Universitas Kristen Krida Wacana
Laporan Tuberkulosis Paru di UPTD Puskesmas Wanakerta Kabupaten Karawang dengan Pendekatan Pelayanan Dokter Keluarga Periode Agustus 2016
Oleh:
Ivan Meidika Kurnia 112014146
Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
1
Kata Pengantar
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan penyertaan dan rahmatNya saya dapat melaksanakan dan menyelesaikan laporan kegiatan kunjungan rumah ini. Adapun kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan standar pendidikan, memenuhi kewajiban, menambah pengalaman, melatih kemampuan terjun ke lapangan saya dalam kepanitraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Saya menyadari dengan sungguh bahwa dalam melakukan kegiatan ini saya mendapat bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para kader di wilayah kerja Puskesmas Wanakerta yang sudah membimbing dan bersama-sama melakukan kunjungan kepada rumah warga di wilayah kerja Puskesmas Wanakerta. Juga kepada para dokter dan para petugas Puskesmas Wanakerta serta pada kepala desa yang telah sangat menerima dan berkerjasama selama kegiatan kunjungan ini berlangsung hingga saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Akhir kata, saya menyadari tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran masih saya harapkan sehingga akan tercipta penelitian yang lebih baik lagi.
Karawang, Agustus 2016
Penulis
2
Daftar Isi
Kata Pengantar....................................................................................................................... ii Daftar isi................................................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan ................................................................................................................ 4 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengertian Tuberkulosis ..............................................................................................................................
6 Epidemiologi ..............................................................................................................................
6 Penularan Tuberkulosis ..............................................................................................................................
7 Etiologi ..............................................................................................................................
8 Patogenesis ..............................................................................................................................
9 Klasifikasi ..............................................................................................................................
13 Gejala Klinis ..............................................................................................................................
15 Diagnosis ..............................................................................................................................
16 Penatalaksanaan 3
..............................................................................................................................
19 Komplikasi ..............................................................................................................................
20 Pencegahan .............................................................................................................................. 21
Bab III Hasil Kunjungan Rumah........................................................................................... 23 Bab IV Pembahasan............................................................................................................... 31 Bab V Kesimpulan dan Saran................................................................................................ 34 Daftar Pustaka........................................................................................................................ 36
Lampiran -
Dokumentasi Kunjungan Rumah
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan problem kesehatan masyarakat terutama di dunia. Pada
tahun
1992 World
Health
Organization (WHO)
telah
mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi 4
kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.1 Begitupula negara berkembang salah satunya Indonesia, berdasarkan hasil survey pada
tahun 2010, jumlah penderita tuberculosis di Indonesia mencapai 289 per 100.000 penduduk. Saat ini, Indonesia menduduki peringkat ke-5 negara dengan penderita tuberculosis terbesar di dunia. Tuberculosis sendiri bukan penyakit baru untuk Indonesia berbagai usaha penanggulangan terhadap penyakit ini sudah dimulai sejak zaman pertengahan. Keadaan semakin baik sejak ditemukan Streptomisin (1944) dan berbagai macam OAT (Obat Anti Tuberkulosis) lainnya. DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) atau pengobatan TB Paru jangka pendek dengan pengawasan ketat perlu diterapkan dalam pengobatan penyakit TB agar penyembuhan terjadi secara tuntas.2 Insiden TB bervariasi sesuai usia. Di Afrika, hal ini utamanya mempengaruhi penduduk berusia antara 12-18 tahun dan dewasa muda. Bagaimanapun, di negara yang laju insidennya sudah menurun dengan tajam (seperti Amerika Serikat), TB umumnya merupakan penyakit pada orang yang lebih tua dan mereka dengan sistem imun rentan.3 Di negara maju, tuberculosis tidak umum dan kebanyakan ditemukan di wilayah urban. Pada tahun 2010, laju TB per 100.000 orang di berbagai tempat di dunia adalah: di dunia 178, Afrika 332, Amerika 36, Mediterania Timur 173, Eropa 63, Asia Tenggara 278, dan Pacifik Barat 139.4 Pelayanan Kedokteran Keluarga adalah pelayanan asuhan medis yang didukung oleh pengetahuan terkini secara menyeluruh (holistic), paripurna (Comprehensive), terpadu (integrated) dan berkesinambungan (Continous) untuk menyelesaikan semua keluhan dari pengguna jasa. Makalah ini mengenai pelayanan dengan pendekatan Kedokteran Keluarga pada seorang nenek yang tinggal bersama keluarga anaknya yang mengalami TB Paru kategori 1 yang berasal dari keluarga inti dengan permasalahan kesehatan serta keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Melalui pembinaan ini diharapkan terjadi peningkatan peran serta keluarga dalam penatalaksanaan penyakit tersebut dan penyelesaian permasalahan dalam keluarga. Tujuan laporan kasus ini adalah terciptanya keluarga yang berpartisipasi dan mandiri 5
dalam menyelesaikan risiko dan masalah kesehatan keluarga agar anggota keluarga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis serta sehat jasmani dan rohani. B. Masalah Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Bab II Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Tuberkulosis atau Tb (singkatan
dari
"Tubercle bacillus")
merupakan penyakit
menular yang umum, dalam banyak kasus bersifat mematikan. Penyakit ini disebabkan
oleh
berbagai
strain mikobakteria,
umumnya Mycobacterium
tuberculosis (disingkat "MTb" atau "MTbc"). Tuberkulosis biasanya menyerang paru6
paru, namun juga bisa berdampak pada bagian tubuh lainnya. Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika seseorang dengan infeksi TB aktif batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka melalui udara.5 Infeksi TB umumnya bersifat asimtomatik dan laten. Namun hanya satu dari sepuluh kasus infeksi laten yang berkembang menjadi penyakit aktif. Bila Tuberkulosis tidak diobati maka lebih dari 50% orang yang terinfeksi bisa meninggal. B. Epidemiologi Kurang lebih sepertiga dari populasi dunia pernah terinfeksi “M. tuberculosis.” Satu infeksi baru muncul setiap detik dalam skala global. Bagaimanapun, kebanyakan infeksi oleh “M. tuberculosis” tidak menyebabkan penyakit TB dan 90–95% dari infeksi tetap asimptomatik. Pada tahun 2007, diperkirakan ada 13,7 juta kasus kronis aktif. Pada tahun 2010, terdapat 8,8 juta kasus baru TB yang didiagnosis, dan 1,45 juta kematian, kebanyakan dari jumlah ini terjadi di negara-negara berkembang. Dari seluruh 1,45 juta kematian, sekitar 0.35 juta terjadi pada penderita yang juga terinfeksi HIV. Tuberkulosis merupakan penyebab umum kematian yang kedua yang disebabkan oleh infeksi (setelah kematian oleh HIV/AIDS). Angka pasti dari kasus tuberkulosis ("prevalensi") sudah menurun sejak tahun 2005. Kasus tuberkulosis baru ("kejadian") telah menurun sejak tahun 2002. Cina khususnya telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Cina telah menurunkan laju kematian akibat TB mendekati 80% antara tahun 1990 dan 2010. Tuberkulosis lebih umum muncul di negara berkembang. Kurang lebih 80% dari populasi di berbagai negara Asia dan Afrika memberikan tes tuberkulin positif, tetapi hanya 5–10% dari populasi di AS memberikan hasil tes positif.[1] Para ahli berharap bahwa TB dapat dikendalikan secara penuh. Bagaimanapun, sejumlah faktor menyebabkan pengendalian TB menjadi tidak mungkin. Vaksin yang efektif sangat sulit dikembangkan. Sangat mahal dan memakan waktu lama untuk mendiagnosis penyakitnya. Pengobatan memerlukan waktu beberapa bulan. Lebih banyak orang yang terinfeksi HIV menderita TB. TB yang resisten terhadap obat muncul pada tahun 1980an. Di
Indonesia
sendiri,
TB
adalah
masalah
nasional.
Menurut
W
HO 7
memperkirakanbahwa CFR TB Paru di Indonesia setiap tahunnya sebesar 39% 6 (175.000 jumlah kematian akibat tuberculosis dari 445.000 kasus). Menurut jenis kelamin penderita TB Paru pada pria selalu lebih tinggi dibandingkan dengan 7 wanita. Data Profil Kesehatan 2005 menyatakan bahwa di Indonesia jumlah TB Paru BTA positif pada laki-laki lebih tinggi 58,70% (93.114 kasus) dari wanita 41,30% (65.526 kasus).
8
C. Penularan Tuberkulosis Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
D. Etiologi Penyebab
utama
penyakit
TB
adalah Mycobacterium
tuberculosis,
yaitu
sejenis basil aerobik kecil yang non-motil. Berbagai karakter klinis unik patogen ini disebabkan
oleh
tingginya
kandungan lemak/
lipid yang
dimilikinya. Sel-
selnya membelah setiap 16 –20 jam. Kecepatan pembelahan ini termasuk lambat bila dibandingkan dengan jenis bakteri lain yang umumnya membelah setiap kurang dari satu jam. Mikobakteria memiliki lapisan ganda membran luar lipid. Bila dilakukan uji pewarnaan Gram, maka MTB akan menunjukkan pewarnaan "Gram-positif" yang 8
lemah atau tidak menunjukkan warna sama sekali karena kandungan lemak dan asam mikolat yang
tinggi
pada
dinding
selnya. MTB
bisa
tahan
terhadap
berbagai disinfektan lemah dan dapat bertahan hidup dalam kondisi kering selama berminggu-minggu.
Di
alam,
bakteri
hanya
dapat
berkembang
dalam
sel inang organisme tertentu, namun M. tuberculosis bisa dikultur dilaboratorium. Dengan menggunakan pewarnaan histologis pada sampel dahak yang diekspektorat, peneliti dapat mengidentifikasi MTB melalui mikroskop (dengan pencahayaan) biasa. (Dahak juga disebut "sputum"). MTB mempertahankan warna meskipun sudah diberi perlakukan larutan asam, sehingga dapat digolongkan sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Dua jenis teknik pewarnaan asam yang paling umum yaitu teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen, yang akan memberi warna merah terang pada bakteri BTA bila diletakkan pada latar biru, dan teknik pewarnaan auraminrhodamin lalu dilihat dengan mikroskop fluoresen. Kompleks M. tuberculosis (KMTB) juga termasuk mikobakteria lain yang juga menjadi penyebab TB: M. bovis, M. africanum, M. canetti, dan M. microti. M. africanum tidak menyebar luas, namun merupakan penyebab penting tuberkulosis di sebagian wilayah Afrika. M. bovis merupakan penyebab umum Tuberkulosis, namun pengenalan susu pasteurisasi telah berhasil memusnahkan jenis mikobakterium yang selama ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang ini. Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya 1- 4 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat pH optimal (pH 6,4-7,0). Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20 jam. Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam strearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein terdiri dari tuberkuloprotein (tuberculin). Tuberkulosis Paru pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh reaktivasi infeksi sebelumnya sedangkan pada anak-anak menunjukkan penularan aktif M. tuberculosis. E. Patogenesis 9
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 10 3-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. 10
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahuntahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 11
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat ngalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. 12
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5- 10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis Primer Penyebaran tuberkulosis ini terjadi pada penderita yang belum pernah terinfeksi sebelumnya. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni disebut sarang primer (afek primer). Peradangan akan kelihatan dari sarang primer saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) yang diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis regional). Limfangitis regional bisa sembuh tanpa mengalami cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas dan mengalami penyebaran. Penyebarannya dengan beberapa cara yaitu: a. Perkontinuitatum adalah penyebaran kuman tuberkulosis di sekitar paru 13
yang terserang kuman tuberkulosis tersebut . b. Bronkogen adalah penyebaran baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. c. Hematogen dan limfogen adalah penyebaran yang berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat apabila tidak terdapat imunitas yang adekuat. Tuberkulosis Post Primer Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer. Penyebaran tuberkulosis ini dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonia kecil yang bisa sembuh tanpa meninggalkan cacat, meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis tetapi bisa juga meluas dan membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). F. Klasifikasi Berdasarkan lokasi, tuberculosis dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Tb Paru Tuberkulosis Paru yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak termasuk pleura. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis TB paru dapat dibagi, yaitu: a. TB Paru BTA Positif yaitu: i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif ii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif iii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. TB Paru BTA Negatif i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif. 2. Tb ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru (misalnya selaput 14
otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang, kulit, usus, saluran kemih, ginjal, alat kelamin dll). Berdasarkan tingkat keparahannya, TB ekstra paru ini dibagi menjadi TB ekstra paru berat (severe) dan TB ekstra paru ringan (not/less severe). Contohnya adalah tuberkulosis milier dimana patogen ke seluruh paru-paru dan memberikan gambaran bintik-bintik kecil seperti mutiara. Klasifikasi Tb Paru Berdasarkan Riwayat Pengobatan Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus Baru Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. G. Gejala Klinis Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
15
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. Gejala sistemik/umum:
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah. H. Diagnosis
16
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
Rontgen dada (thorax photo).
Uji tuberkulin.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak SewaktuPagi-Sewaktu (SPS): • S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. • P(Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. • S(sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan 17
dahak pagi. Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Diagnosis TB Ekstra Paru Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan 18
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain. Uji Tuberkulin Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunak½bagian.Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
a. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
b. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
c. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
I. Penatalaksanaan Paduan obat TB Paru dapat dibagi atas 4 kategori, yaitu: 1. Kategori I: 19
Kasus: TB paru BTA +, BTA -, lesi luas Pengobatan: 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE; 2RHZE/ 4R3H3. 2. Kategori II: a. Kasus: Kambuh Pengobatan: RHZES/ 1RHZE/ sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES/ 1RHZE/ 5RHE b. Kasus: Gagal pengobatan Pengobatan: kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin/ ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES/ 1RHZE/ 5RHE c. Kasus: TB Paru putus berobat Pengobatan: 2RHZES/ 1RHZE/ 5R3H3E3
3.
Kategori III: Kasus: TB paru BTA – lesi minimal Pengobatan: 2 RHZE/ 4RH atau 6 RHE atau 2RRHZE 4 R3H3
4.
Kategori IV:
a.
Kasus: Kronik Pengobatan: RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
b.
Kasus: MDR TB Pengobatan: Sesuai uji resistensi+ OAT lini 2 atau H seumur hidup.
J. Komplikasi 1. Pleuritis dan Empiema Pleuritis adalah peradangan jaringan tipis yang meliputi paru-paru danmelapisi rongga dinding rongga dada bagian dalam (pleura). Empiema adalah berkumpulnya atau timbunan pus (nanah) di dalam suatu kavitas organ berongga yaitu paru-paru. Keadaan pleura yang merupakan bagian dari sistem pernapasan, dapat dipengaruhi melalui tiga cara yang berbeda: a. Cairan yang dibentuk dalam waktu beberapa bulan setelah terjadinya infeksi primer.
20
b. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut. Keadaan ini bisa berlanjut menjadi nanah (empiema)walaupun jarang. c. Memecahnya kavitas TB Paru dan keluarnya udara ke dalam rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan dinding dada. TB Paru dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks. 2. Pneumonia Spontan Pneumotoraks adalah masuknya udara atau gas secara abnormal ke dalam paru dimana gas tersebut memisahkan pleura viseralis dan pleura parietalis sehingga jaringan paru tertekan dan kesulitan bernapas. Pneumotoraks spontan dapat terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis. Hal ini mengakibatkan rasa sakit pada dada secara akut dan tiba-tiba bersamaan dengan sesak napas. Ini dapat berlanjut menjadi suatu empiema tuberkulosis. 3. Laringitis Tuberkulosis Laringitis tuberkulosis adalah radang pangkal tenggorokan dengan gejala serak, perubahan suara dan gatal pada kerongkongan. Keganasan pada laring jarang menimbulkan rasa sakit. Sputum biasanya positif, tetapi diagnosis mungkin perlu diitegakkan dengan biopsi pada kasus-kasus yang sulit. Tuberkulosis laring memberikan respon yang sangat baik terhadap kemoterapi. Bila terdapat nyeri hebat yang tidak cepat hilang dengan pengobatan, tambahkan prednisolon selama 2-3 minggu. 4. Kor Pulmonale Kor pulmonale adalah suatu bentuk penimbunan cairan di dalam paru (abses paru). Gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang sangat luas. Keadaan ini dapat terjadi walaupun penyakit tuberkulosis sudah tidak aktif lagi, dimana banyak meninggalkan jaringan parut. Pengobatan dini terhadap penyakit TB Paru dengan jelas dapat mengurangi komplikasi ini. 5. Aspergilomata
21
Aspergilomata adalah kavitas tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik dan sudah sembuh terinfeksi jamur Aspergillus fumigatus. A. fumigatus yaitu spesies jamur lingkungan yang menghasilkan spora yang terdapat di dalam udara dengan dihirup secara terus menerus. Pada sinar rontgen dapat dilihat semacam bola terdiri atas fungus yang berada dalam kavitas. Keadaan ini kadang-kadang menyebabkan hemoptisis (batuk darah) yang berat bahkan fatal. Fungsi paru sudah sering rusak berat karena tuberkolosis blama sehingga tidak dapat lagi dioperasi. K. Pencegahan 1. Pencegahan Primer a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara: i. Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna ii. Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur iii. Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar. iv. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG. b. Kebersihan Lingkungan i. Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup ii. Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini iii. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian 2. Pencegahan Sekunder a. Case finding o X-foto toraks yang dikerjakan secara massal o Uji tuberkulin secara Mountoux o Bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TB Paru yang tinggi dilakukan skrining dengan foto toraks, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur, bekerjasama dengan WHO. b. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus mempunyai efek yang dapat mencegah 22
pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti isoniazid (H), rifampisis (R) dan pirazinamid (Z). 3. Pencegahan Tersier a. Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). b. Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat etambutol karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat dipakai pada populasi tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan. c. Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka waktu 9-12 bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah pengobatan).
Bab III Hasil Kunjungan Rumah Puskesmas Tanggal Kunjungan Rumah Data riwayat keluarga : I. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: Wanakerta : 13 Agustus 2016 : Tn. T : 51 tahun : Laki-laki : Petani : Tamat SD : Dusun Jambal RT/RT 003/02, Karangligar, Wanakerta.
23
II.
Riwayat Biologis Keluarga a. b. c. d. e. f. g. h. i.
III.
Keadaan kesehatan sekarang Kebersihan perorangan Penyakit yang sering diderita Penyakit keturunan Penyakit kronis/ menular Kecacatan anggota keluarga Pola makan Pola istirahat Jumlah anggota keluarga
: Sedang : Sedang : pusing dan sesak : tidak diketahui : Tidak ada : Tidak ada : 3 kali sehari (pagi, siang, dan malam) : Cukup tidur : 5 orang
Psikologis Keluarga a. Kebiasaan buruk b. c. d. e.
: kurang kebersihan, merokok
dalam rumah Pengambilan keputusan Ketergantungan obat Tempat mencari pel. Kesehatan Pola rekreasi
: diri sendiri : Tidak ada : Puskesmas : Kurang
IV.
Keadaan Rumah/ Lingkungan a. Jenis bangunan : Semi-Permanen b. Lantai rumah : Ubin c. Luas rumah : 70 m2 (10x 7 m) d. Penerangan : Kurang e. Kebersihan : Kurang f. Ventilasi : Kurang g. Dapur : Ada h. Jamban keluarga : Ada i. Sumber air minum : Air tanah j. Sumber pencemaran air : Ada k. Pemanfaatan pekarangan : Tidak ada l. Sistem pembuangan air limbah: Ada m. Tempat pembuangan sampah : Ada n. Sanitasi lingkungan : Kurang
V.
Spiritual Keluarga a. Ketaatan beribadah : Baik b. Keyakinan tentang kesehatan : Cukup
VI.
Keadaan Sosial Keluarga a. Tingkat pendidikan b. Hubungan antar anggota keluarga c. Hubungan dengan orang lain d. Kegiatan organisasi sosial e. Keadaan ekonomi
VII.
Kultural Keluarga a. Adat yang berpengaruh
: kurang : Baik : Baik : Baik : Kurang
: Sunda 24
b. Lain-lain
: Tidak ada
VIII. Anggota Keluarga
: pasien \
: tidak tinggal serumah : Laki-laki : Perempuan
IX.
Keluhan Utama Batuk darah 1 bulan
X.
Keluhan Tambahan Demam, sesak napas
XI.
Riwayat Penyakit Sekarang Tn. T, 51 tahun, tamatan SD adalah seorang bapak yang tinggal bersama istri, anak, menantu, dan cucunya. Tn. T mengeluh batuk terus menerus selama 1 bulan. Batuk disertai darah sejak dua minggu yang lalu. Darah berwarna merah terang. Pasien juga mengeluh berat badannya menurun dan nafsu makan juga menurun, pasien mengeluh setiap malam keluar keringat walaupun tidak melakukan aktivitas apapun. Sejak keluhan tersebut muncul, pasien sering membeli obat batuk di warung tetapi keluhan tidak berkurang sama sekali. Dua minggu yang lalu, setelah pasien batuk darah, pasien berobat ke Puskesmas dan disarankan untuk memeriksakan Sputum BTA (Bakteri Tahan Asam), dengan hasil positif.
25
Pasien punya kebiasaan merokok, akan tetapi istrinya tidak merokok. Anaknya merokok dan seringkali merokok di dalam rumah. Pasien makan 3x sehari akan tetapi menu makanan tidak bervariasi dan kandungan gizinya kurang. Di rumah, ventilasi kurang dan tidak ada jendela. Atap rumah terbuat dari genteng, dengan dinding tembok semen. Pasien bekerja sebagai petani. XII.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat DM (-), Riwayat Hepatitis B (-), HIV (-)
XIII. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda vital : Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi napas Suhu Berat badan Tinggi badan Status Gizi
: 140/80 mmHg : 85 x/menit : 20 x/menit : 36,2oC : 46 kg : 152 cm : IMT BB(kg) / TB2 (m2) 46 / (1,52)2= 19,9 kg/m2 IMT Normal : 18.5 – 23.5 kg/m2 : Normal
Status gizi
Pemeriksaan umum: Kepala : Normocephali Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-), Pupil isokor,
Reflex cahaya (+/+) Hidung : Septum deviasi (-), Sekret (-) Telinga: Lapang, Tidak tampak kelainan dari luar Leher : Kelenjar getah bening regional dan kelenjar tiroid tidak tampak membesar. Paru : Suara napas bronchial, rhonki (+/-), Wheezing (-/-) Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-) Abdomen : Tampak datar, teraba supel, Bising usus (+) Normal, Nyeri tekan (-) Ekstremitas : Bentuk normal, edema (-), atrofi (-), Reflex fisiologis (+)
XIV. Pemeriksaan Penunjang (-)
XV.
Diagnosis Penyakit Susp. TB Paru
XVI. Diagnosis Keluarga 26
(-) XVII. Rencana Penatalaksanaan Rencana Penatalaksanaan Untuk Pasien 1. Mengambil sampel dahak pasien untuk pemeriksaan sputum (SPS). 2. Jika hasil positif, memberikan pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka panjang dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). 3. Adanya kesinambungan persediaan OAT jangka panjang untuk pasien 4. Membina rapport yang baik untuk kelangsungan pengobatan. 5. Memberikan penerangan tentang Tb dan resistensi obat serta penularan. 6. Membina kemandirian pasien dalam pengobatannya. 7. Jika hasil negatif, memberikan pengobatan antibiotic non OAT. Rencana Penatalaksanaan Untuk Keluarga 1. Membina rapport dengan seluruh anggota keluarga 2. Mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan 3. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur 4. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien Tb jika mempunyai gajala-gejala tersangka Tb untuk segera memeriksakan diri kepada petugas kesehatan, terutama cucu pasien. 5. Memberikan petunjuk tentang proses mengurus Kartu Sehat dan bantuan layanan sosial. Indikator Keberhasilan Dari segi pasien
Berkurangnya gejala klinik yang ada
Bertambahnya berat badan sampai tercapai berat badan ideal
Tidak merokok dan tidak terpapar dengan asap rokok di rumah
Pemeriksaan sputum BTA (negatif) pada saat seminggu sebelum akhir minggu kedua
Pemeriksaan rontgen thoraks tidak terdapat bercak infiltrat pada apeks
Pengobatan Tb Paru pada pasien selesai tepat waktu (6 bulan) 27
Dari segi keluarga
Terbinanya hubungan interpersonal yang baik antar anggota keluarga
Tercapainya peran serta keluarga sebagai pengawas menelan obat (PMO) dalam menyelesaikan pengobatan Tb Paru pada pasien.
Terciptanya lingkungan yang sehat (ventilasi dan pencahayaan yang baik)
Kepala Keluarga dan anak-anak untuk berperilaku sehat yang baik dan mengupayakan untuk tidak merokok
Tersedianya kartu sehat atau dana layanan sosial lainnya.
Rincian tindakan yang diberikan 1.
Pemberian OAT standar panduan Buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Kategori 1 :2RHZE/ 4RH
2.
Menjelaskan mengenai cara, frekuensi dan lamanya pengobatan untuk masingmasing tahap
3.
Menunjuk anak/menantu pasien sebagai PMO
4.
Memberikan motivasi kepada pasien agar tidak bosan meminum obat setiap hari.
5.
Menerangkan kepada pasien tentang efek samping OAT.
Pembinaan Kesehatan Keluarga yang dilakukan Agar terbentuk partisipasi keluarga bagi pemeliharaan pasien serta untuk mengantisipasi risiko dari kehidupan pasien dalam lingkungan tempat tinggal dan keluarganya. Rincian upaya yang dilaksanakan terhadap keluarga 1. Menerangkan tentang proses penyakit dan perkembangan penyakitnya dan risiko yang akan dialami pasien bila tidak dilakukan pengobatan dan perawatan. 2. Menerangkan kepada keluarga agar mendorong pasien agar mau berobat teratur 3. Menerangkan kepada anak dan menantu pasien agar mengawasi pasien dalam menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan 4. Menerangkan kepada kepala keluarga tentang bahaya pajanan asap rokok, terutama terhadap pesien, anak-anaknya dan bagi lingkungannya. 5. Merubah perilaku merokok kepala keluarga dan anak yang buruk
28
6. Memberikan informasi tentang adanya bantuan dana kesehatan bagi keluarga miskin, berupa BPJS. 7. Memberikan informasi dan edukasi tentang prosedur pengurusan BPJS.
Rencana tindak lanjut pembinaan Kesehatan Keluarga 1. Memantau kegiatan perawatan pasien oleh pelaku rawat (berobat teratur, pengawasan menelan obat dan periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan) 2. Pemantauan apakah kepala keluarga sudah mengurangi merokoknya dan tidak merokok didalam rumah. 3. Pemantauan tentang pengurusan Kartu Sehat. 4. Sumber Daya Manusia : Pembinaan kesehatan perlu dilanjutkan oleh provider berikutnya agar timbul kesinambungan dalam pengobatan pasien, sehingga terjadinya kesembuhan pasien dan tidak adanya penularan terhadap kedua anak pasien. 5.
Mental Psikologikal : diperlukan kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan yang berat dalam melaksakan pembinaan keluarga ini.
6. Komunikasi : Dalam melakukan edukasi tentang penata laksanaan penyakit, mengingat latar belakang pendidikan pasien yang rendah, maka harus dijelaskan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. 7. Manajemen klinis : Diperlukan kerjasama antara provider kesehatan dan seluruh anggota keluarga dalam menyelesaikan semua permasalahan yang ditemukan. Rencana Tindak Lanjut Masalah Klinis Pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis sebanyak dua kali P-S (sewaktu dan pagi), dilakukan pada :
Seminggu sebelum akhir bulan ke 2
Sebulan sebelum akhir pengobatan, dilakukan 1 minggu sebelum akhir bulan ke 2
Akhir pengobatan, dilakukan 1 minggu sebelum akhir bulan ke 6.
29
Pemantauan pengisian catatan perawatan dirumah, yang dilakukan oleh pelaku rawat (anak atau menantu) akhir studi adalah penilaian kemampuan keluarga menyelesaikan masalahnya. Kesan penguasaan masalah keluarga walau sudah meningkat, namun masih diperlukan partisipasi dan bantuan provider kesehatan.
XVII. Prognosis Penyakit: dubia ad bonam Keluarga: dubia ad bonam Masyarakat: dubia ad bonam XIV. Resume Tn. T, 51 tahun dengan keluhan batuk darah selama lebih dari 1 bulan. Dari tanda dan gejala yang ada Tn. T dapat dicurigai menderita TB. Rencana dilakukan pemeriksaan BTA sputum, jika hasil positif maka pasien dinyatakan menderita TB Paru. Jika negatif, rujuk untuk pemeriksaan foto rontgen thorax. Riwayat penyakit keluarga Riwayat penyakit dahulu Pemeriksaan Fisik Diagnosis kerja
: Tidak diketahui : Tidak ada : TD 130/80 mmHg : Suspek TB paru
Keadaan yang ditemukan ini dilanjutkan dengan pengobatan OAT kategori 1 selama 6 bulan, dalam 2 tahap. Tahap pertama yaitu tahap intensif selama 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisisn (R), dan Pirazinamid (Z), obat-obat ini diberikan setiap hari. Tahap kedua yaitu Isoniasid (H) danRifampisin (R).9
30
Bab IV Pembahasan Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan kedokteran, dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan. Pelayanan kesehatan holistik dan komprehensif berkesinambungan dengan memandang pasien adalah bagian dari keluarganya adalah bentuk pelayanan yang akan ditetapkan pada laporan ini, yang dengan fasilitas terbatas namun ditunjang pengetahuan secara praktis klinis terkini, maka kasus ini dapat diselesaikan. Pasien sebagai komponen keluarganya dengan tidak memandang Umur, jenis kelamin dan sesuai dengan kemampuan sosialnya. Sesuai dengan definisi tersebut, pelayanan kesehatan harus mencangkup lima tingkat pencegahan, dilaksanakan bersama dokter dengan pasiennya meliputi semua aspek kehidupan (jasmani, mental dan sosial). Dan terus menerus meningkatkan fungsi keluarga sesuai dengan sumber-sumber yang dimiliki. Laporan kasus ini memerlukan pembahasan dalam multi disiplin ilmu yang pada oprasionalnya merupakan disiplin ilmu kedokteran keluarga mendalami bidang pulmonologi, farmakologi dan lainnya yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan strata pertama (Primary Health Care). Sesuai dengan bidang kedokteran yang pada implementasinya berupa pelayanan kedokteran pada komunitas keluarga, maka intervensi dilaksanakan dengan sasaran pasien dan keluarganya.
Bentuk pelayanan menyeluruh (holistic), paripurna (komprehensif) terpadu, berkesinambungan, tidak saja dilaksanakan pada saat awal namun juga selanjutnya.
Sasaran adalah pasien dengan memandangnya sebagai bagian dari keluarga.
Sifat pelayanan adalah memandang kemampuan sosial pasien (manusiawi), dan memandang kemampuan diri (merujuk bila tak mampu), serta bersifat ilmiah yaitu ditunjang dengan pengetahuan kedokteran dan kemampuan praktis klinis mutakhir.
31
Perkembangan tuberculosis pada kasus ini : Infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis yang telah dialami Tn. T dengan keluhan batuk-batuk sejak ± 1 bulan diduga disebabkan karena tertular dari lingkungan. Dari tanda dan gejala yang ada Tn. T sudah dapat dicurigai menderita Tb. Pasien menderita Tb Paru karena keluhan klinis serta pemeriksaan paru lainnya dapat merupakan patokan untuk penyelesaian klinis. Keadaan yang ditemukan ini dilanjutkan dengan pengobatan OAT kategori 1 selama 6 bulan, dalam 2 tahap. Tahap pertama yaitu tahap intensif selama 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisisn (R), dan Pirazinamid (Z), obat-obat ini diberikan setiap hari. Tahap kedua yaitu 4 bulan dengan Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).9 Proses penyakit dan pelayanan komprehensif Keluhan batuk berdarah yang dialami pasien timbul ± 1 bulan, pasien diberikan edukasi tentang pentingnya pengobatan dan penularan TB. Ditemukan bahwa tidak adanya informasi perihal penyakit TB dan proses penularan terhadap pasien dan keluarganya oleh provider sebelumnya. Tidak dilakukan skrining terhadap keluarga lainnya. Stresor Psikis Beban psikis yang dialami adalah kekhawatirannya karena hidup bersama keluarga serta anaknya sehingga menjadi beban pikiran dan menambah beban hidup keluarga serta anaknya. Perilaku Salah satu faktor yang memperberat penyakit pasien adalah perilaku merokok sekaligus pajanan asap rokok dari anaknya. Keadaan rumah pasien yang lembab, sempit dan sinar matahari masuk yang kurang juga menyebabkan berkembang biaknya Mycobacterium tuberculosis. Untuk mengatasi faktor-faktor tersebut dilakukan edukasi mengenai bahaya merokok bagi diri sendiri dan anggota keluarga yang lain serta edukasi tentang hygiene dan sanitasi lingkungan. Dilakukan juga motivasi kepada pasien dan anaknya untuk 32
berhenti merokok dimulai dengan mengurangi jumlah rokok yang dihisap atau merokok tidak di dalam rumah.
33
Bab V Kesimpulan dan Saran Dari kegiatan yang telah dilaksanakan disimpulkan bahwa : 1.
Diagnosis kerja pasien ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan perlu pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti yaitu pemeriksaan sputum BTA.
2.
Direncanakan untuk pengobatan untuk Tb kategori 1 sesuai dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis jika hasil BTA positif dan dirujuk untuk foto rontgen thorax jika hasil BTA negatif.
3.
Perilaku oleh pasien dan anaknya, yaitu merokok di dalam rumah, turut berkontribusi terhadap paparan polutan di rumah pasien.
4.
Edukasi pasien untuk menimbulkan kesadaran dan tanggung jawab pasien dalam pengobatannya.
5.
Upaya pemeriksaan dan proteksi terhadap keluarga lainnya yang memiliki risiko tinggi dari penularan TB belum dilaksanakan.
6.
Lebih dapat memanfaatkan program BPJS yang digalakan pemerintah dengan baik.
Saran Saran untuk penyelenggaraan klinis pada strata pertama :
Menyediakan fasilitas yang memenuhi standar seperti pemeriksaan laboratorium dasar pada pelayanan strata pertama untuk penegakkan diagnosis yang lebih cepat.
Adanya dana khusus bagi pasien-pasien yang tidak mampu untuk membiayai transportasi dari dan menuju Puskesmas atau menggalakkan home visite terhadap pasien dengan gejala klinis TB dan pasien risiko tinggi (DM, HIV/AIDS). 34
Perlu adanya program skrining penyakit TB bagi anak-anak risiko tinggi penularan TB dari orang tua mereka.
Saran untuk pasien dan keluarga: 1. Pasien harus rajin dan teratur meminum obatnya dibantu oleh PMO. 2. Berhenti merokok. 3. Pembuatan ventilasi di rumah untuk sirkulasi udara serta membuka jendela agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah.
35
Daftar Pustaka 1. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter
Paru
Indonesia.
2006.
Diunduh
dari
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html, 19 Agustus 2016. 2. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional
Pengendalian
Tuberkulosis.
Jakarta:
Kementerian
Kesehatan RI; 2014. 1-210 p. 3. National Center for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB Prevention. Centers for disease control and prevention. 12 September 2006. Diunduh dari http://www.cdc.gov/nchhstp/docs/10_NCHHSTP-strategilanBookSemifinal508.pdf, 20 Agustus 2016. 4. Global Tuberculosis Control. World Health Organization. Diunduh dari http://www.who.int/tb/publications/global_report/2011/gtbr11_full.pdf,
20
Agustus 2016. 5. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins Basic Pathology. 8th edition. US: Saunder Elsevier; 2007: p.516-22. 6. Enarson DA. Tuberculosis as a global public health problem, In : Kaufmann SHE, Hahn A, editors. Mycobacteria and TB, volume 2. Basel: Karger AG; 2003.1-14 7. Daley CL. Tuberculosis and Nontuberculous Mycobacterial Infections, In : Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editors. Clinical Respiratory Medicine, 3
rd
Edition. Mosby Elsevier: Philadelphia; 2008. 305-408. 8. Iseman MD. Mycobacterial Diseases of the Lungs, In: Hanley ME, Welsh CH, editors. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine, International edition. The McGraw-Hill Companies: Denver; 2006. 301-369. 9. Farmakologi dan Terapi, Edisi ke 2, Jilid 3. Bina Rupa Aksara: Jakarta; 2000.
36
LAMPIRAN FOTO
Gambar 1. Kondisi rumah tanpa ventilasi yang baik
Gambar 2. Kondisi dapur dan tempat cuci pakaian juga tidak ada ventilasi 37