Subjek dan objek sejarah
SUBJEK DAN OBJEK SEJARAH Sejarah disusun oleh manusia berdasarkan fakta-fakta atau peninggalan masa lalu.Fakta atau peninggalan masa lalu disebut objek, baik bersifat artifak maupun yang berwujud dokumen tertulis.Penyusun sejarah adalah manusia; manusia disini disebut subjek. Dalam penyusunan sejarah dituntut apa adanya (objektif), namun hal itu sulit dicapai karena peristiwanya telah berlalu dan hanya sekali terjadi (einmalig). Unsur subjektifitas akan muncul sesuai cara pandang subjek dalam menafsirkan dan menyusun sejarah.[1] Manusia dalam proses sejarah selalu menempatkan dirinya sebagai objek sekaligus subjek sejarah. Keberadaan manusia sebagai makhluk sejarah, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan manusia menciptakan dunianya.Heraty mengungkapkan, bahwa manusia mampu menciptakan dunia kultural, suatu Lebenswelt. Melalui kemampuan merenung yang dimiliki manusia dapat menciptakan dunia Eigenwelt, dunia batin. Melalui dimensi Eigenwelt, manusia tidak hanya dapat mengambil jarak dengan sesuatu di luar dirinya.Manusia juga dapat mengambil jarak dengan dirinya sendiri.[2] Objektivitas dan subjektivitas sejarah merupakan suatu hal yang sering menjadi masalah yang sering diperdebatkan oleh masyarakat.Objektivitas dan Subjektivitas berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran manusia.Dalam hal ini, objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia.Subjektivitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia.[3] Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya. Keduanya memiliki kelebihan-kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif. Misalnya : dalam pengukuran usia homo erectus yang terdapat di Jawa. Fosil homo erectus yang ditemukan di Jawa hampir mirip dengan temuan fosil yang ada di Cina yaitu homo pekinensis. Disini bila seorang sejarawan berfikir secara subjektif akan menafsirkan bahwa usia kedua jenis fosil tersebut memiliki usia yang sama karena bentuk fosil keduanya sama. Sedangkan bila secara objektif, seorang sejarawan akan meneliti lebih lanjut fosil yang ditemukan baik melalui bentuk fosil yang mereka dapat dan membandingkannya dengan fosil yang lain, maupun dengan melakukan tes labolatorium. Berikut pengertian lebih jelasnya mengenai subjektifitas dan objektifitas dalam sejarah.[4] A.
Subjek Sejarah
Seorang pemula dengan mudah dapat menemukan suatu subyek yang menarik minatnya dan subyek itu akan layak untuk di selidiki, setidak-tidaknya pada tahapan pengantar. Ia hanya perlu menanyakan empat perangkat pertanyaan.
1. Bentuk pertanyaan bersifat geografis. Yang menjadi fokus adalah introgatif : “Dimana?” wilayah dunia yang mana yang ingin saya pelajari ? Asia Timur? Brazil? Negri? Kota saya? Kampung saya?. 2. Bentuk pertanyaan bersifat biografis. Dan di pusatkan di sekitar introgatif: “Siapa?” saya menaruh minat apa? Orang Cina? Orang Yunani? Nenek moyang saya? Tetangga saya? Seorang tokoh yang terkenal?. 3. Bentuk pertanyaan bersifat kronologis. Dan dipusatkan di sekitar introgatif: “Bilamana?” Priode yang mana pada masalampau yang ingin saya pelajari? Sejak awal sampai sekarang? Abad ke-5 sebelum masehi? Abad pertengahan? 1780? Tahun yang lalu?. 4. Bentuk pertanyaan bersifat fungsional, atau okupasionil dan berkisar disekitar introgatif: “Apa?” lingkungan manusia yang mana yang paling menarik minat saya? Kegiatan manusia jenis apa? Ekinomi? Sastra? Atletik? Sex? Politik?.[5] Subjektivitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia. Jadi, subjektivitas adalah suatu sikap yang memihak dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan, dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dalam sejarah sukjektivitas banyak terdapat dalam proses interpretasi. Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan subyek.Dalam subjektivisme, dimana objek tidak lagi dipandang sebagaimana seharusnya, tetapi dipandang sebagai kreasi dan konstruksi akal budi.subjektif diperbolehkan selama tidak mengandung subjektivistik yang diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek, dan konsekuensinya tidak lagi real sebagai objektif. Dalam suatu peninggalan sejarah, seorang sejarawan menggunakan analisis dan penafsirannya. Di sinilah akan muncul subjektivitas dalam penulisan sejarah. Dia berusaha untuk menerangkan mengapa, bagaimana peristiwa terjadi dan mengapa saling berhubungan dengan peristiwa lain serta berupaya menceritakan apa, bilamana, dimana terjadi dan siapa yang ikut serta didalamnya. Sehingga dalam penulisannya lebih bermakna. Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah tidaklah akan untuk bagaimana peristiwa itu terjadi dimasa lampau. Hal ini disebabkan karena banyaknya hal atau rangkaian peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Karena alasan itu juga, penafsiran dari seorang sejarawan sangat diperlukan untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sehingga mendekati kebenaran.Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan peristiwa sejarah itu tidak dapat lepas dari unsur subjektivitas.Karena dalam penulisan sejarah itu tidak dapat objektif 100%.Dalam penulisan sejarah, seseorang tidak dapat melepaskan subjektifitasnya. Terdapat 2 faktor utama yang dapat menjadikan suatu penulisan sejarah bersifat subjektif, yaitu : 1. Pemihakan pribadi (personal bias) : Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang dapat mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.
2. Prasangka kelompok (group prejudice) : Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama) dapat membuat mereka memiliki pandangan yang bersifat subjektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah.[6] Subjektif merupakan unsur personal bias atau pandangan pribadi seorang sejarawan yang berimajinasi merekonstruksi peristiwa masa lampau dengan bertolak pada dokumen (docere atau mengajar) yang valid dan otentik.Dalam bukunya, Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur.[7] Subjektivitas berangkat dari penalaran individu secara kontekstual. Dalam Metode Sejarah, Asas dan Proses (E. Kosim: 1983), disebutkan beberapa hal yang dapat menimbulkan subjektivitas dalam proses pengkajian peristiwa sejarah, yakni: 1) Pandangan pribadi (personal bias) 2) Prasangka kelompok (group prejudice) 3) Teori interpretasi yang bertentangan dan berbeda Semua faktor tersebut adalah alasan mengapa dalam suatu penulisan sejarah muncul unsur subjektivitas.DR. Sulasman berpendapat mengenai hal ini, menurutnya dalam setiap penulisan sejarah (historiografi), pandangan yang beragam merupakan hal yang lumrah terjadi.Beliau memberikan contoh dalam karya para sejarawan lokal.Seperti dalam karya Prof. Mansur Suryanegara berjudul API SEJARAH, disebutkan bahwa subtansi mengenai penjelasan kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan para ulama dan santri. Berbeda halnya dengan pandangan Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, beliau menjelaskan peran daripada tokoh Nasional seperti M. Natsir, Bung Karno, Aa Maramis, Bung Hatta, dan lain sebagainya.[8] Konteks ini bersifat subjektif dalam artian konstruk yang berbeda. Dari penjelasan mengenai mengapa adanya subjektivitas dalam kajian ilmu sejarah, kami melihat adanya unsur pandangan pribadi sang sejarawan, ilmu bantu yang digunakan, serta teori sejarah yang dipakai Prof. Mansur sebagai seorang mubaligh, sejarawan muslim, dan tokoh pendidik, yang berlatar Islam sebagai pandangannya memiliki pandangan pribadi sebagaimana tertera di atas bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berangkat dari perjuangan kaum ulama dan santri.[9] Konsepsi subjektivisme jelas mengabaikan hakikat yang sebenarnya dari kegiatan tahu dan korelasi noematiknya.Dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana mestinya, tetapi dipandang sebagai sebuah kreasi, konstruksi akal budi.Sedangkan, objektivitas diperoleh hanya jika subjek dieliminasi dari kegiatan perjumpaan, yakni kegiatan tahu.Tetapi menyingkirkan subjek dari kegiatan perjumpaan berarti menghancurkan kegiatan tahu itu sendiri. Maka objektivitasnya akan berupa objektivisme, dan realitas-objektifnya adalah realitas-objektif.[10] B.
Objek Sejarah
Objek sejarah yaitu perubahan atau perkembangan aktivitas manusia dalam dimensi waktu (masa lampau).Waktu merupakan unsur penting dalam sejarah.Waktu dalam hal ini adalah waktu lampau sehingga asal mula maupun latar belakang menjadi pembahasan utama dalam kajian sejarah. Sejarawan setidak-tidaknya mempunyai dua tujuan.Yaitu (1) pengawal daripada warisan budaya dan (2) penutur kisah daripada perkembangan umat manusia. Dalam kedudukannya yang pertama ia berminat kepada usaha untuk menetapkan suatu cerita mengenai orang, peristiwa, pikiran, lembaga dan benda pada masa lampau secara paling akurat, paling terperinci dan paling tidak memihak mungkin sejauh diijinkan oleh pengetahuannya dan kritik mengenai sumber. Disini ia dapat memakai semboyan “masalampau demi masalampau”. Akan tetapi disini sekalipun ia menghadapi masalah seleksi (orang, peristiwa, pikiran, lembaga, atau hal mana yang harus dipelajari?) dan saling-hubungan antara orang, peristiwa, pikiran,lembaga dan hal. Tetapi dalam kedudukan yang kedua ia harus memliki sesuatu teori mengenai bagaimana caranya umat manusia berkembang. Karenanya ia tenggelam didalam filsafat dan sosiologi dan barangkali juga tenggelam didalam pertimbangan yang bersifat pribadi mengenai seleksi serta titik berat pada bahan yang mana.[11] Sejarah adalah yang paling humanistis. Dimana seorang ahli antropologi akan berminat kepada pecahan keramik terutama karena menyoroti suatu keadaaan budaya, atau seorang ahli ekonomi berminat kepada sebuah matauang karena informasi yang diberikannya mengenai sistim keuangan daripada masyarat yang membuatnya, untuk mendapatkannya kedalam suatu trend yang dapat di ramalkan atau generalisasi yang dapat mengendalikan, maka seorang sejarawan juga akan berminat kepada si pembuat barang keramuk dan si pembuat matauangserta jamannya demi niali intrinsiknya. Manusia sebagai individu, fakta sebagai unsur adalah penting bagi sejarawan selaku sejarawan.[12] Objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia. Sikap objektivitas tidak akan dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan didalam mengambil keputusan. Jadi, objektivitas adalah usaha mendekatkan diri pada obyek atau dengan kata lain berarti bertanggung jawab pada kebenaran objek. Seorang sejarawan dalam merekonstruksi sejarah, harus mendekati objektivitas, karena akan didapat gambaran rekonstruksi yang mendekati kebenaran.[13] Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah diperlukan bukti-bukti sejarah atau lebih tepatnya fakta sejarah.Fakta atau peninggalan sejarah itu disebut objek, baik yang bersifat artifak, dokumen tertulis, dan lain sebagainya.Sejarawan selalu dituntut supaya dengan sadar dan jujur mengikatkan diri pada objek dan berfikir secara objektif.Seorang sejarawan dalam penulisan atau rekonstruksi suatu peristiwa sejarah diharapkan untuk tidak memihak.Maksudnya tidak terpaku secara subjektif 100% maupun objektif 100%. Kendati demikian, sejarawan tetap tidak bisa objektif secara total.Hal ini diakibatkan keterbatasan sumber yang ditemukan dan faktor lainnya.[14] Nilai karya sejarawan akan selalu tergantung pada nilai objektivitasnya. Suatu karya sejarah akan jauh nilainya lebih baik apabila sejarawan
dengan sengaja tidak objektif. Arti sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah objektif adalah sejarah dalam kenyataan, jadi kejadian itu terlepas dari subjek.[15] Unsur yang harus ada dalam sejarah objektif adalah: a.
Kebenaran mutlak.
b.
Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.
c.
Tidak memihak dan tidak terikat.
d.
Kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa.
Seorang sejarawan asal Amerika Serikat, Garraghan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah: 1. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya. 2. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya. 3. Objektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya. 4. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi. 5. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan kejadiannya. Objektivitas dan subjektivitas merupakan dua kata yang seringkali salah difahami oleh sebagian orang terutama dalam penulisan sejarah.Padahal kata objektif dalam penulisan sejarah mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa terulang lagi.Sedangkan sejarah yang subjektif merupakan gambaran dari peristiwa sejarah yang di tulis oleh seorang sejarawan.Karena itu kedua-duanya merupakan bagian dari penulisan sejarah.[16] Bukan karena adanya subyektivitas sejarah sehingga tidak bisa di katakan memiliki kebenaran, justru karena adanya subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan objektifitas
DAFTAR PUSTAKA
Notosusanto, Nugroho. “Mengerti Sejarah”. Jakarta: UI Press. 1986