TUGAS NEUROLOGI
TRAUMA KAPITIS DAN TRAUMA SPINAL
Disusun Oleh : Diwiasti Firdausi Yasmin G 99131034
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2014
BAB I PENDAHULUAN
Statistik negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kapitis
mencakup
26%
dari
jumlah
segala
macam
kecelakaan,
yang
mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja selama jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitis. Di luar medan peperangan, lebih dari 50% dari trauma kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh trauma secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada trauma. Trauma berarti luka atau jejas. Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik, tetapi bisa juga karena gaya non-mekanik. Trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang belakang. Struktur dan topografi kepala berbeda dari tulang belakang, maka dari itu mekanisme trauma kapitis dan trauma tulang belakang perlu dibahas secara tersendiri-sendiri.
BAB II CEDERA KEPALA A. Pengertian Cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan
terjadinya
penurunan
kesadaran
bahkan
dapat
menyebabkan kematian.Sebagian besar kasus cedera yang mengenai otak adalah cedera tertutup akibat kecelakaan lalulintas. 84% yang mendapat terapi konservatif, dan hanya 16% yang mendapat terapi operatif. B. Klasifikasi Berdasarkan klinis, terbagi menjadi: 1. Simple Head Injury
GCS 15, composmentis, no amnesia.
2. Cedera Otak Ringan
GCS 14, atau
GCS 15 dengan kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Dapat disertai nyeri kepala, mual, muntah dan vertigo.
3. Cedera Otak Sedang
GCS 9-13
Kehilangan kesadaran antara 30 menit-24 jam, dapat mengalami fraktur tengkirak dan disorientasi ringan (bingung).
Defisit neurologis bisa (+) atau (-)
4. Cedera Otak Berat
GCS 3-8
Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio cerebri, laserasi, hematoma dan edema cerebri.
Defisit neurologis (+)
Berdasarkan tempat fraktur: 1. Fraktur Cranium a. Fraktur linier
Selalu tertutup
Bila ada luka jahit
b. Fraktur impresi
Fragmen tulang masuk melebihi satu tebal tulang
Terbuka: cito operasi
Tertutup: konservatif, kecuali bila ada: indikasi kosmetik, kejang, defisit neurologis.
2. Fraktur Basis Cranii a. Anterior, gejala:
Rinorrhea
Brill hematom
Lesi N. I & II
b. Media, gejala:
Otorrhea
Battle sign (hematom retroaurikuler)
Lesi N. VII & VIII
Berdasarkan patofisioya: 1. Cedera Otak Primer Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi. Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi,
kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi (gerakan cepat yang terjadi mendadak) atau deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak). Tekanan itu dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus. Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa comosio, kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, dan intraserebral, yang dapat dilihat pada CT-Scan. a. Comosio cerebri
Gangguan fungsi otak sementara
Gaya akselerasi-deselerasi
Tanpa kerusakan struktur otak
b. Contusio cerebri
Kerusakan struktur otak
Gangguan tergantung luas-lokasi otak yang rusak
c. Laserasi cerebri
Contusio+robeknya piamater
d. Hematom intracranial
EDH (Epidural Hematom) -
Perdarahan ini dakibatkan oleh cedera pada arteri atau vena meningea. Yang paling sering cedera adalah arteri meningea media.
-
Jika tidak terdapat fraktur tengkorak , perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala. Sesuai dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan epidural tanpa fraktur menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk hematom subperiostal dan sifat tengkorak sebagai kotak tertutup sudah tidak berlaku lagi.
-
Lucid interval (+).
SDH (Subdural Hematom) -
Terjadi
perdarahan
antara
lapisan
meningeal
duramater
dan
arachnoidea mater. Diakibatkan oleh robeknya vena cerebri superior (bridging veins) pada tempat masuknya vena ke dalam sinus sagittalis superior. -
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Lucid interval (+).
ICH (Intracerebral Hematom) -
Umumnya disebabkan oleh ruptur arteri ateromatosa dan paling sering terjadi pada pasien hipertensi, yang menyebabkan rusaknya serabutserabut kortikobulbaris dan kortikospinalis dalam kapsula interna dan menimbulkan hemiplegi pada sisi tubuh kontralateral. Perdarahan ini juga dapat terjadi ke dalam batang otak dan serebellum.
-
Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan
kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
2. Cedera Otak sekunder Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan tekanan perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang. Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine deadly H’s adalah hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia (depresi nafas),
hipokapnea
hiperglikemia,
(hiperventilasi),
hipoglikemia,
hipertermi
hiponatremia,
(respon
stres),
hipoproteinemia,dan
hemostasis. Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder. C. Terapi 1. Cedera Otak Ringan a. Pasien datang ke IGD, stabilisasi ABC b. Anamnesis, fisik diagnostik
c. Pemeriksaan Lab d. Terapi simptomatik + antibiotik sesuai indikasi e. Pemeriksaan radiologis sesuai indikasi f. Lapor jaga bedah saraf
2. Cedera Otak Sedang a. Pasien datang ke IGD, stabilisasi ABS, pasang collar brace. b. Lapor jaga bedah saraf c. Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya d. Pemeriksaan lab e. Alloanamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis f. Obat simptomatik IV + antibiotik sesuai indikasi g. Bila telah stabil CT Scan kepala, thorak foro AP, dan pemeriksaan radiologis lain atas indikasi.
3. Cedera Otak Berat a. Pasien datang ke IGD, resusitasi ABC b. Intubasi + kontrol ventilasi, pasang NGT. c. Pasang collar brace. d. Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa. e. Bila syok, berikan cairan isotonis (RL, NaCl 0,9%), atau koloid, atau darah. Cari penyebabnya, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg. f. Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal atau gagal jantung manitol 100cc/6jam. g. Bila kejang: Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah dalam 15 menit berikutnya bila kejang belum berhenti. Awasi depresi nafas. Dilanjutkan fenitoin sebagai maintenance 1 ampul yang diencerkan dalam 20cc NaCl 0,9% iv pelan. h. Pemeriksaan Lab i. Alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis.
j. Pemeriksaan reflek batang otak. k. Obat simptomatik IV dan antibiotik sesuai indikasi. l. Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine. m. Tanda vital stabil CT Scan kepala, thorak foto AP, pemeriksaan radiologis lain atas indikasi.
BAB III CEDERA MEDULA SPINALIS
A. Definisi Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis. B. Epidemiologi Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi. Penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%). Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis lebih tinggi di negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal ini antara lain: 1. Kondisi jalan yang buruk 2. Berkendara melewati batas kecepatan 3. Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di dalam mobil 4. Volume kendaraan yang berlebih 5. Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat bekerja
C. Etiologi Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis: 1. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra. 2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan
D. Klasifikasi Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:
Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level
dan completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari
pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur. Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya preservasi dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis. Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan dengan lesi inkomplit. E. Penatalaksanaan Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas – hanya sekitar 40% cedera medula spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan survei sekunder. Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian. Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 24 - 48 jam secara drip. Berdasarkan hasil uji klinik menunjukkan kemaknaan statistik terhadap perbaikan neurologis jangka panjang. Metilprednisolon bekerja menghambat peroksidase dan akan meningkatkan asam arakidonat.
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati 100%. Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.
Pada kasus trauma medula spinalis, pemeriksaan radiologi diawali dengan foto polos yang ilakukan sesuai lokasi trauma dengan proyeksi anterior, posterior, dan lateral, kemudian dapat dilakukan CT Scan atau MRI. Di samping itu kemungkinan multi trauma harus dipikirkan. Bila diagnosa tegak, segera berikan terapi. Kemudian diputuskan apakah perlu dilakukan tindakan operatif. Bila tidak adaindikasi, dianjurkan perawatan pada neurointensive care, karena dapat terjadi beraneka ragam komplikasi.
F. Rehabilitasi Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial. Rehabilitasi untuk fraktur cervical memerlukan waktu yang lama, beberapa bulan sampai tahunan, tergantung kepada beratnya cedera. Terapi fisik dapat dilakukan seperti latihan untuk menguatkan kembali daerah leher dan memberikan tindakan pencegahan untuk melindungi cedera ulang. Selain itu dianjurkan untuk mengubah gaya hidup yang dapat menyebabkan fraktur servical. Pada cedera medulla spinalis, rehabilitasi ditujukan untuk mengurangi spastisitas, kelemahan otot dan kegagalan koordinasi motorik. Terapi fisik dan strategi rehabilitasi yang lain juga penting untuk mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot dan untuk reorganisasi fungsi saraf. Penting juga memaksimalkan penggunaan serat saraf yang tidak rusak
DAFTAR PUSTAKA
Andrew H Kaye. 2005. Essential Neurosurgery. Department of Surgery, University of Melbourne. Perhimpunan Dokter Spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI.
Peter Reilly, Ross Bullock. 2010. Head Injury: Pathophysiology and Management. Churchill Livingstone, Edinburgh. Priguna Sidharta. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta. Tim Neurotrauma. 2007. Pedoman Tatalaksana Cedera Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga : Surabaya.