c
Ý Ý Ý Husaini, A Program Studi Ilmu Lingkungan BKU: Agro-Industri-Energi, Pascasarjana Unsri 0711- 352132 fax : 0711- 317202 Email: ^ ^ ccc c c
Ý Pemanasan Global atau Global Warming sudah merupakan hal banyak dibicarakan sejak memanasnya bumi ini. Meningkatnya suhu bumi, mencairnya es di kutub utara, meningkatnya muka air laut serta perubahan iklim global merupakan dampak dari pemanasan global. Pemanasan
global (×
× )
adalah
suatu
proses
meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus
tahun
terakhir. × × (IPCC)
menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yaitu CO2, CH4, N2O, SF6 HFC, dan PFC terjadi akibat aktivitas manusia seperti pemanfaatan bahan bakar fosil, pengembangan industri, limbah, usaha pertanian dan peternakan, dan konversi lahan yang tidak terkendali. Aktivitas tersebut mengakibatkan terperangkapnya radiasi di atmosfer sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi secara global. Isu pemanasan global begitu berkembang akhir-akhir ini. Pemeran utamanya tentu saja manusia dengan berbagai aktivitasnya. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang signifikan, seperti yang terjadi di negara kita, efek dari pemanasan ini telah menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim. Di beberapa daerah sering terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor, munculnya angin puting beliung, bahkan kekeringan yang mengancam jiwa manusia. Dalam makalah ini akan dibahas gambaran umum tentang pemanasan global, peran manusia dalam pemanasan global dan dampak pemanasan global terhadap tanaman di lahan basah beserta usaha mengendalikan pemanasan global yang diperoleh dari berbagai sumber dari hasil kajian global yang terkait. c c
cc
c
Hasil kajian the Intergovernmental on Climate Change (IPCC 2007) menunjukkan bahwa sejak tahun 1850, tercatat ada 12 tahun terpanas berdasarkan data suhu permukaan global. Sebelas dari 12 tahun terpanas tersebut terjadi dalam waktu 12 tahun terakhir. Kenaikan suhu total dari tahun 1850í1899 sampai dengan 2001í2005 mencapai 0,76°C. Permukaan air laut rata-rata global juga meningkat dengan laju rata-rata 1,80 mm/tahun dalam kurun waktu tahun 1961í2003. Kenaikan total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan mencapai 0,17 m. Di banyak tempat di dunia, frekuensi dan intensitas bencana cenderung meningkat (Sivakumar 2005). Banjir dan badai mengakibatkan 70% dari total bencana, dan sisanya 30% disebabkan kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain. Laporan IPCC juga menunjukkan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. (Elza Surmaini dkk, 2011). Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C(2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan (^ c Pemanasan
global (×
× )
adalah
suatu
proses
meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus
tahun
terakhir. × × (IPCC)
menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah c c
cc
c
kaca. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yaitu CO2, CH4, N2O, SF6 HFC, dan PFC .. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C(2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan. Rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau letak yang menjorok masuk (intake) ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Dalam pengertian yang lebih luas, rawa digolongkan sebagai lahan basah (wet lands) atau lahan bawahan (low lands), Lahan gambut merupakan salah satu contoh lahan rawa (Noor, 2004). Indonesia termasuk
salah
satu
kawasan
di
terkaya
di
Dunia
dalam
hal
potensi
keanekaragaman hayati. Sayangnya potensi ini justru dibiarkan rusak bahkan hilang begitu saja, terbukti dari lenyapnya ribuan hingga jutaan hektar lahan basah di Indonesia dalam kurun waktu yang singkat. ³kalau kondisi ini dibiarkan begitu saja jelas akan berakibat pada kerentanan lahan basah serta perubahan iklim secara global,´ (Dorari, 2011). ! Pemanasan global dapat diartikan sebagai kejadian meningkatnya temperatur ratarata permukaan
bumi.
Mengapa suhu permukaan bumi bisa
meningkat?
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin meningkatnya suhu permukaan bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah membentuk sebuah kelompok peneliti khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global. Kelompok penelitian ini disebut dengan International on Climate Change (IPCC). Salah satu hal pertama yang IPCC temukan berhubungan dengan c c
cc
c
pemanasan global adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Beberapa aktivitas yang menimbulkan efek rumah kaca antara lain: 1.
Pembakaran gas alam, batubara dan minyak termasuk bensin untuk mobil mesinmeningkatkan tingkat karbon dioksida di atmosfer.
2.
Beberapa praktek pertanian dan perubahan pemanfaatan lahan meningkatkan kadar metana dan dinitrogen oksida.
3.
Banyak pabrik memproduksi gas industri yang tidak terjadi secara alami, namun memberikan kontribusi yang signifikan pada efek rumah kaca ditingkatkan dan ³pemanasan global´ yang sedang berjalan.
4.
Deforestasi juga berkontribusi terhadap pemanasan global. Pohon menggunakan karbon dioksida dan melepaskan oksigen pada tempatnya, yang membantu untuk menciptakan keseimbangan yang optimal gas di atmosfer. Karena hutan lebih dicatat untuk kayu atau ditebang untuk membuat jalan untuk pertanian, namun ada pohon lebih sedikit untuk menjalankan fungsi ini kritis.
5.
Pertumbuhan penduduk merupakan faktor lain dalam pemanasan global, karena sebagai orang lebih banyak menggunakan bahan bakar fosil untuk panas, transportasi dan manufaktur tingkat gas rumah kaca terus meningkat. Seperti pertanian yang lebih terjadi untuk memberi makan jutaan orang baru, gas rumah kaca lebih memasuki atmosfer.
Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik. dan konversi lahan yang tidak terkendali. Aktivitas tersebut mengakibatkan terperangkapnya radiasi di atmosfer sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi secara global. "#$ % Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet. Mars, Venus, dan benda langit beratmosfer lainnya (seperti satelit alami Saturnus, Titan) memiliki efek rumah kaca.
c c
c c
c
Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat pada prinsipnya unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan curah hujan dikendalikan oleh keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Radiasi matahari yang sampai dipermukaan bumi berupa cahaya tampak sebagian diserap oleh permukaan bumi dan atmosfir di atasnya. Rata-rata jumlah radiasi yang diterima bumi berupa cahaya yang seimbang dengan jumlah yang dipancarkan kembali ke atmosfer berupa radiasi inframerah yang bersifat panas dan menyebabkan pemansan atmosfer bumi. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), dan uap air (H2O) yang terdapat diatmosfir secara alami menyerap radiasi panas tersebut di atmosfir bagian bawah. Inilah yang dinamakan efek rumah kaca. Tanpa gas rumah kaca alami tersebut suhu bumi akan 340C lebih dingin dari yang kita alami sekarang. Masalahnya adalah seiring dengan meningkatnya taraf hidup manusia emisi gas rumah kaca meningkat dengan tajam karena meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil sejak revolusi industri pada pertengahan tahun 1880-an. Meskipun dalam dekade terakhir ini emisi CH4 mengalami penurunan hingga 22 juta ton/th dari 37 juta ton/tahun pada dekade terdahulu dan emisi N2O juga menurun sedikit dari 3,9 menjadi 3,3 juta ton/tahun, emisi CO2 meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1.400 juta ton/tahun menjadi 2.900 juta ton/tahun dalam dekade yang sama. Akibatnya suhu atmosfir bumi sekarang menjadi 0,5 0C lebih panas dibanding suhu pada zaman pra-industri. Dalam jangka panjang suhu bumi akan cenderung semakin panas dari suhu yang seharusnya kita rasakan jika kita tidak berupaya menurunkan dan menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca. Uap air sebenarnya gas rumah kaca yang potensial yang pengaruhnya segera dirasakan, misalnya pada saat keawanan dan kelembaban menjelang turun hujan tinggi. Udara terasa panas karena radiasi gelombang panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfer. namu H2O tidak diperhitungkan sebagai gas rumah kaca yang efektif dan tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim
c c
c c
c
karena keberadaan atau masa hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari), maka uap air bukanlah gas rumah kaca yang efektif. Sementara untuk CO2, CH4, dan N2O masa hidupnya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15, 115 tahun. Karena masa tinggal GRK di atmosfer cukup lama, maka meskipun emisi yang dilakukan oleh kegiatan dihentikan dengan segera, dampak dari akumulasi gerakan rumah kaca tersebut masih akan tetap dirasakan untuk jangka waktu puluhan bahkan ratusan tahun (^
^ ^ ^ c
Ý# $& Pemanasan global memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap bidang kehidupan manusia. Beberapa di antaranya adalah : Naiknya permukaan air laut global disebabkan oleh mencairnya es di kutub utara dan selatan. Hal ini dapat mengakibatkan sejumlah pulau-pulau kecil tenggelam dan mengancam kehidupan sosIal-ekonomi masyarakat pesisir. Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim. Punahnya berbagai jenis fauna. Migrasi sejumlah hewan untuk menemukan habitat baru yang sesuai. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir. Ketinggian gunung-gunung tinggi berkurang akibat mencairnya es pada puncaknya. Terjadinya perubahan arus laut . Meluasnya berbagai penyakit tropis ke daerah-daerah baru.
Pergeseran iklim yang terjadi di Indonesia, seharusnya bulan September sudah memasuki musim penghujan bergeser ke bulan November, merupakan salah satu bukti makin seriusnya dampak yang disebabkan oleh pemanasan global. Belum lagi kenaikan permukaan laut Indonesia sebesar 0,8 cm per tahun merupakan ancaman bagi pulau-pulau kecil di nusantara. Telah diberitakan pula bahwa sebuah danau di Cile tiba-tiba hilang akibat melelehnya dinding es yang menjadi pembendung danau. Para pakar menyatakan setelah melakukan inspeksi bahwa hal ini disebabkan oleh pemanasan global. Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kasus yang ada. Pada intinya, pemanasan global memberikan nuansa baru yang c c
cc
c
mengerikan bagi kehidupan manusia di masa sekarang terlebih lagi untuk jangka waktu ke depannya bila tidak segera diatasi sedini mungkin. Oleh karena itu, walaupun boleh dikata sudah terlambat, sepatutnya kita membuat langkah-langkah strategis dalam mengatasi persoalan ini. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Pada umumnya, semua bentuk sistem pertanian sensitif terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim berakibat pada pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan. Hal tersebut berdampak pada pola pertanian, misalnya keterlambatan musim tanam atau panen, kegagalan penanaman, atau panen karena banjir, tanah longsor dan kekeringan. Sehingga akan terjadi penurunan produksi pangan di Indonesia. Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan, terutama sektor pertanian, dan dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pertanian, terutama tanaman
pangan.
Pada
masa
mendatang,
pembangunan
pertanian
akan
dihadapkan pada beberapa masalah serius, yaitu: 1) penurunan produktivitas dan
produksi yang tentunya membutuhkan inovasi
teknologi untuk mengatasinya, 2) degradasi sumber daya lahan dan air yang mengakibatkan d d dd, penurunan tingkat kesuburan, dan pencemaran, 3) variabilitas dan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kekeringan, serta 4) alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian. Perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus menerus dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi antisipasi dan penyiapan teknologi adaptasi merupakan aspek kunci yang harus menjadi rencana strategis Kementerian Pertanian dalam rangka menyikapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian yang tahan ( d ) terhadap perubahan iklim. Besarnya dampak perubahan iklim terhadap pertanian sangat bergantung pada tingkat dan laju perubahan iklim di satu sisi serta sifat dan kelenturan sumber daya dan sistem produksi pertanian di sisi lain. Untuk itu, diperlukan berbagai penelitian dan pengkajian tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap sektor pertanian, baik sumber daya, infrastruktur,
c c
c c
c
maupun sistem usaha tani/agribisnis dan ketahanan pangan nasional (Elza Surmaini dkk, 2011). Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemanasan global dapat menimbulkan dampak bagi sektor pertanian di lahan basah diantaranya terjadinya penurunan produktifitas, resiko banjir dan kekeringan, perubahan pada pasar global, peningkatan serangan hama penyakit.dan Peningkatan produksi oleh peningkatan CO2 diikuti dengan penurunan produksi oleh perubahan iklim !$# Protokol Kyoto Menanggapi fenomena yang terjadi sebagian besar negara di dunia sepakat untuk mengambil langkah-langkah serius dalam menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca, terutama karbondioksida. Sebagai langkah awal disusunlah Framework Convention on Climate Change pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, yang ditandatangani oleh 167 negara. Kerangka konvensi bertujuan agar negara-negara industri mengurangi emisi karbondioksida mereka. Walaupun hasil akhirnya hanya sedikit yang memenuhi target. Berselang 5 tahun kemudian tepatnya pada bulan Desember 1997 sebanyak 160 negara mengadakan pertemuan untuk merumuskan perjanjian yang lebih mengikat secara internasional sebagai tindak lanjut dari beberapa kesepakatan sebelumnya. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Protokol Kyoto, dinamakan demikian karena perjanjian ini dibentuk di Kyoto, Jepang. Jangka waktu penandatanganan persetujuan tersebut adalah satu tahun yang dimulai pada tanggal 16 Maret 1998 hingga 15 Maret 1999. Protokol ini mengharuskan negara-negara industri untuk menurunkan emisinya sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 dengan target waktu hingga 2012 dan baru memperoleh kekuatan hukumnya secara internasional pada tanggal 16 Februari 2005. Hingga 23 Oktober 2007 sudah 179 negara yang meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Kemudian pada tanggal 3-14 Desember 2007 di Bali diselenggarakanlah Konvensi Tingkat Tinggi yang digelar oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan dihadiri hampir 10 ribu orang dari 185 negara. Melalui pertemuan tersebut diharapkan dapat mengevaluasi hasil kinerja dari Protokol Kyoto yang dibuat sebagai bukti komitmen negara-negara sedunia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca demi menanggulangi permasalahan yang terjadi saat ini. c c
c c
c
Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) atau Pengurangan emisi akibat Pembalakan dan Degradasi Hutan adalah sebuah usulan untuk menyediakan insentif kepada negara-negara yang telah mereduksi emisi karbon, melalui pengurangan aksi pembalakan dan degradasi hutan, merupakan cara paling efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kerangka kerja yang diusulkan disebut Forest
Carbon Partnership
Facility
akan
menggunakan
pendekatan kebijakan sistem skala besar, insentif positip, dan menyediakan ³modal usaha´ masa depan untuk mengurangi emisi dari pembalakan dan degradasi hutan, yang terbentuk dari dua mekanisme, yaitu :Mekanisme kesiapan, yang akan mendanai pembangunan kapasitas di negara-negara yang memiliki hutan tropis dan subtropis, untuk meningkatkan kapasitas negara-negara tersebut agar bisa menggunakan sistem insentif untuk REDD di masa depan. Di beberapa negara tersebut, mekanisme pendanaan karbon akan dijadikan alat untuk membeli karbon yang dilakukan berdasarkan tingkat keberhasilan negaranegara itu untuk mengurangi atau menghindari emisi gas rumah kaca akibat pembalakan dan degradasi hutan.
' Ý Dampak perubahan iklim yang begitu besar merupakan tantangan bagi sector pertanian. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi. Upaya antisipasi ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi. Pengkajian dampak perubahan iklim telah dilakukan antara lain terhadap 1) sumber daya pertanian, seperti pola curah hujan dan musim (aspek klimatologis), sistem hidrologi dan sumber daya air (aspek hidrologis), serta keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai, 2) infrastruktur/sarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi dan waduk, 3) sistem produksi pertanian, terutama sistem usaha tani dan agribisnis,pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi, serta 4) aspek sosial-ekonomi dan budaya. Berdasarkan kajian dampak tersebut telah dihasilkan berbagai teknologi mitigasi untuk mengurangi emisi GRK, perbaikan aktivitas/praktek dan
teknologi
pertanian,
serta teknologi adaptasi dengan
melakukan penyesuaian dalam kegiatan dan teknologi pertanian. Teknologi mitigasi untuk mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian antara lain adalah penggunaan c c
cc
c
varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan. Teknologi adaptasi bertujuan melakukan penyesuaian terhadap dampak dari perubahan iklim untuk mengurangi risiko kegagalan produksi pertanian. Teknologi adaptasi meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air. &#& # &&&& ß (&$&$&&) Padi sawah dikenal sebagai sumber utama emisi gas metana, yaitu antara 20í100 Tg CH4/tahun (IPCC 1992). Emisi gas metana ditentukan oleh perbedaan sifat fisiologi dan morfologi varietas padi. Kemampuan varietas padi mengemisi gas metana bergantung pada rongga aerenkhima, jumlah anakan, biomassa, pola perakaran, dan aktivitas metabolisme. Pawitan (2008) telah mengompilasi berbagai varietas padi dan tingkat emisinya dan merekomendasikan penggunaan beberapa varietas rendah emisi, antara lain Maros dengan emisi 74 kg CH4/ha/musim,
Way
Rarem
91,60
kg
CH4/ha/musim,
Limboto
99,20
kg
CH4/ha/musim, dan Ciherang dengan emisi 114,80 kg CH4/ha/ musim. Varietas padi yang dominan ditanam petani adalah IR64. Namun, saat ini petani mulai mengganti IR64 dengan varietas yang serupa, yaitu Ciherang. Selain lebih tahan terhadap hama dan penyakit, varietas Ciherang juga lebih rendah mengemisi gas metana. Dengan demikian, penanaman varietas Ciherang yang makin luas akan mengurangi emisi GRK dari lahan sawah. ß
&#&#* &#)
Sumber pupuk N seperti ZA dapat menurunkan emisi gas metana 6% dibandingkan dengan urea bila pupuk disebar di permukaan tanah, dan menurunkan emisi metana hingga 62% jika pupuk ZA dibenamkan ke dalam tanah (Lindau 1993). Namun, cara ini tidak dapat dipraktekkan pada semua lokasi, dan sebaiknya diterapkan pada tanah kahat S dan atau pH tinggi. Emisi gas metana dengan menggunakan pupuk ZA mencapai 157 kg CH4/ha/musim (Mulyadi 2001), lebih rendah 12% dibandingkan bila menggunakan pupuk urea yang mengemisikan metana 179 kg CH4/ ha/musim (Setyanto 1999). c c
cc
c
ß
&#&# & )
Pengolahan tanah secara kering dapat menekan emisi gas metana dari tanah dibandingkan dengan pengolahan tanah basah atau pelumpuran. Hal ini karena perombakan bahan organik berlangsung secara aerobik sehingga C terlepas dalam bentuk CO2 yang lebih rendah tingkat pemanasannya dibanding CH4. . Olah tanah minimal atau tanpa olah tanah mampu menurunkan laju emisi gas metana sekitar 31,50í63,40% dibanding olah tanah sempurna. Olah tanah minimal dapat dilakukan pada tanah yang bertekstur remah dan sedikit gulma (Makarim 1998). ß
&#& # &&&&)
Selain menghemat air, teknologi irigasi berselang ( ) dapat mengurangi emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan air irigasi dapat dilakukan dengan cara pengairan berselang (mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara periodik dalam jangka waktu tertentu), dan sistem leb (mengairi lahan kemudian dibiarkan air mengering, lalu diairi lagi). Cara ini memengaruhi sifat fisiko-kimia tanah (pH dan Eh) yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman karena menghilangkan zat-zat yang bersifat toksik bagi tanaman, seperti asam-asam organic dan H2S, selain dapat menekan emisi gas metana hingga 88% (Sass 1990). Setyanto dan Abubakar (2005) melaporkan, emisi gas metana pada varietas padi IR64 dengan irigasi terus menerus dan berselang masing-masing sebesar 254 kg dan 136 kg CH4/ha, atau dapat menekan emisi sebesar 49%.
ß
&#& # & $&!&+#$ )
Penyesuaian waktu dan pola tanam merupakan upaya yang sangat strategis guna mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan. Kementerian Pertanian telah menerbitkan Atlas Peta Kalender Tanam Pulau Jawa skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Peta tersebut disusun untuk menggambarkan potensi pola dan waktu tanam bagi tanaman pangan, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air (Las 2007). Peta kalender tanam disusun berdasarkan kondisi pola tanam petani saat ini (eksisting), dengan tiga skenario kejadian iklim, yaitu tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dalam penggunaannya, peta kalender tanam dilengkapi dengan prediksi iklim untuk mengetahui kejadian iklim yang akan datang, sehingga perencanaan tanam dapat disesuaikan dengan c c
cc
c
kondisi sumber daya iklim dan air. ß
&#&(&##&,$,$&&)
Dalam mengantisipasi iklim kering, Kementerian Pertanian telah melepas beberapa varietas/galur tanaman yang toleran terhadap iklim kering, yaitu padi sawah varietas Dodokan dan Silugonggo, dan galur harapan S3382 dan BP23; kedelai varietas Argomulyo dan Burangrang serta galur harapan GH SHR/WIL-60 dan GH 9837/WD-5-211; kacang tanah varietas Singa dan Jerapah; kacang hijau varietas Kutilang dan galur harapan GH 157D-KP-1; serta jagung varietas Bima 3 Bantimurung, Lamuru, Sukmaraga, dan Anoman. Salah satu dampak dari naiknya permukaan air laut adalah meningkatnya salinitas, terutama di daerah pesisir pantai. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan Al. Sejak tahun 2000 telah dilepas beberapa varietas padi yang tahan terhadap salinitas, yaitu varietas Way Apo Buru, Margasari, dan Lambur, dan diperoleh beberapa galur harapan GH TS-1 dan GH TS-2. Lahan rawa memiliki potensi dan prospek yang besar untuk pengembangan pertanian, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Lahan tersebut sepanjang tahun atau selama waktu tertentu selalu jenuh air (d ) atau tergenang ( ×× ) air dangkal. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan lahan tersebut, telah diperoleh beberapa galur harapan padi yang toleran terhadap genangan, seperti GH TR 1, IR69502-6-SRN-3UBN-1-B-1-3, IR70181- 5-PMI-1-2-B-1, IR70213-9-A-12-UBN-2- 1-3-1, dan IR70215-2-A-2-1-B-1-2. ß
&#& # &-)
Teknologi ini merupakan salah satu alternatif teknologi pengelolaan air dengan prinsip menampung kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau untuk mengairi tanaman. Teknologi panen hujan yang sudah banyak diterapkan adalah embung dan dam parit.
ß
&#& # &&&&)
Teknologi irigasi yang sudah dikembangkan untuk mengatasi cekaman air pada tanaman adalah sumur renteng, irigasi kapiler, irigasi tetes, irigasi macak-macak, irigasi bergilir, dan irigasi berselang. Penerapan teknik irigasi tersebut bertujuan c c
cc
c
memenuhi kebutuhan air tanaman pada kondisi ketersediaan air yang sangat terbatas dan meningkatkan nilai daya guna air. 1. Pemanasan global dapat menimbulkan dampak bagi sektor pertanian di lahan basah diantaranya terjadinya penurunan produktifitas, resiko banjir dan kekeringan, perubahan pada pasar global, peningkatan serangan hama penyakit.dan
Peningkatan produksi oleh peningkatan CO2 diikuti dengan
penurunan produksi oleh perubahan iklim. Untuk mengantisifasi pemanasan global terhadap tanaman diantaranya dapat dilakukan dengan pendekatan aplikasi teknologi. Aplikasi yang dibisa dilakukan dengan pendekatan ß Aplikasi Teknologi Mitigasi dengan penggunaan varietas padi rendah emisi, ß Aplikasi pupuk ZA sebagai sumber pupuk N. ß Aplikasi teknologi tanpa olah tanah. ß Aplikasi Teknologi irigasi berselang) ß Aplikasi Teknologi Adaptasi: Penyesuaian waktu dan pola tanam. ß Aplikasi varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas. ß Aplikasi Teknologi panen hujan. ß Aplikasi Teknologi irigasi. 2. Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu, tetapi telah menjadi kenyataan yang memerlukan tindakan nyata secara bersama pada tingkat global, regional maupun nasional suatu strategi yang dapat dilakukan meliputi tiga aspek, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Strategi antisipasi dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap sektor pertanian. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif perubahan iklim. Upaya tersebut akan bermanfaat dan lebih efektif bila laju perubahan iklim tidak melebihi kemampuan upaya adaptasi. Oleh karena itu, perlu diimbangi dengan upaya mitigasi, yaitu mengurangi sumber maupun peningkatan rosot (penyerap) gas rumah kaca.
c c
cc
c
Ý . Elza Surmaini, dkk, 2010. Upaya sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor. chttp://pertanianjanabadra.webs.com/apps/blog/show/4362468-lingkungan-pertanian-
dan-pemanasan-global http://www.treehugger.com/7-most-terrifying-global-warming.jpg
http://www.artikellingkunganhidup.com/apa-penyebab-efek-dari-rumah-kaca.html Nerro, 11 Juni 2008.http://www.forumsains.com/artikel/pemanasan-global/ Mei 2009 Paulus Agus Winarso, Pemanasan global dan reduksi CO2 , Staf pengajar Akademi Meteorologi dan Geofisika Pramudya Sunu, 2001. Melindungi lingkungan dengan menerapkan ISO 14001. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Philip Kristanto, 2002. Ekologi Industri. Penerbit Andi Yokyakarta dan LPPM Universitas Kristen PETRA Surabaya. Wahyu Barata, 2009. http://www.kabarindonesia.com/berita.php
c c
c c