PANDUAN PELAYANAN ASUHAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN
LAMPIRAN : KEPUTUSAN KABUPATEN NOMOR : TANGGAL : TENTANG :
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BULELENG 445/184.225/2018 2 JANUARI 2018 PANDUAN PELAYANAN ASUHAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BULELENG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................…i BAB I Definisi............................................................................................1 BAB II Ruang Lingkup ............................................................................11 BAB III Tatalaksana ................................................................................22 BAB V Dokumentasi..............................................................................159
i
ii
BAB I DEFINISI PELAYANAN ASUHAN PASIEN
A.
PELAYANAN YANG SERAGAM Pemberian
pelayanan
yang
seragam
adalah
memberikan
kualitas
pelayanan kesehatan yang sama kepada setiap pasien atau individu yang berkunjung ke RSUD Kab. Buleleng tidak tergantung pada hari setiap minggu
guna
untuk
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
sesuai
kebutuhannya yang disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki oleh RSUD Kab. Buleleng. B.
PENGINTEGRASIAN DAN KOORDINASI ASUHAN PASIEN 1. Pasien adalah tiap individu yang sedang memerlukan evaluasi diagnostic atau konsultasi medik untuk memperoleh pengobatan dan atau tindakan medik/operatif dibawah kewenangan RSUD Kabupaten Buleleng. 2. Patient Center Care artinya pasien adalah pusat pelayanan, pasien adalah bagian dari Tim 3. Koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuantujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien (Handoko,2003:195) 4. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) merupakan tim interdisiplin , diposisikan disekitar pasien, tugas mandiri, delegatif, kolaboratif, kompetensi memadai, sama penting/setara ada kontribusi profesinya. 5. Pelayanan
terintegrasi
dalam
arti
manajemen
dan
pelayanan
kesehatan sehingga pasien dapat menerima semua aspek pelayanan dari aspek pencegahan, aspek kuratif, rehabilitatif, paliatif termasuk anestesi, tindakan bedah, pengobatan, terapi if dan atau kombinasi 6. PPA adalah pemberia asuhan seperti dokter, perawat, apoteker, rebilitasi medis, ahli gizi, terapis dan praktisi penunjang lainnya. 7. DPJP adalah dokter yang memberikan asuhan medis paripurna. 8. DPJP
sebagai
Clinical
Leader
adalah
orang
yang
melakukan
koordinasi, review, sintesis, interpretasi asuhan komprehensif 1
9. Penyelenggaraan Pelayanan Profesi adalah kegiatan perencanaan, implementasi dan evaluasi pelayanan didasari kaidah dan etika profesi, disiplin dan mutu. 10. Case Manager adalah seorang yang berperan membantu melakukan koordinasi pada tim terhadap permasalahan pasien dengan kasus kompleks dari saat dirawat sampai keluar rumah sakit. 11. Rapat Tim adalah pelaksanaan rapat yang membahas tentang penanganan dan perawatan bersama terhadap pasien yang dirawat.
C.
RENCANA ASUHAN PASIEN 1. Perencanaan atau plan of care adalah pernyataan tertulis yang berisi tentang prioritas rencana pengobatan, prosedur, asuhan keperawatan, dan asuhan lain untuk memenuhi kebutuhan pasien. 2. Plan of Care Medis adalah pernyataan tertulis yang berisi tentang rencana medis atau pengobatan yang akan diberikan kepada pasien. 3. Profesional Pemberi Asuhan merupakan Tim Interdisiplin, diposisikan di sekitar pasien, tugas mandiri, delegatif, kolaboratif, kompetensi memadai, sama penting / setara pd kontribusi profesinya dalam memenuhi kebutuhan pasien. 4. Penilaian berbasis Informasi, Analisis informasi, dan Rekomendasi /Plan of Care (IAR) adalah semua informasi yang ditemukan pada saat melakukan
anamnesa,
kemudian
dilakukan
analisa
adakah
kesenjangannya dengan standar normal yang dijadikan Rekomendasi untuk rencana perawatan dan pengobatan yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. 5. Proses Keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan metodologi proses keperawatan
D.
PASIEN BERISIKO TINGGI DAN PELAYANAN BERISIKO TINGGI 1. Pasien risiko tinggi adalah pasien yang digolongkan berisiko tinggi oleh karena umur, kondisi atau kebutuhan bersifat kitis, pasien yang ketakutan, bingung atau koma mereka tidak dapat menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti/ mampu memahami proses asuhan, dan tidak dapat ikut memberikan keputusan tentang asuhannya. 2
2. Pelayanan Berisiko Tinggi Pelayanan
berisiko
memerlukan
tinggi
peralatan
adalah
yang
pelayanan/tindakan
komplek,
yang
diperlukan
yang untuk
pengobatan penyakit yang dapat mengancam jiwa, sifat pengobatan, potensi yang membahayakan pasien atau efek toksik dari obat berisiko tinggi. Dimana dalam pelaksanaannya harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan keluarga dengan menanda-tangani informed consent. E.
PELAYANAN EWS 1. Early Warning System (EWS) adalah sistem peringatan dini yang dapat diartikan sebagai rangkaian sistem komunikasi informasi yang dimulai dari deteksi awal, dan pengambilan keputusan selanjutnya. Diteksi dini merupakan gambaran dan isyarat terjadinya gangguan fungsi tubuh yang buruk atau ketidakstabilitas fisik pasien sehingga dapat menjadi kode dan atau mempersiapkan kejadian buruk dan meminimalkan dampaknya, penilaian untuk mengukur peringatan dini ini menggunakan Early Warning Score. 2. Modified Early Warning Score (MEWS) adalah sebuah pendekatan sistematis perubahan
yang
menggunakan
kondisi
seseorang
skoring sekaligus
untuk
mengidentifikasi
menentukan
langkah
selanjutnya yang harus dikerjakan. Penilaian ini dilakukan pada orang dewasa (berusia lebih dari 18 tahun), tidak untuk anak-anak dan ibu hamil. Sistem ini dikembangkan oleh Royal College of Physicians, the Royal College of Nursing, the National Outreach Forum and NHS Training for Innovatio, London tahun 2012. 3. Pediatric Early Warning System (PEWS) adalah penggunaan skor peringatan dini dan penerapan perubahan kompleks yang diperlukan untuk pengenalan dini terhadap pasien anak yang berumur dibawah 18 tahun di rumah sakit. 4. Early Warning Observation Score Chart Obstetrik (EWOSCO) adalah penggunaan skor peringatan dini dan penerapan perubahan kompleks yang diperlukan untuk pengenalan dini terhadap pasien hamil.
F.
PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH
3
1.
Pelayanan
darah
adalah
upaya
pelayanan
kesehatan
yang
memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersil 2.
Pelayanan tranfusi darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang meliputi perencanaan, pengerahan, dan pelestarian donor darah, penyediaan darah, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian
darah
kepada
pasien
untuk
tujuan
penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
G.
PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU HIDUP DAN ATAU KOMA 1.
Pasien dengan alat bantu napas adalah pasien dengan kondisi tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigennya sehingga memerlukan alat bantu nafas baik invasive maupun non invasive.
2.
Alat bantu napas non invasive adalah upaya pembebasan jalan napas tanpa
menggunakan
alat
dan
pemenuhan
oksigenasi
dengan
menggunakan nasal, binasal, masker, dan non rebreathing oksigen. 3.
Alat bantu napas invasive (Ventilasi mekanik) adalah ventilasi yang sebagian atau seluruhnya dilaksnanakan dengan bantuan mekanis.
4.
Intubasi adalah suatu tindakan memasukkan pipa jalan napas buatan kedalam trachea melalui hidung atau mulut.
5.
Ekstubasi adalah tindakan yang dilakukan untuk melepas pipa jalan napas buatan (ETT) dari trachea.
6.
Pasien koma adalah suatu keadaan penurunan kesadaranyang paling berat, ditandai dengan kondisi penurunan kesadaran yang tidak menghasilkan reaksi sama sekali terhadap rangsangan dari luar (GCS V1E1M1)
H.
PELAYANAN PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR 1. Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit (Infeksi) tertentu yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Penyakit infeksi merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi (organisme) yang sisertai respon imun dan gejala klinik.
4
3. Infeksi merupakan suatu kadaan diaman ditemukannya adaya agen infeksi (organisme) dimana terdapat respon imun, tetapi tidak disertai gejala klinik. 4. Penyakit menular melalui trnsmisis udara(airbone diseases) adalah infeksi mikroorganisme yang ditularkan melalui parikel udara yang lebih kecil dari 5 µm. 5. Penyakit menular melalui aliran tubuh (droplet) adalah infeksi yang disebarkan melalui butiran cairan yang lebih besar (>5 µm). 6. Penyakit menular melalui kontak (kontaka langsung maupun tidak langsung) infeksi yang didapat melalui pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi dengan oraganism epidemis seperti spesiesspesies yang kebal berbagai oabat atau spesies Enterococcus yang kebal Vancomycin (VRE). 7. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari reservoir ke penderita (yang Suspectibel). 8. Tuberculosis Paru (TB Paru) adalah penyakit menular pada jaringan paru akibat infeksi Mikobakterium Tuberkulosis.
I.
PASIEN DENGAN IMUNITAS MENURUN (IMMUNO-COMPROMISSE) 1. Pasien yang dimaksud dengan pasien immunitas menurun adalah: 2. Pasien dengan Neutrophenia dengan Absoulute Neutrofil Count (ANC) ≤ 500 x 106 sel/L. 3. Pasien HIV yang sudah tertangani infeksi oportunistiknya dengan CD4 < 200 sel/unit.
J.
PANDUAN PELAYANAN HAEMODIALISA 1. Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana kotoran dibuang dari dalam darah melalui ginjal buatan (mesin hemodialisa). Prosedur ini digunakan untuk mengatasi keadaan dimana ginjal tidak mampu membuang kotoran tubuh (Des & Pearle, dalam Ratnawati, 2011). 2. Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan 5
penyakit ginjal stadium terminal (end stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen (Bruner & Suddart, 2002). 3. Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal
K.
PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT PENGIKAT (RESTRAINT) 1. Pelayanan pasien Adalah penyediaan jasa oleh Rumah Sakit kepada orang sakit yang dirawat di Rumah Sakit yang bertujuan untuk mengurangi atau menyembuhkan keluhan yang berhubungan dengan kesehatan orang sakit tersebut. 2. Restraint Adalah
suatu
metode/cara
pembatasan/restriksi
yang
disengaja terhadap gerakan/perilaku seseorang. Dalam hal ini, ‘perilaku’ yang dimaksudkan adalah tindakan yang direncanakan, bukan suatu tindakan yang tidak disadari/tidak disengaja/sebagai suatu refleks.
L.
PERLINDUNGAN TERHADAP KEKERASAN FISIK Perlindunngan terhadap kekerasan fisik adalah suatu usaha yang merupakan tanggung jawab rumah sakit dalam melindungi pasien dari penganiayaan fisik yang diberikan pada saat pasien berada dilingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng.
M.
ASUHAN GIZI 1.
Asuhan Gizi Asuhan gizi adalah serangkaian proses kegiatan pelayanan gizi yang berkesinambungan dan bertujuan untuk memecahkan masalah gizi, meliputi kegiatan pengkajian gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi melalui pemenuhan kebutuhan zat gizi klien secara optimal, baik 6
berupa pemberian makanan maupun konseling gizi, serta monitoring dan evaluasi kepada klien/pasien rawat inap dan rawat jalan. Asuhan gizi merupakan sarana dalam upaya pemenuhan zat gizi pasien. Pelayanan gizi rawat inap sering disebut juga dengan terapi gizi medik. Pelayanan kesehatan paripurna seorang paien, baik rawat inap maupun rawat jalan, secara teoritis memerlukan tiga jenis asuhan
(CARE)
yang
pada
pelaksanaannya
dikenal
sebagai
pelayanan (SERVICES). Ketiga jenis asuhan tersebut adalah Asuhan Medik, Asuhan Keperawatan dan Asuhan Gizi. 2.
Skrining Gizi Skrining
gizi
adalah
proses
mengetahui
dan
mengidentifikasi
karakteristik individu yang mengalami kekurangan gizi atau yang beresiko terhadap permasalahan gizi, Proses sederhanan dan cepat untuk mengidentifikasi permasalahan gizi 3.
Pengkajian Gizi Pengkajian gizi adalah kegiatan mengumpulkan, mengintegrasikan dan menganalisis data untuk identifikasi masalah gizi yang terkait dengan aspek asuhan zat gizi dan makanan, aspek klinis dan aspek perilaku-lingkungan serta penyebabnya
4.
Diagnosis Gizi Diagnosis gizi adalah kegiatan mengidentifikasi dan memberi nama masalah gizi yang aktual, dan atau berisiko menyebabkan masalah gizi yang merupakan tanggung jawab dietisien untuk menanganinya secara mandiri. Diagnosis gizi diuraikan atas komponen masalah gizi (Problem), penyebab masalah (Etiology), serta tanda dan gejala adanya masalah (Signs & Symptoms).
5.
Intervensi Gizi Intervensi adalah serangkaian aktivitas spesifik dan berkaitan dengan penggunaan bahan untuk menanggulangi masalah. Aktivias ini merupakan tindakan yang terencana secara khusus, dengan tujuan untuk mengatasi masalah gizi terkait perilaku; kondisi lingkungan;
atau
status
kesehatan
individu,
kelompok,
atau
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi klien. 6.
Monitoring dan Evaluasi Kegiatan monitoring dan evaluasi gizi dilakukan untuk mengetahui respon
pasien/klien
terhadap
intervensi
dan
tingkat 7
keberhasilannya. Aktivitas ini bukan sekedar kegiatan ‘mengamati’ apa yang terjadi saja tetapi membutuhkan komitmen yang kuat untuk melakukan pengukuran, pencatatan hasil sesuai indikator yang selaras dengan diagnosis gizi dan intervensi gizi. 7.
Konseling Gizi Konseling
gizi
adalah
serangkaian
kegiatan
sebagai
proses
komunikasi 2 (dua) arah untuk menanamkan dan meningkatkan pengertian, sikap, dan perilaku sehingga membantu klien/pasien mengenali dan mengatasi masalah gizi melalui pengaturan makanan dan minuman. Konseling gizi dilaksanakan oleh ahli gizi/dietisien. 8.
Dietisien Dietisien
adalah
seorang
yang
mempunyai
pendidikan
gizi
khususnya dietetik dan mendapat sertifikasi dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), bekerja untuk menerapkan prinsip prinsip gizi dalam
pemberian
merencanakan
makanan
menu
dan
kepada diet
individu
khusus,
atau serta
kelompok, mengawasi
penyelenggaraan dan penyajian makanan. 9.
Pasien Pasien adalah seseorang yang mempunyai masalah kesehatan dan gizi, dan atau sedang menjalani pengobatan di pelayanan kesehatan rumah sakit baik rawat jalan maupun rawat inap, berkeinginan melakukan tindakan pencegahan penyakit, melakukan perubahan perilaku serta meningkatkan status gizi. Pasien dapat datang karena keinginan sendiri maupun dirujuk dari dokter yang merawat.
10. Food model adalah bahan makanan atau makanan contoh yang terbuat dari bahan sintestis atau asli yang diawetkan dengan ukuran dan satuan tertentu sesuai dengan satuan penukar yang digunakan untuk konseling gizi kepada pasien rawat inap maupun pengunjung rawat jalan. 11. Panduan
Pelayanan
Gizi
Penyelenggaraan
Makanan
adalah:
Kumpulan ketentuan yang menjadi dasar ( pegangan, petunjuk) disamping syarat- syarat yang lain,
untuk menentukan atau
melaksanakan sesuatu dalan pelayanan gizi. 12. Penyelenggaraan makanan RS merupakan rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, perencanaan
anggaran
belaanja,
pengadaan
bahan
makanan, 8
penerimaan
dan
penyimpanan,
pemasakan
bahan
makanan,
distribusi dan pencatatan, pelaporan serta evaluasi. 13. Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia yang dilakukan melalui pendekatan edukatif 14. Pendekatan edukatif
diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematik, terencana, terarah dengan serta aktif individu
maupun
kelompok
masalah
masyarakat
masyarakat,
dengan
faktor
untuk
sosial,
memecahkan
ekonomi,
budaya
setempat 15. Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. 16. Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan
yang
berlandaskan
prinsip-prinsip
belajar
untuk
mencapai suatu keadaan, dimana individu, keluarga, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya
dan
melakukan
apa
yang
bisa
dilakukan,
secara
perseorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan 17. Dietisien
adalah seseorang yang memiliki pendidikan gizi,
khususnya dietetik, yang bekerja untuk menerapkan prinsip-prinsip gizi dalam pemberian makan kepada individu atau kelompok, merencanakan
menu,
dan
diet
khusus,
serta
mengawasi
penyelenggaraan dan penyajian makanan 18. Konselor gizi adalah ahli gizi yang bekerja untuk membantu orang lain (klien) mengenali, mengatasi masalah gizi yang dihadapi, dan mendorong klien untuk mencari dan memilih cara pemecahan masalah gizi secara mudah sehingga dapat dilaksanakan oleh klien secara efektif dan efisien. Konseling biasanya dilakukan lebih privat, berupa komunikasi dua arah antara konselor dan klien yang bertujuan untuk memberikan terapi diet yang sesuai dengan kondisi pasien dalam upaya perubahan sikap dan perilaku terhadap makanan 19. Penyuluh Gizi adalah seseorang yang memberikan penyuluhan gizi yang merupakan suatu upaya menjelaskan, menggunakan, memilih, 9
dan mengolah bahan makanan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap,
dan
perilaku
perorangan
atau
masyarakat
dalam
mengonsumsi makanan sehingga meningkatkan kesehatan dan gizinya 20. Penyusunan anggaran belanja makanan adalah suatu kegiatan penyusunan anggaran biaya yang diperlukan untuk pengadaan bahan makanan bagi konsumen/pasien yang dilayani. 21. Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan
diolah
untuk
memenuhi
selera
konsumen/pasien
dan
kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang 22. Perhitungan
kebutuhan
bahan
makanan
adalah:
kegiatan
penyusunan kebutuhan bahan makanan yang diperlukan untuk pengadaan bahan makanan. 23. Pemesanan adalah penyusunan permintaan (order) bahan makanan berdasarkan menu atau pedoman menu dan rata-rata jumlah konsumen atau pasien yang dilayani 24. Penyimpanan bahan makanan adalah: suatu tata cara menyimpan, memelihara keamanan bahan makanan kering maupun basah agar mutu serta keamanan bahan makanan tersebut dapat dijaga dengan baik.
N.
MANAJEMEN NYERI 1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi. atau pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of Pain) 2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedcra atau penyakit. Lamanya nyeri kurang dari 6 minggu 3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan dalam periode waktu yang lanjut. Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun sudah terjadi proses- penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang'pasti. Lamanya nyeri lebih dari 6 minggu 4. Nyeri membandel adalah nyeri membandel yang disebabkan oleh karena keganasan /kanker atau penyakit kronis. 10
5. Manajemen nyeri intervensi (MNI) adalah disiplin kedokteran yang ditujukan untuk diagnosis dan pengobatan gangguan nyeri yang terkait.
Menggunakan
pendekatan
multidisiplin
di
mana
tim
profesional perawatan kesehatan bekerja sama untuk menyediakan berbagai perawatan dan layanan untuk pasien yang menderita sakit kronis dan / atau akut. Tujuan dari MNI adalah untuk meringankan, mengurangi, atau mengelola rasa sakit dan meningkatkan kualitas keseluruhan hidup pasien melalui teknik minimal invasif yang dirancang khusus untuk mendiagnosa dan mengobati kondisi yang sakit. 6. Tim pengelola pelayanan nyeri dipimpin oleh dokter anestesiologi dan terapi intensif konsultan nyeri atau dokter anestesiologi dan terapi intensif yang membidangi nyeri dengan anggota dokter anestesiologi dan terapi intensif lainnya, DPJP dan perawat yang membidangi pelayanan nyeri.
O.
PELAYANAN PASIEN TAHAP TERMINAL 1.
Kondisi terminal adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera atau penyakit dimana terjadi kerusakan organ multiple yang dengan pengetahuan dan teknologi kesehatan terkini tak mungkin lagi dapat dilakukan perbaikan,sehingga akan menyebabkan kematian dalam rentang
waktu
yang
singkat.
Pengaplikasian
terapi
untuk
memperpanjang/mempertahankan hidup hanya akan berefek dan memperlama proses penderitaan pasien. 2.
Pasien tahap terminal adalah pasien dengan kondisi terminal yang makin lama makin memburuK
3.
Mati
klinis
adalah
spontan)ditambah
henti
henti
nafas
sirkulasi
(tidak
ada
(jantung)total
gerak
nafas
dengan
semua
aktivitas otak terhenti,tetapi tidak ieversibel 4.
Mati
biologis
adalah
proses
mati
atau
rusaknya
semua
jaringan ,dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira –kira satu jam tanpa sirkulasi ,diikuti oleh jantung,ginjal ,paru dan hati. 5.
Mati batang otak adalah keadaan dimana terjadi kerusakan seluruh isi saraf/neuron intrakranial yang tak dapat pulih termasuk batang otak dan cerebelum 11
6.
Witholding life adalah penundaan bantuan hidup
7.
Withdrowing life adalah penghentian bantuan hidup
8.
Mengelola akhir kehidupan adalah pelayanan tindakan penghentian bantuan hidup atau penundaan bantuan hidup
9.
Donasi organ adalah tindakan memberikan organ tubuh dari donor kepada resipien
10. Perawatan paliatif adalah upaya medik untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup pasien dalam kondisi terminal
BAB II RUANG LINGKUP PELAYANAN ASUHAN PASIEN
A.
PEMBERIAN PELAYANAN YANG SERAGAM UNTUK SEMUA PASIEN 1.
Akses untuk asuhan dan pengobatan, yang memadai, tidak tergantung atas kemampuan pasien untuk membayar atau sumber pembiayaan di ruangan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng
2.
Akses untuk asuhan dan pengobatan yang memadai dan diberikan oleh Profesional Penanggungjawab Asuhan (PPA) yang kompeten tidak bergantung pada hari setiap minggu atau waktunya setiap hari (3 shiff, 24 jam dan 7 hari);
3.
Penggunaan alokasi sumber daya yang sama, untuk memenuhi kebutuhan pasien pada populasi yang sama;
4.
Pemberian asuhan yang diberikan kepada pasien sama di semua unit pelayanan di rumah sakit;
5.
Pasien dengan kebutuhan asuhan keperawatan yang sama menerima asuhan keperawatan yang setara di seluruh rumah sakit.
B.
PENGINTEGRASIAN DAN KOORDINASI ASUHAN PASIEN
12
Ruang lingkup pengintegrasian dan koordinasi asuhan pasien meliputi semua area perawatan pasien baik di Instalasi rawat jalan, Gawat Darurat dan Rawat Inap yang dilakukan oleh semua Profesional Pemberi Asuhan. Pelaksanaan Asuhan Pasien Terintegrasi pusatnya adalah pasien dan mencakup elemen antara lain sebagai berikut: a.
Keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga
b.
DPJP sebagai ketua tim PPA (Clinical Tim Leader)
c.
PPA
bekerja
sebagai
tim
interdisiplin
dengan
kolaborasi
interprofesional antara lain memakai Panduan Praktek Klinis (PPK), Panduan Asuhan PPA lainnya disertai Alur Klinis Terintegrasi /Clinical
Pathway,
dan
Catatan
Perkembangan
Pasien
Terintegrasi/PT. d.
Perencanaan Pemulangan Pasien/Discharge Planning terintegrasi
e.
Asuhan Gizi terintegrasi
f.
Manajer Pelayanan Pasien/ Case Manajer
Adapun
upaya
untuk
mengkoordinasikan
dan
mengintegrasikan
pelayanan melalui :
C.
1.
Pengkajian Medis Dan Keperawatan Rawat Jalan Terintegrasi
2.
Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
3.
Rapat Tim
4.
Case Manager
RENCANA ASUHAN 1.
Pengkajian/asesmen Awal Semua pasien yang datang ke rumah sakit yang memerlukan perawatan/ dilakukan
pengobatan
dirawat
pengkajian/asesmen
jalan awal
dan
di
lengkap.
gawat
darurat
Penilaian
awal
mencakup evaluasi factor fisik, psikologis, social, ekonomi termasuk pemeriksaan
fisik
terdokumentasi
dan
pada
riwayat
form
kesehatan.
pengkajian
awal
Pengkajian
awal
medis
form
dan
pengkajian awal keperawatan. Pengkajian
awal
medis
dan
keperawatan
diselesaikan
dalam
kerangka waktu 24 jam setelah pasien masuk rawat inap. Pengkajian awal rawat jalan diselesaikan dalam waktu 60 menit. Pengkajian 13
awal Gawat darurat dalam waktu 6 jam sudah harus diputuskan apakah pasien dinyatakan rawat jalan atau rawat inap. 2. Rencana Asuhan ( Plan Of Care) Rencana asuhan medis dan rencana asuhan keperawatan pasien bersifat individual dan berdasarkan data asesmen awal pasien. Rencana asuhan direncanakan oleh Profesional Pemberi Pelayanan (PPA) dengan membuat rencana yang terukur berbasis Informasi, Analisis, dan Rencana Pelayanan (IAR) pada form Pengkajian Awal Medis Dan Keperawatan. Rencana asuhan berisi target terukur bisa berupa
perkiraan
waktu,
target
perawatan
dan
atau
kriteria
pemulangan pasien. Ruang lingkup rencana asuhan (Plan of care) ada 2 yaitu Rencana asuhan Medis dan Rencana asuhan Keperawatan 3. Rencana Asuhan Medis Rencana asuhan medis adalah rencana asuhan perawatan dan pengobatan yang akan diberikan kepada pasien berdasarkan data hasil Pengkajian Awal Medis. Rencana asuhan dibuat oleh DPJP atau yang mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) dan sesuai dengan kewenangan klinisnya. 4. Rencana Keperawatan Rencana asuhan keperawatan adalah rencana yang dibuat oleh perawat berdasarkan kebutuhan pasien. Data didapatkan dari hasil analisa
Pengkajian
Awal
Perawatan.
Pengkajian
keperawatan
dilakukan oleh Perawat Primer.
5. Rencana Asuhan Gizi Rencana kerja yang akan dilakukan oleh ahli Gizi atau dokter Gizi Klinik berdasarkan hasil dari Skrining nutrisi yang dilakukan pada pasien. Skrining awal gizi dilakukan oleh perawatat, bila ada masalah seperti keluhan makan/minum atau penurunan berat badan akan dilakukan penilaian lebih lanjut oleh ahli gizi dan dokter gizi klinik
D. TATA CARA PEMBERIAN INSTRUKSI DALAM PELAYANAN ASUHAN PASIEN 14
1. Instalasi Gawat Darurat 2. Instalasi Rawat Inap 3. Instalasi intensif
E. PASIEN BERISIKO TINGGI DAN PELAYANAN BERISIKO TINGGI 1. Pasien Berisiko Tinggi Yang termasuk pasien dengan Berisiko tinggi adalah sebagai berikut :
Pasien emergensi;
Pasien dengan penyakit menular;
Pasien koma;
Pasien dengan alat bantuan hidup dasar;
Pasien “immuno-suppressed”;
Pasien dialisis;
Pasien dengan restrain;
Pasien dengan risiko bunuh diri;
Populasi pasien rentan, lansia, anak-anak, dan pasien berisiko tindak kekerasan atau diterlantarkan; dan Pasien risiko tinggi lainnya.
2. Pelayanan berisiko Tinggi Yang termasuk pelayanan berisiko tinggi seperti :
Pelayanan pasien dengan penyakit menular;
Pelayanan pasien yang menerima dialisis;
F. PELAYANAN EARLY WARNING SYSTEM (EWS) 1. Instalasi Rawat Inap 2. Instalasi Maternal dan Perinatal a. Ruang Nifas b. Ruang Perinatologi 3. Instalasi Gawat Darurat (IGD) 4. Instakasi Rawat Intensif 5. Perawat G. PELAYANAN RESUSITASI Memberikan
bantuan
resusitasi
kepada
setiap
orang/pasien
yang
mengalami ancaman/henti napas dan henti jantung yang berada di seluruh
15
lingkungan
RSUD
Kabupaten
Buleleng
dengan
mengaktifkan
Blue
Code/Resus Call
H. PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH Pelayanan darah dan produk darah meliputi hal-hal di bawah ini: 1) Pemberian persetujuan (informed consent); 2) Pengadaan darah; 3) Identifikasi pasien; 4) Pemberian darah; 5) Monitoring pasien; 6) Identifikasi dan respons terhadap reaksi transfuse.
I. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU HIDUP DAN ATAU KOMA Ruang lingkup pelayanan pasien dengan alat bantu napas 1.
2.
Pasien alat bantu napas non invasive seperti : a.
Menaruh sumber oksigen di dekat wajah bayi
b.
Kanula nasal
c.
Kateter nasal
d.
Kateter nasofaring
e.
Sungkup muka (masker)
f.
Sungkup kepala (headbox)
g.
Nasal prong (AP)
Pasien dengan alat bantu napas invasive a. Pipa endotrakeal (Ventilator Mekanik)
3.
Indikasi pasien dengan alat bantu ventilator a.
Dewasa : Untuk pasien yang memerlukan ventilasi mekanik mengacu pada parameter mekanik dan parameter kimia pernapasan. Parameter mekanik meliputi : 1)
Frekuensi napas > 35 x/mnt
2)
Volume tidal < 5 ml/kg BB
3)
Kapasitas Vital <15 ml/kg BB
4)
Kekuatan inspirasi maksimum dlm cm H2O < 25
5)
Oksigenasi PaO2 < 60 mmHg
6)
P (A-aDO2) >350 16
7)
b.
Ventilasi PaCO2 >60 mmHg
Anak / Neonatus 1)
Gejala klinis bayi apnea atau gagal napas berat
2)
Kebutuhan oksigen (F1O2 > 60%)
3)
Bayi dengan usia kehamilan < 25 minggu
4)
Hasil
analisa
gas
darah
menunjukkan
hipoksia
daan
asidosis berat
4.
PO2 < 50 mmHg
PCO2 > 60 mmHg
PH < 7,25
Tempat Pelayanan a.
Pasien dengan alat bantu napas non invasive di rawat di seluruh ruang rawat inap, ruang intermediate dan di IGD sesuai dengan berat ringannya prognosis.
b.
Pasien dengan alat bantu napas mekanik di rawat di Ruang rawat inap intensif (NICU, PICU, HCU, ICU dan ICCU) sesuai dengan kebijakan dan prosedur.
Pelayanan Pasien Koma 1.
Pelayanan pasien koma meliputi a.
Pasien koma disebabkan oleh kelainan intracranial seperti pasien dengan cedera kepala sedang smapai berat, tumor otak, stroke hemorhhagic sampai kematian batang otak.
b.
Pasien koma disebabkan oleh karena ekstrakranial seperti pasien dengan koma diabeticum, hiponatremia, hypokalemia.
2.
Tempat pelayanan pasien koma : Tempat
pelayanan
pasien
koma
dengan
koma
memerlukan
perawatan intensif di rawat di intensif yaiutu untuk pasien neonates di NICU, intensif dewasa di ICU. Untuk pasien koma tanpa gangguan ventilasi dan sirkulasi di rawat di ruang observasi yaitu ruang intermediate.
J.
PELAYANAN PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR A. Pelayanan Pasien Dengan Penyakit Menular 17
Ruang lingkup pelayanan pasien dibedakan sebagai berikut : 1. Penyakit menular melalui udara (airborne disease) tiga jenis penyakit yang ditularkan melalui cara ini adalah tuberculosis paru-paru (TBC), chicken-pox, dan measles. 2. Penyakit menular melalui droplet yaitu influenza dan respiratory syncytial virus. 3. Penyakit meular melalui kontak (kontak langsung maupun kontak tidak langsung) seperti spesies-spesies yang kebal berbagai obat atau spesies Enterococcus yang kebal Vancomycin (VRE). 4. Penyakit menular melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah). 5. Penyakit menular melalui vector (biasanya serangga dan binatang pengerat). Tempat Perawatan: 1. Rawat Jalan/poliklinik 2. Rawat Inap
B. Pelayanan Pasien Dengan Immuno-Compromisse dibedakan sebagai berikut: 1. Pasien Imunokompromis ringan – sedang a. Pasien yang menerima terapi imunosupresan (kemoterapi) dosis tinggi, pulse high dose Steroid 10-30mg/kgBB/kali) b. Pasien dengan Neutropenia ANC 500 x 106/L sel 2. Pasien Imunokompromis berat yaitu a. Pasien dengan Neutropenia ANC < 500 x 106/L sel b. Pasien HIV yang sudah tertangani Infeksi Opportunistiknya dengan CD4 kurang dari normal. Tempat Pelayanan : 1. Rawat Jalan/Poliklinik 2. Rawat inap
K. PELAYANAN HEMODIALISA Pelayanan tindakan hemodialisa akan dilakukan di unit pelayanan hemodialisa yang berada di rumah sakit RSUD Kabupaten Buleleng, dimana tempat tersebut berada di dekat ICU/HCU, OK, ruang bersalin dan 18
laboratorium dan ruang bayi. Di dalam Unit hemodialisa kami mempunyai 22 buah mesin terdiri dari 14 mesin Fresenius dan 8 mesin nipro. Satu buah mesin untuk pasien infeksiu. Keunggulan dari hemodialisa yang kami miliki selain dapat melakukan tindakan hemodialisa konvesional, juga dapat melakukan tindakan Hemodialisa SLEED. Dimana HD SLEED dikerjakan pada pasien dengan kondisi tidak stabil.
L. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT PENGIKAT (RESTRAINT) Pelayanan pasien dengan alat pengikat (Restraint) dilakukan oleh staf medis kepada seluruh pasien
Rawat
mulai
Darurat,
dari
Instalasi
Gawat
Inap
RSUD Kabupaten Buleleng
Ruang Rawat Inap, hingga Unit
Perawatan Intensif. M. PERLINDUNGAN TERHADAP KEKERASAN FISIK Ruang lingkup kegiatan meliputi : 1. Rumah
sakit
menetapkan
kelompok
beresiko
yang
mendapat
perlindungan terhadap kekerasan fisik yaitu: a. Pasien Bayi b. Pasien anak-anak c. Orang tua/ manula d. Orang cacat e. Pasien koma f. Pasien dengan gangguan mental dan emosional g. Pasien yang kurang mampu dalam melindungi dirinya. 2. Melakukan identifikasi terhadap para pengunjung rumah sakit seperti: a. Penunggu pasien b. Tamu seperti Medrep/detailer, pekerja proyek dll c. Pengunjung tanpa identitas 3. Pemantauan lokasi terpencil atau lokasi terisolasi
N. ASUHAN GIZI Tim asuhan gizi merupakan tim fungsional yang mengkoordinasikan penyelenggaraan asuhan gizi mulai dari perencanaan,
pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi. Tim ini dipimpin oleh seorang dokter dengan anggota yang terdiri dari dakter, nutrisionis atau dietsien, perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Tim asuhan gizi bertugas menyelenggarakan 19
pelayanan
gizi
paripurna
kepada
klien/pasien,
terutama
yang
membutuhkan terapi gizi, termasuk pelayanan gizi pada pasien rawat jalan. Salah satu upaya untuk pemantapan pelaksanaan asuhan gizi, dapat dibentuk suatu panitia/komite asuhan gizi oleh pimpinan Rumah Sakit yang terdiri dari unsur pengelola rumah sakit dan kelompok professional yang terkait dengan pengelolaan dan pelaksanaan asuhan gizi. Secara garis besar panitia/komite ini mempunyai tugas membantu pimpinan rumah sakit sebagai pemerhati masalah gizi pasien dan memberikan masukan untuk
penyempurnaan
pelaksanaan
asuhan
gizi.
Sedangkan
untuk
pelaksanaan asuhan gizi dibentuk Tim Asuhan Gizi di masing-masing unit pelayanan. Agar kegiatan asuhan gizi berjalan dengan optimal, maka perlu dukungan pimpinan rumah sakit, komite medik dan staf serta adanya koordinasi dan komunikasi antar anggota tim. Jadi ruang lingkup kegiatan pokok asuhan gizi di rumah sakit terdiri dari : 1) Asuhan gizi pasien rawat jalan 2) Asuhan gizi pasien rawat inap Ruang lingkup konseling gizi meliputi: 1) Konseling gizi pasien rawat jalan 2) Konseling gizi pasien rawat inap Ruang lingkup panduan kegiatan pokok pelayanan gizi Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng 1.
Perencanaan Anggaran Belanja Makanan
2.
Perencanaan Menu
3.
Perhitungan Kebutuhan Bahan Makanan.
4.
Pemesanan Bahan Makanan
5.
Penerimaan Bahan Makanan
6.
Penyimpanan Bahan Makanan
7.
Penyaluran Bahan Makanan
8.
Persiapan Bahan Makanan
9.
Pengolahan Bahan Makanan
10. Penyimpanan Makanan 11. Pendistribusian Makanan 12. Kesehatan Bahan Makanan dan Makanan 13. Kesehatan Penjamah Makanan 14. Keselamatan
Kerja
di
ruang
persiapan
dan
pengolahan
dan
pendistribusian makanan 20
15. Keselamatan kerja di ruang distribusi makanan 16. Pengontrolan Fasilitas 17. Monitoring Penyiapan, penyimpanan Dan Distribusi Makanan.
O. MANAJEMEN NYERI a. Assesment nyeri b. Farmakologi Obat Analgesik c. Manajemen Nyeri Akut d. Manajemen efek samping: e. Manajemen nyeri intervensi
P. PELAYANAN PASIEN TAHAP TERMINAL Ruang lingkup Pelayanan pasien tahap terminal ini berlaku untuk semua stap dan unit pelayanan di RSUD Singaraja terutama diruang ICU dan diruang perawatan. Adapun penyakit yang menyebabkan seseorang dalam kondisi terminal/mengancam hidup,antara lain : 1. Penyakit Kronis seperti :TBC,SIROSIS HEPATIS,PENYAKIT GINJAL KRONIK dan Gagal Jantung 2. Keganasan seperti Ca 3. Kecelakaan /trauma seperti trauma organ vital Banyak masalah yang melingkupi kondisi terminal pasien ,yaitu mulai dari titik yang aktual dimana pasien dinyatakan kritis sampai diputuskan meninggal dunia atau mati.Seseroang dinyatakan meninggal/mati apabila fungsi jantung dan paru berhenti,kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit,dan otak merupakan organ besar
pertama
yang
menderita
kehilangan
fungsi
yang
ireversibel,selanjutnya organ-organ lain akan mati.respon pasien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,psikologis, sosial yang dialami ,sehingga dampak yang ditimbulkan tiap individu juga berbeda. Menurut Elisabeth Kubler –Ross,M.D,ada 5 fase menjelang kematian,yaitu : a. Denial (fase penyangkalan /pengingkaran diri) Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia menderita penyakit yang parah dan tidak dapat menerima informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan
mungkin
mengingkarinya.Penyangkalan
ini
merupakan 21
mekanisme pertahanan yang acapkali ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita mengejutkan tentang keadaan dirinya b. Anger (fase kemarahan ) Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa iaakan meninggal.Masanya tiba dimana ia mengakui,bahwa kematian memang sudah dekat.Tetapi kesadaran ini sering kali disertai dengan munculnya
ketakutan
dan
kemarahan.Kemarahan
ini
sering
diekpresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari kesalahan pada pelayanan dirumah sakit atau dirumah.Umumnya pemberi pelayanan tidak menyadari ,bahwa tingkah laku pasien sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya.Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian,bukan
argumentasi-argumentasi
dari
orang-orang
yang
tersinggung oleh karena kemarahannya. c. Bargaining(fase tawar menawar ) Ini adalah fase dimana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih lama lagi atau dikurangi penderitaannya.Merekan bisa menjanjikan macam-macam hal kepada Tuhan ,Tuhan kalau engkau menyatakan kasihMu,dan keajaiban kesembuhan-Mu,maka aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk melayani-Mu d. Depresion (fase depresi ) Setelah
ternyata
penyakitnya
makin
parah
,tibalah
fase
depresi.Penderita merasa putus asa melihat masa depannya yang tanpa harapan e. Acceptance (fase menerima/pasrah ) Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan yang ia alami.Pada umumnya,setelah jangka waktu tertentu mereka akan dapat menerima kenyataan ,bahwa kematian sudah dekat.Mereka mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalan-persoalan disekitarnya Pasien
dalam
kondisi
terminal
akan
mengalami
berbagai
masalah
fisik,psikologis,maupun sosio-spiritual,antara lain : a. Problem oksigenasi : Nafas tidak teratur Pernafasan cepat atau lambat Pernafasan cheyne stoke Sirkulasi perifer menurun 22
Perubahan mental Agitasi/gelisah Tekanan darah menurun Hypoksia Akumulasi sekret Nadi ireguler b. Problem eliminasi : Konstipasi Medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltik, kurang diet serat
dan
asupan
makanan
juga
mempengaruhi
konstipasi,inkontinensial fekal terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis ca colon ) Retensi urin Inkontinensia urine terjadi akibatpenurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya :trauma medula spinalis ,gagal ginjal c. Problem nutrisi dan cairan: Asupan makanan dan cairan menurun Peristaltik menurun Distensi abdomen Kehilangan berat badan Bibir kering dan pecah-pecah Lidah kering dan membengkak Mual/muntah d. Problem suhu : Ektremitas dingin(terjadi karena asupan cairan menurun ) e. Problem sensori : Penglihatan menjadi kabur Reflek berkedip menghilang mendekati kematian Pendengaran menurun Kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun
f. Problem nyeri :
23
Ambang
nyeri
menurun,pengobatan
nyeri
dilakukan
secara
intravena.Pasien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kenyamanan g. Problem kulit dan mobilitas Sering kali tirah baring lama menimbulkan masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering. h. Problem psikologis Pasien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon emosi,perasaan marah dan putus asa. i. Perawatan Paliatif Perawatan paliatif bertujuan mencapai Quality of life dan quality of death. Perawatan paliatif menyangkit psikologis ,spiritual ,fisik, keadaan sosial.
24
BAB III TATALAKSANA PELAYANAN ASUHAN PASIEN
A. TATALAKSANA PEMBERIAN PELAYANAN YANG SERAGAM 1. Pelayanan Rawat jalan/Poliklinik a. Berikan pelayanan poliklinik menurut waktu yang telah berlaku oleh semua petugas di instalasi rawat jalan b. Berikan salam dan perkenalkan diri oleh DPJP dan perawat jaga kepada setiap pasien. c. Lakukan assesmen oleh DPJP kepada setiap pasien d. Berikan informasi dan edukasi mengenai hasil assesmen, tindakan dan pengobatan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan pasien. e. Lakukan dokumentasi oleh DPJP dan perawat jaga pada rekam medic rawat jalan 2. Pelayanan Gawat Darurat a. Berikan pelayanan 24 jam kepada pasien oleh dokter dan perawat yang kompeten b. Berikan salam dan memperkenalkan diri oleh dokter dan perawat jaga IGD kepada pasien atau keluarga c. Lakukan system triage ATS (Australian Triage Scale) oleh dokter atau perawat jaga yang terlatih d. Lakukan assesmen awal oleh dokter jaga dan perawat jaga IGD e. Berikan informasi dan edukasi mengenai hasil assesman, tindakan dan pengobatan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan pasien f.
Lakukan dokumentasi oleh dokter jaga/DPJP dan perawat jaga IGD pada rekam medic IGD
3. Pelayanan Rawat Inap a. Berikan salam dan memperkenalkan diri oleh perawat jaga ruangan dan DPJP b. Lakukan serah terima pasien dengan metoda SBAR c. Lakukan assesmen ulang oleh perawat jaga ruangan dan DPJP 25
d. Lakukan kunjungan/visite oleh DPJP setiap jam kerja e. Berikan asuhan keperawatan selama 24 jam oleh perawat jaga f.
Berikan informasi dan edukasi mengenai hasil assesmen, tindakan dan pengobatan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan pasien.
g. Lakukan dokumentasi oleh DPJP dan perawat jaga ruangan pada rekam medic rawat inap 4. Pelayanan Anastesi dan Bedah a. Berikan salam dan memperkenalkan diri oleh dokter anastesi dan dokter bedah b. Dokter anastesi melakukan assesmen sebelum melaksanakan pembiusan. c. Berikan informasi dan edukasi tentang hasil assesmen serta tindakan pembiusan (pra-intra-post) d. Dokter bedah memberikan informasi tentang tindakan pembedahan yang dilakukan (pra-intra-post) e. Lakukan dokumentasi oleh dokter anastesi dan dokter bedah pada rekam medis anastesi dan bedah.
B. PELAYANAN DAN ASUHAN TERINTEGRASI 1. Pengkajian Awal Medis dan Keperawatan Rawat Jalan Adalah suatu tindakan pengkajian awal medis dan keperawatan yang terintegrasi yang berisi data pasien pada saat pasien pertama kali datang di poliklinik rawat jalan dengan suatu masalah kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan perawat secara terintegrasi. Pengkajia awal berisi minimum asesmen yang berbasis Informasi, Analisis dan Rencana (IAR). Informasi (I) dikumpulkan melalui Anamnesa,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan lain dan pemeriksaan penunjang. Analisis (A) : Informasi yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis sehingga menghasilkan suatu kesimpulan berupa masalah pasien, kondisi pasien dan Diagnosis. Dari sini akan dibuatkan rencana kerja sesuai kebutuhan pasien. Rencana Pelayanan/ Plan Of Care adalah upaya yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Rencana yang dibuat oleh PPA akan direview oleh DPJP sebagai Clinical Leader. 26
Selanjutnya rencana diimplmentasikan dan didokumentasikan dalam Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (PT). 2. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (PT) Implementasi dari perencanaan terdokumentasi dalam PT yang diisi oleh semua profesi yang terlibat langsung terhadap pasien seperti dokter, perawat, Ahli Gizi dan Farmasi. Hasil penilaian pasien yang dilakukan oleh dokter, perawat atau profesi lainnya yang terlibat terhadap asuhan pasien tercatat secara berurutan sesuai dengan waktu pemeriksaan dengan urutan : 1) tanggal, 2) jam dan 3) profesi. Catatan perkembangan pasien ditulis
sesuai dengan hasil penilaian
yang dibuat dalam format SOAP [(S (Subyektif), O (Obyektif), A (assessment), P (Planing)] yang dibuat berurutan. Dalam Point Planing berisi goal yang terukur. Semua Planing yang dibuat oleh Profesional Pemberian Asuhan dijadikan masukan bagi DPJP yang menjadi Clinical Leader untuk dijadikan perencanaan perawatan/pengobatan pasien selanjutnya, Untuk
Instruksi/perintah
pemeriksaan penunjang
baik
perintah
terapi,
diagnostik
dan
ditulis dalam kolom Instruksi. Dalam kolom
instruksi berisi operasional variable yang langsung bisa dilaksanakan. Kemudian di tulis nama dan tanda tangan profesi yang melakukan penilaian. Panduan pengisian Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (PT) adalah sebagai berikut: a. Lakukan pengisian form terintegrasi oleh PPA (Profesional Pemberi Asuhan) yaitu dokter, perawat dan petugas kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien b. Isi form terintegrasi dengan menulis identitas pada tempat yang tersedia c. Isi kolom “Tgl, jam” dengan angka sesuai dengan tanggal dan jam pencatatan penlaian pasien d. Isi kolom “Profesional Pemberi Asuhan” dengan bidang keahlian dari masing-masing PPA, contoh : dokter, perawat, fisiotherapi e. Catat secara berurutan hasil penialaian pasien yang dilakukan oleh DPJP, perawat, atau petugas yang terlibat sesuai dengan waktu pemeriksaan 27
f.
Perkembangan
tiap
pasien
dievaluasi
berkala
dan
dibuat
notasi/catatan oleh DPJP sesuai dengan kebutuhan dan diverifikasi harian oleh DPJP g. Hasil penilaian dicatat dalam format S (subyektif), O (obyektif), A (assesmen), dan P (Planning) yang dibuat secara berurutan ke bawah. h. Jika DPJP utama konsul ke bagian lain ditulis di form catatan perkembangan terintegrasi i.
Apoteker membuat SOAP di PT apabila terdapat masalah terkait obat yang terjadi pada pasien
j.
Isi kolom nama dan tandatangan dengan jelas oleh PPA
3. Rapat Tim Rapat
Tim
adalah
pelaksanaan
rapat
yang
membahas
tentang
penanganan dan perawatan bersama terhadap pasien yang dirawat. Kriteria pasien dilakukan rapat Tim : a.
Pasien yang memerlukan koordinasi lintas Instalasi / SMF / kasus multidisiplin / Length Of Stay (LOS) lebih dari 7 hari atau melebihi hari rawat sesuai Clinical Pathway
b.
Dirawat oleh 3 dokter atau lebih wajib dilakukan pembahasan kasus dengan SMF terkait.
c.
Bila dalam waktu lebih dari 2x24 jam belum bisa ditegakkan diagnosis pasti
Prosedur : a)
DPJP Utama berkoordinasi dengan kepala ruangan tempat pasien dirawat
untuk
berkoordinasi
dilakukan dengan
rapat
DPJP
tim
Utama
atau
kepala
ruangan
kalau
pasien
tersebut
memerlukan rapat tim medis. b)
Kepala Ruangan melaporkan hasil koordinasi ke Kepala Instalasi, bidang Pelayanan Medis dan Komite Medik untuk menentukan waktu, tempat dan dokter yang diundang.
c)
Rapat tim dilaksanakan setelah semua yang diundang lengkap hadir disertai dengan perwakilan dari Instalasi atau bidang Pelayanan Medis
d)
Rapat tim medis dipimpin oleh DPJP Utama
28
e)
Jika hasil rapat tim memutuskan adanya perubahan DPJP maka untuk selanjutnya DPJP yang baru bertanggung jawab untuk memimpin tim
f)
Kesimpulan dari rapat tim medis ditulis di Catatan Perkembangan PasienTerintegrasi oleh DPJP Utama dan ditandatangani oleh DPJP Utama.
g)
Hasil kesimpulan rapat tim medis diinformasikan kepada pasien atau keluarganya untuk meminta persetujuan tentang program yang akan dilakukan selanjutnya.
Kesimpulan Rapat Tim
didokumentasikan dalam form PT oleh DPJP Utama.
4.
Case Manager Pasien yang membutuhkan koordinasi seorang Case Manager / MPP: a. Pasien yang memiliki masalah multipel, kompleks b. Pasien
dirawat
dalam
waktu
lama
(diluar
periode
yang
direkomendasikan) c. Pasien dirawat dalam jangka waktu lama untuk suatu alasan d. Pasien yang membutuhkan perawatan intensif untuk rehabilitasi dan perawatan komunitas e. Pasien yang masih membutuhkan perawatan di RS tetapi RS tidak memiliki biaya perawatan dan RS tidak memiliki kemampuan membantu dengan system yang berlaku. Tugas Case Manager : 1.
Mengidentifikasi pasien-pasien yang membutuhkan koordinasi case manager.
2.
Mengkoordinasikan pelayanan pasien dengan DPJP maupun Bagian/Instalasi/ Unit terkait dengan rencana maupun tindakan medis /keperawatan
3.
Memberikan
informasi
kepada
pasien/keluarga
mengenai
perkembangan pelayanan kesehatannya. 4.
Turut serta dalam rapat tim pelayanan pasien
5.
Membuat laporan perkembangan pasien
6.
Melakukan koordinasi dengan Ka. Ruangan, Ka. UPP. Ka. Instalasi, Ka. Bid. Pelayanan medis dan keperawatan, maupun bagian Perbendaharaan dan Mobilisasi Dana. 29
Pelaksanaan Asuhan Pasien Terintegrasi pusatnya adalah pasien dan mencakup elemen sebagai berikut: 1. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga. 2. DPJP sebagai Ketua tim PPA (Clinical Leader); 3. PPA bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional, antara lain memakai Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan PPA lainnya disertai Alur Klinis terintegrasi/Clinical Pathway, dan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi/PT; 4. Perencanaan Pemulangan Pasien/Discharge Planning terintegrasi; 5. Asuhan Gizi Terintegrasi
C. TATALAKSANA PEMBUATAN RENCANA ASUHAN PASIEN 1.
Mengintegrasikan dan Mengkoordinasikan Asuhan Setiap Pasien Rencana
pelayanan
yang
diberikan
kepada
setiap
pasien
diintegrasikan dan dikoordinasikan diantar berbagai unit kerja dan pelayanan oleh DPJP sebagai clinical leader 2.
Pengkajian Awal a.
Perencanaan yang teliti diperlukan untuk merencanankan perawatan/ pengobatan kepada pasien untuk mendapatkan hasil yang optimal. Proses perencanaan menggunakan data dari Pengkajian
Awal
medis
dan
Keperawatan
yang
berbasis
Informasi, Analisis dan Rencana pelayanan (IAR). Dari hasil pengkajian berupa anamesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan lainnya didapatkan Informasi (I) tentang pasien tersebut. Dari data yang terkumpul dilakukan Analisis informasi (A) didapatkan problem list, diagnosis
yang
dijadikan
data
untuk
mengidentifikasi
kebutuhan pelayanan pasien. Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka dirumuskan Rencana Asuhan (R)/ Plan of Care yang terukur untuk memenuhi kebutuhana pasien, yang dilakukan oleh semua Profesional Pemberi Asuhan (PPA). b. Pengkajian Ulang Bila pasien diputuskan untuk rawat inap, maka diruang rawat inap
pasien
akan
dilakukan
pengkajian
ulang
dengan 30
menggunakan Form Pengkajian Keperawatan Rawat Inap dan Pengkajian Rawat Inap dari masing-masing SMF yang berbasis : Informasi, Analisis dan Rencana Asuhan (IAR) yang dilakukan oleh semua Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Pasien rawat inap akan dilakukan pengkajian ulang bila ada perubahan kondisi dan dicatat dalam form PT 3. Rencana Asuhan (Care Plan) Ruang lingkup rencana asuhan (care Plan) ada 2 yaitu Rencana asuhan Medis dan Rencana asuhan Keperawatan a.
Rencana Asuhan Medis Rencana asuhan medis adalah rencana medis dan pengobatan yang akan diberikan kepada pasien. Rencana Kerja Medis (Care Plan Medis) dibuat oleh DPJP atau dokter yang mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) dan sesuai dengan kewenangan klinisnya, yang memeriksa pasien tersebut. Hasil pengkajian tersebut diverifikasi oleh DPJP. Rencana Asuhan Medis terdokumentasi pada Form Pengkajian Awal Medis dan pada rawat Inap Pada Form Pengkajian Rawat Inap dari masing-masing SMF. Rencana Kerja Dokter (Care Plan Medis) terdiri dari a) masalah, b) Rencana Intervensi c) Target terukur bisa berupa: 1) perkiraan waktu, 2) target perawatan dan atau 3)kriteria pemulangan pasien. Contoh dari target yang terukur dan realistic sebagai berikut: Kondisi pasien kembali dengan fungsi (out put) jantung stabil
melalui detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah berada di kisaran normal; Pasien dapat menunjukkan mampu memberi sendiri suntikan
insulin sebelum pasien pulang keluar dari rumah sakit; Pasien mampu berjalan dengan “walker” (alat bantu untuk
berjalan) menuju ruang tamu dan kedua kakinya mampu menanggung beban berat badan. b.
Rencana Keperawatan Rencana asuhan keperawatan adalah rencana yang dibuat oleh perawat. Rencana Asuhan Keperawatan terdokumentasi dalam form
Rencana
Keperatawan
yang
terdiri
dari:
a)
Diagnosa
Keperawatan, b) Tujuan, c) Rencana Intervensi d) Rencana 31
Evaluasi. Rencana keperawatan berisi target yang terukur berupa: a) Pasien, b) Perubahan kondisi atau perilaku dan c) Waktu. Rencana asuhan dari masing-masing PPA pada masing-masing pasien direview dan diverifikasi oleh DPJP dengan mencatat kemajuannya dalam PT. 4. Implementasi Implementasi adalah pelaksaan asuhan keperawatan, prosedur dan sesuai dengan rencana yang telah dibuat oleh PPA. Dalam implementasi semua PPA melakukan kolaborasi antar Profesi dan melibatkan pasien dan
keluarga
setiap
rencana
yang
akan
dilakukan.
Bukti
ini
terdokumentasi dalam Catatan Informasi dan Edukasi Terintegrasi dan Informed Consent. Implementasi tindakan termonitoring dalam form Monitoring seperti Form monitoring pemberian darah dan produk darah. 5. Evaluasi a. Evaluasi Rencana Asuhan Medis Kemajuan pasien atas pengobatan/pelayanan di catat dalam Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi. Bila pasien rawat inap mengalami perubahan kondisi/ perburukan kondisi, maka akan dilakukan asesmen ulang pada Form PT. Hasil asesmen ulang akan di analisa dan di lakukan review terhadap rencana yang sudah ada atau dibuatkan rencana yang baru sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Rencana baru akan terdokumentasi pada Form PT pada kolam SOAP pada point P (Planning). b. Evaluasi Rencana Keperawatan Evaluasi kemajuan keperawatan dilakukan sesuai dengan target waktu dari rencana. Pada Form Rencana Keperawatan di tulis tgl/jam evaluasi sesuai dengan target waktu rencana. Bila kondisi pasien belum mengalami perbaikan, maka rencana keperawatan akan dilanjutkan sesuai kebutuhan pasien. Bila masalah keperawatan sudah teratasi, maka pada Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (PT) akan didokumentasikan pada Assesment (A): Masalah Teratasi. Kemudian dilakukan pengkajian ulang untuk menentukan apakah ada masalah lain pada pasien tersebut. 6. Kegiatan Asuhan Gizi a.
Skrining Gizi 32
Pasien baru masuk dilakukan skrining gizi oleh perawat dalam waktu 1x24 jam, dari hasil skrinning gizi bila berisiko sedang dan tinggi akan dilakukan pengkajian lebih lanjut oleh ahli gizi, hasil pengkajian yang berisiko tinggi di rujuk ke dokter gizi klinik. b.
Pengkajian Gizi Pengkajian yang dilakukan meliputi pengukuran antropometri, melihat pemeriksaan biokimia yang terkait gizi, kondisi fisik dan klinis serta mengkajian pola makan di rumah dan asupan sehari makanan yang diberikan di awal perawatan. Dari hasil pengkajian dibuatkan diagnose gizi untuk menentukan prioritas Perencanaan Terapi Nutrisi yang dibutuhkan pasien.
c.
Perencanaan Gizi Perencanaan Terapi Nutrisi disesuaikan dengan terapi diet yang sudah ditetapkan oleh dokter DPJP dan dokter Gizi klinik. Setelah Terapi Nutrisi ditetapkan, ahli gizi menterjemahkan kedalam bahan makanan dan dipesankan ke Instalasi Gizi.
d.
Implementasi Pemberian
nutrisi
untuk
parenteral
disediakan
oleh
farmasi
sedangkan untuk nutrisi enteral dan makanan di sediakan oleh Instalasi gizi. Pemberian makanan didistribusikan ke pasien oleh pramusaji dengan menggunakan etiket diet. e.
Monitoring dan evaluasi Setelah pasien mendapatkan nutrisi, dilakukan monitoring dan evalausi terhadap perkembangan kondisi pasien, status gizi, hasil pemeriksaan
biokimia
dan
memonitoring
asupan
makanan.
Pemantauan dilakukan denagn mengamati sisa makanan dengan menggunakan metode Comstoke. Pemantauan dilakukan setiap 3 hari kecualia pasien kritis dan Gizi buruk dilakukan setiap hari. Hasil kegiatan asuhan gizi di tulis dalam Form Asuhan Gizi pada Rekam Medik pasien
A.
TATA LAKSANA PEMBERIAN INSTRUKSI 1. Semua pemberian instruksi adalah tangguang jawab DPJP atau dokter jaga jika dalam keadaan gawat darurat 2. Setiap pemberian instruksi atau resep obat harus dilakukan secara tertulis, kecuali dalam keadaan gawat darurat dapat diberikan instruksi 33
kepada perawat atau dokter jaga melalui telepon. Dokter jaga atau perawat yang menerima instruksi tersebut akan menuliskannya di rekam medis dan akan dibacakan ulang untuk pengecekan. Catatan instruksi tersebut harus diparaf oleh DPJP pada keesokan harinya. 3. Untuk pasien baru yang belum diperiksa sendiri oleh DPJP, maka pemberian instruksi melalui telepon hanya boleh diberikan kepada dokter jaga yang memeriksa pasien tersebut. 4. Instruksi untuk pemeriksaan laboratorium dan diagnostic imaging harus disertai dengan indikasi klinis apabila meminta hasilnya berupa interpretasi, kecuali dalam keadaan khusus seperti di Unit Gawat Darurat dan Unit Intensif. 5. Instruksi diberikan hanya oleh mereka yang kompeten dan berwenang
B.
TATALAKSANA PASIEN BERISIKO TINGGI DAN PELAYANAN BERISIKO TINGGI 1. Pengkajian /Asesmen Untuk pasien dengan risiko tinggi akan dilakukan pengkajian sesuai dengan jenis kasus dari masing-masing SMF dengan form pengkajian tersendiri, seperti pengkajian pasien anak, pasien dewasa. Pengkajian ulang akan dilakukan bila terjadi perubahan kondisi pasien. 2. Ruang Perawatan Untuk ruang perawatan pasien risiko dan pelayanan berisiko tinggi di alokasikan sesuai dengan usia dan kasusnya. a. Untuk pasien anak akan di tempatkan di Ruang anak (Ruang Sakura) b. Pasien Kebidanan di rawat di Ruang Melati 2 c. Pasien menular dewasa di rawat di Ruang Lely 1 d. Pasien Neonatus/ perinatologi di rawat di Ruang NICU e. Pelayanan dengan alat bantu napas dan koma dirawat di Ruang Intensif (NICU, ICU dan ruang Intermeddiate) 3. Informed Consent Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan/ diagnostik yang berisiko tinggi dokter akan memberikan informasi, edukasi pasien dan keluarga pada Form catatan Edukasi dan Informasi terintegrasi. Bila pasien dan keluarga sudah paham, akan dilanjuti menanda tangani persetujuan tindakan form Informed Consent (IC) Tindakan Kedokteran 34
4. Pelaksanaan dan Monitoring Semua pelayanan dengan risiko tinggi mempunyai form monitoring selama pelaksanaan pelayanan. Seperti Form observasi pasien di UGD, Form monitoring 24 jam perawatan intensif, Form monitoring pemberian darah dan produk darah, Form monitoring dialysis, form monitoring pasien dengan restrain. 5. Kualifikasi Staf Untuk tempat pelayanan pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi, asuhan medis dan keperawatan diberikan oleh dokter dan perawat yang terlatih dengan bukti sertifikat pelatihan. 6. Persiapan Petugas Petugas menggunakan APD selama pelaksanaan prosedur sesuai dengan kebijakan dan standar yang di rekomendasikan oleh PPI RSUD Kabupaten Buleleng 7. Screening Pasien Untuk Menghindari risiko Rumah sakit melakukan screening untuk mencegah terjadinya risiko sampingan/efek samping sebagai akibat pelaksanaan suatu prosedur seperti: 1)
Fibrilasi Ventrikal, Ventrikel Tachycardi, 2) Gagal Napas, 3) Reaksi
allergi transfusi, 4) koma, tertular penyakit, 5) Gangguan Hemodinamik, 6) Luka, DVT, Jatuh, dekubitus, 7) Febril Neutropenia, dan 8) Ekstravasasi. Dengan monitoring pasien secara ketat baik dalam pelaksanaan prosedur maupun dalam pemberian asuhan keperawatan. 8. Upaya Untuk Mengurangi RIsiko Untuk mencegah terjadi komplikasi baik pada pasien risiko tinggi ataupun akibat dari pelayanan risiko tinggi, maka upaya yang dilakukan RSUD Kabupaten Buleleng adalah: 1) Bila
pasien
berisiko
jatuh,
lakukan
asesmen
jatuh
yang
terdokumentasi dalam Form Pengkajian Risiko Jatuh dan pastikan bed Rail selalu dalam keadaan terpasang 2) Bila pasien berisiko terjadi
dekubitus lakukan pengkajian skin
integritas, Form Pengkajian dekubitus dan pasien dilakukan miring kiri/miring kanan setiap 2 jam 9. Pembuangan limbah/ sampah pelayanan 35
Untuk pembuangan sampah sisa pelayanan di atur sesuai dengan jenis sampahnya seperti bahan/ kasa yang kontak dengan cairan tubuh pasien di buang di sampah medis dengan tas warna kuning, dan sampah tajam di buang di sharp box. 10.
Penanganan Pajanan/Paparan Bila terjadi paparan/ pajanan pada petugas di masing-masing ruangan sudah di sediakan spill kit.
C.
TATA LAKSANA EARLY WARNING SYSTEM (EWS). 1. Modified Early Warning Score 1) MEWS digunakan pada pasien dewasa (berusia 18 tahun atau lebih) 2) MEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen penyakit akut, mendeteksi penurunan klinis, dan menginisiasi respon klinis yang tepat waktu dan sesuai. 3) MEWS tidak digunakan pada: a. Pasien berusia kurang dari 18 tahun b. Pasien hamil 4) MEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesment prehospital pada
kondisi
ambulans,
akut
pelayanan
oleh
first
kesehatan
responder primer,
seperti
pelayanan
Puskesmas
untuk
mengoptimalkan komunikasi kondisi pasien sebelum diterima rumah sakit tujuan. Parameter Fisiologis yg dimonitor: a.
Respirasi Rate Yang dihitung respirasi dari pasien
Jika ≤ 8 diberi nilai 2
Jika 9-16 diberi nilai 0
Jika 17-20 diberi nilai 1
Jika 21-29 diberi nilai 2
Jika ≥ 30 diberi nilai 3
Cara penulisan (Respirasi pasien/nilai MEWS) Contoh: 20/1 b.
Saturasi Oksigen 36
Menggunakan
pulse
oximetri
(Alat
yang
ampuh
untuk
mengintegrasikanfungsi jantung dan paru)
Jika ≥94%diberi nilai 0
Jika 90-93 % diberi nilai 1
Jika 85-89% diberi nilai 2
Jika ≤84 % diberi nilai 3
Cara penulisan: {nilai oximetri/nilai MEWS) Contoh: 90/1 c.
Tekanan darah sistolik Menggunakan tensimeter, fokuskan pada sistolik
Jika ≥200 diberi nilai 2
Jika 70-80 diberi nilai 2
Jika 81-100 diberi nilai 1
Jika 101 – 199 diberi nilai 0
Jika ≤70 diberi nilai 3
Cara penulisan (sistolik/diastolic/nilai MEWS) Contoh: 120/80/0 d.
Heart Rate Yang dihitung denyut nadi/menit
Jika ≤ 40 diberi nilai 2
Jika 41-50 diberi nilai 1
Jika 51-100 diberi nilai 0
Jika 101-110 diberi nilai 1
Jika 111-129 diberi nilai 2
Jika ≥ 130 diberi nilai 3
Cara penulisan (denyut nadi /nilai MEWS) Contoh: 105/1 e.
Tingkat Kesadaran Dinilai dgn APVU Indikator penting dari tingkat keparahan akutnya penyakit
Jika Agitasi diberi nilai 2
Jika sadar baik diberi nilai 0
Jika rangsangan suara = 1
Jika rangsangan nyeri = 2 37
Jika tidak ada respon = 3
Cara penulisan (Tingkat kesadaran/nilai MEWS) Contoh: Respon rangsang suara/1 f.
Temperatur/suhu Menggunakan thermometer (0C) Penanda sensitive keparahan, akut penyakit dan gangguan fisiologis Jika ≤ 35 diberi nilai 2 Jika 35,1-36 diberi nilai 1 Jika 36,1-37,5 diberi nilai 0 Jika 37.6-38.1 diberi nilai 1 Jika ≥ 38.2 diberi nilai 2 Cara penulisan (Suhu/nilai MEWS) Contoh: 36,5/0
Modified Early Warning Score (MEWS) Parameter MONITORING PERBURUKAN KONDISI DEWASA DENGAN
Nama: Tgl Lahir: No RM
L/P
MEWS (MODIFIED EARLY 38
WARNING SCORE)
Ruangan : KATAGORI 3
2 ≤8x/
RR
SCORE 0 1 9-16 17-20
1 -
2 21-29
3 ≥30
90-93%
85-89% ≥200
≤84%
101-110
111-
>129 Tidak
mnt O2 Saturasi Systolik BP
≤70
71-80
Heart Rate
˂40
81-100
≥94% 101-
40-50
199 51-100
(HR) Tingkat
Bingun
Beresp
Sadar
Berespo
129 Beresp
kesadaran
g/
on
baik
n
on
beresp
(AVPU)
agitasi
dengan
dengan
dengan
on
≤35 c
suara 35,1-36
36,1-
suara 37,6-
nyeri ≥38,2 c
c
37,5 c
38,1 c
Temperatur e
Petunjuk Penanganan Pasien Dengan Perburukan Kondisi Sesuai Dengan Total Score MEWS Skor 1-3 4-5
Klasifikasi Rendah
Tindakan monitoring menggunakan
Perawat
Sedang
MEWS setiap 4 jam Ka. Tim akan melapor ke dokter jaga
form
ruangan Perawat
monitoring
kondisi
pasien
menggunakan form MEWS setiap 1 jam Dokter
jaga
ruangan
harus
datang
dalam waktu kurang dari 15 menit dan melakukan review-penanganan terhadap kondisi pasien dalam waktu maksimal 4 jam Bila kondisi membaik dan score turun, penanganan disesuaikan dengan kriteria 6-7
Tinggi
selanjutnya. Ka. Tim akan melapor ke dokter jaga ruangan 39
Monitoring
menggunakan
MEWS
dilakukan setiap 30 menit Dokter jaga wajib hadir dalam waktu kurang dari 10 menit dan langsung melakukan
penanganan
terhadap
pasien dalam waktu maksimal 30 menit Bila
setelah
30
menit
tidak
ada
perbaikan, dokter jaga menghubungi DPJP Dokter jaga mengaktifkan Code Blue dan
8
melakukan penanganan pasien bersama tim
code
blue
RSUD
Kabupaten
Buleleng. 2. Pediatric Early Warning Score (PEWS) a. PEWS digunakan pada pasien anak/ pediatrik ( berusia saat lahir-18 tahun) b. PEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen pengakit akut, mendeteksi penurunan klinis, dan menginisiasi respon klinis yang tepat waktu dan sesuai. c. PEWS tidak digunakan pada: a)
Pasien dewasa lebih dari 18 tahun
b)
Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan misalnya TOF (Tetralogi of Fallot).
d. PEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesmen prehospital pada kondisi akut oleh first responder seperti pelayanan ambulans, pelayanan kesehatan primer, Puskesmas untuk mengoptimalkan komunikasi kondisi pasien sebelum diterima rumah sakit tujuan.
40
e. Table Parameter Pediatrik Early Warning Score Paramet
Item yang
er Respiras
dipantau Pernapas
i
an
Usia 0-˂3 bln
3-˂12
Score 0
1
2
3
30-50
25-29
66-70
20-24
20-44
51-65 15-19
50-55
>71 10-14
bln 1-˂5 thn
20-34
12-18
16-18
45-49 15-19 35-39 11-15
30-35
>55 15-19 >50 6-10
Tidak
26-29 Ada
Retraksi
>35 Retraksi
ada
sedikit
agak
dalam,
retraksi
retraksi
dalam,tra
trakeal
keal tug
tug,
40-50
thn Usaha
0-18
napas
Oksigen
0-18
terapi
Tanpa
30%
40%
grunting 50%
O2
+FiO2
+FiO2
+FiO2
atau ≥4L/ atau ≥6L/ Kardiova
Nadi
skuler
(x/mnt)
0-˂3 bln
100-
atau
mnt 90-99
mnt 80=89
≥8L/mnt 60-79
150-159 80-89
160-169 70-79
>170 60-69
160-169 80-89 140-149 100-109
170-180 150-160 45-55
>180 60-69 >160 35-45
110-119 Abu-abu
>120 Abu-abu
149 3-˂12
90-159
bln 1-˂5 thn
90-139
12-18
55-99
thn Capillary
Kesadar an/
0-18 thn
Pink
refil time
CRT 1-
(CRT)
2 dtk 0-18 thn
Pucat
CRT 3 dtk CRT 4 dtk
CRT ≥5 dtk
Sadar
Lemah
Gelisah,
Letargi,
baik
banyak
berespon
unrespon 41
Behavior
(alert)
tidur,
dengan
respon
nyeri
dengan
(pain)
sive
suara Petunjuk Penanganan Pasien Dengan Perburukan Kondisi Sesuai Dengan Total Score PEWS Skor 0-2 3
Klasifikasi
Rendah
Tindakan Observasi PEWS secara rutin setiap pergantian shif Perawat
melapor
kepada
Ka.tim/
senior
nurse Senior nurse harus mereview pasien dan menghubungi
dokter
jaga
untuk
mendiskusikan apakah diperlukan penilaian oleh DPJP Pasien diobservasi setiap 4 jam sampai PEWS 4
Sedang
normal (0-2) Perawat melapor ke dokter jaga ruangan
Dokter melakukan review terhadap kondisi pasien dalam 30 menit
≥5
Tinggi
Dokter jaga melapor pada DPJP
Pasien diobservasi setiap 30 menit sampai
PEWS normal Perawat/dokter
mengaktifkan
emergency
system atau menghubungi code blue Penanganan pasien dilakukan oleh dokter jaga ruangan atau hubungi DPJP Pasien diobservasi setiap 5 menit Kemudian
pasien
dipindahkan
ke
ruang
intensif anak f.Nilai normal tanda-tanda vital Usia Bayi baru lahir (lahir-1 bulan) Infant (1-12 bulan) Todler (13 bulan-3 tahun) Preschool (4-6 tahun) School Age Dolescent (13-19 tahun)
Heart Rate 100- 180 100-180 70-110 70-110 70-110 55-90
Respiratory Rate 40-60 35-40 25-30 21-23 19-21 16-18 42
3. Early Warning Observation Score Chart Obstetrik a. EWOSCO digunakan pada pasien hamil b. Parameter fiosiologis yang dimonitor adalah respirasi rate, saturasi oksigen, tekanan darah sistolik, heart rate, tingkat kesadaran, temperature/suhu, produksi urine dan atau tanpa kateter c.
Parameter EWOSCO
Parameter Temperatu
Score 3 ≤35
2
re TD sistolik
Heart Rate
RR
≤80
≤40
≤5
Urine Output
41-59
6-9
1 35.1-
0 36.1
1 38-
36
-
38.4
81-90
37.9 91-
141
139
-
76-
150 105
104
-
15-
110 20-
19
24
60-75
10-14
˂10
˂100 ml/
˂50
ml/jam
4 jam
ml/2
2
5 151-199
111-129
≥13 0
25-30
10 jam
8 jam
Bladder
kateter
tanpa
tanpa
kosong
urine unconfiu
urine confused
voice
alert
s ˂88
88-89
90-94
>95
Saturasi
≥20 0
(UO) UO tanpa
Kesadaran
3 ≥38.
≥30
jam
agitasi
O2 d.
Petunjuk Penanganan Pasien Dengan Perburukan Kondisi Sesuai Dengan Total Score EWOSCO a) Bila didapatkan total skor 0-3: resiko deteriosasi kecil pasien dirawat di ruang biasa, pemantauan setiap shif jaga (6-8 jam) b) Bila didapatkan total skor 4-5: resiko deteriosasi sedang dirawat di ODHU dipantau setiap jam dengan EWOSCO c) Bila didapatkan total score ≥6: resiko deteriosasi berat, rawat ICU 43
D.
PELAYANAN RESUSITASI 1. Setiap kegawatdaruratan henti napas dan atau henti jantung pada pasien yang memungkinkan untuk dapat ditolong ditangani dengan mengaktifkan “Blue Code dan Resus Call”. 2. Petugas medis (perawat, dokter, residen, spesialis) penemu pertama pasien ancaman gangguan napas dan sirkulasi dapat melakukan tindakan bantuan hidup dasar (BHD), kemudian petugas lainnya mengaktifkan “Blue Code” 3. Untuk pasien rawat inap perlu diperhatikan label pada pasien, bila ada label ungu di atas status pasien tidak perlu mengaktifkan Blue Code/Resus Call dan bila tidak ada label ungu di atas status pasien, segera aktifkan Blue Code/Resus Call dengan menghubungi ke Sentral Blue Code melalui ekstensi 515 (satpam) dan menyampaikan lokasi kejadian dengan memanggil Tim Reaksi Cepat Blue Code (TRCBC) melalui pengeras suara ke seluruh lingkungan RSUD Kab. Buleleng (Poliklinik, Ruangan Rawat Inap, IGD, unit penunjang dan manajemen “Code Blue Ruang……Kamar…..” 4. TRCBC terdiri dari: a. Dokter anastesi sebagai ketua dan anggota TRCBC b. Perawat1, Perawat 2 dan Perawat 3 sebagai anggota TRCBC 5. Perawat, dokter, karyawan atau satuan pengamanan di lokasi kejadian secara simultan melakukan: a. Mengamankan Circulation, Airway, Breathing b. Mengisolasi lingkungan pasien. 6. TRCBC datang ke lokasi kejadian 7. Penanganan dan tanggungjawab pasien diambil alih oleh TRCBC 8. Setelah pasien dinyatakan stabil oleh dokter anastesi (TRCBC), selanjutnya DPJP mengkonsulkan pasien tersebut untuk di rawat di ruang Intensif, dilakukan tindakan operasi atau di rujuk ke Rumah sakit lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku 9. Bila pasien meninggal, pasien ditangani untuk perawatan jenasah oleh perawat ruangan dan selanjutnya dikirim ke kamar jenazah.
E.
PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH 44
1.
Sistem Golongan Darah Manusia Karl Landsteiner pada tahun 1900 mengumumkan penemuannya tentang golongan-golongan darah manusia. Golongan darah yang ditemukan Karl Landsteiner merupakan kunci bagi terlaksananya transfusi darah hingga saat ini. Ditemukan dua macam antigen pada sel darah merah manusia, yang diberi nama antigen A dan antigen B. Dari kedua macam antigen ini kemudian dapat di tetapkan bahwa golongan darah manusia dapat dibagi menjadi 4 macam. Masing masing golongan darah itu ialah: A,B,O, dan AB. Golongan darah ini merupakan dasar pokok bagi terlaksananya transfuse darah. Penemuan golongan darah di atas dilandasi oleh dua macam factor yang ditemukan oleh Landsteiner, factor yang dimaksud adalah: a.
Factor yang ditemukan pada permukaan luar sel darah merah manusia, factor ini dinamakan Antigen, yaitu merupakan factor yang menentukan golongan darah manusia.
b.
Factor
zat
anti
(antibody)
yang
terdapat
di
dalam
plasma/serum darah, factor ini merupakan zat yang dapat menghancurkan
antigen,
bilamana
dicampurkan
dengan
antigen yang merupakan lawannya. Antibody golongan darah yang ditemukan dalam hubungan ini ialah antibody yang bersifat alamiah (natural), yang berada di dalam tubuh tanpa mengalami rangsangan dari luar. Antibody ini dinamakan Natural Antibody atau disebut juga Naturally Occuring Anti Body. Di dalam serum/plasma darah manusia ditemukan dua macam zat anti masing-masing antibody B dan antibody A. Antibody B merupakan lawan antigen B dan antibody A merupakan lawan antigen A. a. Seseorang yang golongan darahnya A, pada sel darah merahnya didapatkan antigen A dan dalam plasmanya terdapat antibody B. b. Seseorang yang golongan darahnya B, pada sel darah merahnya didapatkan antigen B dan dalam plasmanya terdapat antibody A c. Seseorang yang golongan darahnya O, pada sel darah merahnya tidak didapatkan baik antigen A maupun antigen B (kososng), 45
sebaliknya didalam plasmanya terdapat kedua zat antibody yaitu antibody A dan antibody B. d. Seseorang
yang
golongan
darahnya
AB,
pada
sel
darah
merahnya didapatkan antigen A dan antigen B, tetapi di dalam plasmanya tidak ditemukan antibody A maupun antibody B. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dikemukakan aspek klinis system golongan darah ABO dalam tranfusi yaitu: a. Ketidakcocokan pada system golongan darah ABO. Misalnya pemberian darah golongan A kepada penderita golongan O dapat menimbulkan reaksi tranfusi yang hebat dan menimbulkan kematian karena ketidakcocokan pada system-sistem golongan darah lain. b. Tranfusi iso agglutinin. Misalnya plasma golongan O diberikan kepada penderita golongan A dapat menyebabkan reaksi tranfusi yang hebat, kadang-kadang dapat menimbulkan kematian juga. Berdasarkan keterangan di atas, maka tranfusi yang sngat ideal adalah tranfusi yang dilaksanakan dengan pemberian darah kepada penderita dengan system golongan darah ABO yang sama antara penderita dan donornya dan menghindari pemberian golongan darah O untuk golongan-golongan lain, karena ketidakcocokan pada system-system golongan darah lain dapat menimbulkan reaksi transfusi
yang
hebat
pasiennn,seperti
bahkan
contoh
kasus
dapat
menyebabkan
yang
telah
kematian
dikemukakan
sebelumnya,yaitu menstransfusikan golongan darah B kepada pasien yang bergolongan darah O. Oleh karena itu ,dalam pemberian transfusi darah petugas di rumah sakit harus berhati-hati baik sebelum melakukan transfusi maupun pada saat memberikan transfusi darah jangan sampai terjadi kesalahan memberikan golongan darah yang tidak cocok dengan darah pasien karena apabila hal ini terjadi akan berakibat fatal bagi pasien. 2. Penyimpanan Darah Untuk Tansfusi Dalam setiap tindakan transfusi darah perlu diusahakan mencari darah yang cocok/compatible supaya tidak terjadi penolakan (rejektion) dari resipien,
yang
dalam
hal
transfusi
biasa
disebut
reaksi
transfusi/hemolytic. Mencari darah yang cocok ini adalah tugas utama dari setiap laboratorium transfusi. Teknis pelaksanaannya berbeda, dari 46
yang
sederhana
sampai
yang
teliti/lengkap.
Semakin
lengkap
pemeriksaannya, semakin aman transfusi dilakukan. Kebutuhan akan transfusi darah ini semakin hari semakin meningkat diseluruh dunia, oleh karena itu diperlukan penyimpanan darah agar setiap waktu darah itu tersedia atau disebut Bank Darah. Bank
Darah
adalah
tempat
pelayanan,
penyimpanan,
dan
pengamanan darah d irumah sakit. Penyimpanan darah (Bloodstorage) dilakukan dengan: a. Zat Pengawet :yaitu bahan yang diperlukan supaya darah jika darah tercampur dengan zat itu darah tidak membeku dan tidak terjadi hemolysiZat ini disebut Antikoagulant. b. Temperatur/suhu Ruangan penyimpanan darah Dalam tubuh yang normal penghancuran dan peremajaan sel darah merahberjalan terus,umur eritrosit dalam tubuh ialah 120 hari,sehingga setiap hari kurang lebih 1%eritrosit musnah dan dibentuk yang baru.Dalam keadaan yang tidak alamiahseperti dalam plasti bag,maka equilibrium tersebut tidak ada,yang ada hanya penghancuran sel-sel tanpa ada peremajaan ,dan juga karena kondisi-kondisi lain yang tidak sama,maka penghancuran terjadi lebih cepat sehingga mengakibatkan
terjadinya
Blood
Storage.Untuk mencegah terjadinya Blood Storage adalah dengan menyimpan
darah
pada
suhu
rendah
(4°Celcius),
sehingga
metabolisme diperlambat, disamping pemberian cadangan kalori yakni Dextrose.
Suhu maksimum untuk menyimpan darah
10°Celcius, diatas suhu tersebut perusakan eritrosit berlangsung cepat. Suhu 0°Celcius merusak karena terjadi pembekuan air yang dapat merusak Cell Membran (kecuali dengan proses tertentu). Alat pendingin yang optimal yaitu special blood refrigerator yang
dilengkapi
dengan
termometer
pencatat
suhu
optimis ,alarm,kipas,dan sebagainya serta biasanya mempunyai double door. Dengan demikian, berdasarkan keterangan diatas, supaya darah yang berada diluar tubuh manusia tidak rusak, maka darah harus
disimpan
dalam
suatu
alat
khusus
sehingga
dapat
digunakan untuk transfusi 3. Bahaya-Bahaya Transfusi Darah 47
Beberapa bahaya transfusi darah yang dapat merugikan pasien dapat dibagi menjadi 3 macam,yaitu:Analisa Hukum Terhadap Pemberian Transfusi Darah DiRumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. a. Reaksi Hemolitik (ditandai dengan penghancuran sel darah merah/eritrosit dengan adanya HB Uria dan Icterus )antara lain 1) Golongan darah yang tidak cocok : a) Reaksi hemolitik akut(acute reaktion),pada umumnya terjadi segera pada waktu transfusi sedang berlangsung dan 50 cc darah
dari
golongan
yang
tidak
cocok
sudah
dapat
menimbulkan reaksi.Gejala yang timbul :
Rasa panas sepanjang vena lengan menjalar ke ketiak.
Nyeri pinggang yang khas
Nyeri tertekan pada dada
Sakit kepala, temperatur agak naik
b) Reaksi
hemolitik
terlambat
(delayed
reaction),
pada
umumnya terjadi pada penderita yang sering menerima transfusi (multitransfusi) atau pernah melahirkan. Reaksi terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah transfusi. Gejala hampir sama, tetapi yang jelas adalah sakit kepala dan sakit pinggang 2) Bukan karena ketidakcocokan golongan darah. Reaksi ini dapat disebabkan karena faktor faktor a) Transfusi
diberikan
hypotonis,misalnya
bersama
–sama
dengan
larutan
Dextrose 5% sehingga eritrosit yang
masuk langsung hemolisis. b) Pemberian darah yang sudah hemolisis karena:
Pemanasan mendadak dimasukkan dalam air panas melebihi temperatur tubuh.
Frozen Blood karena salah penyimpanan (-4°Celcius) eritrosit bengkak dan hancur
Kontaminasi bakteri yang mencemarkan eritrosit sebagai makanannya.
c) Transfusi dengan tetesan cepat, kadang –kadang dipompa hingga eritrosit hancur dalam jarum giving set yang kecil 48
d) Kesalahan petugas rumah sakit /BDRS karena salah memberikan cap golongan darah, label pada labu darah tertukar, salah mengambil labu darah karena nama hampir sama. Pada keadaan ini tidak ada free Hb,tidak ada methemealbumin hanya bilirubinaemia. b. Reaksi non Hemolitik a)
Reaksi alergi disebabkan karena pemindahan alergin donor pada penderita atau reaksi penderita pada plasma donor
b)
Febris disebabkan karena pembuatan larutan anticoagulan dan set yang kurang steril
atau reaksi antibody terhadap leukosit dan
trombosit. Gejala terjadi pada waktu transfusi : panas, menggigil, sakit kepala, nyeri seluruh badan c)
Reaksi kontaminasi bakteri: terjadi pada waktu pengambilan darah atau terlalu lama dalam suhu kamar gram negative, dapat berbiak pada 4°Celcius atau akibat menyuntikkan sesuatu dalam labu darah. Gejala: terjadi pada waktu transfusi atau beberapa hari sesudahnya, panas tinggi, nyeri kepala, menggigil, vomit, nyeri perut, buang air darah.
d)
Reaksi overloading: Akibat massive transfusi yaitu lebih dari 1,5 liter dalam waktu singkat dengan tetesan cepat atau dapat pula terjadi pada waktu pemberian satu labu bagi penderita dengan penyakit jantung.
e)
Cardiac Arrest: terjadi tiba-tiba dapat disebabkan karena:
Pemberian ice-cold blood yang segera dimasukkan dalam tubuh penderita tanpa kesempatan adaptasi dengan suhu kamar dahulu dan diberikan dengan tetesan cepat.
Karena keracunan kaliaum, bila darah yang dipakai telah disimpan lebih dari satu minggu, sehingga kadar kalium darah tersebut sudah meninggi dan pemberian transfusi masih cepat.
Keracunan citras, volume citras yang ditransfusikan banyak dalam satu waktu dan ada gangguan fungsi hati biasanya gejala disertai adanya tremor dan gangguan ECG.
f)
Acidosis Pada penderita dengan kadar normal, pemberian darah yang berumur lebih dari satu minggu dalam ACD, hampir tidak menimbulkan pengaruh apa –apa, tetapi untuk penderita yang 49
sudah mempunyai tendensi untuk Acidosis seperti penyakit ginjal dan
rehidrasi,
maka
pemberian
darah
semacam
ini
akan
memperburuk keadaan, karena kadar lacticacid meningkat akibat metabolisme eri yang menyebabkan penurunan PH. g)
Keracunan kalium Penyimpangan lebih dari 10 hari menyebabkan kadar meningka karena ion exchange dengan natrium. Bahayanya, karena dapat terjadi cardiac Arret dan memperburuk kondisi penderita dengan gangguan ginjal
h)
Keracunan citras Akibat massive transfusi lebih 2 liter pada penderita dengan gangguan hati dan terjadi hypocalcemia karena citras mengikat Ca+ + darah.
i)
Emboli darah Karena kesalahan teknik terjadi hypotensi hingga syncope dan cyanosis.
c. Reaksi penularan penyakit terutama yang dapat ditularkan melalui transfusi adalah penyakit: Hepatitis, Malaria, Syphilis Atas dasar keterangan diatas, transfusi darah dapat menimbulkan macam-macam reaksi, baik reaksi ringan maupun berat. Yang ringan hanya berasa panas atau menggigil, yang berat dapat menimbulkan kurang air seni atau sama sekali tidak ada air seninya, atau bahkan sampai meninggal dunia. Setiap transfusi yang menimbulkan reaksi-reaksi segera harus dihentikan dan penyebabnya perlu diselidiki. Reaksi transfusi darah mungkin dikarenakan incompatibility antara antigen golongan darah dan antibodynya. Kewajiban rumah sakit dalam pemberian transfusi darah berdasarkan Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Upaya pelayanan kesehatan dirumah sakit dimulai dari hubungan dasar antara dokter dengan pasien dalam bentuk perjanjian terapeutik. Meskipun demikian, pasien memiliki kemungkinan untuk mengadakan perjanjian terapeutik dengan rumah sakit dalam bentuk perawatan sekaligus pelayanan medik. Kegiatan pelayanan medik oleh tenaga medik dan kegiatan perawatan di rumah sakit pada umumnya dilakukan scara bersama-sama. Dengan demikian hubungan antara rumah sakit dan pasien adalah hubungan di dalam perawatan dan hubungan dalam pelayanan medik. Oleh karena 50
hubungan antara rumah sakit dan pasien merupakan suatu hubungan hukum, maka timbul hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Adapun kewajiban rumah sakit adalah memberikan pelayanan yang baik kepada pasiennya (duty of care). Salah satu kewajiban dari rumah sakit adalah harus menyediakan peralatan medik yang baik. Bukan berarti rumah sakit harus menyediakan segala peralatan medik yang baru ditemukan, tetapi rumah sakit harus menyediakan peralatan standar medik yang secara umum diperlukan dan menjaga agar peralatan tersebut selalu tersedia dalam keadaan baik dan siap pakai. Di indonesia, kewajiban rumah sakit untuk memiliki peralatan medik diatur didalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yang berbunyi: ’Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian ,dan peralatan.’ Peralatan sebagaimana dimaksud dalam Paal 7 ayat 1 Undang-Undang No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit harus sesuai dengan ketentuan yang dicantumkan didalam Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang berbunyi sebagai berikut: ’Persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) meliputi peralatan medis dan non medis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu,keamanan, dan keselamatan dan layak pakai.’ Analisis umum terhadap pemberian transfusi darah di rumah sakit berdasarka Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit oleh Sri Ratna Suminar indikasi yang tepat,disamping pemantauan dan tindakan penanggulangan reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Keamanan merupakan salah satu hak pasien sebagai mana disebutkan didalam Pasal 32 hurup(n)Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,yang berbunyi ”Setiap pasien mempunyai hak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit. ’Apabila dihubungankan dengan transfusi darah, setiap kegiatan pelayanan transfusi darah harus dikerjakan sesuai standar prosedur operasional (SPO), dan ketersediaan darah aman di rumah sakit merupakan salah satu standar pelayanan minimal rumah sakit yang berarti setiap rumah sakit harus memiliki stok darah aman 24 jam. Ini berarti rumah sakit harus mempunyai bank Darah Rumah Sakit (BDRS) atau Unit Transfusi Darah Rumah Sakit (UTDRS) serta menajemen pelayanan 51
transfusi. Standar Prosedur Operasional ini melindungi pasien agar tidak dirugikan dari segi mutu /kualitas darah, sehingga pelayanan transfusi darah aman sampai ke pasien, dan pasien terhindar dari resiko tertular infeksi menular lewat transfusi darah (IMLTD) bahkan terhindar dari kematian. Namun kenyataanya, tidak jarang darah yang akan ditransfusikan telah rusak sebelum dipakai. Hal ini disebabkan pada saat pendistribusian darah tidak aman.Sistem yang berjalan saat ini adalah keluarga pasien mencari sendiri darah yang dibutuhkan ke utd PMI.Darah yang telah diuji silang serasi dengan darah pasien dibawa sendiri oleh keluarga pasien.Proses seperti ini mempunyai berbagai dampak yang membahayakan pasien karena distribusi darah dari UTD PMI kerumah sakit yang dilakukan keluarga pasien
biasanya
menyebabkan
tidak
darah
memenuhi
yang
syarat
ditransfusikan
distribusi,hal adalah
darah
ini
dapat
yang
telah
rusak/lisis atau terkontaminasi kuman/bakteri,hal ini sangat merugikan pasien.Padahal pasien,darah
seperti yang
halnya
suatu
ditransfusikan
obat harus
yang
diberikan
memenuhi
kepada
persyaratan
keamanan,sehingga tidak mengancam keselamatan pasien. Pelayanan darah yang berkualitas adalah pelayanan darah dengan sistem distribusi tertutup dengan metode rantai dingin sesuai standar, yaitu pelayanan
dilakukan
oleh
petugas
kesehatan
dan
UTD
dengan
memperhatikan suhu penyimpanan darah saat didistribusikan Dalam sistem distribusi tertutup ini, darah dari donor sukarela maupun pengganti yang telah melalui proses seleksi, disadap kedalam kantong darah, dilakukan uji saring terhadap IMLTD (Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah) dan pengolahan darah sesuai dengan standar prosedur operasional oleh UTD. Darah yang telah dinyatakan memenuhi kriteria aman, disimpan dalam Blood Bank Refrigerator, dan dalam periode dan jumlah tertentu didistribusikan dengan rantai dingin ke BDRS dan disimpan di Blood Bank Refrigenerator BDRS sebagai stok dirumah sakit untuk rencana aksi pelayanan transfusi darah yang aman memenuhi kebutuhan pasien. Sistem distribusi tertutup ini keluarga pasien tidak lagi dilibatkan sebagai pelaksana distribusi. Sistem distribusi tertutup dengan rantai dingin, dilakukan dengan langkah –langkah sebagai berikut: 52
1. Unit Tansfusi Darah (UTD) : melakukan rekrutmen Donor Darah Sukarela (DDS) baik langsung maupun melalui mobil unit. Sebelum penyadapan darah dilakukan seleksi donor. Hasil penyadapan darah diuji saring dan pemisahan komponen. Selanjutnya darah disimpan untuk kemudian didistribusikan ke Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) melalui petugas kesehatan sesuai dengan prediksi kebutuhan darah di BDRS. 2. Banyaknya darah yang perlu disiapkan oleh UTD sesuai prediksi kebutuhan
rumah
sakit
yang
dilayani
dan
dilakukan
dengan
manajemen donor yang baik. 3. Distribusi dari UTD K BDRS sepenuhnya dilakukan oleh petugas secara berkala sesuai prediksi kebutuhan rumah sakit pada kurun waktu tertentu. 4. Bank Darah Rumah Sakit membuat prediksi kebutuhan yang disampaikan kepada UTD sebagai salah satu mekanisme kerja sama antara UTD dan BDRS berdasarkan nota kesepakatan. 5. Bank darah rumah sakit : melakukan stok darah serta melakukan uji cocok serasi (crossmatch) terlebih dahulu sebelum darah diserahkan kepada petugas ruangan untuk dilakukan tindakan medis transfusi darah kepada resipien. Dengan adanya jaminan terhadap kwalitas darah tersebut berarti pasien akan terlindungi kesehatannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1)hurup b Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang berbunyi: ’Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberika pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan
kepentingan
pasien
sesuai
dengan
standar
pelayanan rumah sakit’ Untuk selanjutnya, berdasarkan Pasal 13 UndangUndang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, ditentukan bahwa: ’Setiap tenaga kesehatan yang bekerja dirumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien’. Analisa hukum terhadap pemberian transfusi darah di rumah sakit berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, harus selalu dimina dan diawasi, karena setiap penyimpangan pelaksaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk 53
sanksi. Di rumah sakit, petugas yang biasanya memberikan transfusi kepada pasien adalah perawat. Perawat merupakan perpanjangan tangan oleh dokter yang diberi kewenangan oleh dokter untuk melakukan tindakan memasukan darah kedalam tubuh pasien (transfusi). Di rumah sakit kesalahan
transfusi
biasanya
disebabkan
oleh
kesalahan
perawat,
sebagaimana kasus-kasus yang telah ditemukan sebelumnya. Sehubungan dengan itu, sebelum perawat memasukan darah ketubuh pasien,perawat wajib memeriksa ulang nama dan golongan darah pasien agar tidak terjadi kesalahan pemberian transfusi darah. Dalam proses transfusi darah menurut American Association of Blood Bank(AABB):”The
responsibility
for
accurately
identifying
atransfusion
component rest whit both the transfusion service personal who issue the blood and the clinicalrepresentatives who receive it.”artinya (Tanggung jawab atas pengidentifikasian komponen transfusi secara akurat terletak baik pada petugas pelayanan transfusi yang mengeluarkan darah dan representatif klinis yang menerimanya) Transfusionis yang mengatur darah menunjukakan titik terakhir dimana kesalahan pengidentifikasian dapat diketahui sebelum pasien menerima komponen
darah.
Transfusionis
harus
memeriksa
seluruh
informasi
identifikasi dengan segera sebelum memulai transfusi dan mencatat pada formulir transfusi bahwa informasi tersebut telah diperiksa dan diketahui benar. Setiap ketidaksesuaian harus diperbaiki sebelum transfusi dimulai. Identifikasi yang dilakukan antara lain: 1. Identifikasi resipian Nama dan nomor identifikasi pasien pada pita identifikasi harus sama dengan nama pada formulir transfusi serta label yang tertempel pada unit. Sangat diperlukan sekali untuk pasien menyebutkan namanya, jika pasien tersebut sanggup melakukannya. 2. Identifikasi unit Nomor identifikasi unit pada container darah, formulir transfusi, dan lebel yang tertempel pada unit (jika berbeda dari yang sebelumnya) harus sama dan sesuai 3. ABO dan D
54
Tipe ABO dan D pada label primer unit darah harus sesuai dengan yang tercatat pada formulir transfusi. Penerima donor tipe ABO dan D harus dicatat pada formulir transfusi serta label kontainer harus sama. 4. Daluwarsa Tanggal daluwarsa unit donor harus diperiksa benar tidaknya sebelum dimasukkan 5. Kecocokan Interpretasi uji kecocokan (jika dilakkukan) harus dicatat pada formulir transfusi dan pada lebel yang tertera pada unit ( jika tidak sama ). Jika darah dikeluarkan sebelum uji kecocokan dilaksanakan, maka hal ini harus ditunjukan dengan jelas 6. Instruksi dokter Darah atau komponen harus dicek ulang terhadap instruksi tertulis dokter untuk melakukan verifikasi bahwa komponen dan jumlah yang tepat yang diberikan pada pasien. Seluruh identifikasi yang tertera pada kontainer harus tetap tertempel hingga transfusi berakhir, dengan demikian, dalam proses pemberian transfusi darah harus diperhatikan standar prosedur operasional (SPO) yang harus diikuti secara konsisten. Sebelum perawat memasukkan darah ketubuh resipien, maka perawat tersebut harus memeriksa ulang nama dan golongan darah resipian sehingga tidak terjadi kesalahan pemberian transfusi. Kasus salah menstranfusikan labu darah kepada pasien merupakan kelalaian perawat dan rumah sakit harus bertanggung jawab, karena rumah sakit berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit.
F.
TATALAKSANA PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU NAPAS DAN ATAU KOMA 1.
Tatalaksan pasien dengan alat bantu napas a.
Membuka jalan napas
b.
Bebaskan jalan napas Tujuannya: agar jalan napas bebas dari sumbatan (karena lidah, posisi, lender, benda asing, dsb) sehingga dengan demikian O2 dapat lewat dengan lancer. 55
Caranya:
Mengatur posisi
Memasang alat bantu napas dengan alat: a.
Pasang pipa orofaringeal (guidel)
b.
Pasang pipa nasofaringeal
c.
Pasang pipa endotracheal (Intubasi) Membuka jalan napas dengan operatif
a. b. c.
Krikotirotomi Trakheostomi
Prosedur pemasangan tube (Intubasi) Persiapan; 1. Persiapan pasien : a.
Pasien disiapkan
b.
Keluarga dijelaskan tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan menandatangani informed consent.
2.
Persiapan Alat : a. Laryngoscope b. Mandrin, Oropharingeal tube (Gudel) c. ETT sesuai dengan kebutuhan d. Stetoskop e. Ambubag / manula resuscitator f. Sarung tangan g. Suction set h. Oksigen set i. Xyllocain jelly, xyllocain spray j. Obat-obat emergency k. Masker,plester l. Spuit 10 cc m. EKG monitorset
Prosedur Kerja 1.
Perawat mencuci tangan
2.
Trolly emergency di dorong ke dekat pasien
3.
Memperbaiki posisi pasien terlentang dengan posisi agak ekstensi
4.
Memasang EKG monitor untuk dapat memonitoring keadaan umum pasien selama pemasangan 56
5.
Dokter memakai masker dan sarung tangan serta berdiri di atas sisi kepala pasien, siap untuk melakukan pemasangan tube.
6.
Perawat I : memberikan alat yang diperlukan dokter secara berurutan
7.
Perawat II : berdiri di sebelah kanan dokter dan melakukan pengisapan
secret
serta
siap
membantu
dokter
untuk
melakukan intubasi 8.
Perawat I masih tetap berdiri disebelah pasien serta bersiapsiap untuk melakukan bantuan pernapasan setiap kali diperlukan.
9.
Setelah
perasat
intubasi
selesai
perawat
I
langsung
mengambil alih pernapasan (memompa dengan ambubag) kemudian perawat II mengisi cup dengan udara, agar udara inspirasi dapat masuk ke dalam paru-paru sepenuhnya (sebagai fiksasi) 10. Mendengarkan
bunyi
udara
yang
dipompakan
dengan
menggunakan stetoskop. 11. Memfiksasi tube dengan plester kemudian menghubungkan tube dengan ventilator yang telah disiapkan. 12. Merapikan pasien dan alat-alat 13. Perawat mencuci tangan 2.
Prosedur Ventilator pada pasien neonatus a. Surat persetujuan tindakan medic dari orang tua pasien b. Ventilator lengkap yang siap pakai dan diletakkan dismaping incubator sisi kiri kepala pasien. c. Siapkan air viva (ambubag), set pengisap sekresi lengkap dan siap pakai d. Penetapan pemasangan ventilator oleh dokter 1)
Pada pasien dengan pernafasan kendali Artinya pasien bernafas dengan ventilator mekanik yang bekerja secara otomatis,terus menerus dimana usaha pernafasan pasien ditiadakan atau tidak ada.Dengan cara memberi obat sedasi atau relaxan atas instruksi dokter. Model awal yang diset di ventilator antara lain: a. A/C= Assisted Control atai IPPV=Intermitent Positif Presure 57
Ventilation •
Frekuensi pernafasan (RR) 60 x/menit
•
Flow rate (kecepatan aliran gas) 8-10 ltr
•
FıOᴤ sesuai kebutuhan 100 %
•
PIP=Peak Inspirasi Pressure 12-18 cm HᴤO
•
PEEP=Positif End Expiratory Presure 5-10 cmmHᴤO
b I:E =1:1 c Mengisap sekresi •
Memulai dan membaca settingan ventilator
•
Menghubungakan ventilator ke pasien dengan memakai konektor
•
Evaluasi /monitoring sistem cardiovaskuler dan pernafasan
•
Pemeriksaan thorak foto dan AGD 1 jam setelah terpasang ventilator
•
Evaluasi
setting
ventilator
selanjutnya
sesuai
dengan
klinis,AGD dan thorak foto 3.
Prosedur AP Pada Neonatus a.
Mulailah AP segera setelah bayi lahir sesuai dengan indikasi
b.
Pada saat datang dari ruang bersalin • Neonatus
harus
segera
ditimbang,
dikeringkan,
dan
ditempatkan ditempat tidur dengan penghangat dan probe servo dipasang pada kulit diatas hati • Pulse-oximeter harus dipasang (lebih disukai pada lengan kanan) c Membantu neonatus pada AP • Neonatus dengan AP nasal harus menjalani pemeriksaan sistem setiap 2-4 jam • Gastrointestinal:
amati
keberadaan
kembung
pada
perut ,linkaran usus yang terlibat dan auskultasi bunyi usus d
Jaga agar ujung peralatan AP tidak mengenai nasal septum dalam keadaan apapun
e
Isap rongga hidung,mulut, faring dan perut setiap 2-4 jam dan sesuai dengan kebutuhan •
Meningkatkan upaya respirasi, meningkatkan kebutuhan akan O2 dan episode–episode apnea/bradikardi mungkin merupakan
indikasi
untuk
dilakukannya
pengisapan. 58
Perhatikan jumlah, konsistensi dan warna sekresi. Untuk mengencerkan sekresi kental yang telah mengering, gunakan beberapa tetes larutan salin steril 0,9 % f Pemeriksaan integritas seluruh sistem AP •
Apakah mesin pencampur telah dipasang pada presentase yang sesuai?
•
Apakah flow meter telah diset pada kecepatan 5 dan 7liter/mt?
•
Apakah humidifier berisi air dalam jumlah benar?
•
Apakah suhu gas yang dihisap telah sesuai?
•
Apakah selang korugasi tidak berisi air ?
•
Apakah
ujung
selang
pada
botol
outlet
berada
pada
ketinggian 5 cm dan untuk asam asetat pada ketinggian 0 cm? •
Apakah botol outlet mengeluarkan gelembung?
4. Prosedur Kerja Ventilator a. Mesin ventilator lengkap dengan sirkuit dan humidifier b. Sambungkan konektor oksigen pindah ke sentral. c. Sambungkan kabel listrik ke sumber listrik d. Hidupkan ventilator dengan menekan tombol hitam dibelakang tengah kiri mesin e. Setelah hidup pada layar akan timbul mode ventilator ,kemudian kita pilih sesuai kebutuhan pasien dengan cara memutar tombol
f.
•
Volum Cycle (IPPV)
•
Tidak Volum
•
RR (respirasi rate)
•
FiOᴤ
•
I:E ratio
•
PEEP
•
Presure Cycle (BIPAP)
•
P. Inspiration
•
RR( respirasi rate)
•
FiOᴤ
•
PEEP
•
Hidupkan Humidifier
Atur alarm unit sesuai kebutuhan,besarnya 20% batas atas dan 59
bawah dari volume semenit yang dihasilkan g. Lakukan pengecekan dengan menggunakan tes lung h. Hubungkan ventilator ke ETT (OTT/NTT) melalui konektor yang disiapkan i.
Evaluasi 5-10 menit keadaan penderita setelah dihubungkan ke ventilator
5. Prosedur Pemasangan Ventilator Persiapan a. Ventilator Galileo b. Breathing set sesuai umur pasien
Adult (dewasa)
Pediatric ( anak-anak )
Infant /Neonate (bayi )
c. Tes lung sesuai umur pasien •
2 L untuk dewasa
•
0,5 L untuk anak-anak
•
Neonatus lung model untuk bayi
Pelaksanaan 1. Kenalilah bentuk dan asesoris Galileo 2. Pasang semua breathing set dengan benar 3. Pasang selang Oᴤ dan AIR ke outlet dinding atau kompresor 4. Pasang kabel power ke sumber listrik 5. Nyalakan unit dengan menekan switch ON/OFF 6. Tekan star pada menu START VENTILATION 7. Lakukan kalibrasi tightness test dan flow sensor 8. Sebelum dipasang ke pasien,lakukan test menggunakan balon test (test lung 0 dengan setting sebagai berikut: a) Untuk breathing set dewasa gunakan test lung 2 L Control Mode Rate Vt PEEP/AP Oxygen
Default setting
Monitored
Expectid range
A/C ((S) CMV ) 25 b/min 100 ml 5 cmHᴤO 50 %
parameter Exp Min Vol F Total VTE PEEP/AP Oxygen
1,8 to 3,0 l/min 24 to 26 b/min 70 to 110 ml 4.0 to 6.5 cmHᴤO 47 to 53 % (jika oxygen cell aktif) 60
b) Untuk brathing set anak-anak gunakan test lung 0.5 L Control Mode Rate Vt PEEP/AP Oxygen
Default setting
Monitored
Expectid range
A/C ((S) CMV ) 15 b/min 500 ml 5 cmHᴤO 50 %
parameter Exp Min Vol F Total VTE PEEP/AP Oxygen
6.0 to 7.9 l/min 14 to 16 b/min 400 to 525 ml 4.0 to 6.5 cmHᴤO 47 to 53 % (jika
oxygen cell aktif) c) Untuk breathing set bayi gunakan Neonatal lung model Control Mode Rate Vt PEEP/AP
Default setting A/C ((S) CMV ) 15 b/min 500 ml 5 cmHᴤO
Oxygen
50 %
Monitored parameter Exp Min Vol F Total VTE PEEP/AP
Expectid range 6.0 to 7.9 l/min 14 to 16 b/min 400 to 525 ml 4.0 to 6.5
Oxygen
cmHᴤO 47 to 53 % (jika oxygen cell aktif
6. Tindakan Ekstubasi 1) Persiapan a. Persiapan mental Menjelaskan pada pasien dan atau keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan b. Persiapan fisik : •
Pasien dapat bernafas secara adekuat
•
Memberikan posisi yang nyaman pada pasien
c. Persiapan istrasi : Informed Consent d. Emergency trolley yang berisi: •
Laringoscope
•
Spuit 20 cc
•
Sarung Tangan
•
Obat-obatan yang diperlukan
•
Suction set
•
Oᴤ set 61
2) Pelaksanaan 1.
Perawat mencuci tangan
2.
Meletakkan troly emergency ke dekat tempat tidur pasien
3.
Memberi tahu pasien tindakan yang akan dilakukan
4.
Melakukan tindakan sekresi sampai bersih
5.
Melakukan tindakan astrup
6. Memberi terapi sesuia instruksi dokter (± ½ jam sebelum extubasi) 7.
Dokter memasang laringoscope
8. Suction kateter dimasukkan kedalam tube hisap sekresi sambil memutar,kempiskan cuff 9. Dokter menarik tube perlahan –lahan sambil melihat daerah pita suara memakai laryngoscope 10. Setelah extubasi selesai Oᴤmasker dengan konsentrasi tinggi (±58 liter ) dan menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam 11. Observasi tanda-tanda vital dan suara pernafasan pasien 12. Merapikan alat-alat dan mengembalikan pada tempatnya 13. Perawat mencuci tangan
7. Penatalaksanaan Pasien Dengan Koma 1)
Primary Survey a. Lakukan penilaian DRABCDᴤ Danger: Nilai bahaya yang dapat mengancam pasien atau penolong, lakukan universal precution untuk penolong dan pastikan pasien berada pada posisi yang aman dan bebas dari benda atau barang berbahaya (posisi pasien ditempat tidur, serpihan kaca, darah, dll ) Response: Nilai respon pasien dengan mnemonic AVPU (Alert, response to verbal command, respose to pain, dan unresponsive). Pasien koma adalah pasien yang berada pada kondisi unresponsive Panggil bantuan dengan mengaktifkan Resus Call atau Blue Code Pasang monitor: EKG, pulse oxymetri, dan non invasive blood presure (NIBP )sembari melakukan penilaian ABC Airway : Nilai keadekuatan respirasi airway dengan menilai potensi jalan nafas,jika tersumbat lakukan
jaw thrust 62
dengan mengasumsikan pasien memiliki cedera cervical Breathing : Nilai keadekuatan respirasi dengan look listen dan feel Circulation : Cek pulsasi A.Carotis Interna ,apabila tidak teraba lanjutkan dengan algoritma cardiac arrest.Apabila teraba lanjutkan pengelolaan pasien koma dan pasang IV line ukuran besar jika dimungkinkan (16 G atau 18 G ) dan lakukan pengambilan sampel darah Disability: Nilai derajat kesadaran dengan Gaslow Coma skale Exposure: Expose pasien secara menyeluruh untuk melihat kemungkinan trauma 2)
Secondary survey 1. Nilai ulang DRABC dan lakukan pemasangan Endo Trakheal Tube oleh tenaga kesehatan yang kompeten jika didapatkan : a.
GCS <8
b.
Ketiadaan reflex muntah atau menelan
c.
Inadekuat respirasi oleh sebab mekanik maupun funsional
d.
Sebab lain yang memerlukan proteksi jalan nafas dan alat bantu respirasi
2 Drug /Disability: Sembari
melakukan
investigasi
mendalam
dengan
mengumpulkan informasi dari penolong, keluarga, atau rujukan dan rekam medis untuk mencari etiologi koma, dapat diberikan DONT a. Dextrose : 50 ml cairan D40W dapat diberikan intravena bolus dalam 5 menit, jika kadar gula darah didapatkan lebih rendah dari pada normal atau nilai basal pasien (BS <50 mg/ dl ) b. Oxygen : berikan oksigen dengan sungkup muka (face mask) minimal 6 ltr per menit c. Naloxon
:
jika
dicurigai
gambaran
intoksikasi
opioid
(bradipnea, miosis, anamnesa )berikan 0.4 mg iv dapat diulang setiap 10-15 menit jika didapatkan perbaikan klinis dapat diulang hingga 10 mg d. Thiamin
:100 mg iv thiamin dapat diberikan sebelum 63
pemberian
dextrose
pada
pasien
yang
dicurigai
coma
hopoglikemia 3. Lakukan pemeriksaan kadar gula darah dengan glukose stick 4. Periksa sampel darah yang telah diambil sebagai bahan penunjang untuk mendapatkan etiologi : a. Kimia darah (Bun SC, SGOT/ SGPT.B b. Darah lengkap (Haemoglobin, Hematocrite, Platelet, WBC ) c. Analisa gas darah d.Urine lengkap sembari melakukan pemasangan foley catheter 5. Lakukan pemeriksaan peninjang lain sesuai dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan laboratorium a. CT Scan b. Thorax foto c. Dll 6. Penegakan diagnosa dan terapi lanjut dilakukan dengan melibatkan multidisiplin dengan DPJP bidang terkait 7. Penanganan lanjutan disesuaikan dengan etiologi dan pathogenesis koma 8. Setelah didapatkan diagnosa dan kegawat daruratan diatasi dapat dilakukan penilaianapakah pasien memerlukan perawatan intensif atau tidak dengan dikonsulkan kebagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
8.
Prosedur Penanganan Pasien Dengan Koma Hypoglikeamia Penegakan diagnosis dengan a. Anamnesi b. Pemeriksaan fisik umum Tanda vital :tekanan darah ,nadi ,suhu ,respirasi (tipe pernafasan ),ada tidaknya aritmia Bau nafas Kulit Kepala Leher Thorak,abdomen dan ekstremitas c. Pemeriksaan neurologis Derajat kesadaran :secara kuantitatif dinilai dengan GCS 64
Pemeriksaan
brainstem
reflex
:perhatikan
posisi
bola
mata ,refleks pupil ,refleks kornea ,refleks gerak bola mata.Bila ditemukan refleks cahaya pupil anisokor besar kemungkinan etiologi struktural Pemeriksaan
refleks
motoriknya
:adakah
kelumpuhan
sesisi /hemiparesis,reflek patologis ,refleks fisiologis ,refleks movement seperti deserebrasi /dekortikasi d. Pemeriksaan penunjang (Laboratorium, head CT Scan, MRI) Kadar Glukosa Darah, Fungsi ginjal, Fungsi hati, C-Peptide, HbA1C e. Terapi dan tindakan Bagi pasien dengan kesadaran yang baik dan kooperatif diberikan makanan yang mengandung glukosa secara oral (jus buah, gula, tablet glukosa atau larutan yang setara dengan 15-20 gram karbohidrat Penderita dengan penurunan kesadaran diberikan glukosa intravena (50 ml 50 % dektrose atau glukosa
dilanjutkan
dengan infus dektrose 5 % atau 10 %) atau suntikan glukosa intravena. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam) atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi obat hipoglikemik oral kerja panjang
G.
PELAYANAN PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR DAN IMUNITAS MENURUN (IMMUNO-COMPROMISSE) 1.
Pasien Dengan Penyakit Menular a.
Penyakit Menular Melalui Udara (Airbone Disease) 1) Penatalaksanaan Penjaringan Pasien Suspect TB a) Pasien dengan gejala sebagaimana di bawah ini harus dianggap sebagai seorang suspect pasien TB : Batuk terus menerus >2 minggu Batuk berdahak, kadang bisa disertai darah Dapat disertai: demam meriang > 1 bulan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam. 65
Pasien yang kontak erat dengan pasien TB Pasien dengan gejala Tb ekstra paru (sesuai organ yang diserang : pembesaran kelenjar limfe multiple, gibbus, skrofuloderma, dll) 2)
Pelaksana pelayanan kesehatan (staf medis dokter/staf perawat)
apabila
menemukan
pasien
dengan
gejala
sebagaimana tersebut di atas: a)
Di Poliklinik Rawat Jalan : Catat data identitas suspect pasien TB pada form TB-06, kolom 1 s.d kolom 6 Buatkan lembar permintaan pemeriksaan dahak SP-S (form TB-05), untuk penegakan diagnosis. Buatkan
lembar
penunjang
lainnya,
permintaan sesuai
pemeriksaan indikasi
(foto
thorak/histo-patologi/patologi-anatomi,dll) Dilakukan
konseling
dan
edukasi
mengenai
:
pentingnya dilakukan 3x pemeriksaan Dahak dan cara mengeluarkan dahak yang benar Dan
pasien
dipersilahkan
ke
laboratorium
/
radiologi Setelah diperoleh hasil pemeriksaan dahak S-P-S, maka data hasil pemeriksaan dahak di catat pada form TB-06, kolom 8 s.d 14 Melengkapi catatan rekam medik pasien. b)
Di Ruang Rawat Inap Catat data identitas suspect pasien TB pada form TB-06, kolom 1 s,d kolom 6. Buatkan lembar permintan pemeriksaan dahak S-PS (form TB-05), untuk penegakan diagnosis Buatkan
lembar
penunjang
lainnya,
permintaan sesuai
pemeriksaan indikasi
(foto
thorak/histo-patologi/patologi-anatomi,dll) Suspect pasien TB di beri pot dahak, dan dibantu untuk mengeluarkan yang benar, S-P-S Pot dahak S-P-S suspect pasien TB diserahkan ke laboratorium 66
Setelah diperoleh hasil pemeriksaan dahak S-P-S, maka data hasil pemeriksaan dahak di catat pada form TB-06, kolom 8 s.d 14. Melengkapi catatan rekam medik pasien Pada saat pasien pulang dari rawat inap, dianjurkan untuk control rawat jalan di klinik rawat jalan SMF terkait. 3)
Suspect pasien TB selanjutnya dilakukan penegakan diagnosis oleh dokter Penanggung Jawab Pasien tersebut.
4)
Yang termasuk pasien dengan airbone diseases dan harus di rawat di ruang isolasi Lely 1 adalah : a.
Pasien
TB
Paru
BTA
positif(sekurang-kurangnya
2dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thoraks menunjukkan TB, 1 atau lebih specimen dahak hasilnya BTA positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian Antibiotika Non
OAT)
dan
hasil
pemeriksaan
Gen
Expert
menunjukkan MTB Detected Low, MTB Detected Very Low, MTB Detected Medium, MTB Detected High, MTB Detected Very High b.
Pasien TB Paru BTA negative dengan kriteria paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative, foto thoraks abnormal dan menunjukkan gambaran TB, tidak ada perbaikan setelah pemberian Antibiotika Non OAT,, atau ditentukan (pertimbangan) oleh dokter untuk mendapatkan pengobatan TB.
c.
Pasien TB ekstra paru dengan luka terbuka atau disertai keluar pus.
d. Pasien suspesct TB ditempatkan di ruangan tersendiri (tidak boleh digabung dengan pasien TB BTA positif). Bila keadaan tidak memungkinkan ditempatkan dalam kamar tersendiri, pasien dapat ditempatkan bersama pasien lain dengan kasus yang sama dengan jarak minimal satu meter. 67
e. Pasien suspect TB yang sudah ditegakkan diagnosanya sebagai TB positif (hasil BTA positif atau hasil BTA negative dengan hasil foto rontgen dada positif), ditempatkan di ruang pasien TB BTA positif dan akan dievaluasi setelah 2 minggu pengobatan. Bila keadaan tidak
memungkinkan
ditempatkan
dalam
kamar
tersendiri, pasien dapat ditempatkan bersama pasien lain dengan kasus yang sama (aibone disease) dengan jarak > 1 meter. f.
Apabila pasien suspect TB dinyatakan tidak menderita TB (sesuai keadaan klinis, foto ronsen dada dan hasil BTA/sputum), pasien dikeluarkan dari ruang isolasi dan dapat dirawat di ruang perawatan biasa.
g. Pasien TB (BTA positif) yang sudah dinyatakan tidak infeksius (sudah mendapatkan pengobatan TB sacara efektif
minimal
2
minggu
dengan
tanda
klinis
membaik), dirawat di ruang perawatan biasa` h. Pasien TB MDR dan suspect TB MDR ditempatkan tersendiri (tidak dicampur dengan pasien TB BTA positif dan atau pasien suspect TB). i.
Pasien dengan airbone diseases tetapi tidak perlu di rawat di Lely 1 adalah pasien TB positif setalah minum OAT >2 minggu dengan teratur dan benar serta terjadi/terdapat perbaikan klinis.
j.
Pasien bukan airbone diseases dan tidak perlu di rawat di ruang Lely 1 adalah pasien TB ekstra paru seperti TB kelenjar getah bening, Pleuritis Eksudatif Unilateral
dan
Bilateral,
Tb
Tulang
dan
Tulang
Belakang, TB Sendi, Tb Kelenjar Adrenal, TB Otak (Meningitis TB). TB Milier, TB Usus, TB Perikarditis, TB peritonitis, TB Saluran Kemih dan Alat Kelamin. 5)
Alat Pelindung Diri (APD) APD dengan masker particular N-95
6)
Pemindahan pasien : Batasi pemindahan dan transportasi pasien. Bila memang dibutuhkan
pemindahan
dan
transportasi,
perkecil 68
penyebaran
droplet
dengan
memakaian
masker
bedah/medic pada pasien bila memungkinkan. b. Penyakit menular melalui droplet (droplet) Sebagai tambahan kewaspadaan standar terapkan droplet atau sederajat, untuk pasien-pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi mikroorganisme yang ditularkan melalui cairan yang butirannya lebih besar atau sma dengan dari 5 µm, yang dapat menyebar saat pasien batuk, bersin, berbicara, atau saat dilakukan prosedur teradapnya. Penatalaksanaan: 1)
Pasien dengan droplet diseases bisa ditempatkan di semua ruangan perawatan dengan kamar tersendiri, khusus untuk pasien rabies/suspect rabies di rawat di ruang isolasi
2)
Untuk pasien non rabies bila tidak tersedia kamar tersendiri, pasien dapat ditempatkan dalam kamar bersama dengan pasien yang terinfeksi dengan mikroorganisme yang sama. Bila tidak memungkinkan diempatkan dengan pasien kasus yang sama, maka tempatkan pasien bersama dengan pasien dengan kasus yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira >1 m) dengan pasien lainnya dan pengunjung. Tidak dibutuhkan penanganan udara dan ventilsai yang khusus, dan pintu boleh tetap terbuka.
3)
Gunakan APD yang sesuai dengan kewaspadaan droplet seprti topi, masker bedah, google, sarung tangan gaun untuk pasien rabies, serta masker bedah dan atau sarung tangan untuk pasien droplet non rabies.
c.
Penyakit menular melalui kontak Kewaspadaan kontak ( precautions) atau yang sederajat, untuk
pasien
yang
diketahui
atau
dicurigai
terinfeksi
atau
terkolonisasi dengan mikroorhganisme yang dapat disebarkan melalui kontak langsung dengan pasien (sentuhan tangan atau kulit ke kulit, yang dapat terjadi saat melakukan sentuhan kulit pasien
dalam
keadaan
kering))
atau
kontak
tak
langsung
(bersentuhan) dengan permukaan lingkungan atau peralatan pasien dalam lingkungan pasien. 69
1) Pasien yang dimaksud dengan menular dengan cara kontak adalah pasien terinfeksi dan terkolonisasi kuman MRSA, ESBL, VRE, Multi drug resistant organism (MDRO), atau pasien menular
degan
cara
kontak
lainnya
misalnya
HIV/AIDS,
penyakit/gangguan kulit, dll. 2) Pasien terinfeksi dan terkolonisasi kuman MRSA, ESBL, VRE, Multi drug organism (MDRO) ditempatkan di ruang isolasi sedangkan misalnya
pasien
menular
HIV/AIDS
dan
dengan penyakit
cara
kontak
gangguan
lainnya
kulit
bisa
ditempatkan di semua ruang perawatan dan diupayakan kamar tersendiri. 3) Bila ruang isolasi penuh, pasien bisa ditempatkan di semua ruang perawatan dan ditempatkan pasien di kamar tersendiri. Beri tanda pada status pasien bahwa pasien sedang diterapkan “Kewaspadaan Kontak” 4) Bla tidak tersedia kamar tersendiri seperti pada poin d : Tempatkan pasien dalam kamar bersama dengan pasien yang terinfeksi
dengan
mikroorganisme
yang
sama
(kohorting)
misalnya pasien MRSA, dikelompokkan dengan pasien MRSA, pasien ESBL dikelompokkan dengan pasien ESBL, dll. APD
yang
digunakan
harus
diganti
ketika
berpindah/melakukan intervensi pada pasien lainnya. 5) Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien kasus yang sama seperti pada point e : Tempatkan pasien bersama dengan pasien jenis kasus yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira >1 m) dengan pasien lainnya, misalnya pasien MRSA digabung dengan pasien ESBL, dll. APD
yang
digunakan
harus
diganti
ketika
berpindah/melakukan intervensi pada pasien lainnya Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop, tensimeter, thermometer, dll, tidak digunakan bersama dengan pasien lainnya. Bila penggunaan bersama tidak dapat dihindari, maka bersihkan dan desinfeksi peralatan tersebut dengan alcohol 70% sebelum digunakan oleh pasien lain. 70
6) Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien kasus yang berbeda seperti point f : Tempatkan pasien bersama dengan pasien dengan kasus yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira > 1 m) dengan pasien lainnya, misalnya pasien MRSA digabung dengan pasien non infeksius, tetapi ditempatkan di pojok/jauh dari pintau masuk dan paling akhir mendapat perlakuan/intervensi. Gunakan APD yang sesuai dengan kepwaspadaan kontak untuk pasien tersebut da APD yang digunakan harus diganti ketika berpindah/melakukan intevensi pada pasien lainnya, Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop, tensimeter, thermometer, dll, tidak digunakan bersama dengan pasien lainnya. Bila penggunaan bersama tidak dapat dihindari, maka bersihkan dan desinfeksi peralatan tersebut dengan alcohol 70% sebelum digunakan oleh pasien lain. 7) Penatalaksanaan
APD yang digunakan adalah sarung tangan dan gaun lengan panjang.
Bila ruang isolasi penuh, pasien bisa ditempatkan di semua ruang perawatan dan tempatkan pasien di kamar tersendiri. Beri tanda pada status pasien bahwa pasien sedang diterapkan “Kewaspadaan Kontak”.
Bila tidak tersedia kamar tersendiri seperti pada point 2: tempatkan pasien dalam kamar bersama dengan pasien terinfeksi
dengan
mikroorganisme
yang
sma
(kohorting)misalnya pasien MRSA dikelompokkan dengan pasien MRSA, pasien ESBL dikelompokkan dengan pasien ESBL, dll.
APD
yang
digunakan
harus
diganti
ketika
berpindah/melakukan intervensi pada pasien lainnya.
Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien kasus yang sama seperti pada point 3 : Tempatkan pasien bersama dengan pasien jenis kasus yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira >1 m) dengan 71
pasien lainnya, misalnya pasien MRSA digabung dengan pasien ESBL, dll. APD yang digunakan harus diganti ketika berpindah/melakukan intervensi pada pasien lainnya.
Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop, tensimeter, thermometer, dll, tidak digunakan bersama dengan pasien lainnya. Bila penggunaan bersama tidak dapat
dihindari,
peralatan
maka
tersebut
bersihkan
dengan
dan
alcohol
desinfeksi
70%
sebelum
digunakan oleh pasien lain.
Bila tidak memungkinkan ditempatkan dengan pasien kasus yang berbeda seperti point 4 : Tempatkan pasien bersama dengan pasien dengan kasus yang lain (kecuali pasien dengan airbone diseases) tetapi dengan jarak sedikitnya 3 kaki (kira-kira > 1 m) dengan pasien lainnya, misalnya pasien MRSA digabung dengan pasien non infeksius, tetapi ditempatkan di pojok/jauh dari
pintau
masuk
dan
paling
akhir
mendapat
perlakuan/intervensi. Gunakan APD yang sesuai dengan kepwaspadaan kontak untuk pasien tersebut da APD yang
digunakan
harus
diganti
ketika
berpindah/melakukan intevensi pada pasien lainnya. Peralatan medis yang digunakan seperti stetoskop, tensimeter, thermometer, dll, tidak digunakan bersama dengan pasien lainnya. Bila penggunaan bersama tidak dapat
dihindari,
peralatan
maka
tersebut
bersihkan
dengan
alcohol
dan
desinfeksi
70%
sebelum
digunakan oleh pasien lainnya. 2.
Pasien dengan Imunitas Menurun (Immuno-compromisse) Pasien yang dimaksud dengan pasien immunitas menurun adalah: a. Pasien dengan Neutrophenia dengan Absoulute Neutrofil Count (ANC) ≤ 500 x 106 sel/L. b. Pasien HIV yang sudah tertangani infeksi oportunistiknya dengan CD4 < 200 sel/unit. Penatalaksanaan: 72
1)
Gunakan APD seperti topi, masker bedah, gaun lengan panjant, sarung tangan dan sandal khusus sebelum masuk ke kamar pasien
2)
Tidak boleh ada pengunjung tetapi dapat dibantu oleh satu orang penunggu yang tidak boleh keluar masuk kecuali karena keperluan khusus dan atas seijin petugas. Penunggu sebelum masuk ke kamar pasien harus mandi dengan larutan Chlorhexidine
2-4%
selanjutnya
memakai
APD
yang
dipersayaratkan (topi, masker bedah, gaun dan sandal khusus yang disediakan rumah sakit).
H.
TATA LAKSANA PELAYANAN HEMODIALISIS Konsep pelayanan hemodialysis dilakukan secara: 1. Komprehensif 2. Pelayanan dilakukan sesuai standar pasien safety 3. Peralatan yang tersedia harus memenuhi ketentuan 4. Semua tindakan harus di dokumentasikan dengan baik 5. Harus ada monitor evaluasi
a.
Prosedur Pelayanan Hemodialisis Tindakan Hemodialisis (HD pertama) dilakukan setelah melalui pemeriksaan, konsultasi dengan konsultan atau dokter spesialis penyakit dalam (Sp.PD) yang bersertifikat HD. Sebelum melakukan tindakan hemodialisis pasien harus sudah melakukan cek laboraturium yaitu Darah Lengkap, Elektrolit, Albumin, Fungsi Ginjal, Hepatitis B dan Hepatitis C serta HIV dan sudah berkordinasi dengan dokter konsultan HD. pasien yang melakukan hemodialisia harus dengan keadaan umum baik. Dan bila hasil laboratorium positif hepatitis B, C dan HIV maka pasien hemodialisa akan di layani di Rumah Sakit yang sesuai dengan pasien infeksius di tempat mesin infeksius. Setiap tindakan yang akan dilakukan terdiri dari : - Pastikan ada peresepan dari dokter Interne bersertifikat HD - Persiapan pelaksanaan hemodialysis 30 menit - Pelaksanaan hemodialysis selama 5 jam 73
- Evaluasi pasca hemodialysis 30 menit Sehingga setiap pelaksanaan hemodialysis diperlukan waktu mulai dari persiapan sampai dengan waktu pasca hemodialysis minimal 6 jam. Tindakan hemodialysis harus memberikan pelayanan sesuai standart
profesi
dan
memperhatikan
hak
pasien
termasuk
membuat informed consent. b.
Prosedur Pelayanan Traveling Dialisis Traveling
Dialisis
adalah
suatu
bentuk
tindakan
dalam
melayani pasien asing atau local yang melakukan perjalanan keluar dari daerah pasien berasal sehingga mendapatkan kepastian jadwal hemodialisa sebelum pasien datang ke unit hemodialisa yang baru. Pasien atau keluarga pasien bisa mendapatkan informasi pelayanan HD
di
RSUD
Buleleng
dengan
mengirim
e-mail
[email protected] atau bisa juga dengan no telp/fax (0362) 22046 / 29629 ditujukan ke pada dokter bagian Hemodialisa. Pasien dan dokter sudah sepakat untuk melakukan dialysis di RSUD Buleleng maka pasien akan mengirimkan data traveling dan data medis melalui email, setelah itu pasien akan di hubungi kembali
oleh
petugas
untuk
memastikan
jadwal
tindakan
hemodialisa yg akan dilakukan. Setelah itu dokter akan mengisi formulir asuransi bila ada. c.
Alur Pasien Dalam Pelayanan Hemodialisis Pasien hemodialysis dapat berasal dari : 1. Poli 2. IGD 3. Rawat Inap (termasuk ruangan intensif) 4. Rujukan Rumah Sakit lain 5. Travelling
d.
Pengendalian Limbah Mengikuti pengendalian limbah di rumah sakit
I.
TATA LAKSANA PELAYANAN RESTRAINT Restraint terdiri dari berbagai jenis, antara lain: 1. Pembatasan Fisik 74
a. Melibatkan satu atau lebih staf untuk memegangi pasien, menggerakkan pasien, atau mencegah pergerakan pasien. b. Pemegangan fisik: biasanya staf memegangi pasien dengan tujuan untuk melakukan suatu pemeriksaan fisik/tes rutin. Namun, pasien berhak menolak prosedur ini. Apabila terpaksa memberikan obat tanpa persetujuan pasien, dipilih metode yang paling kurang bersifat pemaksaan.
Pada
reaktif/sedikit beberapa
mungkin
menggunakan
keadaan, dimana pasien setuju
untuk menjalani prosedur/ medikasi tetapi tidak dapat berdiam diri/tenang
untuk
memegangi
disuntik/menjalani
pasien
prosedur,
staf
boleh
dengan tujuan prosedur/ pemberian
medikasi berjalan dengan lancar dan aman. Hal ini bukan merupakan restraint. 2. Pembatasan Mekanis Yaitu melibatkan penggunaan suatu alat, misalnya penggunaan pembatas di sisi kiri dan kanan tempat tidur (bedrails) untuk mencegah pasien jatuh/turun dari tempat tidur. Namun perlu diperhatikan bahwa penggunaan bedrails dianggap berisiko terjebak di antara kasur dan bedrails dengan kemungkinan mengalami cedera yang lebih berat dibandingkan tanpa penggunaan bedrails. Jadi, penggunaan bedrails harus
mempunyai
keuntungan
yang
melebihi resikonya. Namun, jika pasien secara fisik tidak mampu turun dari tempat tidur, penggunaan side rails bukan restraint karena
merupakan
penggunaan side rails tidak berdampak pada
kebebasan bergerak pasien. 3. Pembatasan Kimia Yaitu melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien. Obat-obatan dianggap sebagai
suatu
restraint
hanya
jika
penggunaan obat-obatan tersebut tidak sesuai dengan standar terapi pasien dan penggunaan obat-obatan ini hanya ditujukan untuk mengontrol perilaku bergerak
pasien.
Kriteria
pasien/membatasi untuk
kebebasan
menentukan
suatu
penggunaan obat dan kombinasinya tidak tergolong restraint adalah: a. Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan telah disetujui oleh Food and Drug istraion (FDA) dan sesuai indikasinya. 75
b. Penggunaan
obat
mengikuti/sesuai
dengan
standar
praktik
kedokteran yang berlaku. c. Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien didasarkan pada gejala pasien, keadaan umum pasien, dan pengetahuan klinis/dokter yang merawat pasien. d. Penggunaan pasien
obat
tersebut
mencapai
diharapkan
dapat
membantu
kondisi fungsionalnya secara efektif dan
efisien. e. Jika
secara
keseluruhan
kemampuan sekitarnya
pasien secara
efek
obat
tersebut
untuk berinteraksi efektif,
maka
menurunkan
dengan
obat
lingkungan
tersebut
tidak
digunakan sebagai terapi standar untuk pasien. f. Tidak diperbolehkan menggunakan ‘pembatasan kimia’ (obat sebagai restraint) untuk tujuan mendisiplinkan pembalasan
pasien,
dendam.
kenyamanan
atau Dalam
sebagai observasi
staf,
untuk
metode
untuk
restraint,
perlu
diperhatikan efek samping penggunaan obat dipantau secara rutin dan ketat. Adapun indikasi pasien yang membutuhkan tindakan restraint, yaitu : 1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri dan atau orang lain. 2. Tahanan pemerintah (yang legal/sah secara hukum) yang dirawat di rumah sakit. 3. Pasien
yang
membutuhkan
tata
laksana
emergensi
(segera)
yang berhubungan dengan kelangsungan hidup pasien. 4. Restraint digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak berhasil/tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dari ancaman bahaya. Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun disesuaikan
dengan
setiap
perilaku
individu
dimana
terdapat
pertimbangan mengenai perlunya menggunakan restraint atau tidak. Keputusan
penggunaan
diagnosis,
tetapi
restraint
ini
tidak
didasarkan
pada
melalui asesmen pada setiap individu secara
komprehensif. Asesmen ini digunakan untuk menentukan apakah penggunaan metode yang kurang restriktif memiliki resiko yang lebih besar
daripada
resiko
akibat
penggunaan
restraint.
Asesmen 76
komprehensif
ini
harus
meliputi
pemeriksaan
fisik
untuk
mengidentifikasi masalah medis yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan perilaku pasien. hipoksia,
hipoglikemia,
dan efek
samping
Misalnya:
suhu
tubuh,
ketidakseimbangan elektrolit, interaksi
obat dapat
delirium, agitasi, dan
peningkatan
dapat
perilaku
menimbulkan
obat,
kondisi
yang agresif. Penanganan masalah
medis ini dapat mengeleminasi atau meminimalisasi kebutuhan akan restraint. Dalam banyak kasus, restraint
dapat dihindari dengan
melakukan perubahan yang positif terhadap pemberian/penyediaan pelayanan kesehatan dan menyediakan dukungan pada pasien baik secara fisik maupun psikologis. Perlu dicatat bahwa pasien yang berkapasitas mental baik dapat meminta sesuatu, seperti penggunaan sabuk/ikat pengaman atau bedrails untuk meningkatkan rasa aman mereka. Meskipun hal ini mungkin tidak sejalan dengan rekomendasi perawat,
pilihan
pasien
haruslah
dalam
penyusunan/pembuatan rencana keperawatan pasien dan
asesmen risiko. Jika
pasien
(consent),
seyogianya
akan
perawat
dilakukan, berikut
menyetujui
tindakan
tidak
dihormati
dapat
dan
memberikan
selalu menjelaskan
membantu pasien untuk
tersebut.
Suatu
diikutsertakan
studi
persetujuan
tindakan
yang
memahami
dan
menyarankan
bahwa
penggunaan restraint pasien yang delirium sekalipun, pasien tersebut akan sangat menghargai dan mengingat penjelasan perawat mengenai kondisi pasien dan alasan pasien dilakukan restraint, terutama untuk
meyakinkan bahwa tindakan tersebut ditujukan untuk
keselamatan pasien. Salah
satu cara
menghindari
untuk
penggunaan
membantu restraint
tenaga
kesehatan
adalah dengan menyediakan
lingkungan perawatan yang berkesan positif. Berikut adalah beberapa cara untuk menyediakan lingkungan yang positif: 1.
Perawatan
yang
berpusat
pada
pasien,
terutama
yang
mempunyai kebutuhan dukungan psikologis 2.
Tingkat kebebasan dan risiko perawatan dirumah
3.
Pencegahan kekerasan dan agresi
4.
Pencegahan ide/tindakan bunuh diri dan melukai diri sendiri
5.
Pengalaman pasien di ruang rawat intensif (ICU)
6.
Pemenuhan kebutuhan pasien dimensia di ruang rawat RS 77
7.
Pencegahan dan penanganan delirium
8.
Menjaga
harga
diri
dan
martabat
pasien
selama
asuhan
keperawatan 9.
Pencegahan risiko jatuh
Namun
perlu
diperhatikan
beberapa
dampak
negatif
daripada
penggunaan restraint, antara lain: 1.
Dampak fisik a) Atrofi otot b) Hilangnya/berkurangnya densitas tulang c) Ulkus decubitus d) Infeksi nosocomial e) Strangulasi f)
Penurunan fungsional tubuh
g) Stress kardiak 2. Dampak Psikologi a) Depresi b) Penurunan fungsi kognitif c) Isolasi emosional d) Kebingungan ( confusion ) dan agitasi Apabila pasien telah ditentukan membutuhkan tindakan restraint maka diperlukan persetujuan (Informed Consent). Persetujuan merupakan salah satu alat hukum yang legal dimana seseorang memberikan kekuasaan yang sah terhadap tata laksana atau keperawatan. Dasar persetujuan yang sah bahwa
suatu
identik
persetujuan
dengan
diperlukan
persyaratan
profesional
sebelum melakukan suatu
tindakan/prosedur. Perlu diingat bahwa restraint tidak boleh digunakan semata-mata
untuk
mengurangi
beban
kerja.
Pemilik/pemegang
kekuasaan tidak boleh menempatkan perawat dalam posisi dimana mereka terpaksa melakukan restraint karena kurangnya staf yang bertugas atau kurangnya sumber daya untuk menyediakan perawatan yang aman dan berkualitas. Unsur ‘kenyamanan’ bukanlah alasan yang dapat diterima untuk melakukan restrain terhadap pasien. 1.
Restraint tidak boleh dianggap sebagai pengganti pemantauan pasien.
2.
Untuk menentukan
perlu atau
tidaknya
menggunakan
restraint, diperlukan skrining pada individu secara komprehensif 78
untuk menentukan kebutuhan akan restraint berikut jenis yang dipilih. Apabila skrining menyatakan bahwa diperlukan restraint maka dilanjutkan dengan asesmen restrain. 3.
Jika
dalam
asesmen
terdapat
suatu
kondisi
medis
yang
mengindikasikan perlunya intervensi untuk melindungi pasien dari ancaman bahaya, sebaiknya menggunakan metode yang paling tidak restriktif tetapi efektif. 4.
Dalam menggunakan restraint, harus mempertimbangkan antara resiko yang dapat timbul akibat penggunaan restraint dengan resiko yang dapat timbul akibat perilaku pasien.
5.
Permintaan keluarga/pasien untuk menggunakan restraint (yang dianggap menguntungkan) bukanlah
suatu
hal
yang
dapat
mendasari diaplikasikannya restraint. Permintaan ini haruslah mempertimbangkan kondisi pasien dan asesmen pasien. 6.
Jika telah diputuskan bahwa restraint diperlukan, dokter harus menentukan jenis restraint apa yang dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan resiko yang paling kecil dan pilihan yang paling menguntungkan untuk pasien.
7.
Staf harus mencatat di rekam medis pasien mengenai keputusan penggunaan restraint dan jenisnya. Dituliskan juga bahwa restraint yang digunakan merupakan intervensi yang paling tidak restriktif namun efektif untuk melindungi pasien dan penggunaan restraint diputuskan berdasarkan asesmen per-individu.
8.
Selama penggunaan restraint, pasien harus dipastikan memperoleh asesmen, pemantauan, tata laksana, dan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien
9.
Prosedur yang harus diobservasi sebelum dan setelah aplikasi restraint: a.
Inspeksi peralatan
tempat
tidur,
lainnya
tempat
yang
duduk,
restraint,
dan
akan digunakan selama proses
restraint mengenai keamanan penggunaannya b.
Jelaskan kepada pasien mengenai alasan penggunaan restraint
c.
Semua (seperti
obyek/benda sepatu,
yang
berpotensi
membahayakan
perhiasan, selendang, ikat pinggang, tali
sepatu, korek api) harus disingkirkan sebelum restraint diaplikasikan 79
d.
Setelah aplikasi restraint, pasien diobservasi oleh staf
e.
Kebutuhan
pasien,
seperti
makan,
minum,
mandi,
dan
penggunaan toilet akan tetap dipenuhi f.
Secara berkala, perawat akan menilai tanda vital pasien, posisi tubuh pasien, keamanan restraint, dan kenyamanan pasien
g.
Dokter harus diberitahu jika terdapat perubahan signifikan mengenai perilaku pasien
h.
Rumah sakit sebaiknya mewajibkan staf yang terlibat (staf yang mengaplikasikan restraint, staf yang bertugas memantau, menilai, atau memberikan pelayanan kepada pasien) memiliki pengetahuan dan memperoleh pelatihan mengenai : Teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktorfaktor yang dapat mempengaruhi, kejadian-kejadian yang membutuhkan restraint Cara tidak
untuk
memilih
bersifat
restriktif
intervensi tapi
apa
yang
paling
efektif, berdasarkan pada
asesmen kondisi medis/perilaku pasien Cara mengaplikasikan restraint dengan aman Cara
mengidentifikasi
yang
perubahan
mengindikasikan
perilaku
spesifik
bahwa restraint/isolasi tidak
lagi diperlukan Pemantauan yang
kondisi
mengalami
fisik
dan
psikologis
pasien
restraint/isolasi, termasuk status
respirasi dan sirkulasi, integritas kulit, dan tanda vital Teknik melakukan resusitasi jantung paru Cara mengevaluasi pengenai Pelayanan Pasien dengan Restraint adalah: 1.
Mengumpulkan kurun
waktu
melihat
pola
data
mengenai
yang
penggunaan
spesifik (misalnya
penggunaan
restraint
restraint
dalam
bulan)
untuk
3
di
unit-unit
tertentu,
setiap pergantian jaga, serta pola tiap minggunya. 2.
Perhatikan restraint malam
pula
apakah
meningkat hari,
saat
jumlah
pasien
di
akhir pekan,
jam
pergantian
yang
saat jaga
hari
menggunakan libur,
tertentu
saat
memiliki
kecenderungan di satu unit tertentu daripada unit lainnya. 3.
Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya penggunaan restraint yang tidak sesuai dengan kepentingan/kebutuhan pasien, 80
tetapi lebih kepada aspek
kenyamanan, kurangnya staf, atau
kurangnya staf yang berpengalaman/terlatih 4.
Jadwal piket perawat diperlukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh meningkatnya penggunaan restraint di tingkat staf
5.
Melakukan wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani restraint. Apakah alasan digunakannya
restraint
ini
dijelaskan
kepada pasien dengan kata-kata yang dapat dimengerti? Adapun Standar Prosedur Operasional untuk melakukan tindakan restrain pada pasien: 1.
Perawat
berbicara
secara
meyakinkan
kepada
pasien
untuk
menghentikan perilakunya. 2.
Perawat
mengulangi
penjelasan
jika
tidak
menghentikan
perilakunya akan dilakukan pengikatan dengan bahasan yang sopan. 3.
Staf yang akan melakukan pengikatan harus sudah berada di tempat.
4.
Perawat mengobservasi tanda-tanda vital tiap 60 menit setelah dilakukan restraint.
5.
Perawat menempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat staf.
6.
Perawat mendokumentasikan observasi ke dalam formulir Rekam Medis Observasi Pasien Restraint.
7.
Pengikatan fisik dapat dilakukan tanpa instruksi dokter, namun sesegera mungkin (<1 jam) perawat melaporkan kepada dokter untuk legalitas
8.
Fiksasi
kimia
dilakukan
segera
setelah
fiksasi
fisik,
disesuaikan dengan kondisi pasien. 9.
Pilihan fiksasi kimia dikonsulkan ke dokter penanggung jawab pasien atau dokter anestesi.
J.
TATA LAKSANA PELAYANAN KHUSUS (PERLINDUNGAN TERHADAP KEKERASAN FISIK) 1. Identifikasi pasien beresiko terhadap kekerasan fisik dilakukan oleh unit terdepan rumah sakit (Instalasi Gawat Darurat) 2. Perlindungan terhadap bayi dan anak-anak dari kekerasan fisik dengan menempatkan pasien bayi dan anak-anak di lokasi/ruang 81
khusus
untuk
bayi
dan
khusus
untuk
anak-anak
dengan
pembatasan pengunjung 3. Pemantauan dengan memasang CCTV pada ruang yang beresiko terjadi tindak kekerasan antara lain : Ruang Bayi, Ruang anak-anak, Ruang Geriatri, dan Instalasi Gawat Darurat. 4. Daftar pengunjung yang diperkenankan masuk ke ruang bayi adalah: a.
Petugas Rumah Sakit yang terdiri dari 1.
Dokter yang merawat pasien (DPJP)
2.
Peserta
didik
(residen
PPDS,
dokter
muda,
mahasiswa
keperawatan /kebidanan) 3.
Petugas rumah sakit yang berhubungan dengan pasien (petugas laboratorium, rehabilitasi medis, petugas kebersihan dll.)
4.
Semua petugas yang disebutkan diatas wajib memakai tanda pengenal yang dikeluarkan resmi oleh Rumah sakit dan seijin penanggung jawab ruangan bayi
b. Ibu Bayi Ibu bayi wajib menggunakan gelang identitas dengan nomor RM yang sama dengan bayinya dan atau foto diri ukuran 5R 1. Melakukan pemantauan dengan CCTV yang dilakukan oleh Instalasi keamanan dan ketertiban lingkungan 2. Bayi bayi yang akan keluar dari ruangan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang hanya boleh dilakukan oleh petugas dengan identitas khusus 3. Perlindungan terhadap orang tua/lansia dari kekerasan fisik dengan
menempatkan
pasien
orang
tua/manula
di
lokasi/ruangan khusus untuk orang tua/manula dengan pembatasan pengunjung dan akses masuk keruangan 4. Untuk menjaga keamanan pasien setiap penunggu pasien diberikan kartu tunggu dan pembesuk menunjukkan identitas serta mendapatkan ijin dari pasien/penunggu pasien 5. Instalasi keamanan dan ketertiban Lingkungan RSUD Kab. Buleleng
melaksanakan
penjagaan
khusus
terkait
perlindungan dari ancaman kekerasan fisik terhadap pasien 82
yang tidak bisa melindungi dirinya dan atas permintaan petugas yang merawat pasien dan atau keluarga pasien 6. Petugas instalasi Keamanan dan Ketertiban Lingkungan RSUD Kabupaten Buleleng melakukan pemeriksaan terhadap para pengunjung /tamu RSUD Kabupaten Buleleng yang tidak memiliki Identitas saat berada di lingkungan rumah sakit diluar jam berkunjung 7. Penanganan terhadap kejadian kekerasan fisik terhadap pasien dengan mengaktifkan “Black Code” di pimpin oleh petugas Instalasi Keamanan dan Ketertiban Lingkungan
K.
TATA LAKSANA MAKANAN DAN TERAPI GIZI 1. Penyelenggaraan Makanan a. Bentuk Penyelenggaraan Makanan di RSUD Kabupaten Buleleng Bentuk
Penyelenggaraan
makanan
merupakan
bagian
dari
kegiatan Instalasi Gizi RSUD Kabupaten Buleleng sebagai unit pelayanan gizi rumah sakit. Bentuk penyelenggaraan makanan yang
dilakukan
oleh
RSUD
Kabupaten
Buleleng
untuk
menyelenggarakan makanan pasien saat ini adalah dengan system Swakelola, dimana Instalasi Gizi sebagai unit pelayanan gizi bertanggung
jawab
untuk
melaksanakan
semua
kegiatan
penyelenggaraan makanan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
b.
Alur Penyelenggaraan Makanan
ALUR PENYELENGGARAAN MAKANAN Pelayanan makanan pasien
Perencanaan menu
Pengadaan bahan
Penerimaan & penyimpanan
83
Penyajian makanan di ruang
c.
Distribusi makanan
Persiapan & pengolahan makanan
Mekanisme Kerja Penyelenggaraan Makanan Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng 1) Perencanaan Anggaran Belanja Makanan Langkah Perencanaan Anggaran Belanja Makanan Pasien dan Pegawai: ( SPO No : 440/0016/PP/RSUD/2014 ) Pelaksanaan Setiap akhir tahun dibuat rekapitulasi pengeluaran Instalasi Gizi dalam satu tahun untuk membuat laporan tahunan, dan sebagai bahan untuk membuat perencanaan anggaran tahun berikutnya. 2) Menyusun Perencanaan Menu Menu yang digunakan di RSUD Kabupaten Buleleng adalah siklus menu
10 hari, menu ini tersedia secara regular baik
untuk menu makanan biasa maupun menu khusus seperti menu diet penderita DM, DH, RG. Langkah
Perencanaan
Menu:
(SPO
No:
440/0017/PP/RSUD/2014) Pelaksanaan Penyusunan menu pasien baik itu snack maupun makanan akan direncanakan dan diganti secara periodik a) Menu snack diganti setiap setahun b) Menu makanan dievaluasi setiap tahun dan diganti setiap 3 tahun sekali 3)
Perhitungan Kebutuhan Bahan Makanan Langkah Perencanaan Kebutuhan Bahan Makanan: (SPO No: 440/0018/PP/RSUD/2014) Pelaksanaan Perhitungan kebutuhan bahan makanan pasien dan pegawai sesuai dengan menu harian dan kebutuhan pada saat itu.
4) Pemesanan Bahan Makanan 84
Langkah
Pemesanan
bahan
Makanan:
(SPO
No:
440/0020/PP/RSUD/2014 ) Pelaksanaan Pemesanan bahan makanan basah untuk pasien dilakukan setiap hari
berdasarkan
sedangkan
untuk
jumlah
pasien
dan
bahan
makanan
menu
kering
yang
berlaku,
dilakukan
setiap
sepuluh hari sekali. Pemesanan bahan makanan untuk pegawai sesuai dengan jadwal dan kebutuhan pegawai yang dilayani seperti: pegawai dinas malam dipesan setiap hari, petugas khusus dipesan
setiap bulan sekali.Semua
BON pemesanan
bahan
makanan dikirim kerekanan. 5) Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan Langkah
Penerimaan
Bahan
Makanan:
(SPO
No
:
440/0028/PP/RSUD/2014 ) Pelaksanaan Bahan makanan basah maupun kering yang datang, diterima dan diperiksa sesuai dengan BON pemesanan bahan makanan baik jumlah dan sfesifikasi bahan makanan yang telah ditentukan. Langkah Penyimpanan Bahan Makanan: (SPO No: 440/0029/PP/ RSUD/2014) Penyaluran Bahan makanan (SPO No: 440/0027/PP/RSUD/2014) (persiapan, pemasakan, pendistribusian dll). Dalam penyaluran bahan makanan dari logistic memakai system FIFO Persiapan Makanan Langkah
Persiapan
Bahan
Makanan
sesuai
SPO
No:
440/0021/PP/RSUD/2014 Pengolahan Bahan Makanan Langkah
Pengolahan
Makanan
sesuai
(SPO
No:
4400022/PP/RSUD/2014) Pendistribusian Makanan Langkah-langkah pendistribusian makanan pasien sesuai dengan SPO No: 440/0023/PP/RSUD/2014) Kesehatan Bahan Makanan dan Makanan sesuai SPO No: 445/………/PP/RSUD/2014) 2. Tujuan Asuhan gizi 85
Tujuan utama Asuhan Gizi adalah memenuhi kebutuhan zat gizi pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada pasien yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kerjasama tim yang terdiri dari unsur
terkait
untuk
melaksanakan
urutan
kegiatan
yang
dikelompokkan menjadi 4 kegiatan, yaitu: 1) Pengkajian gizi (Nutrition Assessment); 2) Membuat diagnosis masalah gizi (Nutrition Diagnosis); 3) Intervensi
gizi
(Nutrition
Intervention)
dengan:
Menentukan
kebutuhan terapi gizi. Dalam pelaksanaan asuhan gizi, penentuan terapi gizi pasien perlu mempertimbangkan tiga macam kebutuhan yaitu penggantian (replacement), pemeliharaan (maintenance) dan penambahan akibat kehilangan (loss) yang berkelanjutan dan untuk pemulihan jaringan dengan berpedoman kepada tepat zat gizi (bahan makanan), tepat formula, tepat bentuk, tepat cara pemberian, serta tepat
dosis
dan
waktu.
Memilih
dan
mempersiapkan
bahan/makanan/formula khusus (oral, enternal dan parenteral) sesuai kebutuhan. Melaksanakan pemberian makanan 4) Membuat monitoring dan evaluasi gizi (Nutrition Monitoring and Evaluation). Dengan demikian, jika metoda pemecahan masalah yang sistematis ini dilaksanakan secara konsisten, maka Asuhan Gizi dapat meningkatkan profesionalisme dietisien secara efektif sebagai pemberi pelayanan asuhan gizi, melalui cara berpikir dan membuat keputusan secara kritis dalam upaya menangani masalah gizi, sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang berkualitas, aman, dan efektif. 3. Prinsip Asuhan Gizi 1)
Asuhan Gizi Rawat Jalan a. Tujuan Memberikan pelayanan kepada klien/pasien rawat jalan atau kerlompok dengan membantu mencari solusi masalah gizinya melalui nasihat gizi mengenai jumlah asupan makanan yang sesuai, jenis diet yang tepat, jadwal makan dan cara makan, jenis diet dengan kondisi kesehatannya. b. Sasaran -
Pasien dan keluarganya. 86
-
Kelompok pasien dengan masalah gizi yang sama
-
Individu pasien yang datang atau dirujuk
-
Kelompok masyarakat rumah sakit yang dirancang secara periodik oleh rumah sakit.
2)
Mekanisme Kegiatan Pelayanan gizi rawat jalan meliputi kegiatan konseling individual seperti pelayanan konseling gizi dan dietetik, pelayanan gizi geriatrik, pelayanan gizi pasien HIV/AIDS, pelayanan gizi pasien TB, pelayanan/ konseling gizi bayi, anak, ibu hamil dan menyusui di unit rawat jalan / klinik gizi, pelayanan konseling gizi pasien check up di poli medical check up (MCU), sedangkan pelayanan konseling
gizi permintaan khusus dapat
dilakukan di poli
perjanjian (Poli Lukas). Pelayanan penyuluhan berkelompok seperti seperti : pemberian edukasi di kelompok pasien diabetes, pasien hemodialisa, ibu hamil dan menyusui, pasien jantung koroner, pasien HIV/AIDS (ODHA), pasien TB, pasien kanker, dll. Mekanisme pasien berkunjung untuk mendapatkan asuhan gizi di rawat jalan berupa konseling gizi untuk pasien dan keluarganya serta penyuluhan gizi untuk kelompok adalah sebagai berikut : a. Konseling Gizi Pasien yang datang periksa di poliklinik- poliklinik rawat jalan dilakukan skrining gizi awal oleh perawat. Pasien Malnutrisi dan kondisi khusus dikirim ke Dietisien Pasien datang ke ruang konseling gizi dengan membawa surat rujukan dokter dari poliklinik yang ada di rumah sakit (sudah tercatat dalam Rekam Medik Elektronik)
atau
membawa surat rujukan dari luar rumah sakit, maupun pasien datang atas inisiatif sendiri ke poli gizi. Dietisien melakukan pencatatan data pasien dalam buku registrasi. Dietisien
melakukan
asesmen
gizi
dimulai
dengan
pengukuran antropometri pada pasien yang belum ada data tinggi badan (TB), berat badan (BB). Dietisien melanjutkan asesmen/ pengkajian gizi berupa anamnesa riwayat makan, riwayat personal, membaca hasil 87
pemeriksaan
laboratorium
dan
fisik
klinis
(bila
ada).
Kemudian menganalisa semua data asesmen gizi. Dietisien menetapkan diagnosa gizi. Dietisien memberikan intervensi gizi berupa edukasi dan konseling dengan langkah menyiapkan dan mengisi leaflet/ brosur diet sesuai penyakit dan kebutuhan gizi pasien serta menjelaskna tujuan diet, jadwal, jenis, jumlah bahan makanan sehari menggunakan alat peraga food model, menjelaskan tentang makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan,
cara
pemasakan
disesuaikan
dengan
pola
dan
makan
lain dan
–
lain
yang
keinginan
serta
kemampuan pasien. Dietisien menganjurkan pasien untuk kunjungan ulang, untuk
mengetahui
keberhasilan
intervensi
(monev)
dilakukan monitoring dan evaluasi gizi. Pencatatan hasil konseling gizi dengan format ADIME (Assesmen, Diagnosis, Intervensi, Monitoring dan Evaluasi) dimasukkan dalam rekam medik pasien (RM elektronik) atau disampaikan ke dokter melalui pasien untuk pasien di luar rumah sakit dan diarsipkan di ruang konseling.
Pasien Rawat Jalan
Poliklinik
Poliklinik
Poliklinik
Poliklinik
Poliklinik
Skrining Gizi awal oleh Perawat
Pasien Malnutrisi & Kondisi Khusus dikirim ke Dietisien
Konseling Gizi oleh Dietisien
88
3) Penyuluhan Gizi a) Persiapan penyuluhan Menentukan materi sesuai kebutuhan. Membuat sasaran/ outline materi yang akan disajikan. Merencanakan media yang akan digunakan. Pengumuman jadwal dan tempat penyuluhan. Persiapan ruangan dan alat bantu/ media yang dibutuhkan. b) Pelaksanaan penyuluhan Peserta mengisi daftar hadir (absensi) Dietisien menyampaikan materi penyuluhan. Tanya jawab. c) Evaluasi dan laporan pelaksanaan penyuluhan Evaluasi penyuluhan dengan tanya jawab materi penyuluhan atau dapat juga dengan menyebarkan kuesioner penyuluhan. Membuat laporan kegiatan penyuluhan dengan mencatat pada buku kegiatan penyuluhan. 4)
Asuhan Gizi Rawat Inap a. Tujuan Memberikan pelayanan gizi kepada pasien rawat inap agar memperoleh
asupan
makanan
yang
sesuai
kondisi
kesehatannya dalam upaya mempercepat proses penyembuhan, mempertahankan dan meningkatkan status gizi. b. Sasaran Pasien dan keluarganya. c. Mekanisme Kegiatan Mekanisme pelayanan gizi rawat inap adalah sebagai berikut : 1. Skrining Gizi
Tahapan pelayanan gizi rawat inap diawali dengan skrining/ penapisan gizi oleh perawat ruangan dan penetapan order diet awal (preskripsi diet awal) oleh dokter. Skrining gizi bertujuan untuk mengidentifikasi pasien/klien yang beresiko, tidak beresiko malnutrisi atau kondisi khusus. Kondisi khusus yang dimaksud adalah pasien dengan kelainan metabolik, hemodialisis, 89
anak, geriatrik, kanker dengan kemoterapi/radiasi, luka bakar, pasien dengan imunitas menurun, HIV/AIDS, sakit kritis dan sebagainya.
Skrining awal dilakukan pada pasien baru 1 x 24 jam setelah pasien masuk RS.
Metode
skrining
sebaiknya
singkat,
cepat
dan
disesuaikan dengan kondisi dan kesepakatan di masing – masing rumah sakit. Metode skrining awal
yang
disepakati oleh bagian keperawatan adalah dengan menggunakan metode Malnutrition Screening Tools (MST) untuk pasien dewasa.
Bila hasil skrining gizi menunjukkan pasien beresiko malnutrisi, maka dilakukan pengkajian/asesmen gizi lanjut dengan menggunakan formulir skrining gizi lanjut dewasa maupun anak.
Setelah itu dilanjutkan dengan langkah – langkah proses asuhan gizi terstandar (PAGT) oleh Dietisien.
Pasien dengan status gizi baik atau tidak beresiko malnutrisi, dianjurkan dilakukan skrining ulang setelah 1 minggu. Jika hasil skrining ulang beresiko malnutrisi maka dilakukan proses asuhan gizi terstandar.
Pasien sakit kritis atau kasus sulit yang beresiko gangguan gizi berat akan lebih baik bila ditangani secara tim. Bila rumah sakit mempunyai Tim Asuhan Gizi/ Nutrition Tim (NST)/ Tim Terapi Gizi (TTG)/ Tim Dukungan Gizi/ Panitia Asuhan Gizi maka berdasarkan pertimbangan DPJP pasien tersebut dirujuk kepada tim.
2.
Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) Proses Asuhan Gizi Terstandar dilakukan pada pasien yang beresiko kurang gizi, sudah mengalami kurang gizi dan atau kondisi
khusus
dengan
penyakit
tertentu,
proses
ini
merupakan serangkaian kegiatan yang berulang (siklus) sebagai berikut :
90
Langkah PAGT terdiri dari : a. Assesmen/ Pengkajian Gizi Asesmen gizi dikelompokkan dalam 5 kategori yaitu : 1) Pengukuran dan Pengkajian data antropometri; 2) Data biokimia, tes medis dan prosedur (termasuk data laboratorium); 3) Pemeriksaan Fisik Klinis; 4) Anamnesis Riwayat Gizi; 5) Riwayat Personal 1) Pengumpulan dan Pengkajian Data Antropometri Pengumpulan dan pengkajian data antropometri merupakan hasil pengukuran
fisik
pada
individu.
Pengukuran
yang
umum
dilakukan antara lain tinggi badan/panjang badan, berat badan, tinggi lutut, lingkar lengan atas, tebal lemak, lingkar pinggang, lingkar
panggul.
Kecepatan
pertumbuhan
dan
kecepatan
perubahan berat badan juga termasuk data yang dinilai dalam aspek ini. Dengan mengaitkan dua ukuran akan didapat indeks yang dapat member informasi mengenai kondisi status gizi seperti IMT untuk dewasa dan BB/TB untuk anak, dll. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk menginterpretasikan status
gizi
seseorang
yaitu
dengan
membandingkan
hasil
pengukuran dengan standar yang ada atau memasukkan beberapa hasil pengukuran ini ke dalam rumus penilaian status gizi tertentu. a. Data Antrometri Dewasa Bila pasien dapat ditimbang pengukuran antropometri yang dilakukan adalah pengukuran tinggi badan (TB), dan berat badan (BB).
91
Bila pasien tidak dapat ditimbang pengukuran antropometri yang dilakukan adalah pengukuran rentang lengan (RL), dan Lingkar Lengan Atas (LLA) Pada
pasien
dengan
obesitas
dan
ascites
dilakukan
pengukuran antropometri lingkar pinggang (LiPi) Pada pasien dengan oedem extremitas bawah dan ascites, pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA). Pada pasien dengan oedem anasarka (seluruh tubuh), pengukuran antropometri tidak bisa dilakukan. Status gizi dengan menggunakan data biokimia. b.
Data Antropometri Anak – anak
Bila pasien dapat ditimbang pengukuran antropometri yang dilakukan adalah pengukuran panjang badan (PB) bila anak yang tidak dapat berdiri dan atau tinggi badan (TB) bila anak dapat berdiri, serta berat badan (BB).
Bila
pasien
antropometri
tidak yang
dapat
ditimbang
dilakukan
adalah
pengukuran pengukuran
Lingkar Lengan Atas (LLA).
Pada pasien anak dengan oedem extremitas bawah dan ascites, pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA).
Pada pasien anak dengan oedem anasarka (seluruh tubuh), pengukuran antropometri tidak bisa dilakukan. Status gizi dengan menggunakan data biokimia.
c.
Pengukuran Berat Badan Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan
yang
mendadak.
Berat
badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Oleh sebab itu, berat badan harus selalu dimonitor agar memberikan informasi yang memungkinkan intervensi gizi yang
preventif
sedini
mungkin
guna
mengatasi
kecenderungan penurunan atau penambahan berat badan yang tidak dikehendaki. Berat badan harus selalu dievaluasi dalam konteks riwayat berat badan yang meliputi gaya 92
hidup maupun status berat badan yang terakhir. Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. d.
Pengukuran Berat Badan pada Orang Normal Timbangan
Injak
Otomatis/Tidak
Otomatis
untuk
Remaja dan Dewasa Timbangan injak biasa digunakan untuk mengetahui berat badan pada orang normal remaja dan dewasa. Timbangan Otomatis/Tidak Otomatis untuk Bayi Pada timbangan bayi, bayi harus diletakkan dalam papan sehingga berat badan dapat seimbang di setiap sisi dari tengah papan. Saat bayi dalam keadaan diam, berat badan dapat dibaca hingga 10 gram. Timbangan yang Lengkap dengan Pengukur Tinggi Badan (TB) e.
Pengukuran Berat Badan pada Kondisi Khusus Pengukuran Berat Badan dalam Kondisi Tirah Baring atau dengan Keadaan Edema Dalam kondisi tertentu, pengukuran berat badan yang actual mungkin tidak dapat dilakukan. Sebagai contoh, pasien yang tidak dapat duduk atau berdiri sehingga terus
berada
dalam
posisi
berbaring
sementara
timbangan tempat tidur (bed scale) tidak tersedia. Contoh lain, pasien dengan edema atau ascites sehingga tidak dapat ditentukan berapa berat badan sebenarnya. Perkiraan Berat Badan Pada semua keadaan seperti yang disebutkan di atas, rumus dalam tabel berikut dapat digunakan untuk memperkirakan
berat
badan
ideal
berdasarkan
panjang badan pasien.
93
Tabel 1. Memperkirakan Berat Badan Berdasarkan Panjang Badan The Hamwi Method Bangun
Laki-Laki
Tubuh Sedang
Wanita
48 kg untuk 152 cm yang 45,4 kg untuk 152 cm pertama;
selanjutnya yang pertama; selanjutnya
tambahkan 2,7 kg untuk tambahan 2,3 kg untuk setiap 2,5 cm tambahan; setiap 2,5 cm tambahan, kurangi
1,13
kg
untuk kurangi 1m13 kg untuk
setiap cm bila TB < 152 setiap cm bila TB < 152 cm Kurangi 10% Tambahkan 10%
Kecil Besar
cm Kurangi 10% Tambahkan 10%
Cara Menentukan Bangun Tubuh Bangun
tubuh
mengamati
dapat
pasien.
ditentukan
Namun
untuk
hanya lebih
dengan
cara
meyakinkan,
langsung penentuan
kerangka tubuh dapat berdasarkan lingkar pergelangan tangan, yaitu sebagai berikut: Rumus:
Tabel 2. Penentuan Kerangka Tubuh
Pada
Kerangka Tubuh
Laki-
Perempuan
Kecil
laki >
>11,0
Sedang
10,4 9,6 –
10,1 – 11,0
Besar
10,4 < 9,6
< 10,1
Berat Badan Koreksi pasien
yang
mengalami
oedema
atau
ascites,
hitung
BB
sebenarnya menggunakan BB Koreksi, yaitu: 94
Rumus: BB Koreksi = BB Saat ini – Koreksi oedema/ascites
Tabel 3. Koreksi BB pada Oedema dan Ascites Tingkatan Ringan
Oedema -1 kg
(Bengkak pada tangan atau
10%
kaki) Sedang
-5
(Bengkak pada wajah dan
atau
tangan atau kaki) Berat
20% -14 kg
(Bengkak
pada
wajah,
kg
Ascites -2,2 kg
-6 kg
-10 kg
30%
tangan, dan kaki) a. Untuk kondisi Amputasi Persentase berat badan total berdasarkan bagian tubuh, yaitu: Tabel 4. Persentase Berat Badan Berdasarkan Bagian Tubuh Bagian Tubuh Bagian lengan
Presentase 6,5
Lengan atas
3,5
Lengan bawah
2,3
Tangan
0,8
Bagian kaki
18,5
Kaki
11,6
bagian
atas Kaki
5,3 bagian
1,8
bawah Kaki Sumber: Rosalind S Gibson, 2005
Jika pasien mengalami amputasi, keadaan pasien tersebut dapat dihitung pada berat bagian yang diamputasi. Persentase berat badan dapat diketahui berdasarkan pada bagian tubuh yang teramputasi.
95
f.
Pengukuran Tinggi Badan Tinggi/panjang badan merupakan salah satu parameter yang dapat melihat keadaan status gizi sekarang dan keadaan yang telah lalu. Pertumbuhan tinggi/panjang badan tidak seperti berat badan, relative kurang sensitif pada masalah kekurangan gizi dalam waktu singkat. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi/panjang badan akan nampak dalam waktu yang relative lama. 1) Pengukuran Panjang Badan dan Tinggi Badan (untuk Keadaan Sehat) Pengukuran ini digunakan untuk mengukur panjang badan bagi anak yang berusia < 2 tahun dan panjang badan ≤ 50 cm serta menggunakan alat pengukur panjang badan. Menggunakan alat pengukur panjang badan yang terbuat dari papan kayu yang dikenal dengan nama Length Board Pengukuran Tinggi Badan Pengukuran ini digunakan untuk mengukur tinggi badan bagi anak yang telah dapat berdiri tanpa bantuan, berusia ≥ 2 tahun dan tinggi ≥ 80 cm. Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan alat pengukur tinggi (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Konversi dari panjang badan ke tinggi badan (dengan mengurangi 0,7 cm) atau dari tinggi badan ke panjang badan (dengan menambahkan 0,7 cm). 2)
Pengukuran Estimasi Tinggi Badan (untuk Kondisi Khusus) Perkiraan Tinggi Badan dengan Pendekatan Tinggi Lutut Pengukuran ini digunakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui tinggi badan dari subjek, terutama subjek yang tidak dapat berdiri, kaki yang diukur adalah kaki sebelah kiri. Alat yang digunakan yaitu caliper, meteran/ medline.
Rumus Estimasi Tinggi Badan Berdasarkan Tinggi Lutut:
Perkiraan Tinggi Badan dengan Pendekatan Panjang Rentang Tangan Kanan dan Tangan Kiri (Arm Span) 96
Pengukuran ini digunakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui tinggi badan dari subjek terutama yang tidak dapat berdiri. Alat yang digunakan adalah Steel Tape. Rumus Estimasi Tinggi Badan berdasarkan Arm Span:
TB Anak Perempuan (cm)
-
Usia < 10 tahun
-
Usia ≥ 10 tahun
TB Anak Laki-Laki (cm)
-
Usia < 12 tahun
-
Usia ≥ 12 tahun
Perkiraan
Tinggi
Badan
dengan
Pendekatan
Panjang
Rentang Tangan kanan (Demispan) Pengukuran ini digunakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui tinggi badan dari subjek terutama yang tidak berdiri. Alat yang digunakan adalah meteran/medline. Tabel 5. Estimasi Tinggi Badan menggunakan Demispan Height (m) Height (m) Demispan Men 16Men > 54 Women 16- Women > 54 (cm) years 54 years 54 years years 66 1,54 1,50 1,48 1,46 67 1,55 1,51 1,49 1,47 68 1,56 1,53 1,50 1,49 69 1,58 1,54 1,52 1,50 70 1,59 1,55 1,53 1,51 71 1,60 1,56 1,54 1,52 72 1,62 1,57 1,56 1,54 73 1,63 1,59 1,57 1,55 74 1,64 1,60 1,58 1,56 Dst 4. Indikator Pertumbuhan 1) Indeks Antropometri a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
97
Indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pegukuran status gizi. Berat badan menurut umur tidak
sensitive
untuk
mengetahui
apakah
seseorang
mengalami kekurangan gizi masa lalu atau masa kini. Berat badan menurut umur merefleksikan status gizi masa lalu maupun masa kini. b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. c.
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan
tertentu.
Jelliffe
pada
tahun
1966
telah
memperkenalkan indeks ini untuk mengidentifikasi status gizi Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang). Indeks BB/TB adalah merupakan indeks yang independen terhadap umur. d. Indeks Massa Tubuh 1) IMT Anak (IMT/U) IMT/U adalah indicator yang terutama bermanfaat untuk penapisan
kelebihan
berat
badan
dan
kegemukan.
Biasanya IMT tidak meningkat dengan bertambahnya umur seperti yang terjadi pada berat badan dan tinggi badan, tetapi pada bayi peningkatan IMT naik secara tajam karena terjadi peningkatan berat badan secara cepat relative terhadap panjang badan pada 6 bulan pertama kehidupan. IMT menurun pada bayi setelah 6 bulan dan tetap stabil pada umur 2-5 tahun. Indicator IMT/U hampir sama dengan BB/PB atau BB/TB. Ketika melakukan interpretasi risiko kelebihan berat badan, perlu mempertimbangkan berat badan orang tua. Jika seorang anak mempunyai orang tua yang obes,
maka
akan
meningkatkan
risiko
terjadinya 98
kelebihan
berat
mempunyai
badan
pada
satu
orang
salah
kemungkinan
40%
badan.
kedua
Jika
untuk orang
anak. tua
menjadi tuanya
Anak
yang
obesitas,
kelebihan obes,
yang
berat
kemudian
meningkat sampai 70%. Perlu diketahui bahwa anak yang pendek pun dapat mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. 2) IMT Dewasa Laporan
FAO/WHO/UNU
tahun
1985
menyatakan
bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditemukan berdasakan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia
istilah
Body
Mass
Index
diterjemahkan
menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan maka mempertahankan berat abdan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.
Rumus perhitungan IMT:
Untuk kepentingan Indonesia, ambang batas dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Akhirnya diambil kesimpulan ambang batas IMT untuk Indonesia adalah seperti Tabel 6. Tabel 6. Kategori Ambang Batas IMT untuk Perawakan Rendah Underweight Normal Overweight Obesity I Obesity II Extreme
IMT < 18,5 18,5 – 22,9 23,0 – 25,0 25,1 – 26,9 27,0 – 29,9 ≥ 30,0
Obesity 99
3) Kategori Status Gizi Berdasarkan Cara Perhitungan Z-Score Z-Score merupakan indeks antropometri yang digunakan secara internasioal untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan, yang
diekspresikan
sebagai
standar
deviasi
(SD)
populasi
rujukan. Untuk pengukuran z-score pada populasi yang distribusinya normal. Umumnya digunakan pada indikator panjang atau tinggi badan anak. Dengan rumus sebagai berikut:
Untuk populasi yang distribusinya tidak normal:
Rumus di atas M, L, dan S adalah nilai dari populasi referensi. Rumus ini juga disebut rumus LMS, biasanya untuk menghitung Z-socre BB/U, BB/PB, BB/TB, dan IMT/U. Keterangan: M
=
nilai angka median referensi yang diperoleh dari estimasi
rata-rata populasi L
=
nilai angka yang diperlukan untuk mentransformasikan
data dalam rangka untuk mengurangi kemencengan kurva S
=
koefisien variansi
Atau
Jika Nilai Individu Subjek < Nilai Median
Jika Nilai Individu Subjek > Nilai Median
100
Berikut ini adalah kategori status gizi berdasarkan Z-score (Tabel 7): Tabel 7. Kategori Status Gizi berdasarkan Z-score Z-Score
Di atas 3
Di atas 2
Indikator Pertumbuhan PB/U atau BB/PB atau BB/U IMT/U TB/U BB/TB Sangat Sangat Lihat Catatan Gemuk Gemuk Lihat Catatan 1 (Obes) (Obes) 2 Gemuk Gemuk
Di atas 1
(Overweight) Risiko
(Overweight) Risiko
Gemuk
Gemuk
(Lihat
Cat. (Lihat
3) 0
Cat.
3)
(Angka
Median) Di bawah -1 Pendek Di bawah (Stunted) -2
BB
Kurang Kurus
Kurus
Lihat Catatan (Underweight) (Wasted)
(Wasted)
4 Sangat Pendek
BB
Sangat Sangat
Sangat
Dibawah - (Severe
Kurang
Kurus
Kurus
3
(Severe
(Severe
(Severe
Wasted)
Wasted)
stunted)
Lihat Catatan Underweight) 4 Catatan:
1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak menjadi masalah kecuali anak yang sangat tinggi mungkin mengalami
gangguan
endokrin
seperti
adanya
tumor
yang
memproduksi hormone pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak yang tinggi sekali menurut umunya, sedangkan tinggi orang tua normal); 2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada kategori ini, kemungkinan mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB atau IMT/U; 101
3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila kecenderungannya menuju garis Z-score +2 berarti risiko lebih pasti; 4. Anak yang pendek atau sangat pendek kemungkinan akan menjadi gemuk bila mendapatkan intervensi gizi yang salah. Untuk menarik kesimpulan mengenai status gizi seseorang harus menyimpulkan dari ketiga indikator yang telah diukur. Cara pertama adalah melihat indikator yang bermasalah.
4)
Berat BadanTerhadap Panjang Badan
Ini merupakan cara cepat menentukan status gizi bayi dan balita. Biasa digunakan pada lomba balita sehat karena waktu yang disediakan tidak banyak dalam menentukan status gizi balita. Dengan cara mengukur panjang badan balita, menimbang berat badan balita, kemudian berat badan diberi nilai dengan melihat tabel berat terhadap panjang badan berikut ini:
Tabel 8. Berat Terhadap Panjang Badan Panjang (cm) 60 61 62 63 64 65 66 67 68
cm cm cm cm cm cm cm cm cm
69 cm 70 cm 71 cm 72 cm 73 cm 74 cm
Berat Badan (kg) Kurang Antara dari 5,1 5,1 – 6,84 5,4 5,4 – 7,20 5,7 5,7 – 7,56 5,9 5,9 – 7,92 6,2 6,2 – 8,28 6,5 6,5 – 8,64 6,8 6,8 – 9,00 7,0 7,0 – 9,36 7,3 7,3 – 9,72 7,6 – 7,6 10,08 7,8 – 7,8 10,44 8,1 – 8,1 10,80 8,3 – 8,3 11,04 8,5 – 8,5 11,40 8,7 8,7 –
Lebih dari 6,84 7,20 7,56 7,92 8,28 8,64 9,00 9,36 9,72 10,08 10,44 10,80 11,04 11,40 11,64 102
75 cm
8,9
76 cm
9,2
77 cm
9,4
78 cm
9,5
79 cm
9,7
80 cm
9,9
81 cm
10,1
82 cm
10,3
83 cm
10,4
84 cm
10,6
85 cm
10,8
86 cm
11,0
87 cm
11,2
88 cm
11,3
89 cm
11,5
90 cm
11,8
91 cm
12,1
92 cm
12,2
93 cm
12,4
94 cm
12,6
95 cm
12,9
11,64 8,9
–
11,88 9,2
–
12,24 9,4
–
12,48 9,5
–
12,72 9,7
–
12,96 9,9
–
13,20 10,1
–
13,44 10,3
–
13,68 10,4
–
13,92 10,6
–
14,16 10,8
–
14,40 11,0
–
14,64 11,2
–
14,18 11,3
–
15,12 11,5
–
15,36 11,8
–
15,72 12,1
–
16,08 12,2
–
16,32 12,4
–
16,56 12,6
–
16,80 12,9
–
17,16
11,88 12,24 12,48 12,72 12,96 13,20 13,44 13,68 13,92 14,16 14,40 14,64 14,18 15,12 15,36 15,72 16,08 16,32 16,56 16,80 17,16 103
5)
BBR (Berat Badan Relatif)
Rumus:
Tabel 9. Klasifikasi Status Gizi Menurut BBR Undernutrition Kurus (Underweight) Normal Gemuk (Overweight) Obesitas
6)
< 80% < 90% 90 – 110% > 110% ≥ 120%
ABW (Adjusted Body Weight) : Berat Badan Idaman
Rumus: ABW = BBI + [0,25 x (BBA – BBI)]
g.
Pengukuran
Komposisi
Tubuh
Dengan
Menggunakan
Metode
Lingkar 1) Lingkar Lengan Atas Pengukuran lingkar lengan atas dapat memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak kulit. Lingkar lengan atas biasanya digunakan untuk mengidentifikasi adanya malnutrisi pada anak-anak. Pada ibu hamil lignkar lengan atas digunakan
untuk
memprediksi
kemungkinan
bayi
yang
dilahirkannya memiliki berat badan lahir yang rendah. Pengukuran LLA menggunakan suatu pita pengukur dari fiber glass atau sejenis kertas tertentu berlapis plastic. Ambang batas (Cut of Points):
Klasifikasi:
Gizi Baik
: > 85%
Gizi Kurang : 70,1 – 84,9%
Gizi Buruk : < 70% 2) Lingkar Pinggang 104
Tujuan pengukuran lingkar pinggan dan pinggul adalah untuk mengetahui bahwa Anda berisiko tinggi terkena penyakit diabetes tipe 2, kolesterol tinggi yang tak terkontrol, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Ukuran lingkar pinggang yang aman untuk pria adalah kurang dari 90 cm, sedangkan wanita, kurang dari 80 cm. Lebih dari angka itu, artinya perut Anda kelebihan lemak. Tabel 10. Klasifikasi Risiko Kesehatan dengan Lingkar Pinggang Risk of Obesity-Associated Metabolic Complications Substantially Increased Increased ≥ 94 cm (≥ ≥ 102 cm (≥ 40 Men
37 inches) 80 cm (≥
inches) ≥ 88 cm (≥ 35
Women
32 inches)
inches)
h. Indikator Pengukuran Komposisi Tubuh 1) Lingkar Lengan Atas (Mid Arm Circumference) a. Rumus Umur 3 bulan sampai 5 tahun (Standard Deviation (z-score))
b. Cut-off points Z-SCORE Status Gizi Gizi buruk Gizi
Z-Score < -3 SD < -2 SD ‒ ≥
kurang
-3SD ≥ -2 SD ‒ ≤
Gizi baik
+2 SD > +2 SD ‒ ≤
Overweight Obesitas
+3 SD > +3 SD
PERSENTILE Status Gizi Gizi
Persentiles ≥ 85% 105
Baik Gizi
≥ 70 ‒ <
Kurang Gizi
85%
Buruk c.
< 70%
Referensi standar
Tabel 11. Persentil LILA Usia (Tahun) 12345678910
1.9 2.9 3.9 4.9 5.9 6.9 7.9 8.9 9.9 -
10.9 11 11.9 12 12.9 13 13.9 14 14.9 15 15.9 16 16.9 17 17.9 18 18.9 19 24.9 25 34.9 35 44.9 45 -
Persentile 50% (cm) Laki-laki Perempuan 15.9 15.6 16.2 16.0 16.7 16.7 17.1 16.9 17.5 17.3 17.9 17.6 18.7 18.3 19.0 19.5 20.0 20.0 21.0
21.0
22.3
22.4
23.2
23.7
24.7
25.2
25.3
25.2
26.4
25.4
27.8
25.8
28.5
36.4
29.7
25.8
30.8
26.5
31.9
27.7
32.6
29.0
32.2
29.9 106
54.9 55 64.9 65 74.9
31.7
30.3
30.7
29.9
2) Lingkar Pinggang (Waist Circumference) Cut-off Point:
Risiko
Laki-laki Perempuan ≥ 102 ≥ 88 cm cm
Bila diketahui LLA (Hasil Pengukuran), bisa untuk menentukan Estimasi IMT (Powell – Tuck dan Hennessy, 2003) Estimasi IMT (Wanita) : (1,1 x LLA) – 6,7 Estimasi IMT (Pria) : (1,1 x LLA) – 4,7 Dari Estimasi IMT, bisa diketahui Estimasi Berat Badannya (BB)
Dari Pengukuran Tinggi Lutut (TL), dapat untuk menentukan Estimasi Tinggi Badan (Food and Nutrition Research Institute, 2008) TB Estimasi (wanita ) : 89,68 + (1,53 x TL) – (0,17 x Umur) TB Estimasi (Pria) : 96,5 + (1,38 x TL) – (0,08 x Umur)
5. Pengumpulan dan Pengkajian Data Biokimia Pengumpulan dan pengkajian data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan yang berkaitan dengan status gizi, status metabolik dan gambaran fungsi organ yang berpengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Pengambilan kesimpulan dari data laboratorium terkait masalah gizi harus selaras dengan data asesmen gizi lainnya seperti riwayat gizi yang lengkap, termasuk penggunaan suplemen, pemeriksaan fisik dan sebagainya. Disamping itu proses penyakit, tindakan, pengobatan, prosedur dan status hidrasi (cairan) dapat mempengaruhi perubahan kimiawi darah dan urin, sehingga hal ini perlu menjadi pertimbangan. Hasil analisis darah, urin memberikan 107
informasi yang bermanfaat mengenai status gizi, dan mempunyai peranan dalam menegakkan diagnosis gizi dan intervensi gizi. Berikut ini adalah parameter biokimia yang sering digunakan, diurut berdasarkan abjad. 1. Albumin
rendah/hipoalbuminemia
(Normal
=
3,5
–
5,5
mg/dL),
kemungkinan karena defisiensi protein, katabolisme, gagal hati. 2. Asam folat serum rendah (Normal
= 4 – 20 μg/mL), kemungkinang/mL), kemungkinan
defisiensi asam folat, atau vitamin B12. 3. Blood Urea Nitrogen (BUN) tinggi atau Ureum tinggi (Normal = 8-20 mg/dL), kemungkinan penyakit ginjal kronik. 4. CHI (Creatinin Height Index) urin rendah (Normal = 1 -2 mg/dL), kemungkinan defisiensi protein/malnutrisi. 5. Fe (zat besi) serum rendah (Normal = 50 – 180 μg/mL), kemungkinang/dL), kemungkinan defisiensi Fe, inflamasi. Fe (zat besi) serum tinggi, kemungkinan pemberian zat besi berlebih. 6. Glukosa darah tinggi/hiperglikemia (Normal = 80 – 120 mg/dL), kemungkinan perubahan metabolism karbohidrat, kelebihan intake energi, kanke, diabetes mellitus, infuse dekstrosa yang berlebihan, infeksi,
respon
stress,
penggunan
obat-obatan.
Glukosa
darah
rendah/hipoglikemia, asupan makanan kurang baik enteral, oral, maupun parenteral. 7. Hematokrit (Ht) rendah (Normal = laki-laki 47-54%, wanita = 42-54%), kemungkinan
defisiensi
asam
folat,
Fe,
vitamin
B12,
anemia,
perdarahan, overhidrasi. Hematokrit (Ht) tinggi, kemungkinan dehidrasi. 8. Hemoglobin rendah (Normal = laki-laki 14,0 – 17,5 mg/dL, wanita 13,0 – 15,5
mg/dL),
kemungkinan
defisiensi
protein,
Fe,
anemia,
atau
perdarahan. 9. Kalsium (Ca) serum rendah/hipokalsemia (Normal = 8,5 – 10,5 mg/dL), kemungkinan defisiensi Ca, Magnesium, kadar serum albumin rendah. Kalsium (Ca) serum tinggi/hiperkalsemia kemungkinan asupan kalsium dan vitamin D berlebih. 10. Keseimbangan nitrogen negative (< 0 mg/hari), kemungkinan defisiensi protein, asupan energi tidak memadai. Keseimbangan nitrogen positif (+ 3-5 mg/hari), kemungkinan asupan protein memadai terjadi anabolisme 11. Kalium darah rendah/hipokalemia (Normal = 3,5 – 5,0 mEq/dL), kemungkinan asupan kalium rendah, diare, keadaan dilusi, terapi 108
insulin dosis tinggi, obat-obatan diuretic dan steroid, sindrom refeeding yaitu khususnya pada pemberian dekstrosa yang meningkat. Kalium darah tinggi/hiperkalemia, kemungkinan karena asupan kalium yang tinggi pada klien degan terapi pengganti HD pada gagal ginjal. 12. Natrium serum tinggi/hipernatremia (Normal = 135 – 145 mEq/dL), kemungkinan deficit volume cairan, pemberian natrium yang berlebih, kehilangan
cairan
air.
Natrium
serum
rendah/hiponatremia,
kemungkinan kelebihan cairan, kehilangan natrium lewat saluran cerna, pasien dengan makanan luteral dengan formula susu rendah natrium untuk waktu yang lama. 13. Pre albumin rendah (Normal = 10 – 40 mg/dL), kemungkinan defisiensi protein, katabolisme. Pre albumin tinggi, kemungkinan anabolisme.
1) Pengumpulan dan Pengkajian Data Klinis dan Data Fisik Pengumpulan dan pengkajian data pemeriksaan fisik dan klinis dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan klinis yang berkaitan dengan
gangguan
gizi
atau
dapat
menimbulkan
masalah
gizi.
Pemeriksaan fisik terkait gizi merupakan kombinasi dari tanda – tanda vital dan antropometri yang dapat dikumpulkan dari catatan medik pasien serta wawancara. Pengumpulan dan pengkajian data pemeriksaan fisik dan klinis meliputi kondisi kesehatan gigi dan mulut, penampilan fisik secara umum misalnya kurus, gemuk, tubuh pendek, ada oedema, ascites, masa otot yang hilang, lemak tubuh yang menumpuk, dan lain-lain. 1. Tanda-tanda klinis pada berat badan; penurunan berat badan kemungkinan defisiensi zat gizi, penurunan berat badan secara akut kemungkinan defisiensi cairan. Peningkatan berat badan kemungkinan kelebihan asupan zat gizi. 2. Tanda-tanda klinis pada rambut; rambut pudar, kering, mudah patah kemungkinan defisiensi protein, rambut mudah dicabut tanpa rasa sakit kemungkinan defisiensi protein, rambut rontok kemungkinan defisiensi protein, seng, biotin, yodium. Hilangnya pigmen rambut pada sekeliling kepala, kemungkinan defisiensi protein dan tembaga. 3. Tanda-tanda klinis pada leher; pembesaran tiroid kemungkinan defisiensi iodium. 109
4. Tanda-tanda klinis pada mata; xerosis (kekeringan) pada konjungtiva dan kornea kemungkinan defisiensi vitamin A, konjungtiva pucat kemungkinan defisiensi zat besi, sclera biru kemungkinan defisiensi zat besi, vaskularisasi kornea, kemungkinan defisiensi vitamin B2. 5. Tanda-tanda klinis pada mulut; dental caries kemungkinan kelebihan asupan karbohidrat dan defisiensi fluor, keilosis atau stomatitis angular (lesi pada sudut mulut) kemnugkinan defisiensi vitamin B2, glositis (lidah merah dan sakit) kemungkinan defisiensi niasin, asam folat,
vitamin
kemungkinan
B
kompleks,
defisiensi
gingivitis
vitamin
(peradangan
hipogeusia,
C,
pada
gusi)
disgeusia
(rasa
pengecapan berkurang) kemungkinan defisiensi Zn, atrofi papilla lidah kemungkinan defisiensi
zat
besi,
vitamin B, pertumbuhan gigi
terhambat kemungkinan defisiensi energi. 6. Tanda-tanda klinis pada kulit; kulit kering, bersisik kemungkinan defisiensi
vitaminA,
Zn,
asam
lemak
essensial;
hyperkeratosis
folikularis (menyerupai bulu roma berdiri) kemungkinan defisiensi vitamin
A,
asam
lemak
essensial,
vitamin
B;
lesi
eksematosa
kemungkinan defisiensi Zn; petekia ekimosis, kemungkinan defisiensi vitamin C dan K, sebore nasolabialis (berminyak, bersisik pada daerah di antara hidung dan bibir atas) kemungkinan defisiensi niasin, vitamin B2, vitamin B6, kulit lebih gelap dan mengelupas pada bagian yang terkena matahari kemungkinan defisiensi niasin, penyembuhan luka yang lambat kemungkinan defisiensi protein, Zn, dan vitamin C. 7. Tanda-tanda
klinis
kuku;
koilonikia
(kuku
berbentuk
sendok)
kemungkinan defisiensi Fe, kuku rapuh, mudah pecah, kemungkinan defisiensi protein. 8. Tanda-tanda klinis pada ekstremitas, otot rangka; kehilangan massa otot kemungkinan defisiensi energi, edema kemungkinan defisiensi protein dan vitamin B1 serta kemungkinan kelebihan intake cairan. 2) Pengkajian/Anamnesa Data Riwayat Gizi Gambaran asupan makanan dapat digali melalui anamnesa kualitatif dan kuantitatif. Anamnesa riwayat gizi secara kualitatif dilakukan untuk memperoleh
gambaran
kebiasaan
makan/
berdasarkan
frekuensi
penggunaan
bahan
pola
makan
makanan,
sehari
digunakan
Formulir Food Frequency (FFQ). Anamnesa secara kuantitatif dilakukan untuk mendapatkan gambaran asupan zat gizi sehari melalui “recall 110
makanan 24 jam dengan alat bantu ‘food model’ dan digunakan Formulir Food Recall.
Kemudian dilakukan analisa zat gizi yang
merujuk kepada daftar makanan penukar, atau daftar komposisi zat gizi makanan. Hasilnya dapat diketahui berapa besar pencapaian asupan energi dan zat gizi seseorang terhadap angka kebutuhan atau angka kecukupan energi dan zat gizi tertentu. Anamnesa riwayat gizi adalah data meliputi asupan makanan termasuk komposisi, pola makan, diet saat ini dan data lain yang terkait. Selain itu diperlukan data kepedulian pasien terhadap gizi dan kesehatan, aktivitas fisik dan olah raga dan ketersediaan makanan di lingkungan klien, seperti tertera pada label berikut: Tabel 12 . Aspek-aspek yang dikaji dalam riwayat gizi Asupan
Komposisi dan kecukupan gizi
makanan
Pola
makan
termasuk
makanan
selingan
Suasana saat makan
Daya terima terhadap makanan/zat gizi
Kesadaran
terhadap gizi
Diet yang sedang dijalani Pengetahuan dan
kepercayaan
terhadap rekomendasi diet
dan
Kemandirian melaksanakan diet
kesehatan
Edukasi
Aktivitas
didapat dari masa lalu Pola kegiatan sehari-hari
fisik
Waktu
&konseling
yang
gizi
yg
dihabiskan
sudah
untuk
bersantai, dsb
Intensitas, frekuensi, dan kebiasaan
Ketersediaan
melakukan olahraga Kemampuan merencanakan menu
makanan
Daya beli
Kemampuan/keterbatasan menyiapkan makanan
Pemilihan
makanan,
sanitasi,
dan
higiene makanan
Pemanfaatn program makanan 111
Ketidakamanan makanan/pangan
3) Riwayat Personal Pengumpulan dan pengkajian data riwayat personal (riwayat pasien) meliputi empat area yaitu riwayat obat dan suplemen yang dikonsumsi, sosial budaya, riwayat penyakit dan data umum pasien, sebagai berikut : Tabel 13 . Aspek-aspek yang dikaji dalam riwayat personal (riwayat pasien) Riwayat dan
obat
suplemen
Obat
yang
digunakan
baik
berdasarkan resep maupun obat
yang
bebas yang berkaitan dengan
dikonsumsi
masalah gizi
Sosial Budaya
Suplemen gizi yang dikonsumsi Status sosial ekonomi, budaya, kepercayaa, agama
Situasi rumah
Dukungan pelayanan kesehatan dan sosial
Riwayat
Penyakit
Akses sosial / hubungan sosial. Keluhan utama yang berkaitan dengan masalah gizi
Riwayat
penyakit
dulu
dan
sekarang
Riwayat pembedahan
Penyakit
kronik
atau
resiko
komplikasi
Data pasien
umum
Riwayat penyakit keluarga
Status kesehatan mental/emosi
Kemampuan
pasien stroke Umur
Pekerjaan
Peranan dalam keluarga
Tingkat pendidikan
kognitif,
seperti
112
A. DIAGNOSA GIZI Pada langkah ini dicari pola dan hubungan antar data yang terkumpul dan kemungkinan penyebabnya. Kemudian memilah masalah gizi yang spesifik dan menyatakan masalah gizi secara singkat dan jelas menggunakan terminologi yang ada. Penulisan diagnosa gizi terstruktur dengan konsep PES atau Problem (masalah) Etiologi (penyebab) dan Sign/ Symptoms (tanda dan gejala). Diagnosis gizi dikelompokkan menjadi tiga domain, yaitu :
1) Domain Asupan Masalah aktual atau problem gizi utama yang berkaitan dengan ketidaksesuaian asupan energi, zat gizi, dan cairan dibandingkan kebutuhannya, yang didapat melalu oral, enteral maupun parenteral. Termasuk di antaranya adalah asupan substansi bioaktif seperti suplemen zat gizi, makanan fungsional dan alkohol. Domain asupan terdiri dari 5 kelas dan beberapa sub kelas dengan pengertiannya sebagai berikut : Tabel 14 . Kelas Domain Asupan Kelas Keseimbangan energi
Pengertian Perubahan aktual
atau
perubahan menyangkut Asupan melalui
energi makanan Perkiraan oral
keseimbangan
makanan
dan
atau minuman atau aktual melalui oral, atau
dukungan gizi (enteral dukungan atau parenteral) Asupan cairan
asupan
perkiraan
gizi
dibandingkan
dengan
kebutuhan gizi pasien Perkiraan asupan cairan atau aktual
dibandingkan dengan kebutuhan pasie Asupan zat-zat bioaktif Asupan zat bioaktif yang aktual atau yang diamati, meliputi komponen dan kandungan tunggal Asupan zat gizi
makanan
maupun
fungsional
majemuk;
baik
suplemen
diet; alkohol Perkiraan asupan atau asupan aktual zat gizi
tertentu,
kelompok,
baik
tunggal
dibandingkan
maupun dengan 113
kebutuhan pasien Contoh : Asupan protein yang kurang (P) berkaitan dengan perubahan indera perasa dan nafsu makan (E) ditandai dengan asupan protein rata – rata sehari kurang dari 40% kebutuhan (S).
2) Domain Klinis Domain ini menjelaskan mengenai kondisi fisik atau klinis yang berdampak pada timbulnya masalah gizi. Kondisi yang dimaksud adalah perubahan fungsi mekanis atau fisik (misalnya gangguan menelan, mengunyah, gangguan gastrointestinal, dan sebagainya); perubaha kapasitas
dalam
metabolisme
zat
gizi
yang
berkaitan
dengan
pembedahan atau obat-obatan; perubahan berat badan dibandingkan dengan berat badan biasanya atau yang dikehendaki. Domain klinis terbagi, menjadi 3 kelas sebagaimana pada tabel berikut: Tabel 15. Kelas Domain Klinis Kelas Pengertian Fungsional Perubahan fungsi
fisik
dan
mekanis
yang
mengganggu atau menghambat proses makan, Biokimia
pencernaan, dan penyerapan zat gizi Perubahan kemampuan metabolisme zat-zat gizi akibat obat-obatan, operasi atau seperti yang ditunjukkan
dari
perubahan
nilai-nilai
Berat
laboratorium Perubahan Berat Badan (BB) atau status BB yang
badan
kronis dibandingkan dengan BB biasany atau BB idaman
Contoh : Kesulitan menyusui (P) berkaitan dengan kurangnya dukungan keluarga (E) ditandai dengan penggunaan susu formula bayi tambahan (S).
3) Domain Perilaku / Lingkungan Masalah gizi yang berkaitan kondisi lingkungan seperti pengetahuan, perilaku, budaya, ketersediaan makanan di rumah tangga, dan lainnya dapat mempengaruhi asupan zat gizi. Termasuk di dalamnya masalah yang berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan; aktivitas fisik 114
dan fungsi; keamanan makanan dan akses makanan. Domain Perilaku lingkungan mempunyai 3 kelas sebagai berikut: Tabel 16. Kelas Domain Perilaku Lingkungan Kelas Pengetahuan
Pengertian Pengetahuan dan
&
sebagaimana
yang
Kepercayaan tercatat Aktivitas dan Masalah-masalah fungsi fisik
dan
dilaporkan, yang
aktual
diamati
berkaitan
atau
dengan
aktivitas fisik, perawatan mandiri dan kualitas hidup
Keamanan
kepercayaan
aktual
sebagaimana
yang
dilaporkan,
diamati, atau tercatat Masalah-masalah aktual yang berkaitan dengan
akses akses dan keamanan makanan
makanan
Contoh : Kurangnya pengetahuan tentang makanan dan gizi (P) berkaitan dengan mendapat informasi yang salah dari lingkungannya mengenai anjuran diet yang dijalaninya (E) ditandai dengan memilih bahan makanan/ makanan yang tidak dianjurkan dan aktivitas fisik yang tidak sesuai anjuran (S).
B. INTERVENSI GIZI Terdapat dua komponen intervensi gizi yaitu perencanaan intervensi dan implementasi. 1) Perencanaan Intervensi Intervensi gizi dibuat merujuk pada diagnosis gizi yang ditegakkan. Tetapkan tujuan dan prioritas intervensi berdasarkan masalah gizinya (Problem),
rancang
strategi
intervensi
berdasarkan
penyebab
masalahnya (Etiologi) atau bila penyebab tidak dapat diintervensi maka strategi intervensi ditujukan untuk mengurangi Gejala/ Tanda ((Sign/ Symtoms). Tentukan pula jadwal dan frekuensi asuhan. Output dari intervensi ini adalah tujuan yang terukur, preskripsi diet dan strategi pelaksanaan (implementasi). Perencanaan intervensi meliputi : 115
a) Penetapan tujuan intervensi Penetapan
tujuan
harus
dapat
diukur,
dicapai
dan
ditentukan
waktunya. b) Preskripsi diet Preskripsi diet secara singkat menggambarkan rekomendasi mengenai kebutuhan energi dan zat gizi individual, jenis diet, bentuk makanan, komposisi zat gizi, frekuensi makan. i) Perhitungan Kebutuhan Zat Gizi Penentuan kebutuhan zat gizi yang diberikan kepada pasien/ klien atas dasar diagnosis gizi, kondisi pasien dan jenis penyakitnya. ii) Jenis Diet Pada umumnya pasien masuk ke ruang rawat sudah dibuatkan permintaan makanan berdasarkan pesanan / order diet awal dari dokter jaga / penanggungjawab pelayanan (DPJP). Dietisien bersama tim atau secara mandiri akan menetapkan jenis diet berdasarkan diagnosis gizi. Bila jenis diet yang ditentukan sesuai dengan diet order maka diet tersebut diteruskan dengan dilengkapi dengan rancangan diet. Bila diet tidak sesuai akan dilakukan usulan perubahan jenis diet dengan mendiskusikan terlebih dahulu bersama DPJP.
iii) Modifikasi Diet Modifikasi diet merupakan pengubahan dari makanan biasa (normal). Pengubahan
dapat
berupa
perubahan
dalam
konsistensi;
meningkatkan/ menurunkan nilai energi; menambah/ mengurangi jenis bahan makanan atau zat gizi yang dikonsumsi; membatasi jenis atau kandungan makanan tertentu; menyesuaikan komposisi zat gizi (protein, lemak, KH, cairan dan zat gizi lain); mengubah jumlah, frekuensi makanan dan rute makanan. Makanan di rumah sakit berbentuk makanan biasa, lunak, saring dan cair. iv) Jadwal Pemberian Jadwal pemberian diet / makanan dituliskan sesuai dengan pola makan sebagai contoh Makan Pagi : 500 kcal; Makan Siang : 600 kcal, Makan Sore/ Malam : 600 kcal; Selingan pagi : 200 kcal; Selingan sore : 200 kcal. v) Jalur Makanan 116
Jalur makanan yang diberikan dapat melalui oral dan enteral atau parenteral.
2) Implementasi Intervensi Implementasi adalah bagian kegiatan intervensi gizi dimana dietisien melaksanakan dan mengkomunikasikan rencana asuhan kepada pasien dan tenaga kesehatan atau tenaga lain yang terkait. Suatu intervensi gizi harus menggambarkan dengan jelas : “apa, dimana, kapan, dan bagaimana” intervensi itu dilakukan. Kegiatan ini juga termasuk pengumpulan data kembali, dimana data tersebut dapat menunjukkan respons pasien dan perlu atau tidaknya modifikasi intervensi gizi. Untuk kepentingan dokumentasi dan persepsi yang sama, intervensi dikelompokkan menjadi 4 domain yaitu pemberian makanan atau zat gizi, edukasi gizi, konseling gizi, dan koordinasi pelayanan gizi. Setiap kelompok mempunyai terminoya masing – masing.
Langkah-langkah dalam melakukan intervensi gizi meliputi : 1. Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Berdasarkan diagnosis gizi, dilakukan perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi klien, menetapkan preskripsi diet, menetapkan pedoman makan, menetapkan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan, merencanakan menu sesuai kebutuhan klien dan preskripsi gizi, menyiapkan materi dan media sesuai masalah.
1) Perhitungan Kebutuhan Energi Perhitungan kebutuhan energi adalah suatu perhitungan jumlah energi yang dibutuhkan seseorang dengan berbagai kegiatan selama 24 jam untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Ada beberapa cara untuk menetapkan perkiraan kebutuhan energi seseorang. Cara yang dipilih disesuaikan dengan kebutuhan klien berdasarkan penyakit yang diderita. Hal penting yang perlu dilakukan adalah memonitor dan mengevaluasi apakah konsumsinya sudah seimbang.
a) Harris dan Benedict 117
Merupakan cara banyak digunakan untuk menetapkan kebutuhan energi seseorang, dengan menghitung Basal Energi Expenditure (BEE) dan faktor koreksi. Rumus
untuk
menghitung
kebutuhan
BEE
untuk
laki-laki
dan
perempuan dibedakan :
Laki-laki :
Wanita :
Faktor koreksi BEE untuk berbagai tingkat stress adalah : Stress ringan
: 1,3 x BEE
Stress sedang
: 1,5 x BEE
Stress berat : 2,0 x BEE Kanker
: 1,6 x BEE
b) Basal Metabolisme Rate (BMR) dan Aktivitas Untuk menghitung perkiraan BMR seseorang digunakan berat badan sebenarnya. Secara umum BMR wanita adalah 0,9 kkal/kgBB/jam dan untuk laki-laki adalah 1,0 kkal/kgBB/jam.
Selain BMR, kebutuhan energi dipengaruhi oleh tingkat aktivitas dan Specific
Dynamic
Action
(SDA).
Aktivitas
tubuh
pada
umumnya
dikelompokkan menjadi 4 yaitu : Aktivitas sangat ringan : 20% x BMR Aktivitas ringan
: 30% x BMR
Aktivitas sedang : 40% x BMR Aktivitas berat
: 50% x BMR
SDA atau Specific Dynamic Action
dari intake makanan adalah
pengeluaran energi dari efek makanan yaitu 10% dari total energi makanan. 118
c) Kebutuhan Energi berdasarkan per kg BB dan ditambah dengan energi untuk aktivitas Energi basal yang dibutuhkan per kg berat badan berkisar 25 untuk wanita dan 30 kkal/kgBB untuk pria, lalu ditambah dengan berbagai koreksi 25%. Rumus ini sering digunakan untuk klien dengan diabtes mellitus.
d) Kebutuhan
Energi
berdasarkan
per
kg
BB
ideal
yaitu
35
kkal/kgBB/hari Rumus ini sering digunakan untuk klien dengan penyakit ginjal/
2) Perhitungan Kebutuhan Protein Berdasarkan proporsi energi dari protein yaitu diperkirakan sekitar 1015% dari total energi. Berdasarkan per kg BB ideal per hari : Tingkat kecukupan yang dianjurkan: 0,8 g/kg BBI/hari Keadaan stress ringan
: 1 – 1,2 g/kg BBI/hari
Keadaan stress sedang : 1,5 – 1,75 g/kg BBI/hari Keadaan stress berat
: 1,5 – 2,0 g/kg BBI/hari
Gagal ginjal akut : 0,7 – 1,2 g/kg BBI/hari Gagal ginjal akut dengan dialysis
: 1,5 – 2,0 g/kg BBI/hari
Gagal ginjal kronis dengan hemodialisis
: 1,1 – 1,4 g/kg BBI/hari
Gagal ginjal kronis peritoneal dialysis
: 1,1 – 1,4 g/kg BBI/hari
Penyakit hati dengan ensefalopati
: 0,6 – 0,7 g/kg BBI/hari
Hepatitis
: 1,0 – 1,5 g/kg BBI/hari
Stroke
: 1 – 1,25 g/kg BBI/hari
Sakit kritis : 1,5 – 2 g/kg BBI/hari (termasuk luka bakar, sepsis, cedera kepala) Penyakit paru
: 1,2 – 1,5 g/kg BBI/hari
119
3) Perhitungan Kebutuhan Lemak
Berdasarkan proporsi energi dari lemak yaitu diperkirakan sekitar 20-25% dari total energi dengan rasio lemak tidak jenuh : lemak jenuh = 2 : 1
Dalam keadaan tertentu seperti : kadar trigliserida > 400 mg/dL, pemberian lemak sangat minimal. Keadaan penyakit paru obstruktif, pemberian lemak mencapai 30-40% dari total energi.
4) Perhitungan Kebutuhan Karbohidrat Perhitungan kebutuhan karbohidrat didasarkan kepada sisa dari total energi setelah dikurangi energi dari protein dan lemak, diperkirakan berkisar 55-65% dari total energi.
5) Perhitungan Kebutuhan Vitamin dan Mineral Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral didasarkan kepada angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Namun untuk kondisi tertentu vitamin dan mineral diberikan dalam jumlah yang lebih tinggi atau leih rendah dibandingkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
6) Perhitungan Kebutuhan Cairan
Seorang dewasa biasanya membutuhkan cairan antara 1,5-2 liter per hari
Berdasarkan kepada berat badan yaitu :
Dewasa muda = 35 – 40 ml/kgBB yang diinginkan per hari Manula = 25 – 30 ml/kgBB yang diinginkan per hari
Pada
kondisi
penyakit
tertentu
yang
membutuhkan
pembatasan cairan makan perhitungan cairan berdasarkan penghitungan balans cairan yaitu : Balans cairan = asupan (intake) – keluaran (output) Asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (500 ml)
2. Preskripsi Diet Preskripsi Diet atau disebut dengan batasan pengaturan makanan mencakup kebutuhan energi dan zat gizi serta zat-zat makanan lainnya merupakan aspek utama dalam asuhan gizi klien. Preskripsi Diet 120
disusun berdasarkan diagnosis penyakit dan gizi yang dibuat oleh dokter dan ahli gizi. Preskripsi Diet memberikan arah khusus kepada klien untuk merubah perilaku makannya sehingga mendapatkan kesehatan yang optimal. 1. Pedoman makan mencakup cara pemberian makan, bentuk dan porsi makan serta cara mengolah makanan. 2. Penyusunan menu satu hari meliputi 3 kali makanan utama yaitu pagi, siang, dan malam serta 2 kali snack yaitu di antara waktu makan pagi dan siang serta di antara waktu makan siang dan malam. Menu yang dipilih disesuaikan dengan preskripsi diet dan pedoman makan. 3. Melakukan Konseling Gizi Konselor menginformasikan status gizi, data biokimia dan data klinis yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan gizi klien serta menginformasikan kebiasaan makan dan asupan energi dan zat gizi klien serta hasil diagnosis gizi. Jelaskan tujuan dan prinsip diet yang dianjurkan. Konselor dan klien mendiskusikan: 1. Perubahan pola makan mengikuti perencanaan menu yang disiapkan meliputi porsi makan 1 hari, distribusi porsi makan di setiap waktu makan, penggunaan daftar bahan makanan penukar, contoh menu serta makanan yang boleh dan yang tidak boleh dikonsumsi. Agar klien lebih memahami maka jelaskan anjuran diet dengan menggunakan media leaflet, poster, dan “food model” serta alat peraga lainnya dengan tepat. 2. Hambatan dan alternatif perubahan pola makan yang dapat dilakukan oleh klien. 3. Pola perubahan perilaku berkaitan dengan pola aktivitas dan gaya hidup yang dapat dilakukan oleh klien. 4. Catatan medis atau konseling gizi lainnya.
4. Memperoleh Komitmen Konseling tidak akan berhasil tanpa adanya kesediaan dan komitmen dari klien. Komitmen untuk melakukan perubahan bukan hal mudah. Proses untuk melakukan perubahan kebiasaan makan merupakan proses yang tidak menyenangkan, sehingga konselor harus membantu klien untuk mengatasinya. Berikan dukungan dan bangun rasa percaya diri klien dalam membuat keputusan, untuk melakukan perubahan diet 121
sesuai dengan anjuran yang disepakati bersama. Yakinkan bahwa klien mampu
melakukan
diet
tersebut
dan
buat
kesepakatan
untuk
melakukan kunjungan ulang.
C. MONITORING DAN EVALUASI GIZI Kegiatan monitoring dan evaluasi gizi dilakukan untuk mengetahui respon pasien/ klien terhadap intervensi dan tingkat keberhasilannya. Tiga langkah kegiatan monitoring dan evaluasi gizi, yaitu : 1) Monitoring perkembangan yaitu kegiatan mengamati perkembangan kondisi pasien/ klien yang bertujuan untuk melihat hasil yang terjadi sesuai yang diharapkan oleh klien maupun tim. Kegiatan yang berkaitan dengan monitor perkembangan antara lain : a) Mengecek pemahaman dan ketaatan diet pasien/ klien b) Mengecek asupan makan pasien/ klien c) Menentukan
apakah
intervensi
dilaksanakan
sesuai
dengan
rencana/ preskripsi diet. d) Menentukan apakah status gizi pasien/ klien tetap atau berubah. e) Mengidentifikasi hasil lain baik yang positif maupun negatif. f) Mengumpulkan informasi yang menunjukkan alasan tidak adanya perkembangan dari kondisi pasien/ klien. 2) Mengukur
hasil.
Kegiatan
ini
adalah
mengukur
perkembangan/
perubahan yang terjadi sebagai respon terhadap intervensi gizi. Parameter yang harus diukur berdasarkan tanda dan gejala dari diagnosa gizi. 3) Evaluasi hasil. Berdasarkan ketiga tahapan kegiatan di atas akan didapatkan 4 jenis hasil, yaitu : a) Dampak
perilaku
dan
lingkungan
terkait
gizi
yaitu
tingkat
pemahaman, perilaku, akses dan kemampuan yang mungkin mempunyai pengaruh pada asupan makanan dan zat gizi. b) Dampak asupan makanan dan zat gizi merupakan asupan makanan dan atau zat gizi dari berbagai sumber, misalnya makanan, minuman, suplemen, dan melalui rute enteral maupun parenteral. c) Dampak terhadap tanda dan gejala fisik yang terkait gizi yaitu pengukuran yang
terkait
dengan antropometri, biokimia,
dan
parameter pemeriksaan fisik/ klinis. 122
d) Dampak terhadap pasien/ klien terhadap intervensi gizi yang diberikan pada kualitas hidupnya.
4) Pencatatan Pelaporan Pencatatan dan laporan kegiatan asuhan gizi merupakan bentuk pengawasan dan pengendalian mutu pelayanan dan komunikasi. Terdapat berbagai cara dalam dokumentasi antara lain Subjective Objective
Assessment
Planing
(SOAP)
dan
Assessment
Diagnosis
Intervensi Monitoring dan Evaluasi (ADIME). Format ADIME merupakan model yang sesuai dengan langakah PAGT. Pencatatan dan pelaporan asuhan gizi dimasukkan dalam formulir 4C dan catatan perkembangan terintegrasi.
Tabel 17. Ringkasan Aspek – Aspek Yang Dikaji Dalam PAGT Asesmen Gizi
a) Semua data yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, antara lain riwayat gizi, riwayat personal, hasil laboratorium, antropometri, hasil pemeriksaan fisik klinis, diet order dan perkiraan kebutuhan zat gizi. b) Yang
Diagnosis Gizi
dicatat
hanya
yang
berhubungan
dengan
masalah gizi saja. a) Pernyataan diagnosis gizi dengan format PES b) Pasien mungkin mempunyai banyak diagnosis gizi, lakukan kajian yang mendalam sehingga diagnosis gizi benar – benar berkaitan dan dapat dilakukan
Intervensi Gizi
intervensi gizi. a) Rekomendasi
diet
atau
rencana
yang
akan
dilakukan sehubungan dengan diagnosis gizi. b) Rekomendasi makanan/ suplemen atau perubahan diet yang diberikan. c) Edukasi gizi. d) Konseling gizi. Monitoring dan Evaluasi Gizi
e) Koordinasi asuhan gizi. a) Indikator yang akan dimonitor untuk menentukan keberhasilan intervensi. b) Umumnya berdasarkan gejala dan tanda dari 123
diagnosis gizi antara lain Monitoring : Pada kunjungan ulang mengkaji :
Asupan
total
Energi,
persentase
asupan
KH,
Protein, Lemak dari Total Energi, dan asupan zat gizi terkait diagnosis gizi pasien. Contoh
formulir
monitoring
asupan
makanan
dapat dilihat pada lampiran.
Riwayat diet dan perubahan BB/ status gizi.
Biokimia : Kadar gula darah, ureum, lipida darah, elektrolit, Hb, dll.
Kepatuhan terhadap anjuran gizi.
Memilih makanan dan pola makanan Evaluasi :
1.
Dampak perilaku dan lingkungan terkait gizi yaitu tingkat pemahaman, perilaku, akses, dan kemampuan yang mungkin mempunyai
pengaruh
pada
asupan
makanan dan zat gizi. 2.
Dampak asupan makanan dan zat gizi merupakan asupan makanan dan atau zat gizi dari berbagai sumber, misalnya makanan, melalui
minuman, rute
oral,
suplemen, enteral
dan
maupun
parenteral. 3.
Dampak terhadap tanda dan gejala fisik yang terkait gizi. Pengukuran yang terkait dengan
antropometri,
biokimia
dan
parameter pemeriksaan fisik/ klinis. 4.
Dampak terhadap pasien/ klien terkait gizi
pengukuran
yang
terkait
dengan
persepsi pasien/ klien terhadap intervensi yang diberikan dan dampak pada kualitas hidupnya.
A. Langkah – Langkah Asuhan Gizi 124
-
Pasien baru dilakukan skrening awal oleh perawat, dengan menilai status nutrisi menggunakan metode MST ( Malnutrition Skrening Tools) untuk pasien dewasa dan Skrining untuk pasien anak 1 – 18 tahun dengan menggunakan
Strong Kids. Skrining ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan penatalaksanakan pasien dewasa dan anak yang mengalami gizi buruk, kurang gizi. -
Bila pasien setelah diskrening awal oleh perawat hasilnya beresiko, maka perawat akan memberitahukan ke ahli gizi dan akan dilakukan skrening lanjutan.
-
Asuhan gizi dilakukan pada pasien yang beresiko dan berdasarkan informasi dari ruang rawat inap dan rawat jalan.
-
Ahli gizi mengkaji hasil skrining gizi perawat dan order diet awal dari dokter.
-
Ahli gizi melakukan asesmen/ pengkajian gizi lanjut pada pasien yang beresiko
malnutrisi,
malnutrisi
atau
kondisi
khusus
meliputi
pengumpulan, analisa dan interpretasi data riwayat gizi, riwayat personal; pengukuran antropometri; hasil laboratorium terkait gizi dan hasil pemeriksaan fisik terkait gizi. -
Ahli gizi mengidentifikasi masalah / diagnosis gizi berdasarkan hasil asesmen dan menetapkan prioritas diagnosis gizi.
-
Ahli gizi merancang intervensi gizi dengan menetapkan tujuan dan preskripsi diet yang lebih terperinci untuk penetapan diet definitive serta merencanakan edukasi / konseling.
-
Pasien yang tidak beresiko diberikan diet makanan biasa.
-
Makanan atau nutrisi yang sesuai untuk pasien, tersedia secara reguler.
-
Pasien yang beresiko malnutrisi/ sudah malnutrisi atau kondisi khusus diberikan diet makanan khusus sesuai dengan kondisi penyakit pasien (dilakukan langkah – langkah asuhan gizi terstandar/ PAGT).
-
Ahli gizi melakukan koordinasi dengan dokter terkait dengan diet definitive.
-
Ahli gizi melakukan koordinasi dengan dokter, perawat, farmasi, atau tenaga kesehatan lainnya dalam pelaksanaan intervensi gizi.
-
Ahli gizi memberikan penyuluhan, motivasi dan konseling gizi pada klien/ pasien dan keluarganya, termasuk menginformasikan pada pasien tentang program intervensi gizi. 125
-
Ahli
gizi
menginformasikan
program
intervensi
gizi
kepada
dokter/perawat, pengatur gizi di ruang rawat inap. -
Perawat di ruang rawat inap menulis / mencatat diet pasien dan membuat daftar permintaan makan pasien.
-
Pesanan makanan pasien didasarkan atas status gizi dan kebutuhan pasien.
-
Ada bermacam variasi pilihan makanan bagi pasien konsisten dengan kondisi dan pelayanannya.
-
Pramusaji
mempersiapkan
makanan
sesuai
buku
pesanan
makanan/diet pasien serta memasukkan ke dalam trolley. -
Pramusaji membawa makanan dalam trolley ke ruang rawat inap dan menyajikan makanan ke pasien dan memastikan pasien menerima makanan sesuai dengan terapi dietnya.
-
Ahli gizi melakukan monitoring respon pasien terhadap intervensi gizi.
-
Respon
pasien
terhadap
terapi gizi dicatat
dalam rekam medis
terintegrasi. -
Ahli gizi melakukan evaluasi proses maupun dampak asuhan gizi.
-
Ahli gizi menginformasikan dan mendiskusikan hasil monitoring dan evaluasi kepada dokter atau perawat.
-
Ahli gizi mencatat dan melaporkan hasil asuhan gizi kepada dokter pada catatan perkembangan terintegrasi.
-
Ahli gizi melakukan assesmen gizi ulang (reassesmen) apabila tujuan belum tercapai.
-
Ahli gizi mengikuti ronde pasien bersama tim kesehatan bila diperlukan dan pada kasus khusus.
-
Ahli gizi berpartisipasi aktif dalam pertemuan atau diskusi dengan dokter, perawat, anggota tim asuhan gizi lainnya, klien/pasien dan keluarganya dalam rangka evaluasi keberhasilan pelayanan gizi
A. Tujuan Konseling Gizi Konseling gizi bertujuan untuk membantu pasien dalam upaya merubah perilaku yang berkaitan dengan gizi sehingga meningkatkan status gizi dan kesehatan klien.
B. Sasaran Konseling gizi dapat diberikan kepada : 126
1. Pasien yang mempunyai masalah kesehatan yang terkait dengan gizi. 2. Pasien yang igin melakukan tindakan pencegahan. 3. Pasien yang ingin mempertahankan dan mencapai status gizi optimal.
C. Manfaat konseling gizi : 1. Membantu pasien untuk mengenali masalah kesehatan dan gizi yang dihadapi. 2. Membantu pasien memahami penyebab terjadinya masalah. 3. Membantu pasien untuk mencari alternatif pemecahan masalah. 4. Membantu pasien untuk memilih cara pemecahan masalah yang paling sesuai baginya. 5. Membantu proses penyembuhan penyakit melalui perbaikan gizi pasien.
D. Keterampilan komunikasi dalam konseling gizi : 1. Keterampilan mendengar dan mempelajari. 2. Keterampilan membangun kepercayaan diri dan memberi dukungan.
E. Langkah-langkah Konseling Gizi
127
Alur Konseling Gizi Langkah 1 MEMBANGUN DASAR-DASAR KONSELING Salam, perkenalkan diri, mengenal pasien, membangun hubungan, jelaskan tujuan
Langkah 2 MENGGALI PERMASALAHAN Mengumpulkan data-data untuk dasar diagnosa dari semua aspek dengan metode Assesment
Langkah 3 MEMILIH SOLUSI Memilih alternative solusi, menggali alternative penyebab masalah gizi dengan menegakkan Diagnosa
INTERVENSI
Langkah 4 MEMILIH RENCANA Bekerjasama dengan pasien untuk melihat alternatif dalam memilih upaya diet dan perubahan perilaku yang dapat diimplementasikan
Langkah 5 MEMPEROLEH KOMITMEN Komitmen untuk melaksanakan perlakuan diet khusus, membuat rencana yang realistis dan dapat diterapkan Menjelaskan tujuan, prinsip diet, dan ukuran porsi makan
Langkah 6 MONITORING DAN EVALUAS Ulangi dan tanyakan kembali apakah kesimpulan dari konseling dapat dipahami oleh pasien Pada kunjungan berikutnya lihat proses dan dampak
1. Membangun dasar-dasar konseling Bila pasien datang ke klinik gizi di rawat jalan, gunakan keterampilan komunikasi, sambutlah pasien dengan baik, ramah, berdiri serta berikan salam kepada pasien. Persilahkan pasien untuk duduk dan buat pasien merasa nyaman.Beri waktu pasien untuk menceritakan identitas dirinya, catat bila belum ada dalam status, perkenalkan diri sebagai konselor atau ahli gizi.Bila ahli gizi yang mendatangi pasien/klien di ruang rawat inap, perkenalkan diri sebagai konselor atau ahli gizi. Ciptakan hubungan yang baik antara ahli gizi dan pasien dan jelaskan tujuan dari konseling gizi yang akan diberikan.
2. Menggali permasalahan Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi atau data lengkap dan sesuai dalam upaya mengidentifikasi masalah gizi yang terkait dengan masalah asupan energy dan zat gizi atau faktor lain yang dapat menimbulkan masalah gizi.
128
Data pasien yang harus dikumpulkan dan dikaji sehingga diperoleh kesimpulan tentang masalah gizi klien adalah : a. Pengumpulan dan Pengkajian Data Antropometri. Pengukuran yang umum dilakukan adalah tinggi badan/panjang badan, berat badan, lingkar lengan atas, rentang lengan, lingkar perut. b. Pengumpulan dan Pengkajian Data Biokimia Pengumpulan dan pengkajian data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium yang berkaitan dengan keadaan gizi baik hasil analisa darah maupun analisa urin. c. Pengumpulan dan Pengkajian Data Klinis dan Data Fisik. Pengumpulan dan pengkajian data klinis dan fisik meliputi tanda-tanda klinis pada berat badan dan penampilan fisik secara umum. d. Pengkajian Riwayat makan. Mengkaji data riwayat makan yaitu mengkaji kebiasaan makan pasien secara kualitatif dan kuantitatif, ada tidaknya alergi terhadap makanan, dan ada tidaknya pantangan makan. e. Pengkajian Riwayat Personal. Mengkaji riwayat personal meliputi keadaan sosial ekonomi dan pola aktivitas pasien atau klien, riwayat penyakit pasien atau klien, riwayat penyakit keluarga yang berkaitan dengan penyakit pasien atau klien, dan masalah psikologi yang berkaitan dengan masalah gizi pasien atau klien.
3. Memilih solusi dengan menegakkan diagnosis gizi. Ada 3 bagian diagnosis gizi, yaitu : a. Masalah
/
kegagalan,
problem,
yaitu
perubahan
ketidakefektifan,
menjadi
penurunan
atau
tidak
normal,
peningkatan
kebutuhan, resiko munculnya gangguan gizi. b. Etiologi
(penyebab),
yaitu
faktor-faktor
yang
berperan
dalam
timbulnya masalah gizi. c. Gejala dan tanda (Sign/symptoms). Tanda merupakan identitas obyektif perubahan status kesehatan, sedangkan gejala merupakan identitas subyektif yang dinyatakan secara verbal.
4. Intervensi memilih rencana. Langkah-langkah dalam melakukan intervensi meliputi : 129
a. Menghitung kebutuhan energi dan zat gizi. b. Menyusun preskripsi diet yang meliputi pengaturan makan sesuai kebutuhan pasien dan diagnosis gizi, cara pemberian makan, bentuk makanan, cara mengolah makanan, penyusunan menu 1 hari. c. Melakukan konseling gizi dengan media food model, leaflet diet. Ahli gizi menginformasikan :
Status gizi, data biokimia dan data klinis yang berkaitan dengan
masalah
kesehatan
dan
gizi
pasien
serta
menginformasikan kebiasaan makan dan asupan energi dan zat gizi serta diagnosis gizi.
Tujuan dan prinsip diet yang dianjurkan.
Jadwal pemberian makan sehari
Jumlah makanan yang diberikan dalam sehari
Jenis
makanan
yang
dianjurkan,
dibatasi
dan
tidak
dianjurkan.
Bahan makanan penukar.
Cara pengolahan makanan sesuai diet.
Contoh menu makanan.
mendiskusikan dengan pasien atau klien tentang perubahan pola makan, hambatan dan alternatif perubahan pola makan, pola perubahan perilaku yang berkaitan dengan aktivitas dan gaya hidup, catatan medis, dan masalah gizi lain yang berkaitan.
5. Memperoleh komitmen. Ahli Gizi memberikan dukungan dan membangun percaya diri pasien dalam membuat keputusan untuk melakukan perubahan diet sesuai dengan anjuran yang disepakati bersama.Ahli gizi harus meyakinkan pasien bahwa pasien mampu melakukan diet dan buat kesepakatan untuk konseling atau kunjungan ulang. 6. Monitoring dan evaluasi. Komponen monitoring dan evaluasi gizi ada 4 langkah, yaitu ; a. Monitoring perkembangan, antara lain : 1) Mengecek pemahaman dan ketaatan diet pasien 2) Menentukan apakah intervensi dilaksanakan sesuai rencana diet. 3) Menentukan status gizi tetap atau berubah. 4) Mengidentifikasikan hasil lain 130
5) Mengumpulkan informasi yang menunjukkan alasan tidak adanya perkembangan kondisi pasien. b. Mengukur hasil. Mengukur hasil intervensi sesuai dengan apa yang diukur berdasarkan tanda dan gejala dari diagnosis gizi. c. Evaluasi hasil. Evaluasi hasil konseling gizi terbagi menjadi 2 tahap yaitu : 1) Evaluasi
proses,
untuk
melihat
tingkat
partisipasi
pasien,
kesesuaian isi materi, metode yang dipilih, waktu yang digunakan sehingga tujuan konseling tercapai. 2) Evaluasi dampak, untuk melihat keberhasilan ahli gizi dalam pelaksanaan konseling misalnya pasien melakukan kunjungan ulang, ketepatan asupan gizi, perubahan berat badan, perubahan nilai biokimia,
perubahan perilaku
terhadap makanan dan
kesehatan.
L.
MANAJEMEN NYERI 1) Asesmen Nyeri 1. Anamnesis a. Riwayat penyakit sekarang 1)
Onset nyeri: akut atau kronik, traumatic atau non traumatic.
2)
Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
3)
Pola penjalaran / penyebaran nyeri
4)
Durasi dan lokasi nyeri
5)
Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah,
atau
gangguan
keseimbangan kintrol motoric 6)
Faktor yang memperberat dan memperingan
7)
Kronisitas
8)
Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon terapi
9)
Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri/ luka 131
10) Penggunaan alat bantu 11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar (activity of daily living) 12) Singkirkan
kemungkinan
potensi
emergensi
pembedahan, seperti adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuins. b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu c. Riwayat psikososial 1) Riwayat konsumsi alcohol, merokok, atau narkotika 2) Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien 3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan eksaserbasi nyeri 4) Pembatasan/retriksi
partisipasi
pasien
dalam
aktivitas
social, yang berpotensi menimbulkan stress. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya. 5) Masalah psikiatri dapat menimbulkan pengaruh negative terhadap motivasi dan kooperasi psien dengan program penanganan / manajemen nyeri kedepannya. Pada pasien dengan
masalah
psikiatri
diperlukan
dukungan
psikoterapi / psikofarmaka. 6) Tidak
dapat
bekerjanya
pasien
akibat
nyeri
dapat
menimbulkan stress bagi pasien dan keluarga. d. Riwayat Pekerjaan Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin seperti mengangkat
benda
berat,
membungkuk
atau
memutar
merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung. e. Obat-obatan dan alergi 1) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan dengan efek samping kognitif dan fisik. 2) Daftar
obat-obatan
yang
dikonsumsi
pasien
untuk
mengurangi nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin) 132
3) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas dan efek samping. f. Riwayat keluarga Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetic. g. Asesmen system organ yang komprehensif 1) Evaluasi
gejala
gastrointestinal,
kardiovaskular, neurologi,
psikiatri,
reumatologi,
pulmoner,
genitourinaria,
endokrin dan musculoskeletal 2) Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam dan sebagainya.
2. Asesmen nyeri a. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale 1) Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anakn berusia >
9
tahun
yang
dapat
menggunakan
angka
untuk
melambangkjan intensitas nyeri yang dirasakannya. 2) Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan dilambangkan dengan angka 0-10.
a) 0 = tidak nyeri b) 1-3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas seharihari) c) 4-6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari) d) 7-19 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)
Numeric Rating Scale
b. Wong Baker FACES Pain Scale 133
1) Indikasi: pada pasien (dewasa dan anak>3tahun) yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan
angka,
gunakan asesmen 2) Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri a) 0-1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri b) 2-3 = sedikit nyeri c) 4-5 = cukup nyeri d) 6-7 = lumayan nyeri e) 8-9 = sangat nyeri f) 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)
c. Comfort scale 1) Indikasi : pasien bayi, anak dan dewasa di ruang intensif / kamar operasi/ ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai menggunakan pain Numeric Rating Scale dan Wong Baker Faces scale 2) Instruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1-5 dengan skor total 9-45. a) Kewaspadaan b) Ketenangan c) Distress pernafasan d) Menangis e) Pergerakan f) Tonus otot g) Tegangan wajah h) Tekanan darah basal 134
i) Denyut jantung basal 3) Comfort scale Kategori
Skor
Tanggal
/
waktu Kewaspadaan
1. Tidur pulas / nyenyak 2. Tidur kursng nyenyak 3. Gelisah 4. Sadar sepenuhnya dan waspada
Ketenangan
5. Nipper alert 1. Tenang 2. Agak cemas 3. Cemas 4. Sangat cemas 5. Panic
Distress pernafasan
1. Tidak
ada
respirasi
spontan dan tidak ada batuk 2. Respirasi
spontan
dengan sedikit / tidak ada
respon
terhadap
ventilasi 3. Kadang-kadang atau
terdapat
batuk tahanan
terhadap ventilasi 4. Sering
batuk,
tahanan
/
terdapat
perlawanan
terhadap ventilator 5. Melawan
secara
terhadap
aktif
ventilator,
batuk terus menerus / Menangis
tersedak 1. Bernafas dengan tenang, tidak menangis 2. Terisak-isak 135
3. Meraung 4. Menangis Pergerakan
5. berteriak 1. tidak ada pergerakan 2.
kadang-kadang bergerak perlahan
3. Sering bergerak perlahan 4. Pergerakan
aktif
/
gelisah 5. Pergerakan
aktif
termasuk Tonus otot
badan
dan
kepala 1. Otot relaks sepenuhnya tidak ada tonus otot 2penurunan tonus otot 3 – tonus otot normal – 4 – peningkatan tonus otot dan
fleksi
jari
tangan
dan kaki 5 – kekakuan otot ekstrim dan fleksi Tegangan wajah
jari tangan dan kaki 1. Otot wajah relaks sepenuhnya 2. Tonus
otot
normal,
tidak
wajah terlihat
tegangan otot wajah yang nyata 3. Tegangan beberapa otot wajah
yang
terlihat
nyata 4. Tegangan
hampir
di
seluruh otot wajah 5. Seluruh Tekanan basal
darah
otot
wajah
tegang, meringis 1. Tekanan darah di bawah batas norml 2. Tekanan darah berada di 136
atas
normal
secara
konsisten 3. Peningkatan
tekanan
darah sesekali ≥ 15% di atas batas normal (1-3) kali
dalam
observasi
selama 2 4. Seringnya
peningkatan
tekanan darah ≥ 15% di atas batas normal (1-3) kali
dalam
observasi
selama 2 5. Peningkatan
tekanan
darah terus-menerus ≥ Denyut basal
15% jantung 1. Denyut jantung di bawah batas normal 2. Denyut jantung
berada
di bawah batas normal secara konsisten 3. Peningkatan
denyut
jantung sesekali ≥ 15% di atas batas normal (1-3 kali
dalam
observasi
selama 2 menit) 4. Seringnya
peningkatan
denyut jantung ≥ 15% di atas batas normal (>3 kali
dalam
observasi
selama 2 menit) 5. Peningkatan
denyut
jantung terus menerus >15% Skor total d. NPAT ( Neonatal Pain Assesment Toll)
137
1) Indikasi : metode yang bisa digunakan untuk menilai derajat nyeri pada neonates 2) Interpretasi : a) Skor <5 : pemberian kenyamanan keperawatan meliputi reposisi,
selimuti,
mengusap
lembut
telapak
kaki,
berbicara dengan bayi, ganti popok, tawarkan makanan atau minuman b) Skor > 5 : parasetamol 10 mg/kg BB/kali, aman untuk neonatus,
skor
>
10
:
kenyamanan
keperawatan,
narkotik dengan resiko yang mungkin terjadi adalah apnea diperlukan perawatan intensif dan dikonsulkan ke bagian unit penanganan nyeri c) Berikut ini adalah tabel NPAT Postur/tonus
2
Fleksi
FISIK dan atau Tangan
kaku/tegang
mengepal,
punggung
tegak,
tungkai aduksi, kepala 1
Ekstensi
dan bahu posisi tetap Jari-jari melebar, punggung
kaku,
tungkai abduksi, bahu terangkat Pola tidur
2
Agitasi atau lemas
dari
tempat
tidur Bangun
dengan
terkejut,
mudah
terbangun, menggeliat, siklus 0 Ekspresi
2
tidak
bangun
ada yang
relaks
jelas, mata terbuka. Tidur REM, mata
Meringis
tertutup Garis kerutan
wajah
Tangis
rewel,
alis
dalam, mata tertutup, 1
Mengernyitan
mata dilatasi Garis kerutan
2
dahi ya
mata tertutup Ketika terganggu, tidak berhenti
ringan,
setelah 138
digendong, Warna
2
merengek Pucat,
kehitaman,
berkeringat
di telapak
tangan Perfusi
0
keras,
baik,
merah
muda Laju nafas
Denyut jantung Saturasi Tekanan
FISIOLOGIS Apneu
Saat
1 2 1
Takypneu Fluktuasi takikardia
ngendongan Saat istirahat Lebih dari normal Saat istirahat
2
Desaturasi
Dengan
Hipertensi
gendong Saat istirahat
2
2
istirahat
atau
dalam
tanpa
darah Persepsi perawat 2 0
Ya
Menurut
saya
bayi
Tidak
mengalami nyeri Nyeri hanya perasaan saya
e. FLACC Indikasi : digunakan untuk menilai nyeri pada pasien usia 1 bulan – 6 tahun atau pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi untuk menyampaikan rasa nyerinya. Skala ini juga efektif digunkan pada pasien dewasa yang dirawat di ICU dengan intubasi sehingga tidak mampu berbicara. Katagori Face (wajah)
Parameter 1 Terkadang
0 Tersenyum/ tidak
ada meringis/
ekspresi khusus Leg (kaki)
menarik diri
Gerakan
Tidak
normal/
tegang
2 Sering cemberut, mengatupkan
rahang tenang/ Kaki menendang/
Activity
relaksasi Tidur
posisi Gerakan
menarik diri Punggung
(aktifitas)
normal,
bebas menggeliat,
melengkung,
bergerak
berguling, kaku
kaku, menghentak 139
Cry (menangis)
Tidak
menangis Mengerang/
(terjaga/tidur)
Menangis
merengek
terus menerus, terisak,
Consolability
Bersuara normal
(konsolabilitas)
Tenang dipeluk/
menjerit bila Sulit untuk diajak menenangkan
berbicara Total skor f. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi tbuh atau verbal akan rasa nyeri. g. Assesmen ulang nyeri : dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut: 1) Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik pada pasien 2) Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/
bangun),
pasien
yang
mengalami
prosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit. 3) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena. 4) Pada nyeri akut / kronik lakukan asesmen ulang tiap 15 menit -,1 jam setelah pemberian obat nyeri. 5) Bila skor nyeri < 4 (nyeri ringan), nyeri dievaluasi setiap 15 menit, setiap intervensi obat injeksi atau setiap 1 jam setelah intervensi obat oral/lainnya dan dievaluasi kembali setiap 8 jam atau setiap pertukaran shift. Bila skor nyeri meningkat menjadi 4-6 maka ikuti prosedur penanganan nyeri derajat 4-6. Evaluasi nyeri dihentikan bila skor nyeri 0 (nol) 140
6) Bila skor nyeri 4-6 (nyeri sedang), nyeri dievaluasi setiap 15 menit setelah intervensi obat injeksi atau setiap 1 jam setelah intervensi obat oral/lainnya dan dievaluasi kembali setiap 3 jam. Evaluasi nyeri dihentikan bila skor nyeri 0 (nol). 7) Bila skor nyeri >7 (nyeri berat), evalusi nyeri dilakukan setiap 1 jam dan evaluasi nyeri dihentikan bila skor nyeri 0 (nol). 8) Derajat
nyeri yang meningkat
hebat
secara
tiba-tiba,
terutama bila sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru
(misalnya
komplikasi
pasca-pembedahan,
nyeri
neuropatik.
3. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan umum 1) Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu tubuh 2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien 3) Periksa apakah terjadi lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi, hiperpigmentasi, ulerasi, tanda bekas jarum suntik 4) Perhatikan
juga
adanya
ketidak
segarisan
tulang
(malalignment), atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema 5) Status mental a) Nilai orientasi pasien b) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera c) Nilai kemampuan kognitif d) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan atau cemas. 6) Pemeriksaan sendi a) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan b) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi: perhatikan adanya
keterbatasan
gerak,
diskinesis,
raut
wajah
meringis atau asimetris. 141
c) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal
/
dikeluhkan
oleh
pasien
(saat
menilai
pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris. d) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri e) Pemeriksaan stabilitas
sendi
untuk mengidentifikasi
adanya cedera ligament. 7) Pemeriksaan motoric 1) Nilai
dan
catat
kekuatan
motoric
pasien
dengan
menggunakan kriteria dibawah ini : Derajat 5
Definisi Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu
4 3 2
melawan tahanan kuat Mampu melawan tahanan ringan Mampu bergerak melawan gravitasi Mampu bergerak / bergeser kekiri dan kanan
tetapi
tidak
mampu
melawan
1
gravitasi Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi),
0
tidak menghasilkan pergerakan Tidak terdapat kontraksi otot
8) Pemeriksaan sensorik Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, Nyeri (tusukan jarum pin prick), getaran dan suhu. 9) Pemeriksaan neurologis lainnya a) Evaluasi nervus kranial I-XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau servikal dan sakit kepala b) Periksa reflex otot, nilai danya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi >4 otot
Reflex Biseps Brakioradialis Triseps Tendon patella Hamstring medial Achilles
Segmen spinal C5 C6 C7 L4 L5 S1 142
c) Nilai adanya reflex Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi upper motor neuron) d) Nilai
gaya
serebelum
berjalan dengan
pasien
dan
melakukan
identifikasi tes
deficit
dismetrik
(tes
pergerakan jari-ke hidung, gerakan tumit ke tibia), tes disdiadodkokinesia, tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi). b. Pemeriksaan khusus Terdapat 5 tanda non organic pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien
dengan
5
tanda
ini
ditemukan
mengalami
hipokondriasis, hysteria, dan depresi. Kelima tanda ini adalah: 1) Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik 2) Gangguan sensorik atau motoric non anatomic 3) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif) 4) Reaksi
nyeri
yang
berlebihan
saat
menjalani
tes
/
pemeriksaan nyeri 5) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi) 4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG) a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang terkena c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan atau terapi obat. d. Membantu menegakkan diagnose e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respon terhadap terapi f.
Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono / poli neuropati, radikulopati.
5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan 143
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas) d. Pemeriksaan sensasi persepsi 6. Pemeriksaan radiologi a. Indikasi: 1) Pasien
nyeri dengan kecurigaan penyakit degenerative
tulang belakang 2) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit inflamatori dan penyakit vascular 3) Pasien dengan deficit neurologis motoric, kolon, kandung kemih atau ereksi 4) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang 5) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri 1) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (
fraktur,
ketidaksegarisan
vertebra,
spondilolitesis,
spondilolisis, neoplasma) 2) MRI: gold standar dalam mengevaluasi tulang belakang ( herniasi diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi runag diskus, keganasan, kompresi tulang belakang,infeksi) 3) Ct-scan: evaluasi trauma tulang belakang herniasi diskus, stenosis spinal 4) Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan metabolism tulang (mendeteksi osteomyelitis dini,
fraktur
kompresi
yang
kecil/minimal,
keganasan
primer, metastasis tulang) c. Asesmen psikologi 1) Nilai mood pasien apakah dalam kondisi cemas, ketakutan dan depresi 2) Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan 3) Nilai adanya dukungan social, interaksi social
2) Farmakologi Obat Analgesik 1. Lidokain temple (lidocaine patch) a. Berisi lidokain 5% (700 mg) 144
b. Mekanisme
kerja:
memblok
aktivitas
abnormal
di
kanal
ntriumneuronal c. Memberikan efek analgesic yang cukup baik ke jaringan local, tanpa adanya efek anaestesi (baal), bekerja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pasca herpetic, neuropati diabetic, neuralgia pasca pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya lidokain f. Dosis dan cara penggunaan: dap[at memekai hingga 3 patches di area yang paling nyeri (kulit harus intak<, tidak boleh ada luka terbuka), dipakai selama <12 jam dalam periode 24 jam. 2. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA) a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5% b. Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak dan pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor superfisial, dan sebagai pre medikasi untuk anestesi infiltrasi. c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf sensorik d. Onset kerjanya bergaantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anestesi local pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kasa dilepas e. Kontraindikasi: methemoglob, iriemia idiopatik atau konginetal f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan tutuplah dengan kasa oklusif 3. Parasetamol a. Efek analgesic untuk nyeri ringan – sedang dan anti piretik. Dapat dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesic yang lebih besar. b. Dosis 10mg/kg BB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari. 4. Anti inflamasi non steroid (OAINS) a. Menurunkan prostaglandin perifer dengan jalan menghambat aktivitas cyclooksigenase. Menurunnya prostaglandin perifer ini 145
akan menurunkan respon inflamasi pada trauma pembedahan sehingga menurunkan nosisefsi dan persepsi nyeri. b. Mempunyai efek analgesic pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan - sedang, antipiretik. c. Kontraindikasi: pasien dengan triad Franklin (polip hidung, angioedema
dan
urtikaria)
karena
sering
terjadi
reaksi
anafilaktoid. d. Efek samping: gastrointestinal (erosi / ulkus gaster), disfungsi renal, mengganggu agregasi platelet, dan aseptic meningitis. 5. Guidelines dosis OAID dengan penghambat spesifik COX-2 OAID
/ Cara
penghambat
pemberian
Nyeri
akut Nyeri
post operasi
spesifik COX-2
Aspirin
Oral
N/A
akut Nyeri kronik
dismenorea,
(RA,
myalgia,
ankylosing
nyeri gigi
spondylitis/
0.3-0.9
gout, dll 4-6 gr/hr
setiap
OA,
4-6
jam Diklofenak
Oral,
75-150
75-100
mg/hr
Ibuprofen Ketoprofen Dexketoprofen Naproxen
supositoria Oral IM IM, IV Oral
mg/hr 1.2-1.8 g/hr
1.2-1.8 g/hr
500
mg 500-1000
loading dose, mg/hr kemudian
1-2x/
250
hari
mg/6-8
jam Ketorolac
IM, IV
30-60mg dosis
bolus
tambahkan 15-30
mg/6
jam Acetaminophe n Celecoxib Refecoxib
Oral
0.5-1
g/4-6
jam Oral
50-400
mg/
Oral
hari 50 mg loading
2x200
mg/
hari
dose 146
Parecoxib sodium Valdecoxib
IM, IV
20-40
mg
Oral
loading dose 20-40 mg 20-40 loading dose
10-20 g/hari
mg/hari
6. Efek analgesic dan antidepresan a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin sehingga meningkatkan efek neurotransmiter tersebut dan m eningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif b. Indikasi:
nyeri
neuropatik
(neuropati
DM,
neuralgia
pasac
herpetic, cedera saraf perifer, nyeri sentral) c. Contoh
obat
yang
sering
dipakai
amitriptilin,
imipramine,
despiramin: efek antinosiseptif perifer / dosis : 50-300 mg sekali sehari 7. Anti konvulsan a. Karbamazepim efektif untuk nyeri neuropati. Efek samping: somnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400-1800 mg/hari (2-3
kali
perhari),
mulai
dengan
dosis
kecil
2x100
mgh,
ditingkatkan hingga dosis efektif. b. Gabapentin: merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari). 8. Antagonis kanal natrium a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca operasi b. Lidokain: dosis 2mg/kg BB selama 20 menit, lain dilanjutkan dengan 1-3 mg/kg BB/jam titrasi c. Prokain: 4-6,5 mg/kg BB/hari 9. Antagonis kanal kalsium a. Ziconotide: merupakan antagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai analgesic. Dosis: 1-3µg/ hari. Efek samping:pusing, mual nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan reversible jika dosis dikurangi atau obat dihentikan. b. Nimodipin, verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin. 147
10.
Tramadol
a. Merupakan analgesic yang lebih poten dari OAINS oral, dengan efek samping yang lebih sedikit/ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi GAINS. b. Indikasi: efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawah, neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pasca herpetic, nyeri pasca operasi. c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi. d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal dan oral e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg/hari. Dosis maksimal 400 mg dalam 24 jam f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.
g. Jadwal titrasi tramadol Protocol
Dosis inisial
Jadwal titrasi
Direkomendasi kan untuk
Titrasi hari
10 4x50 selama hari
mg 2x 50 mg selama 3 3
hari Naikkan
menjadi
3x50 mg selama 3 hari lanjutkan
dengan
4x50 mg Dapat sampai
dinaikkan tercapai
efek analgesic yang Titrasi hari
diinginkan 16 4 x 25 mg 25 g selama 3 hari selama hari
3 Naikkan menjadi 3 x 25 mg selama 3 hari Naikkan menjadi 4 x 25 mg selama 4 148
hari Naikkan menjadi 2 x 50 mg selama 3 hari Naikkan menjadi 4 x 50 mg dapat
dinaikkan
sampai
tercapai
efek analgesic yang diinginkan 11.
Opioid
a. Merupakan analgesic poten (tergantung dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh nalokson b.
Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, petidin, fentanyl, sulfentanil
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut e. Efek 1) Depresi pernafasan, dapat terjadi pada: a) Overdosis:
pemberian
dosis
besar,
akumulasi
akibat
pemberian secara infus, opioid long acting b) Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepine, antihistamin, antiemetic tertentu) c) Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia,
gangguan
respirasi
dan
peningkatan
tekanan
intracranial d) Obstructive
sleep
apnoes
atau
obstruksi
jalan
nafas
intermitten e) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dipanatu dengan menggunakan skors sedasi, yaitu:
0 : sadar penuh
1
:
sedasi
ringan,
kadang
mengantuk,
mudah
dibangunkan
149
2 : sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan
3 : sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S : tidur normal
2) System Saraf Pusat a) Euphoria, halusinasi, miosis, kekakuan otot b) Pemakai MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan koma 3) Toksisitas metabolit a) Petidin
(norpetidin)
menimbulakn
tremor,
twitching,
mioklonus multifocal, kejang b) Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan nyeri pasca bedah c) Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pasien usia >70 tahun 4) Efek kardiovaskular: a) Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume intravascular; serta level aktivitas simpatetik b) Morfin menimbulkan vasodilatasi c) Petidin menimbulkan takikardi 5) Gastrointestinal: mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah: hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetic
Perbandingan Obat-obatan Anti emetic Kategori
Metoklopram
Droperido
Ondansetr
Proklorperazi
id
l,
on
n, fenotiazin
butirofeno Durasi (jam)
n 4-6 (dosis 8-24
4
6
rendah) 24
(dosis
tinggi) Efek samping:
Estrapiramid
++
++
-
+ 150
al
Anti-
-
+
-
+
-
+
kolinergik Sedasi Dosis (Mg) Frekuensi Jalur pemberian
+ 10 Tiap 4-6 jam
+ 0,25-0,5 4 12,5 Tiap 4-6 Tiap H- Tiap 4-6 jam
Oral, IV, IM
jam IV, IM
2jam Oral, IV
Oral, IM
f. Pemberian Oral: 1) Sama efektifnya dengan pemberian parenteral pada dosis yang sesuai 2) Digunakan segera setelah pasien dpat mentoleransi medikasi oral g. Injeksi intramuscular 1) Merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan 2) Namun
injeksi
menimbulkan
nyeri
dan
efektivitas
penyerapannya tidak dapat diandalkan 3) Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin h. Injeksi subkutan i. Injeksi Intravena 1) Pilihan parenteral utama setelah pembedahan major 2) Dpat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus menerus (melaui Infus) 3) Terdapat risiko depresi pernafasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis j. Injeksi supraspinal: 1) Lokasi
mikroinjeksi
terbaik:
mesencephalic
periaqueductal
gray(PAG) 2) Mekanisme kerja: memblok reseptor nosiseptif di otak 3) Opioid intraserebroventikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien kanker k. Injeksi spinal (epidural, intratekal): 1) Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis spinal 2) Sangat efektif sebagai analgesic 3) Harus dipantau dengan ketat 151
l. Injeksi perifer: 1) Pemberian
opioid
secara
langsung
ke
saraf
perifer
menimbulkan efek anestesi local (pada konsentrasi tinggi) 2) Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi
3) Manajemen Nyeri Intervensi Menurut American Society of Interventional Pain Physicion (ASIIP), manajemen nyeri intervensi (MNI) adalah disiplin kedokteran yang ditujukan untuk diagnosis dan pengobtan gangguan nyeri yang terkait. MNI menggunakan pendekatan multidisiplin dimana tim professional perawatan
kesehatan
bekerjasama
untuk
menyediakan
berbagai
perawatan dan layanan untuk pasien yang menderita sakit kronis dan atau akut. Tujuan dari MNI adalah untuk meringankan, mengurangi atau mengelola rasa sakit dan meningkatkan kualitas keseluruhan hidup pasien melalui teknik minimal invasive yang dirancang khusus untuk mendiagnosa dan mengobati kondisi menyakitkan. MNI juga berusaha untuk membantu pasien kembali ke kegiatan sehari-hari mereka dengan cepat dan tanpa ketergantungan pada obat-obatan. Tindakan yang sering dilakukan pada manajemen nyri intervensi adalah sebagai berikut:
PCA/PCEA/ Continous intravenous analgesia
Selektif blok saraf tepi
Prosedur facet t
Stimulasi saraf tulang belakang
Suntikan epidural
Prosedur dengan radio frekuensi
Cryoablasio
Caudal Steroid Injection
Discography
Intradiscal Electrothermal Therapy
Intrathecal Pump Implant
Lumbar Epidural Steroid Injection
Radiofrequency Rhizotomy (Lumbar Radiofrequncy Neurotomy)
Lumbar Sympatetic Block
Lumbar Transforaminal Epidural Steroid Injection
Medial Branch Nerve Block 152
Sacroiliac t Steroid Injection
Spinal Cord Stimulator Implant
Stellate ganglion Block
1. Secara umum pasien yang membutuhkaan pelayanan nyeri intervensi bisa dikelompokkan kedalam 4 grup a. Gangguan sendi degenerative perifer (degenerative peripheral t disorders) 1) OA pada lutut, hip, sendi acromioclavicular, patellafemoral t (PFJ), tibio-femoral t (TFJ) 2) Gaangguan
rematik
rheumatological
inflamasi
disorders)
RA,
(Inflammatory
juvenile
idiopathic
arthritis, crystal induced arthritis (CIA), inflammatory soft tissue (plantar fascia, de Quervvain’s tenosynovial sheath trigger finger), carpal tunnel syndrome (CTS) 3) Non
infectious
and
non
inflammatory
soft
tissue
rheumatism (STR). Idiopathic, endocrinopathy, OA pada lutut, lesi soft tissue yang disebabkan karena trauma dan overuse pada siku, de Quervan’s tenosynovial sheath, plantar fascia, tendon bicipital dan pinggang bawah, lumbat ligamentous sprain, frozen shoulder (adhesive capsulitis), tennis elbow, compressive neuropathy, dan plantar fasciitis, dll 4) Radicular and referred lower back pain (LBP) Sumber terjadinya referred LBP adalah facet arthropathy, lumbar sacralisasi membentuk pseudoarthritis dengan sacrum, dan arthropati sacroiliaca 5) Radikuler
LBP
bisa
dibagi
dalam
2
kelompok,
dermatomal dan non dermatomal. a. Dermatomal radiculopathy : lumbar spinal stenosis yang disebabkan oleh penyakit diskus degenerasi, PLID, spondylodiscitis, dan fraktur columna vertebfra b. Non dermatomal radicular LBP : piriformis syndrome 2. Obat dan prosedur Obat yang digunakan untuk manajemen nyeri intervensi adalah
derivative
glukokortikoid
(triamsinolon
atau
methylprednisolone) dan suntikan local lidokain. Dosis steroid 153
berkisar
20-160
mg,
dengan dosis
maksimum 160
mg
diberikan dalam lumbal suntikan epidural interlaminari dan minimum 20
mg dalam intralesi (IL) prosedur.
Selama
intraartikular (I/A) injeksi, sendi-sendi besar, sendi menengah, dan sendi kecil menerima 40-80 mg, 20-40 mg, dan 20 mg, masing-masing. Seiring dengan suntikan steroid, 1% lidokain digunakan dalam rasio 2:1
3. Manajemen nyeri akut a. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu b. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang. c. Tentukan mekanisme nyeri; 1) Nyeri somatic: a) Diakibatkan
adanya
kerusakan
jaringan
yang
menyebabkan pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit. b) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam, menusuk atau seperti ditikam. c) Contoh nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur dan dislokasi. 2) Nyeri visceral: a) Nosiseptor visceral lebih sedikit dibandingkan somatic sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat. b) Penyebab: iskemi, nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga/ lumen c) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi, bradikardia dan berkeringat. 3) Nyeri neuropatik: a) Berasal dari cedera jaringan saraf 154
b) Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia. Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera ( sementar pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cedera) c) Biasnya sclerosis,
dialami
oleh
herniasi
pasien
didkus,
diabetes,
AIDS,
multiple
pasien
yang
menjalani kemoterapi. d. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya 1) Manajemen nyeri non farmakologi a) Relaksasi b) Distraksi c) Hipnotis d) Akupunktur 2) Manajemen nyeri farmakologi : gunakan step ladder a) OAINS efektif untuk nyeri ringan, sedangkan opioid efektif untuk nyeri sedang-berat b) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2) dengan pemberian intermitten ( pro renata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. c) Jika langkah 1 d1n 2 kurang efektif atau nyeri menjadi sedang – berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesic dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1 atau lakukan pendekatan manajemen nyeri intervensi). d) Penggunaan opioid harus dititrasi, opioid yang standar adalah morfin, petidin dan fentanyl. e) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan f) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara bertahap 3) Modalitas analgesic a) Intrvena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
155
b) Oral:
antikonvulsan,
anxiolytic,
antidepresan,
kortikosteroid,
anestesi
antihistamin, local,
OAINS,
aspirin,
opioid,
opioid, tramadol c) Rektal
(supositoria):
paracetamol,
fenotiazin d) Topical : lidokain patch, EMLA e) Subkutan: opioid, anestesi local, dll e. Manajemen efek samping 1) Opioid a) Mual dan muntah: antiemetic b) Konstipasi: berikan stimulant buang air, hindari laksatif
yang
mengandung
serat
karena
dapat
menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut c) Gatal: perimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga mengguriakan antihistamin d) Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid atau
berikan
benzodiazepine
untuk
mengatasi
mioklonus e) Depresi pernafasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4 mg nalokson dengan NaCl 0,9% sehingga total volume tercapai 10 ml). berikan 0,02 mg (0,5 ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernafasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang 2) OAINS a) Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor) b) Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet. f. Manajemen nyeri intervensi 1) PCA (patient control analgesia) 2) PCEA (patient control epidural analgesia) 3) ILA (intratekal labour analgesia0 4) ELA (epidural labour analgesia) 5) WELA (walking epidural analgesia) 156
6) Blok epidural kaudal, limbal, thorakal dan servikal 7) Aplikasi musculoskeletal, spine dan t injeksi 8) Blok saraf perifer intermitten atau continuous Severe Pain Pain Score Moderate Pain Pain Score 5-6
STRONG OPIOIDS ± adjuvant Manajemen nyeri intervensi : MADERATE TO Severe pain.
Mild Pain Pain Score ≤ 4
OAINS NONOPIOIDS WEAK OPIOIDS for Regular PRN mild to moderate pain Paracetamol NSAIDS (if no t pr es cri be Step 2 Step 1 Step d re Follow-up /gu asesmen ulang lar y) a. Asesmen eg ulang sebaiknya . Lo umum: b. Panduan w
i. ii. iii.
3
dilakukan dengan interval yang teratur
Pemberian parenteral: 30 menit do se Pemberian oral: 60 menit ib up ro Intervensi non-farmakologi: fe n
30-60 menit
g. Follow up/asesmen ulang int Aasesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang 1) ali ty
teratur
2) Panduan umum : -
Pemberian parenteral: 30 menit
-
Pemberian oral : 60 menit
-
Intervensi non farmakologi: 30-60 menit
h. Pencegahan Edukasi pasien : 1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya 2) Diskusikan
tujuan
dari
manajemen
nyeri
dan
manfaatnya untuk pasien 157
i. Berikut adalah algoritme assesmen dan manajemen nyeri akut j. Algoritme assesmen nyeri akut
Pasien mengeluh nyeri
Anamnesis dan pemeriksaan fisik Asesmen nyeri Apakah etiologi nyeri bersifat reversibel
ya
Apakah nyeri berlangsung >6 minggu
ya
Prioritas utama : identifikasi dan atasi etiologi nyeri Lihat manajemen nyeri kronik Konsul ke team unit nyeri
Tentukan mekanisme nyeri (pasien dapat mengalami >jenis nyeri)
Nyeri visceral : Difus, nyeri tumpul, seperti ditekan benda berat Nyeri visceral : Steroid OAINS Opioid
Nyeri somatic: Bersifat tajam, menusuk, terlokalisir, seperti ditikam Nyeri somatic: Parasetamol Cold packs OAINS Opioid Anestesi topikal
Pilih alternative terapi yang lain
Konsul tim unit nyeri
Ya
Nyeri neuropatik: Bersifat menjalar, rasa terbakar, kesemutan, tidak spesifik Nyeri neuropatik: Bersifat menjalar, rasa terbakar, kesemutan, tidak spesifik
Edukasi pasien Manajemen non farmakologi Manajemen farmakologi Manajemen intervensi ke team unit nyeri Konsultasi untuk atasi etiologi jika
Tida k Nyeri > 6 minggu? ya
Kembali ke kotak ketentuan mekanisme nyeri
Mekanisme nyeri sesuai ?
Analgesic adekuat ya
Tidak
Manajemen efek samping Tida k
ya
Efek samping pengobatan Tida k 158
Follow up
4. Manajemen nyeri kronik a. Lakukan asesmen nyeri: 1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri sebelumnya) 2) Pemeriksaan penunjang: radiologi 3) Asesmen fungsional: a) Nilai aktivitas hidup
dasar (ADL), identifikasi
kecacatan /
disabilitas b) Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien c) Nilai efektivitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan 4) Tentukan mekanisme nyeri: Manajemen bergantung pada jenis/klasifikasi nyerinya. Pasien sering mengalami >1 jenis nyeri. Terbagi menjadi 4 jenis: a) Nyeri neuropatik Disebabkan oleh kerusakan/disfungsi system somatosensorik. Contoh neuropaty DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca herpetic Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal, kesemutan dan alodinia. Fibromyalgia: gatal, kaku dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3 bulan b) Nyeri otot Nyeri otot tersering adalah nyeri miofasial mengenai otot leher, bahu, lengan,
punggung
bawah,
panggul
dan
ekstremitas
bawah.nyeri
dirasakan akibat disfungsi pada satu atau lebih jenis ototy, berakibat kelemahan, keterbatasan gerak. Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive. Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi. Identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan) c) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif) Contoh : arthritis,infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca operasi
159
Karakteristik:
pembengkakan,
kemerahan,
panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera/luka Tatalaksana:
dengan
manajemen
proses
inflamasi
antibiotic/antirematic,
OAINS,
kortikosteroid. d) Nyeri mekanis/kompresi; Merupakan nyeri nosiseptif, diperberat dengan aktivitas dan nyeri berkurang dengan istirahat. Contoh nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur. Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi e) Nyeri kronik: Nyeri yang persisiten/berlangsung >6 minggu 5) Asesmen lainnya: Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi,
cemas,
riwayat
penyalahgunaan
obat-obatan,
riwayat
penganiayaan secara seksual/fisik, verbal, gangguan tidur. 6) Masalah pekerjaan dan disabilitas a) Faktor yang mempengaruhi: 1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk 2) Penyakit lain yang memperburuk/memicu nyeri kronik pasien b) Hambatan terhadap tatalaksana: 1) Hambatan komunikasi/bahasa 2) Faktor financial 3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan 4) Kepatuhan pasien yang buruk 5) Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman b. Manajemen nyeri kronik 1) Prinsip level 1 a) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komperehensif (buat tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi nyeri) b) Pasien
harus
berpartisipasi
dalam
program
latihan
untuk
meningkatkan fungsi 160
c) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan prilaku kognitif dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi Beritahukan
pada
pasien
bahwa
nyeri
kronik
adalah
masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering termasuk manajemen stress, latihan fisik, terpi relaksasi dan sebagainya.
Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen nyerinya
Ajaklah
pasien
untuk
berpartisispasi
aktif
dalam
manajemen nyeri
Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
Jadwalkan kontrol pasien secara rutin jangan biarkan penjadwalan untuk kontrol dipengaruhi oleh peningakatan level nyeri pasien
Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien
Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri
d) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien) 2) Manajemen level 1 : menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri kronik termasuk non farmakologi, farmakologi dan intervensi dengan atau tanpa pelengkap / tambahan a) Nyeri neuropati
Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri : kontrol gula darah pada pasien DM, pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien tumor dengan kompresi saraf, kontrol infeksi (antibiotic)
Terapi simptomatik: Antidepresan trisiklik (amitriptilin) Antikonvulsan (gabapentin, karbamazepin) Obat topical (lidocain patch 5% krim anestesi) OAINS, kortikosteroid, opioid (fentanyl patch)
Manajemen nyeri intervensi 161
Analgesi
regional:
blok
simpati,
blok
epidural
intratekal, infus epidural/ intra tekal Prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf dengan radiofrekuensi, dll
Terapi lainnya ; hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis) Terapi berbasis stimulai akupuntue stimulasi spinal, pijat Rehabilitasi
fisik:
bidai,
manipulasi,
alat
bantu,
latihan mobilisasi, metode ergonomic b) Nyeri otot
Lakukan skrining terhadap patologi medis yang sering, faktor psikososial yang dapat menghambat pemulihan
Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap
Rehabilitasi fisik: Fitness:
angkat
beban
bertahap,
kardiovaskular,
fleksisbilitas, keseimbangan Mekanik Pijat, terapi akuatik
Manajemen prilaku Stress / depresi Teknik relaksasi Perilaku kognitif Ketergantungan obat Manajemen amarah
Terapi obat Analgesic dan sedasi Anti depresan Opioid jarang dibutuhkan
Nyeri inflamasi Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya Obat anti inflamasi utamanya OAINS, kortikosteroid
Nyeri mekanis / kompresi 162
Penyebab
yang
sering:
tumor,
kista
yang
menimbulkan kompresi pada struktur yang sensitive dengan nyeri, dislokasi dan fraktur Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai dan lat bantu Medikamentosa
kurang
efektif.
Opioid
dapat
digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan 3) Manajemen level 1 lainnya a) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri non neuropatik b) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aaplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non kanker c) Manajemen nyeri intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra sendi, injeksi epidural d) Terapi pelengkap/tambahan akupunktur, herbal Skor DIRE (diagnosis, intractability, risk, efficacy) Skor
Faktor Diagnosis
Penjelasan 1=kondisi kronik
ringan
dengan
temuan objektif minimal atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti, misalnya
:
fibromyalgia,
migraine,
nyeri punggung tidak spesifik 2=kondisi progresif perlahan dengan nyeri
sedang
atau
sedang
menetap
objektif
medium.
punggun
g
degenerative
kondisi
dengan Misalnya
dengan
nyeri
temuan nyeri
perubahab
medium,
nyeri
neuropatik 3= kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata. Misalnya penyakit
iskemik
vascular
berat,
Intractability
neuropati lanjut, stenosis spinal berat 1=pemberian terapi minimal dan
(keterlibatan)
pasien terlibat secara minimal dalam 163
manajemen nyeri 2=beberapa tetapi
terapi
pasien
telah
dilakukan
tidak
terlibat
sepenuhnya dalam manajemen nyeri atau terdapat hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis) 3=pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respon terapi Risiko (R) Psikologi
tidak adekuat R=jumlah skor P+K+R+D 1=disfungsi kepribadian yang berat atau
gangguan
mempengaruhi
jiwa
terapi,
yang misalnya
gangguan kepribadian, gangguan afek berat 2=gangguan
jiwa
medium/sedang,
/
kepribadian
misalnya
depresi,
gangguan, cemas 3=komunikasi
baik,
tidak
ada
disfungsi kepribadian atau gangguan Kesehatan
jiwa yang signifikan 1=penggunaan obat akhir-akhir ini, alcohol berlebihan, penyalahgunaan obat 2=medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi psikofarmaka 3=tidak ada riwayat penggunaan obat-
Reliabilitas
obatan 1=banyak
masalah:penyalahgunaan
obat, bolos kerja / jadwal kontrol, komplians buruk 2=terkadang dalam
mengalami
komplians,
kesulitan
tetapi
secara
keseluruhan dapat diandalkan 3=sangat dapat diandalkan (medikasi, Dukungan sosial
jadwal kontrol dan terapi) 1=hidup kacau, dukungan keluarga 164
minimal,
sedikit
teman
dekat,
kehilangan peran dalam kehidupan normal 2=kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan dalam social 3=keluarga mendudkung, hubungan dekat, terlibat dalam kerja/sekolah, Efikasi
tidak ada isolasi sosial 1=fungsi buruk atau
pengurangan
nyeri minimal meski dengan dosis obat sedang-tinggi penggunaan 2=fungsi efisien
meningkat
(tidak
tetapi
menggunakan
kurang opioid
dosis sedang-tinggi) 3=perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai dengan Skor total
dosis yang stabil =D+I+R+E
Keterangan: Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang 4) Manajemen level 2 a) Meliputi rujukan ke tim unit nyeri dan atau multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intra tekal) b) Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif /manajemen level 1 c) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen nyeri level 1
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik: Algoritma Asesmen Nyeri Kronik
Nyeri neuropatik Perifer(sindrom nyeri regional kompleks, neuropaty HIV, gangguan metabolic) Sentral (Parkinson, multiple sclerosis, meilopati,nyeri pasca stroke, sindrom
Asesmen Pasien mengeluh Nyeri inflamasi lainnya nyeri Arthropati Masalah inflamasi Nyeri mekanis / kompresi pekerjaan dan (rheumatoid Nyeri punggung bawah disabilitas arthritis) Asesmen nyeri Nyeri leher Asesmen Infeksi 165 psikologi Anamnesis Nyeri musculoskeletal dan Nyeri pasca spiritual Pemeriksaan (bahu, siku) Nyeri otot / operasi fisik Nyeri visceral Faktor yang musculoskeletal Apakah etiologi Atasi etiologi nyeri Cedera jaringan Apakah nyeri Pantau dan Pemeriksaan Tentukan mekanisme nyeri mempengaruhi nyeri miofasial dapat dikoreksi sesuai indikasi kronik? observasi danfungsi hambatan /diatasi
Manajemen level I Nyeri otot-tulang
manajemen level I nyeri inflamasi
manajemen level I nyeri mekanis/kompresi
Prinsip level 1 lainnya Farmakol ogi Manajem en intervensi Pelengka p / tambahan
Manajemen level I Nyeri neuropatik
Prinsip level I Buatlah rencana dan tetapkan tujuan Rehabilitasi fisikm dengan tujuan fungsional Manajemen psikososial dengan tujuan fungsional
5) MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK Layanan primer untuk a) Prevalensi nyerimengukur yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala pencapaian tujuan dan meninjau kronik, trauma, sakit perut, dan faktor psikologi ulang rencana perawatan b) System nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat Tujuan terpenuhi? Telah melakukan Manajemen level c) Neonatus terhadap stimulus nyeri Fungsi lebih sensitive manajemen level 2 Kenyamanan 1 dengan adekuat? Rujuk ke tim d) Pemberian analgesic: hambatan interdisiplin (1) “by the ladder”: pemberian analgesic secar bertahap sesuai denga level nyeri anak (ringan, sedang, berat) Rencana perawatan selanjutnya oleh Asesmen hasil
166
(a) Awalnya berikan analgesic ringan-sedang (level 1) (b) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesic level 1, naiklah nke level 2 (pemberian analgesic yang lebih poten) (c) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap diaplikasikan sebagai analgesic adjuvant (d) Analgesic adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapt berefek analgesic dalam kondisi tertentu
Pada
anak
dengan
nyeri
neuropatik
dapat
diberikan
analgesic adjuvant sebagai level 1
Analgesic adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik. Kategori; -
Anlgesik multi-tujuan: antidepresan, agonis sdrenergik alfa 2, kortikosteroid, anestesi topical
-
Analgesic
untuk
nyeri
neuropatik
:
antidepresan,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal -
Analgesic untuk nyeri musculoskeletal : relaksan otot, benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
(2) “by the lock”: mengacu pada waktu pemberian analgesic Pemberian
harusla
teratur,
misalnya
setiap
4-6
jam
(disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermitten dan tidak dapat diprediksi. (3) “by the child”: mengacu pada pemberian analgesic yang sesuai dengan kondisi masing-masing individu. (a) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur (b) Sesuaikan dosis analgesic jika perlu (4) “by the mouth”: mengacu pada jalur pemberian oral. (a) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive, dan efektive, biasanya per oral (b) Karena pasien tajut denga jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri, atau tidak memerlukan pengobatan (c) Untuk
mendapatkan
efek
analgesic
yang
tepat
dan
langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien. 167
(d) Opioid kurang poten jika diberikan peroral (e) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorpsi obat tidak dapat diandalkan (f) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM<
IV
dan
subcutan
intermiten,
yaitu
tidak
nyeri,
mencegah terjadi penundaan / keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak (g) Indikasi: pasien nyeri dimana pemberian peroral dan opioid parenteral
intermiten
memuaskan,
adanya
tidak
memberikan
muntah
hebat,
hasil (tidak
yang dapat
memberikan obat per oral) (5) Analgesic dan anastesi regional: epidural atau spinal (a) Sangat berguna untuk anak denga nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatif (b) Harus dipantau dengan baik (c) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan obat-obatan
dan
peralatan
resusitasi,
dan
pencatatan
akurat mengenai tanda vital / skor nyeri (6) Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multiple, dapat melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik (a) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh (b) Pemeriksaan penunjang yang sesuai (c) Evaluasi faktor yang mempengaruhi (d) Program terapi; kombinasi terapi obat dan non obat (kognitif, fisik dan perilaku) (e) Lakukan pendekatan multidisiplin Berikut adalah label obat-obatan non opioid yang sering digunakan untuk anak: Obat-obatan non-opioid Obat Parasetamol
Dosis 10-15 mg/kg
BB
setiap 4-6 jam Ibuprofen
5-10
mg/kg
setiap 6-8 jam
Keterangan oral, Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal dan hematologi
BB
minimal oral, Efek antiinflamasi,
hati-hati
pada pasien dengan gangguan hepar
/
renal,
riwayat 168
perdarahan Naproksen
10-20mg/kg
atau hipertensi BB/hari, Efek antiinflamasi,
oral, terbagi dalam 2 dosis Diklofenak
gastrointestinal hati-hati
pada pasien dengan disfungsi
renal, dosis maksimal 1gr/hari 1mg/kg BB oral, setiap 8- Efek antiinflamasi. Efek 12 jam
samping
sama
ibuprofen
dan
dengan naproksen.
Dosis maksimal 50 mg/hari
e) Panduan penggunaan opioid pada anak: (1) Pilih rute yang paling sesuai, untuk pemberian jangka panjang pilihlah jalur oral (2) Pada pemberian infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus perjam kontinu prm (3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis infus IV per jam kontinu sejumlah : total dosis opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternative lainnya adlah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50% (4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya (5) Jika efek analgesic tidak adekuat dan tidak ada toksisitas, tingkatkan dosis sebesar 50% (6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang menerima opioid > 1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/kg BB/hari), opioid dapat dihentikan. (7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiperrefleks, dan kejang f) Terpi alternative/ tambahan (1) Konseling (2) Manipulasi shiropractic 169
(3) Herbal (4) Terapi non obat (a) Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non obat u ntuk anak (b) Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain
seperti
music,
cahaya,
warna,
mainan,
permen,
computer, permainan, film, dsb. (c) Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri. (d) Terapi relaksasi: dapat berupa mengepal dan mengendurkan jari tangan, menggerakkan kaki sesuai irama, menarik nafas dalam. Terapi non obat
Kognitif Informasi
Pilihan
dan
Perilaku latihan
Fisik pijat
terapi
fisioterapi
relaksasi
stimulasi termal
umpan balik
stimulasi sensorik
positif
akupuntur
modifikasi
THNS
kontrol
Hypnosis
Psikoterapi
informasi
gaya hidup
(transciitcineous
electrical
nerve
stimulation) g) Algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatric Asessmen nyeri pada anak Nilai karakteristik nyeri Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif dan neuropatik, kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak
Diagnosis penyebab primer dan sekunder
Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada Pikirkan faktor emosional, kognitif dan perilaku
170
Pilih terapi yang sesuai Obat Analgesik Analgesik adjuvant anestesi
Non Obat kognitif fisik perilaku
Implementasi rencana manajemen nyeri Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua dan anak Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin Evaluasi efektivitas rencana mnajemen nyeri Revisi rencana jika diperlukan
6) MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI) a) Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia ≥ 65 tahun b) Pada lansia prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya dibandingkan dewasa muda c) Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah arthritis, kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca herpetic, reumatika polimialgia, dan penyakit degenerative d) Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama/penyangga tubuh, punggung, tungkai bawah dan kaki e) Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah: (1) Kurangnya pelatihan untuk dokjter mengenai manajemen nyeri pada geriatric (2) Asesmen nyeri yang tidak adekuat (3) Keengganan dokter untuk meresepkan opioid f) Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah ini Functional Pain Scale Skala nyeri 0 1 2
Keterangan Tidak nyeri Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu) Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit 171
3
terganggu) Tidak dapat
ditoleransi
menggunakan
telepon,
( tetapi masih menonton
TV,
dapat atau
4
membaca) Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat mengunakan
5
telepon, menonton TV, atau membaca) Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara
karena nyeri) (skor normal/yang diinginkan: 0-2) g) Manajemen non farmakologi (1) Terapi termal: pemberian perbandingan atau pemanasan di area nosiseptif untuk menginduksi pelepasan opioid endogen (2) Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur (3) Blok saraf dan rafliasi area tumor (4) Intervensi medis pelengkap/tambahan atau alternatif : terapi relaksasi, umpan balik positif, hypnosis (5) Fisioterapi dan terapi okupasi h) Manajemen farmakologi (tekanan pada keamanan pasien) (1) Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisikliik, amitriptilin, ansiolitik (2) Opioid: (a) Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek) (b) Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol) (c) Berikan opioid jangka pendek (d) Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesic yang lebih baik daripada pemberian intermiten (e) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan (f) Jika efek analgesic masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid sebesar 50-100% dari dosis semula i) Analgesic adjuvant (1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi nyeri (2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin,fenitoin, gabapentin, tramadol, mexiletin: efektif untuk nyeri neuropatik 172
(3) Antikonvulsan:
untuk
neuralgia
trigeminal.
Gabapentin:
neuralgia pasca herpetic 1-3x 100/mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari (4) Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insiden perdarahan gastrointestinal meningkat hamper dua kali lipat pada pasien >65 tahun (5) Semua
fase
farmakokinetik
dipengaruhi
oleh
penuaan,
termasuk absorpsi, distribusi, metabolism dan eleminasi (6) Pasien
lansia
analgesic.
cenderung
Absorbs
memerlukan pengurangan
sering
tidak
teratur
karena
dosis
adanya
penundaan waktu transit atau sindrom mal absorbs (7) Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia (8) Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat (9) Lakukan monitoring ketat jika meningkatkan ayau mengubah dosis pengobatan (10)
Efek
samping
penggunaan
opioid
yang
paling
sering
samping
obat:
dialami : konstipasi (11)
Penyebab
polifarmasi
tersering (missal
munculnya pasien
efek
mengkonsumsi
analgesic,
antidepresan dan sedasi secara rutin harian) (12)
Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis
rendah, lalu naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan j) Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan: (1) Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mengarah ketebatasan
ke
depresi
karena
mobilitasnya
dan
pasien
frustasi
menurunnya
dengan
kemampuan
fungsional (2) Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan imunitas tubuh (3) Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah (4) Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium. 173
k) Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunkan (dihindari) pada lansia: (1) OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping gastrointestinal besar) (2) Opioid:
pentazocin,
antagonis
dan
butorphanol
agonis,
(merupakan
cenderung
campuran
memproduksi
efek
psikotomimetik pada lansia): metadon, levorphanol (waktu paruh panjang) (3) Propoxyphene:neurotoxik (4) Antidepresan:
tertiary
amine
tricyclic
(efek
samping
antikolinergik) (5) Semua pasien yang mengkonsumsi opioid sebelumnya harus diberikan kombinasi preparat senna dan obat pencahar feses (bulking agent) l) Pemilihan analgesic: menggunalasis 3 step ladder WHO 9sama dengan manajemen pada nyeri akut) (1) Nyeri ringan-sedang : analgesic non opioid (2) Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS dan analgesic adjuvant (3) Nyeri berat: opioid poten ± adjuvant dan manajemen nyeri intervensi m) Satu-satunya penyesuaian
perbedaan dosis
dan
dalam
terapi
hati-hati
analgesic
dalam
ini
adalah
memberikan
obat
kombinasi
M.
PELAYANAN PASIEN TERMINAL Pelayanan pasien tahap terminal merupakan hal berbeda dengan pelayanan
pasien
pada
umumnya,baik
dari
segi
tata
laksana,
pengobatan maupun asuhan yang diberikan.pengobatan yang diberikan tidak dapat menghilangkan penyebab,namun hanya memberikan rasa nyaman,gejala-gejala yang diberikan lebih minimal,sehinggasehingga siap untuk menghadapi tahap akhir kehidupan. Asuhan yang diberikan perawat bersifat khusus karena pasien tahap terminal memiliki kebutuhan yang khusus pula,yang mana kerjasama
dan
dukungan
dari
keluarga
turut
mempengaruhi
keberhasilan pelayanan.Banyak factor yang mempengaruhi keberhasilan 174
pelayanan pasien tahap terminal,untuk itu pengkajian sesaat pasien dating sangatlah penting,dengan menggali informasi klinik yang lengkap meliputi : 1. Anamnesi dan atau alloanamnesis yang lengkap. Informasi yang digali adalah keluhan kesehatan sekarang, dahulu dan riwayat penyakit yang ada pada keluarga. Alloanamnesis dilakukan pada keluarga terdekat yang serumah dengan pasien. 2. Pemeriksaan fisik secara lengkap dari kepala sampai kaki untuk mengidentifikasikan kelainan –kelainan yang ada, terutama pada organ organ vital, yang jika tidak segera dilakukan penanganan segera akan berakibat fatal. 3. Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang di peroleh dari hasil anamnesa dn pemeriksaan fisik lengkap. Dari
hasil
pemeriksaan
diatas
dokter
dan
perawat
mampu
mengidentifikasi masalah masalah kesehatan yang ada dan rencana asuhan yang tepat sesuai kebutuhan pasien. Ada beberapa factor yang harus dikaji oleh dokter dan perawat untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu pada pasien dengan kondisi terminal yaitu: a. Factor fisik Gejala
fisik
yang
ditunjukkan
antara
lain:
perubahan
pada
pengelihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eleminasi dan tanda vital serta nyeri. Pasien mungkin mengalami berbagai gejala fisik selama berbulan bulan sebelum terjadi kematian, sehingga perawat harus cepat mengatasinya dan memberikan kenyamanan pada pasien. b. Faktor psikologis Perubahan psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus bias mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, ekspresi wajah apakah sedih, depresi atau marah. c. Faktor Sosial Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal, karena saat ini pasien cenderung menarik diri,muda tersinggung,tidak ingin berkomunikasi dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. d. Factor Spiritual 175
Sejalan dengan memburuknya kondisi pasien perawat membuat diagnose yang relevan dengan kebutuhan dasar seperti perubahan rasa nyaman, eleminasi, pernafasan tidak efektif dan perubahan sensori. Gejala dan Tanda Berikut beberapa gejala yang dialami pasien tahap terminal disertai cara memberikan kenyamanan sebagai satu rangkaian pelayanan pada pasien kondisi terminal GEJALA Penurunan
CARA MEMBERIKAN KENYAMANAN Keadaan awal yang harus di waspadai
kesadaran
dan segera menghubugi dokter untuk
(ngantuk) Menjadi
menanyakan instruksi Banyak pasien masih bias mendengar
tidak
responsive
setelah mereka tidak lagi dapat berbicara sehingga perawatharus berbicara seolahnafsu
olah pasien dapat mendengar Biarkan pasien memilih apa dan kapan
makanpenurunan
harus makan atau minum.Sediaan es, air
kebutuhan
atau jusdapat menyegarkanjika pasien
Hilangnya
pangan
dan
masih dapat menelan. Jaga mulut pasien
cairan
agar
Kebingungan
sepertiswab gliserin atau ilp balm Bicaralah dengan tenang
tentang
membantu
waktu
tetap
lembabdengan
produk untuk
mengembalikan
tempat dan orang
orientasipasien.Perlahan
terkasih
pasien tentang tanggal, waktu dan orang
Kehilangan
yang bersama mereka Jaga agar pasien bersih
control
senyaman
kandung
kemih atau usus Akral dingin
mungkin,
mengingatkan
,kering
Pasian
dn
dapat
menggunakan kateter atau popok Hangatkan pasien dengan menggunakan selimuttapi hindari selimut listrikatau alat pemanas yang dapat menyebabkan
Rasa
nyeri
luka bakar Identifikasi nyeri dan tentukan skala
meningkat
atau
nyerinya, segera hubungi dokter yang
berkurang
merawat untuk segera memberi instruksi
tidak dengan
pemberian
untuk mengurangi rasa nyeri terapi 176
sebelumnya Nafas sesak tidak
Pernafasan
teratur,
tubuh pasien di baringkan kesamping
dangkal
atau bising nafas
mungkin
lebih
mudahjika
dan bantal di letakkandibawah kepala dan di belakang punggung
Beberapa perubahan fisik saat kematian telah mendekat: 1.
Pasien kurang responsif
2.
Fungsi tubuh melambat
3.
Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja
BAB IV DOKUMENTASI
A. PELAYANAN YANG SERAGAN 177
Semua pemberian asuhan yang seragam, pelaksanaan dan evaluasi asuhan keperawatan/ pengobatan terdokumentasi dalam Form : 1. Pengkajian Awal medis 2. Pengkajian Awal Perawat 3. Pengkajian Rawat Inap Medis 4. Pengkajian Rawat Inap Perawat 5. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi B. ASUHAN TERINTEGRASI Bukti
pelayanan
yang
diterima
oleh
pasien
dikoordinasikan
dan
diintegrasikan terdokumentasi dalam formulir sebagai berikut : 1. Form Pengkajian Awal Medis dan Keperawatan Rawat Jalan 2. Pengkajian Tahap Terminal 3. Pengkajian Medis dan Keperawatan Obstetri Rawat Jalan 4. Pengkajian Medis dan Keperawatan Obstetri Gawat Darurat 5. Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi C. RENCANA ASUHAN Semua Rencana asuhan, pelaksanaan dan evaluasi asuhan keperawatan/ pengobatan terdokumentasi dalam Form : 1. Pengkajian Awal medis 2. Pengkajian Awal Perawat 3. Pengkajian Rawat Inap Medis 4. Pengkajian Rawat Inap Perawat 5. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi 6. Pengkajian Asuhan Gizi 7. Monitoring dan Evaluasi Asupan Gizi 8. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi 9. Assesment Gawat Darurat D. PASIEN RESIKO TINGGI DAN PELAYANAN RESIKO TINGGI Untuk semua pasien dengan risiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi, dokumentasi asuhan medis
dan keperawatan yang telah diberikan
terdokumentasi dalam formulir dibawah ini meliputi : 1.
Pengkajian Awal medis dan keperawatan gawat darurat
2.
Triage
3.
Pengkajian Keperawatan Intensif 178
4.
Kriteria masuk Intensif (NICU, ICU, Pa)
5.
Kriteria keluar Intensif (NICU, ICU, Pa)
6.
Pengkajian Medis dan Keperawatan Ilmu Kes. Anak
7.
Pengkajian Keperawatan pasien Immunocompromise Rawat Inap
8.
Pengkajian Tahap Terminal
9. Form Pengkajian keperawatan Rawat Inap 10.
Form Observasi 24 jam Intensif
11.
Permintaan Darah
12.
Monitoring Pemberian Darah dan Produk Darah
13.
Persetujuan Pemberian Transfusi Darah
14.
Pengkajian Awal Pasien Dialisis
15.
Pengkajian Ulang Pasien Dialisis
16.
Asuhan Keperawatan dan Observasi pasien Hemodialisis
17.
Resume Tindakan Hemodialisis
18.
Form Monitoring Restrain
19.
Monitoring pemberian trombolitik
20.
Implementasi Keperawatan
21.
Intervensi dan Pengkajian Ulang Nyeri
22.
Persetujuan Tindakan Kedokteran dan Terapi Berisiko Tinggi
E. PELAYANAN RESUSITASI Tindakan resusitasi yang telah dilaksanakan oleh Tim Reaksi cepat Blue code di dokumentasikan pada form Catatan Perkembangan Terintegrasi oleh dokter anastesi (TRCBC). F. PELAYANAN DARAH DAN PRODUK DARAH Rumah
sakit
merupakan
salah
satu
fasilitas
kesehatan
yang
menyelenggarakan upaya kesehatan transfusi darah untuk penyembuhan ataupun pemberian
pemulihan transfusi
pasien darah
nya.Namun untuk
demikian
,tidak
selamanya
penyembuhan
atau
pemulihan
pasien.Namun demikian ,tidak selamanya pemberian transfusi darah dirumah sakit aman dan dapat menyelamatkan pasien karena ada beberapa faktor dalam pemberian transfusi darah yang dapat merugikan pasien diantaranya:adanya kelalaian dari tenaga kesehatan sebelum ataupun pada saat memberikan transfusi darah,dan tidak tersedianya peralatan
medis
maupun
non
medik
untuk
menyimpan
maupun
mendistribusikan darah,sehingga darah telah rusak sebelum transfusi 179
Dari penjelasan diatas maka sangat perlu pendokumentasian dalam memberi pelayanan darah,dari pemberian inform consen, monitoring dalam pemberian transfusi darah. G. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU NAPAS DAN KOMA Pada
pasien
–pasien
yang
menggunakan
alat
bantu
nafas
didokumentasikan pada rekam medis pasien meliputi: 1. Formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi 2. Formulir persetujuan tindakan kedokteran berisiko tinggi 3. Formulir catatan kebutuhan edukasi 4. Formulir informasi dan edukasi terintegrasi 5. Formulir monitoring 24 jam perawatan intensif H. PELAYANAN PASIEN PENYAKIT MENULAR DAN IMUNOCOMPREMISE Semua asuhan medis dan perawatan yang telah dilakukan pada pasien dengan penyakit menular di dokumentasikan pada: 1. Pengkajian Keperawatan Pasien Isolasi dan Penyakit Menular 2. Pengkajian Medis Rawat Inap Penyakit Dalam 3. Form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi 4. Form Catatan Informasi dan Edukasi Terintegrasi. 3. Formulir Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi 4. Formulir Catatan Informasi dan Edukasi terintegrasi I. PELAYANAN HEMODIALISA 1. Lembar observasi pasien HD J. PELAYANAN RESTRAINT 1. Skrining Pasien Restraint di Formulir Asesmen Medis IGD 2. Observasi Pasien Retsraint 3. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi K. PELAYANAN KHUSUS Pencatatan
terhadap
perlindungan
pasien
dari
kekerasan
fisik
didokumentasikan/dicatat pada tamu/pengunjung rumah sakit di luar jam berkunjung, catatan patroli petugas keamanan da ketertiban lingkungan dan catatan pemantauan CCTV L. PELAYANAN PASIEN TERMINAL
180
Semua rangkaian pelayanan pada pasien tahap terminal dilakukan secara terkoordinasi dan terintegrasi dalam suatu rekam medis agar asuhan yang diterima oleh pasien terencana dengan baik,sehingga pelayanan yang diberikan dapat secara optimal dan sesuai dengan kebutuhan asuhan pasien.
181