksi pad auktor paha dan gerakan kea rah dalam dari ektremitas. Tidak adanya reflek adductor dengan reflek patella yang normal mendandakan terjadinya hernia obturator strangulasi (tanda Hannington-kiff).  Refleks Harmstring internal : reflex yang terjadi pada m. semitendinosus dan tendon semimembranosus. Jari pemeriksa diletakkan diatas tendon sekitar bagian medial dari lutut, dan jarinya diketuk dengan palu reflex. Responnya adalah fleksi lutut.  Refleks Harmstring eksternal : reflex pada m. biseps femosris. Respon dari ini adalah dleksi pada lutut. Rfeleks ini terkadang berdungsi untuk membedakan tidak adanya reflex achiles akibat neuropati perifer atau radikulopati.  Refleks tensor fascia lata : reflex yag muncul degen perkusi pada tensor fascia lata dekat spina iliaca anterior superior. Responnya adalah abduksi dari paha  Refleks Gluteal : reflek yang muncul dengan perkusi pada sacrum bawah atau bagian posterior dari illium dekat denganm. Gluteus maksimum, dengan respon abduksi dan rotasi medial dari panggul.

 Reflek halucis longus : : reflex ini dilakukan dengan penekanan jari dan perkusi pada permukaan dorsal dari ibu jari, yang akan diikuti dengan ekstensi jari kaki. Apabila reflek ini tidak muncul menadakan radikulopati L5.  Refleks tibialis posterior: perkusi pada tendon tibilais posterior tepat diatas atau dibelakang maleolu media, dan responnya adalah inversi kaki. Apabila reflek ini tidak muncul menandakan redikulopathy L5 atau S1.  Refleks peroneal : reflek ini muncul akibat kontraksi pada otot yang dipersarafi onele nervus peroneus profunda dan superfisial (L4-S1). Responnya adlaah eversi dan dorsofleksi pada kaki.

DAFTAR PUSTAKA Boulet JR, McKinley DW, Whelan GP, et al. Clinical skills deficiencies among firstyear residents: utility ofthe ECFMG clinical skills assessment. Acad Med 2002;77:S33-S35. Campbell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins, 2002. Caplan, LC, Hollander J. The Effective Clinical Neurologist. 2nd ed. Boston: Butterworth-Heinemann,2001. Dick JP. The deep tendon and the abdominal reflexes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:150-153 Fagan MJ, Griffith RA, Obbard L, et al. Improving the physical diagnosis skills of third-year medical students: a controlled trial of a literature-based curriculum. J Gen Intern Med 2003;18:652-655. Gilman S. Clinical Examination of the Nervous System. New York: McGraw-Hill, 2000. Louis ED, Pascuzzi RM, Roos KL (eds). The neurological examination (with an emphasis on its historical underpinnings). Semin Neurol 2002;22:335-418. Pryse-Phillips W. Companion to Clinical Neurology. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press, 2003.