http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/? id=285/hl=id/Metode_Istinbath_Muhammadiyah_NU_Dan_MUI
Programs Rabu, 2 Maret 2005 05:05
Metode Istinbath Muhammadiyah, NU dan MUI Pembicara : Rumadi, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Waktu: Jumat, 25 Februari 2005/ 16.00 - 18.00 WIB Tempat : Kantor The Wahid Institute
The Wahid Institute kembali menggelar diskusi mingguan, Jum’at (25/2/2005). Kali ini, tema yang diusung terkait Metode Istinbath Muhammadiyah, NU, dan MUI. Tema ini perlu diangkat, mengingat tiga lembaga keagamaan yang menjadi rujukan hukum bagi kaum muslim Indonesia ini memiliki metode istinbath (proses penggalian hukum) masing-masing. Istintbath a la Muhammadiyah misalnya, secara umum berbeda dengan a la Nahdlatul Ulama (NU) dan Majlis Ulama Indonesia (MUI), begitu pun sebaliknya. Karenanya, penelusuran metode istinbath tiga lembaga itu penting untuk memahami alur keputusan hukum yang dihasilkan ketiganya. Di samping itu, tanpa bermaksud mengenyampingkan lembaga-lembaga keagamaan yang lain, tiga institusi ini kenyataannya menjadi “arus utama” kehidupan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, wajah perkembangan hukum Islam di Indonesia pada tingkat tertentu dapat dilihat dari dinamika yang terdapat dalam tiga lembaga tersebut. Istinbath Muhammadiyah Menelusuri metode istinbath Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majlis Tarjih (selanjutya disingkat MT), lembaga yang berfungsi sebagai “pabrik hukum”. Sebelum keputusan final sebuah hukum digulirkan kepada publik, terlebih dahulu para cendekiawan Muhammadiyah melakukan penggodokan secara serius dan matang di dalam MT ini. Di sanalah, proses-proses istinbath dipraktekkan. Secara harfiyah, pada mulanya tarjih bermakna “membandingkan pendapat satu dengan yang lain untuk memilih pendapat yang paling kuat.” Dengan kata lain, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua pendapat atau lebih dengan argumen tertentu. MT pada mulanya memang tak lebih sebagai lembaga untuk menguatkan satu dari beberapa pendapat yang sudah ada sebelumnya. Namun pada perkembangannya, MT tidak lagi sekedar menguatkan pendapatpendapat yang telah ada itu, melainkan juga turut ber-ijtihad dalam menyelesaikan persoalanpersoalan baru yang ditemukan.
Peran seperti ini diawali pada 1960-an, terkait persoalan perburuhan, pembatasan kelahiran, dan hak milik. Pada 1968, bahkan MT berhasil menetapkan hukum atas isu-isu kontemporer, seperti bunga bank, judi nalo dan lotre, KB, dan sebagainya. Dengan demikian, makna tarjih itu sendiri telah mengalami perluasan, tidak sekedar “menguatkan” dan “memilih” salah satu dari berbagai pendapat, tapi juga berfungsi “mencari” untuk memecahkan masalah baru. Karena itulah, MT kemudian diklaim oleh Muhammadiyah sebagai lembaga ijtihad, sebuah penamaan yang sangat prestisius. Muhammadiyah memang dikenal sebagai lembaga yang tidak canggung dengan istilah ijtihad karena mereka berkeyakinan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka lebar. Adapun runtutan istinbath yang dicanangkan MT, pertama melalui al-Qur’an dan Sunnah Shahihah, dengan “mengabaikan” pendapat-pendapat para imam fiqih pasca masa sahabat Rasulullah. Hal ini terkait dengan genealogi intelektualisme Muhammadiyah yang memang kurang begitu memberi apresiasi terhadap perkembangan fiqih pada periode yang mereka sebut sebagai periode taqlid (sekitar abad 10 M-18 M). Rentang ini dianggap sebagai periode dimana Islam bercampur-baur dengan apa yang disebut takhayul, bid’ah, dan khurafat. Oleh karena itu, bila ada persoalan hukum baru yang mengemuka, maka selalu dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun, semua orang tahu bahwa tidak semua persoalan dapat dicarikan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah karena keterbatasannya. Jika tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah MT menggunakan ijtihad dengan istinbath dari nash (teks) yang ada melalui persamaan ‘illat (alasan hukum) . Dengan demikian, kendati qiyas (analogi) tidak diakui secara langsung, namun dalam prakteknya tetap dikembangkan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ijma’, Muhammadiyah hanya menerima ijma’ al-shahabah (kesepakatan sahabat) yang mengikuti pandangan Ahmad bin Hanbal, yang berarti bahwa ijma’ tak mungkin terjadi pasca generasi sahabat Rasulullah (Khulafa ur- Rasyidin). Almarhum KH Azhar Basyir, Mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menyatakan, MT menempuh jalur ijtihad yang meliputi; Pertama, ijtihad bayani, yakni ijtihad terhadap nash mujmal (teks yang ambivalen) , baik karena belum jelas makna/maksudnya, maupun karena suatu lafal tertentu mengandung musytarak (makna ganda), mutasyabih (multi tafsir), dan lain sebagainya. Kedua, ijtihad qiyasi, yakni menganalogikan apa yang disebut dalam nash pada masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, karena persamaan ‘illat. Ketiga, ijtihad istishlahi, yakni pencarian maslahat berupa perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Berdasarkan kenyataan ini, meski Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak bermazhab, toh dalam praktiknya Muhammadiyah tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode atau yang akrab disebut mazhab ma nhaji. Hal lain yang cukup menarik, misalnya terkait fatwa Muhammadiyah tentang nikah beda agama, antara lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi). Kendati al-Qur’an terang membolehkan, fatwa Muhammadiyah pada tahun 1989 itu justru mengharamkan. Ayat al-Qur’an yang membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5) itupun “diparkir” dengan alasan hifdz al-din (memelihara agama). Muhamadiyah menyimpulkan –walaupun tanpa melalui penelitian empirikbila pernikahan itu dibenarkan, dikuatirkan anaknya akan mengikuti agama ibunya. Sehingga,
peluang kekuatiran ini harus buru-buru ditutup. Pengharaman seperti inilah yang mereka sebut sebagai haram li sadd al-dzari’ah (mencegah sesuatu yang dikhawatirkan akan terjadi). Ini artinya, bagi Muhammadiyah, haram li sadd dzari’ah dapat mengalahkan ayat yang sudah menyebutkan kebolehan menikahi perempuan ahl al-kitab. Menurut Rumadi, ini jalan berpikir yang luar biasa, karena dengan sadd al-dzari’ah dijadikan sebagai argumen untuk menutup bunyi eksplisit sebuah nash. Dalam kasus ini, Muhammadiyah dengan berani melakukan naskh alnushush bi sadd al-dzari’ah. Sayangnya, Muhammadiyah tidak cukup mempunyai keberanian untuk mengembangkan hal ini. {mospagebreak} Istinbath NU Bila Muhammadiyah memiliki “pabrik hukum” bernama MT, maka NU memiliki pabrik serupa bernama Bahtsul Masail –pembahasan masalah (selanjutnya disingkat BM). Meskipun NU mengakui al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam prakteknya, istinbath al-ahkam di kalangan NU tidak lantas dipahami sebagai “mengambil hukum secara langsung dari kedua sumber primer di atas, tetapi penggalian hukum dengan mentathbiq-kan (menerapkan) nash al-fuqaha’ –terutama di lingkungan Mazhab Syafi’i– secara dinamis, dalam konteks permasalahan hukumnya.” Dengan pengertian istinbath ini, wajar bila keputusan-keputusan hukum NU tidak merujuk langsung pada kedua sumber utama tadi, tapi merujuk pada kutub al-fiqh al-mu’tabarah (kitab fiqih yang diakui NU). Sedangkan ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah diposisikan sebagai penguat keputusan hukum yang diambil. Istinbath seperti ini dilakukan NU, lantaran ijtihad muthlaq dianggap terlampau berat dan sulit. Sebab, ijtihad muthlaq harus dilakukan mujtahid yang telah menguasai ragam keilmuan agama dan perangkat-perangkatnya. Tembok keterbatasan inilah yang tidak bisa ditembus orang-orang saat ini. Di samping itu, ijtihad dalam koridor mazhab tertentu memang praktis, juga dapat ditempuh semua ulama NU yang memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih. Atas dasar itu pula, klaim istinbath tidak begitu populer di kalangan ulama NU, sehingga boleh jadi BM menjadi kata kunci untuk menghindar dari term ijtihad dan istinbath itu sendiri. Dengan demikian, berbeda dengan Muhammadiyah yang mengembangkan mazhab manhaji ( bermazhab pada metode), konsep mazhab dalam NU lebih pada mazhab qauli (bermazhab pada pendapat hukumnya), kendati pada Munas Alim Ulama NU 1992 mulai terjadi pergeseran dengan diperkenalkannya istilah mazhab manhaji. Hanya saja dalam prakteknya, ijtihad manhaji ini masih “setengah hati.” Adapun rumusan sistem pengambilan hukum yang dihasilkan Munas Alim Ulama 1992 itu adalah: 1) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana hanya terdapat satu qaul/wajh (satu jenis pendapat), maka qaul/wajh yang dipakai seperti yang diterangkan dalam ‘ibarat tersebut. 2) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka dilakukan taqrir jama’i (ketetapan bersama) untuk memilih satu qaul/wajh. 3) Dalam kasus tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberi penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nadhairiha (analogi dari kitab fiqih) oleh para ahlinya. 4) Dalam kasus yang tidak ada qaul/wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i (penggalian hukum secara kolektif)
dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya. Koridor mazhab yang dipakai dalam konteks ini adalah Mazhab Syafi’i. Karena itu, keputusan hukum yang diambil NU jarang yang langsung merujuk pada al-Qur’an atau Sunnah, tapi lebih dominan merujuk pada qaul imam mazhab. Kenyataan ini menunjukkan, BM dalam NU belum dapat dikatakan memuaskan, baik untuk kepentingan ilmiah maupun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan zaman. Praktik istinbath seperti ini mencerminkan problem metodologis, karena berarti NU hanya terpaku dan terikat pada satu mazhab (Syafi’i) meski AD/ART NU memungkinkan untuk mengikut mazhab yang lain. Ketidakpuasan juga muncul, lantaran cara berfikir yang tekstual dan cenderung menafikan realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberi jalan keluar. {mospagebreak} Istinbath MUI Terlepas dari adanya motif politik di balik pembentukan MUI, yang jelas majlis para “ulama Indonesia” ini telah menjadi salah satu lembaga penghasil hukum Islam melalui Komisi Fatwanya. Pada awalnya MUI, juga dapat dianggap sebagai “sintesa” dari lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, dan sebagainya. Karena pluralitas anggotanya, fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya merefleksikan keragaman pendapat dan kecenderungan intelektual yang menjadi anggota organisasi Islam itu. Dengan kata lain, Komisi Fatwa dapat dikatakan sebagai “panci pelebur” (melting pot) yang mempertemukan tradisi fiqih oriented dan akademisi Islam dengan penguasaan metodologi yang relatif baik. Sehingga, dalam MUI seharusnya terjadi peleburan antara kecenderungan NU yang teguh memegang tradisi intelektual ulama klasik, dan paham Muhammadiyah yang melulu memegang al-Qur’an dan Sunnah. Almarhum Ibrahim Hosen, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI 1981, menyatakan; pemeliharaan atas dharuriyyatal-khams (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) sangat diperhatikan MUI tiap mengeluarkan fatwa. Artinya, tiap fatwa MUI diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan dimaksud, baik yang ukhrawi maupun dunyawi. Akan tetapi, jika terjadi benturan antara maslahat non-syar’iyyah dengan nash qath’iy (teks yang sudah jelas), MUI tidak akan menggunakan maslahat, karena kemaslahatan hanya ditetapkan akal, sedang nash qath’iy oleh wahyu. Sisi keunggulan MUI dalam istinbath yang bersifat “lintas mazhab” dan tidak mepunyai keterikatan dengan mazhab fiqih tertentu, maka fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya mencerminkan keragaman dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam prakteknya, potensi keunggulan metodologis ini tidak mempunyai dampak apapun karena fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan MUI senantiasa diwarnai oleh kepentingan politik tertentu, baik kepentingan rezim, maupun kepentingan para elit MUI sendiri. Di samping itu, fatwa MUI juga seringkali sekedar “berpendapat” tanpa memberi solusi atas problem masyarakat. Dominasi kepentingan rezim dapat kita lihat terutama fatwa-fatwa MUI zaman Orde Baru; dominasi kepentingan elit MUI dapat dilihat dalam pengharaman umat Islam bertransaksi dengan bank konvensional pada awal 2003 lalu. Sedangkan fatwa pengharaman pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri hanya karena tidak ada mahram dapat ditunjuk sebagai contoh
bahwa MUI sekedar mengeluarkan hukum “halal-haram” dalam masalah sosial tanpa memberi solusi yang memuaskan. Kelemahan Pada kesempatan yang sama, Rumadi juga menyoroti sisi-sisi kelemahan ketiga lembaga pemroduk hukum di atas. Menurutnya, secara umum kelemahan Muhammadiyah, NU, dan MUI, meliputi: pertama, ketiganya mengukur sebuah pendapat hukum dari segi ke-manqul- annya, yaitu sejauhmana pendapat itu bisa dibenarkan secara teks al-Qur’an dan Sunnah. Bila pembenaran secara manqul sudah ditemukan, argumentasi itu sudah dianggap cukup dan tidak butuh argumen lain. Kedua, pengukuran argumen secara ma’qul (reasoning) kurang diindahkan, karena ma’qul harus ditundukkan oleh manqul. Ketiga, landasan etik penetapan hukum nyaris tak pernah disentuh. Sebagai misal, fatwa MUI tentang keharaman TKW, bila tak disertai mahram. Secara manqul, barangkali keputusan itu ada benarnya. Tapi secara ma’qul mulai agak lemah, apalagi sisi etiknya, karena fatwa itu tidak menghasilkan solusi apapun bagi TKW yang kesulitan mencari penghidupan dinegerinya sendiri. Dalam kasus TKW, tentu saja tidak cukup hanya dengan memberi hukum halal atau haram.
Print Email
Comment
Share
Search
Artikel Lainnya
Rabu, 2 Maret 2005 12:16
Pendekatan jaga 'orang kosong' lemah
Jum'at, 18 Februari 2005 01:22
Executive Summary Refleksi Bersama Agama dan Gerakan Sosial 2
Rabu, 16 Februari 2005 05:57
Missing link dalam NU: Sebuah Kesaksian Daftar Arsip RSS Halaman Utama Tentang Kami Kontak WImail Jl. Taman Amir Hamzah No 8, Jakarta 10320, Indonesia Phone : +62 21-3928233, 3145671 Fax : +62 21-3928250 The Wahid Institute 2008