Proposal Ta 2o1j35

PROPOSAL TUGAS AKHIR EVALUASI TEKNIS SISTEM PENYANGGAAN MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING (RMR) SYSTEM PADA DEVELOPMENT AREA TAMBANG EMAS BAWAH TANAH PT. CIBALIUNG SUMBERDAYA, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN Diajukan Untuk Penelitian Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Medan

Disusun Oleh : BAGAS BIMANTARA 14306018

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT TEKNOLOGI MEDAN 2018

LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL TUGAS AKHIR EVALUASI TEKNIS SISTEM PENYANGGAAN MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING (RMR) SYSTEM PADA DEVELOPMENT AREA TAMBANG EMAS BAWAH TANAH PT. CIBALIUNG SUMBERDAYA, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN Diajukan Untuk Penelitian Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Medan

Diketahui Oleh Ketua Jurusan

Ir. H. M. Eka Onwardana, MT

Disetujui Oleh Koordinator Tugas Akhir

Heri Adhahari, ST. MT

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT TEKNOLOGI MEDAN

2018 BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang PT. Cibaliung Sumberdaya merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas di Indonesia. Penambangan emas di PT. Cibaliung Sumberdaya menggunakan sistem tambang bawah tanah (underground mining) dengan metode cut and fill. Endapan emas di PT. Cibaliung Sumberdaya merupakan endapan emas primer yang berbentuk vein dan memanjang dari tenggara ke barat laut. Penambangan ke arah endapan bijih dilakukan dengan membuat decline sebagai jalan masuk utama dan membuat cross cut untuk mengambil endapan bijih . Penggalian yang dilakukan untuk membuat decline menyebabkan masa batuan pada daerah tersebut terganggu sehingga terbentuk daerah yang tidak stabil disekitar lubang bukaan. Daerah tersebut terbentuk karena adanya redistribusi tegangan kedaerah sekitar lubang bukaan untuk itu, perlu dipasang sistem penyanggaan yang tepat dan optimal pada daerah tersebut. Penggunaan sistem penyanggaan yang tepat dan optimal akan menjamin keamanan pada daerah decline dan lokasi kerja di daerah decline. Keamanan pada daerah decline harus di perhitungkan secara cermat dan akurat karena daerah decline merupakan daerah yang selalu dialui oleh pekerja dan alat berat. Selain itu, decline yang merupakan akses menuju endapan bijih akan terus dikembangkan untuk membuat daerah produksi yang baru selama proses penambangan masih berlangsung. Penyanggaan yang optimal dapat ditentukan dengan melakukan pengamatan dan perhitungan secara cermat terhadap kondisi batuan, tinggi runtuh dan beban runtuh batuan serta jumlah split set yang akan digunakan. Kebutuhan penyangga sangat berkaitan dengan kondisi masa batuan pada daerah tersebut. Semakin baik

kondisi masa batuan maka jumlah penyangga yang digunakan akan semakin sedikit. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Evaluasi Teknis Sistem Penyanggaan Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) System Pada Development Area Tambang Emas Bawah Tanah PT. Cibaliung Sumberdaya, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten”. Karena Berdasarkan pengamatan terhadap PT. Cibaliung Sumberdaya, sistem penyanggaan yang digunakan tidak sesuai dengan rekomendasi sistem penyanggaan berdasarkan metode Rock Mass Rating System. Ketidaksesuaian dinilai dari jumlah split set yang digunakan dan cara penggunaan shotcrete. Split set yang digunakan dinilai terlalu banyak berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan membandingkan beban batuan yang harus disangga dengan kapasitas penyangga yang digunakan untuk mencapai faktor keamanan sebesar dua.

I.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kondisi dan kelas masa batuan berdasarkan klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating(RMR)-system ? 2. Bagaimana rekomendasi sistem penyanggaan berdasarkan metode Rock Mass Rating (RMR)-system ? 3. Bagaimana rekomendasi sistem penyanggaan PT. Cibaliung Sumberdaya dan penggunaan sistem penyanggaan secara aktual ? 4. Bagaimana evaluasi dan rekomendasi teknis terhadap sistem penyanggaan dan kebutuhan penyangga yang harus digunakan ? 5. Bagaimana permodelan stabilitas lubang bukaan dengan menggunakan sistem penyanggaan yang direkomendasikan ?

I.3. Maksud dan Tujuan I.3.1. Maksud Adapun maksud dari penilitian ini adalah :

1. Mengetahui kondisi batuan dan menentukan kelas batuan berdasarkan klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating (RMR)-system

2. Mengetahui sistem penyanggaan yang tepat untuk diaplikasikan berdasarkan klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating (RMR)-system

3. Mengetahui jumlah split set dan jarak antar split set serta ketebalan shotcrete yang digunakan secara aktual 4. Mengetahui penggunaan sistem penyanggaan aktual dengan melakukan analisis berdasarkan nilai Rock Mass Rating (RMR) serta memberikan rekomendasi sistem penyanggan yang tepat dan optimal 5. Mengetahui permodelan stabilitas lubang bukaan sebelum dan setelah dilakukan pemasangan penyangga yang direkomendasikan. I.3.2. Tujuan 1. Mendeskripsikan kondisi batuan dan menentukan kelas batuan berdasarkan klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating (RMR)-system

2. Menentukan sistem penyanggaan yang tepat untuk diaplikasikan berdasarkan klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating (RMR)-system

3. Menganalisis jumlah split set dan jarak antar split set serta ketebalan shotcrete yang digunakan secara aktual 4. Mengevaluasi penggunaan sistem penyanggaan aktual dengan melakukan analisis berdasarkan nilai Rock Mass Rating (RMR) serta memberikan rekomendasi sistem penyanggan yang tepat dan optimal 5. Memberikan permodelan stabilitas lubang bukaan sebelum dan setelah dilakukan pemasangan penyangga yang direkomendasikan. I.4. Batasan Masalah Untuk mengantisipasi permasalah yang akan dibahas terlalu luas, maka dibuat batasan masalahnya yaitu : 1. Sistem klasifikasi masa batuan yang digunakan untuk mengetahui kondisi dan kelas batuan pada daerah penelitian menggunakan Rock Mass Rating-system. 2. Evaluasi yang dilakukan pada daerah penelitian bersifat teknis.

3. Untuk mengetahui stabilitas lubang bukaan sebelum dan sesudah disangga pada rekomendasi sistem penyanggaan dilakukan permodelan menggunakan software Phase 2 6.0.

BAB II. DASAR TEORI

2.1. Kekuatan Massa Batuan Massa batuan merupakan salah satu kriteria penting yang harus diketahui dalam mendesain sistem penyanggaan tambang bawah tanah. Salah satu hal yang sulit dilakukan dalam mendesain sistem panyanggaan dan mendesain lubang bukaan tambang bawah tanah adalah memperkirakan kekuatan dan perubahan bentuk dari massa batuan (Hoek et al. 1995). Massa batuan pada dasarnya merupakan batuan utuh yang dipisahkan oleh struktur geologi dengan perilaku yang berbeda-beda. Kekuatan massa batuan erat kaitannya dengan batuan utuh, ts, dan strength maka untuk memahami kekuatan massa batuan diperlukan pemahaman dasar mengenai batuan utuh, ts, dan strength (Hoek et al. 1995). Batuan utuh, ts, dan strength merupakan istilah penting dalam mempelajari dan memahami kekuatan massa batuan. Batuan utuh didefinisikan sebagai blokblok batuan yang tidak mengalami rekahan yang terdapat diantara struktur geologi yang biasanya berupa ts (kekar) (Hoek et al. 1995). Batuan utuh dapat dilihat dari inti batuan yang diperoleh dari proses pemboran. Batuan utuh memiliki ukuran yang berkisar dari beberapa millimeter sampai beberapa meter dan biasanya memiliki sifat elastic dan isotropic (Hoek et al. 1995). ts merupakan rekahan yang terbentuk pada massa batuan yang dipengaruhi oleh proses-proses geologi (Jumikis, 1983). Menurut Brady dan Brown (1985) ts merupakan rekahan pada massa batuan yang terbentuk dari proses geologi dan tidak mengalami perpindahan. Rekahan yang terbentuk akibat proses

peledakan (blasting) tidak dikategorikan sebagai ts. ts pada massa batuan biasanya terdiri dari beberapa set dan tidak pernah terdapat satu set t pada suatu massa batuan (Jumikis, 1983). t-t yang sejajar dalam satu kelompok disebut sebagai t set. t bisa jadi memiliki bukaan dan bisa juga memiliki isian berupa filling material. ts yang terdapat pada batuan sedimen biasanya memiliki sekurang-kurangnya dua ts set yang hampir tegak lurus atau hanya berpotongan antara satu dengan yang lain dan dapat juga berpotongan dengan bidang perlapisan (Gambar 2.1). ts ini kadang- kadang berakhir pada ujung bidang perlapisan atau dapat juga memotong bidang perlapisan (Brady dan Brown, 1985). Strength dalam konteks ini didefinisikan sebagai tegangan maksimum yang dapat diterima oleh suatu massa batuan (Hoek et al. 1995).

Gambar 2.1. Kenampakan t pada Bidang Lipatan (after Blyth dan de Freitas, 1984 dalam Brady dan Brown, 1985) Informasi mengenai kekuatan massa batuan sangat dibutuhkan dalam merancang lubang bukaan bawah tanah dan dalam penentuan sistem penyanggaan tambang bawah tanah. Kestabilan suatu bukaan bawah tanah tergantung pada faktor geologi dan hubungan tegangan pada massa batuan. Kekuatan masa batuan dapat dihitung menggunakan persamaan yang diajukan oleh Hoek dan Brown. Hoek dan Brown (1980) mengusulkan suatu metode pendekatan untuk memperkirakan kekuatan massa batuan. Metode yang diusulkan didasarkan pada penilaian terhadap struktur massa batuan dan keadaan permukaan struktur geologi pada massa batuan tersebut. Metode yang diajukan oleh Hoek dan Brown untuk memperkirakan kekuatan massa batuan tersebut diberi nama Original Hoek-

Brown Criterion. Metode tersebut kemudian dikembangkan lagi dengan menambahkan konsep Geological Strengh Index (GSI) sebagai parameter yang bertujuan untuk memperkirakan pengurangan kekuatan massa batuan oleh kondisi geologi. Kriteria ini diberi nama Generalized Hoek-Brown Criterion (Hoek et al. 1995). Persamaan untuk kriteria Generalized Hoek-Brown adalah sebagai berikut :

Keterangan:

Hoek dan Brown (1995) menyatakan bahwa masa batuan dengan kualitas baik yang mana kekuatan masa batuan dikontrol oleh batuan-batuan yang saling mengunci dengan ketat, kriteria runtuh batuan dapat dicari dengan persamaan (2.1) dengan mengasumsikan nilai a = 0,5 sehingga persamaan tersebut menjadi :

Hoek et al. (2002) memberikan persamaan untuk menghitung nilai mb, s, dan a dari masa batuan sebagai berikut :

Dimana : mi = Konstanta m untuk potongan batuan utuh (Tabel 2.1) GSI = Indeks kekuatan masa batuan berdasarkan kondisi geologi (Tabel 2.2) D

= Faktor kerusakan batuan yang tergantung pada hasil dari proses peledakan dan tegangan pada lubang bukaan (Tabel 2.3)

Tabel 2.1. Nilai Konstanta mi untuk Batuan Utuh (Hoek, 1983)

* Conglomerates dan breccias mempunyai rentang nilai mi yang besar tergantung dari material semen dan derajat penyemenan, jadi bisa jadi memiliki nilai yang sama dengan sandstone, untuk nilai yang digunakan untuk sedimen berbutir halus (bahkan dibawah 10) ** Nilai yang ditunjukan pada tabel adalah untuk contoh batuan intact yang diuji pada keadaan normal sampai keadaan berlapis atau berfoliasi. Nilai dari mi akan berbeda jika keruntuhan terjadi disepanjang bidang lemah

Nilai mi digunakan sebagai pendekatan untuk mencari nilai konstanta batuan yang akan digunakan dalam penentuan kriteria runtuh batuan menggunakan metode Generalized Hoek and brown. Nilai mi dapat langsung ditentukan dengan melihat jenis batuan dan nilai mi dari jenis batuan tersebut pada Tabel 2.1. Tabel 2.2. Nilai Geological Stength Index (Hoek,2002)

Pemberian nilai GSI sangat bergantung kepada deskripsi geologi terhadap suatu masa batuan dengan berdasarkan kepada struktur dan kondisi permukaan struktur,

selain itu nilai GSI juga dapat ditentukan melalui persamaan yang diajukan Bieniawski (1989) sebagai berikut :

Tabel 2.3. Disturbance Factor (Hoek et al. 2002)

Disturbance factor merupakan faktor kerusakan yang terjadi pada masa batuan akibat dari proses peledakan maupun tegangan yang terjadi pada masa batuan tersebut. Nilai tersebut diperoleh melalui pengamatan detail pada daerah yang ingin diketahui nilai ―D‖ nya dan mencocokannya pada Tabel 2.3. 2.2. Klasifikasi Massa Batuan

Klasifikasi massa batuan merupakan suatu metode empirik untuk menentukan sistem penyanggaan pada tambang bawah tanah. Klasifikasi massa batuan sangat berguna pada masa studi kelayakan dan desain awal tambang bawah tanah dimana informasi detail mengenai massa batuan dan tegangan didalamnya serta karakteristik hidroya sangat terbatas (Hoek et al. 1995). Penggunaan klasifikasi massa batuan dapat menjadi dasar dalam pertimbangan pemilihan sistem penyanggaan dan metode penggalian pada tambang bawah tanah. Klasifikasi masa batuan dapat digunakan sebagai check list untuk mendapatkan informasi yang relevan mengenai kondisi massa batuan secara rinci (Hoek et al. 1995). Klasifikasi massa batuan pada prinsipnya tidak dapat menggantikan pekerjaan desain rinci dalam menentukan sistem penyanggaan tambang bawah tanah (Hoek et al. 1995). Penggunaan klasifikasi massa batuan dalam penentuan sistem penyanggaan dan kebutuhan penyangga pada tambang bawah tanah harus digunakan bersamaan dengan metode analitik dan metode observasi untuk mendapatkan desain sistem penyanggaan yang rasional dan optimal. Sistem klasifikasi masa batuan telah banyak dikembangkan oleh para ahli untuk mendapatkan pendekatan yang lebih teliti tentang keadaan massa batuan. Bieniawski (1989) menyatakan bahwa dari sekian banyak klasifikasi masa batuan yang dikembangkan ada enam sistem klasifikasi massa batuan yang lazim digunakan yakni sistem klasifikasi massa batuan yang diajukan oleh Terzaghi (1946), Lauffer (1958), Deere dkk (1967), Wickham dkk (1972), Bieniawski (1973), dan Barton dkk (1974). Terzaghi (1946) memperkenalkan sistem klasifikasi massa batuan praktis pertama yang diberi nama Rock Load Classification. Sistem klasifikasi masa batuan ini dominan digunakan di Amerika Serikat dan dinilai sangat sukses untuk terowongan dengan sistem penyanggaan menggunakan baja (Bieniawski, 1989). Lauffer’s (1958) mengusulkan konsep Stand Up Time dari span aktif pada sebuah tunnel, yang sangat bersangkutan dalam penentuan tipe dan jumlah penyangga pada sebuah lubang bukaan (Bieniawski, 1989). Deere et al. (1967) memperkenalkan Rock Quality Designation yang merupakan metode klasifikasi batuan yang praktis dan sederhana dalam mendeskripsikan kualitas masa batuan

berdasarkan persentase batuan utuh pada inti bor (Bieniawski, 1989). Wickham dkk (1972, 1974), mengembangkan konsep klasifikasi masa batuan Rock Structure Rating (RSR) di Amerika Serikat. Rock Structure Rating (RSR) merupakan klasifikasi masa batuan pertama yang menggunakan pembobotan relatif untuk parameter klasifikasi yang penting (Bieniawski, 1989). Bieniawski (1973) mengajukan klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating System dan Barton et al. (1974) mengajukan klasifikasi geomekanika Q-System. Klasifikasi masa batuan RMR-system dan Q-system merupakan klasifikasi masa batuan yang dikembangkan secara luas dan parameter-parameter yang ada pada klasifikasi masa batuan ini menyediakan data-data kuantitatif untuk pemilihan sistem penyanggaan dan perkuatan tunnel modern seperti rockbolt dan shotcrete. 2.3. Rock Mass Rating (RMR) System Rock Mass Rating (RMR) system merupakan klasifikasi geomekanika yang dikembangkan oleh Bienawski pada tahun 1973. Klasifikasi masa batuan ini memiliki 6 (enam) parameter yang digunakan untuk mengklasifikasikan masa batuan (Bienawski,1989). Keenam parameter tersebut adalah : 1. Uniaxial compressive stress (UCS) 2. Rock Quality Designation (RQD) 3. Spasi discontinuity 4. Orientasi discontinuity 5. Kondisi discontinuity 6. Kondisi air tanah Parameter-parameter diatas memiliki pembobotan masing-masing yang dibuat berdasakan pengujian di berbagai terowongan bawah tanah. Parameter-parameter diatas nantinya akan dijumlahkan sehingga didapatkan nilai RMR dari batuan yang dibagi menjadi lima kelas. Nilai dari parameter-parameter tersebut bisa didapatkan mealui penyelidikan geoteknik bawah tanah. Masa batuan disepanjang terowongan bawah tanah akan terbagi kedalam sejumlah daerah struktural (Bienawski,1989) yang mana parameter-parameter diatas dapat menggambarkan daerah-daerah struktural pada terowongan bawah tanah. Daerah

struktural yang dimaksud adalah zona geologi dari masa batuan yang memiliki sedikit atau banyak keseragaman (Bienawski,1989). Masa batuan pada hakikatnya bersifat discontinuity (tidak menerus) di alam tetapi tidak tertutup kemungkinan mereka seragam pada daerah-daerah tertentu. Discontinuity merupakan semua bentuk ketidakmenerusan pada suatu masa batuan. Discontinuity dapat berupa kekar, sesar, perlapisan atau bidang-bidang lemah yang terlihat di permukaan (Bienawski,1989). Discontinuity juga dapat diartikan sebagai segala bentuk pemisahan yang terdapat pada suatu masa batuan (Hudson dan Harrison, 1997). Untuk mengetahui lebih dalam mengenai parameter - parameter yang di gunakan pada klasifikasi masa batuan RMR system dan pembobotannya akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut : 2.3.1. Uniaxial Compressive Strength (UCS) Nilai Uniaxial Compressive Strength (UCS) batuan ditentukan berdasarkan uji laboratorium dengan menggunkan mesin tekan (compression machine) yang sesuai dengan prosedur standar pengujian (Bieniawski, 1989). Sampel yang disarankan untuk uji kuat tekan ialah sampel yang berbentuk silinder dengan syarat ukuran sample 2 < L/D < 2,5. Sampel kemudian diletakkan pada compression machine dan diberi gaya hingga terjadi deformasi yang ditandai dengan terbentuknya rekahan sampai pergeseran disepanjang bidang rekahan. Setelah dilakukan pengujian terhadap sampel batuan maka dapat dibuat kurva tegangan-regangan. Perilaku batuan berdasarkan uji kuat tekan batuan digambarkan oleh Bieniawski (1984) seperti pada Gambar 2.2. Pada tahap awal pembebanan kurva berbentuk sedikit cekung keatas. Bentuk kurva ini menandakan dua hal yakni pertama, preparasi sampel batuan yang kurang sempurna yang ditunjukan oleh bagian ujung dari sampel yang berbentuk silinder tidak sejajar atau tidak rata. Kedua hal ini menandakan bahwa gaya akibat tekanan yang diberikan pada batuan sudah mulai bekerja untuk menutup rekahanrekahan kecil yang ada di dalam batuan. Pada tahap selanjutnya kurva mulai berbentuk linear sampai pada batas tegangan tertentu yang disebut batas elastic (E), setelah itu terbentuk rekahan baru yang merambat secara stabil yang ditunjukan oleh garis kurva yang tetap linear. Perambatan rekahan menjadi tidak stabil setelah melewati batas elastik yang ditandai dengan bentuk kurva yang tidak

lagi linear. Pada tahap selanjutnya batuan akan hancur yang ditandai adanya pergeseran yang cepat pada sampel batuan yang ditekan dan pada titik inilah nilai kekuatan batuan ditentukan dengan kata lain titik hancurnya batuan ini menyatakan kekuatan batuan (Priest dan Hudson, 1997).

Gambar 2.2. Perilaku batuan berdasarkan uji UCS batuan (Bieniawski, 1984) Nilai kuat tekan batuan dapat juga diperkirakan dengan pengujian kekuatan batuan di lapangan (field test) menggunakan peralatan seperti palu geologi dan pisau. Nilai dari field test memiliki korelasi dengan nilai UCS (Tabel 2.4). Tabel 2.4. Parameter pengujian kekuatan batuan di lapangan (Hoek,1983)

2.3.2. Rock Quality Designation (RQD) Rock quality designation dikembangkan oleh Deere et al. (1964) untuk memberikan analisis kuantitatif terhadap kualitas masa batuan berdasarkan perolehan hasil inti pemboran. Rock Quality Designation (RQD) merupakan persentasi masa batuan utuh yang didapat dari hasil inti pengeboran. RQD diperoleh dengan membandingkan jumlah inti bor yang memiliki panjang lebih dari 10 cm dengan kedalaman lubang bor (core run) (Brady dan Brown,1985). Prosedur pengukuran nilai RQD dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Prosedur Pengukuran dan Perhitungan nilai RQD (After Deere,1989 dalam Hoek et al. 1995) Priest dan Hudson (1976) menemukan persamaan untuk menghitung nilai RQD berdasarkan frekuensi kehadiran discontinuity per meter (Brady dan Brown, 1985). Persamaan ini dapat digunakan apabila data inti bor tidak tersedia. Persamaan yang diajukan oleh Priest dan Hudson (1976) adalah sebagai berikut :

Deere dan Miller (1968) memberikan suatu hubungan antara nilai Rock Qality Designation dengan kualitas masa batuan yang dapat dilihat pada Tabel 2.5 Tabel 2.5. Hubungan nilai Rock Quality Designation (RQD) dengan kualitas masa batuan (Bieniawski, 1989)

2.3.3. Jarak Ketidakmenerusan (Spasi of discontinuity) Jarak ketidakmenerusan (Spasi of discontinuity) adalah jarak antara bidang discontinuity yang saling berdekatan dalam pengukuran menggunakan garis ukur (scanline) dan masih berada dalam satu set t (Hudson dan Harrison 1997). Klasifikasi untuk jarak kekar dalam satu t set dapat dilihat pada Tabel 2.6. Jarak dari diskontinuitas menentukan ukuran blok yang membentuk masa batuan. Perbandingan perbedaan jarak discontinuity juga dapat mengakibatkan perbedaan pada mekanisme deformasi dan keruntuhan batuan (Brady dan Brown, 1985). Tabel 2.6. Klasifikasi untuk Jarak Kekar (Bieniawski, 1979)

2.3.4. Kondisi discontinuity Kondisi discontinuity dinyatakan dalam lima parameter yakni panjang kemenerusan (persistence), bukaan/rekahan (aperture), kekasaran permukaan t (Roughness), isian (filling), dan pelapukan (weathering) (Gambar 2.4). Kelima parameter ini akan mendeskripsikan kondisi discontinuity di lapangan. Kelima faktor ini akan dibahas dengan rinci sebagai berikut:

Gambar 2.4. Kondisi Discontinuity (Hudson dan Harrison, 1997) 2.3.4.1. Panjang kemenerusan (Persistence) Panjang kemenerusan merupakan ukuran dari kemenerusan dalam suatu bidang (Brady dan Brown, 1985). Panjang kemenerusan dapat ditentukan dengan melakukan pengukuran panjang jejak kemenerusan yang tersingkap di permukaan (Brady dan Brown, 1985). Pada tambang bawah tanah jejak kemenerusan dapat diamati pada heading, dinding kiri, dinding kanan, atap, dan lantai terowongan. Klasifikasi panjang kemenerusan dapat dilihat pada Tabel 2.7 Tabel.2.7 Klasifikasi Panjang Kemenerusan (after ISRM commission 1978a dalam Brady dan Brown, 1985)

2.3.4.2. Bukaan/rekahan Bukaan atau rekahan merupakan jarak tegak lurus antar permukaan bidang ketidakmenerusan (Brady dan Brown, 1985). Rekahan yang terbentuk dapat terisi oleh air,udara, dan material lainnya (filling material). Bukaan atau rekahan akan mengontrol sejauh mana permukaan bidang ketidakmenerusan saling mengunci dan juga mengontrol banyaknya air yang mengalir pada bukaan. (Bienawski, 1989). ISRM Comission on Standarization of Laboratorium and Field Test mengajukan klasifikasi lebar rekahan pada kekar yang terdapat pada Tabel 2.8. Tabel 2.8. Klasifikasi Lebar Rekahan pada Bidang Ketidakmenerusan (ISRM Comission on Standarization of Laboratorium and Field Test, 1978)

2.3.4.3. Kekasaran Permukaan Bidang Ketidakmenerusan (Roughness) Permukaan dari bidang ketidakmenerusan memiliki kekasaran. Kekasaran bidang ketidakmenerusan dapat didefinisikan dengan mengacu pada grafik standar atau secara matematis (Hudson dan Harrison, 1997). Klasifikasi kekasaran bidang ketidakmenerusan dapat dilihat pada Tabel 2.9 dan Gambar 2.5. Tabel 2.9. Klasifikasi Kekasaran Permukaan Bidang Keteidakmenerusan (after ISRM Commission 1978a dalam Brady dan Brown 1985)

Gambar 2.5. Kekasaran Permukaan Bidang Ketidakmenerusan (after ISRM Commission 1978a dalam Brady dan Brown, 1985 2.3.4.4. Isian (Filling) Filling merupakan material yang mengisi bagian dari bidang ketidakmenerusan yang

berdekatan.

Beberapa

contoh

material

yang

mengisi

bidang

ketidakmenerusan adalah mineral-mineral seperti chlorite, silt, clay, calcite,

breccia, quartz atau pyrite (Brady dan Brown 1985). Material pengisi ini bisa memiliki pengaruh terhadap kuat geser batuan. 2.3.4.5. Pelapukan (Weathering) Pelapukan dapat diamati pada bidang ketidakmenerusan yang tersingkap. Pengamatan dilakukan dengan mengamati perubahan material batuan dan perubahan warna yang terjadi pada permukaan batuan. Tingkat pelapukan batuan diklasifikasikan menjadi beberapa kelas dan dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Klasifikasi Tingkat Pelapukan pada Dinding Diskontinuitas (ISRM Comission on Standarization of Laboratorium and Field Test, 1978)

2.3.5. Kondisi air tanah Kondisi air tanah akan mempengaruhi nilai dari masa batuan, semakin besar debit air tanah yang mengalir atau yang ada pada batuan maka nilai dari masa batuan berdasarkan klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating system akan semakin kecil (Bieniawski, 1989). Kondisi air tanah diklasifikasikan berdasarkan debit aliran air yang mengalir pada setiap t set. Kondisi air tanah dapat diamati secara visual dilapangan dengan melihat aliran air pada heading, dinding, dan atap

terowongan serta dapat dilakukan dengan meraba permukaan batuan. Kondisi air tanah secara umum diklasifikasikan menjadi beberapa kondisi yaitu : kering, lembab, basah, menetes, dan mengalir. Kondisi air tanah menjadi salah satu faktor penting dalam klasifikasi masa batuan Rock Mass Rating-system karena kondisi air tanah bisa menyebabkan stress pada batuan terlebih lagi apabila ada catchment area atau kantong air. Air yang terakumulasi di suatu tempat memiliki tekanan hidrostasis yang berbanding lurus dengan volume air yang ada. Semakin besar volume air maka akan semakin besar tekanan hidrostatisnya dan air akan mengalir dengan deras melalui rekahan menuju ke tempat yang lebih rendah. Apabila rekahan terisi oleh air maka batuan akan mengalami pembebanan dan volumenya bertambah sehingga tekanan yang diberikan ke batuan dibawahnya juga akan semakin besar. 2.3.6. Orientasi Ketidakmenerusan Orientasi atau letak bidang ketidakmenerusan di dalam suatu ruang dapat digambarkan dengan dip pada pengukuran ketidakmenerusan di permukaan dalam keadaan horizontal, dan dip direction atau azimuth dari garis ini, diukur searah jarum jam dari arah utara sebenarnya (Brady dan Brown, 1985). Klasifikasi

Rock

Mass

Rating

System

memasukan

pengaruh

orientasi

ketidakmenerusan terhadap sumbu terowongan sebagai faktor pengurang nilai RMR masa batuan. Bidang ketidakmenerusan yang searah dengan sumbu terowongan dianggap merugikan sedangkan bidang ketidakmenerusan yang tegak lurus terhadap sumbu terowongan dianggap menguntungkan. 2.4. Penggunaan Klasifikasi Masa Batuan Penggunaan klasifikasi masa batuan Rock Mass Rating (RMR) system dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1.

Menentukan bobot nilai (rating) dari lima parameter pada Tabel 2.11 berdasarkan keadaan lapangan yang diamati dan menjumlahkan rating yang diperoleh dari setiap parameter tersebut

2.

Menentukan rating dari kedudukan sumbu terowongan terhadap strike dan dip bidang-bidang ketidakmenerusan (Tabel 2.12)

3.

Menentukan nilai RMR terkoreksi dengan menjumlahkan rating total RMR pada langkah pertama dengan rating RMR pada langkah kedua.

4.

Menentukan sistem penyanggaan yang sesuai dengan nilai RMR yang diperoleh dari Tabel 2.13

Tabel 2.11. Parameter untuk Menentukan Nilai RMR Dasar (after Bieniawski, 1989 dalam Hoek et al. 1995)

Tabel 2.12. Pengaruh orientasi terhadap sumbu terowongan (after Wickham, 1972 dalam Hoek et al. 1995)

Tabel 2.13. Rekomendasi sistem penyanggaan berdasarkan nilai RMR (Bieniawski, 1989)

2.5. Perhitungan Tinggi Runtuh dan Beban Runtuh Batuan Perhitungan tinggi runtuh (Ht) dan beban runtuh batuan (PRMR) berdasarkan klasifikasi masa batuan Rock Mass Rating (RMR) System dapat dihitung menggunakan persamaan yang diajukan oleh Unal (1983) sebagai berikut :

Nilai tinggi runtuh dan beban runtuh batuan sangat berguna dalam penentuan jumlah rockbolt dan panjang rockbolt yang akan digunakan. 2.6. Klasifikasi Stand Up Time Stand up time didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu lubang bukaan dapat tetap stabil tanpa penyangga. Nilai stand-up time dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni bentuk terowongan, metode penggalian, orientasi dari sumbu terowongan, dan metode penyangga (Hoek dan Brown, 1980). Nilai Stand-up time dapat ditentukan dengan memplot nilai RMR dan nilai lebar terowongan pada grafik nilai stand up time (Gambar 2.6). Grafik stand up time juga memberikan informasai mengenai nilai maximum uned span. Maximum uned span didefinisikan sebagai besarnya span (Gambar 2.7) yang dapat dibuat dan tetap stabil tanpa dilakukan pemasangan penyangga. Nilai stand up time memiliki korelasi dengan nilai kohesi dan sudut geser dalam suatu masa batuan (Tabel 2.14). Nilai stand up time dapat diperoleh juga dengan mengetahui nilai kohesi dan sudut geser dalam suatu masa batuan begitu juga sebaliknya apabila diketahui nilai stand up time maka dapat diketahui nilai sudet geser dalam suatu masa batuan (Hoek dan Brown, 1980).

Gambar 2.6 Hubungan Nilai RMR dengan Maximum Uned Roof Span dan Stand Up Time ( Bieniawski, 1989)

Gambar 2.7 Active Span (Lauffer, 1988 dalam Bieniawski, 1989) Tabel 2.14. Arti dari kelas massa batuan (Bieniawski, 1989)

2.7. Penyanggaan dan Perkuatan Batuan Masa batuan yang terambil akibat adanya proses penambangan akan mengakibatkan ketidakstabilan pada daerah lubang bukaan. Ketidakstabilan yang terjadi akan menyebabkan batuan sekitar berpotensi untuk runtuh. Untuk mencegah agar batuan disekitar lubang bukaan tetap stabil maka pada batuan sekitar tersebut harus dipasang sistem penyanggaan dan perkuatan yang tepat. Penyanggaan dapat dideskripsikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk meningkatkan stabilitas batuan disekitar lubang bukaan yang terbebani sehingga batuan tersebut dapat mencapai stabilitasnya (Hoek dan Brown,1985). Sedangkan perkuatan adalah suatu sistem yang digunakan untuk meningkatkan sifat mekanik dari suatu masa batuan yang mengalami pembebaban (loading). 2.7.1. Klasifikasi Penyangga Penyangga dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu berdasarkan masa waktu penggunaan, proses pemasangan, dan proses pembebanan. Berdasarkan masa waktu penggunaan, penyangga dibagi menjadi dua jenis yakni penyangga sementara dan penyangga permanen. Penyangga sementara didefinisikan sebagai penyangga yang dipasang untuk memastikan keamanan lubang bukaan selama proses penambangan berlangsung. Penyangga permanen didefinisikan sebagai penyangga yang dipasang untuk memastikan keamanan lubang bukaan selama masa waktu tertentu (Hoek dan Brown, 1985). Berdasarkan proses pemasangannya penyangga dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni penyangga primer dan penyangga sekunder. Penyangga primer merupakan penyangga yang langsung dipasang selama atau segera setelah proses pembuatan lubang bukaan yang bertujuan untuk menjamin keamanan kondisi kerja. Sedangkan penyangga sekunder merupakan penyangga yang dipasang setelah pemasangan penyangga primer (Hoek dan Brown, 1985). Berdasarkan proses pembebanan, penyangga dibedakan menjadi penyangga pasif dan penyangga aktif. Penyangga aktif merupakan penyangga yang dipasang untuk memberikan reaksi langsung terhadap pembebanan yang terjadi saat penyangga tersebut dipasang. Penyangga pasif merupakan penyangga yang belum mendapatkan pembebanan ketika penyangga dipasang dan akan mendapatkan pembebanan apabila terjadi deformasi batuan (Hoek dan Brown, 1985).

2.8. Friction Anchored Rockbolt (Split set) Split set merupakan jenis baut batuan dengan pengikatan geser. Mekanisme kerja split set adalah dengan cara memanfaatkan kekuatan geser yang timbul pada saat adanya pembebanan maksimum yang melebihi kekuatan baut batuan. Split set diperkenalkan oleh Scott (1976,1983) dan di produksi serta didistribusikan oleh Ingersoll-Rand (Hoek et al. 1995). Split set (Gambar 2.8) terdiri dari batang baja yang berbentuk tabung dengan panjang bervariasi yakni 1.42 m dan 2,4 m dan diameter 46 mm dengan sebuah face plate.

Gambar 2.8. Friction Anchored Rockbolt (Split Set) Keuntungan: 1. Memberikan aksi atau kerja terhadap pembebanan yang diterima dengan cepat setelah pemasangannya 2. Cara dan proses pemasangannya relatif sederhana yakni bisa dengan menggunakan jackleg atau jumbo boom 3. Pemasangan wire mesh lebih mudah . Kerugian: 1. Harga dari split set relatif mahal terlebih untuk split set jenis galvanized 2. Diameter lubang bor sangat berperan penting dalam pemasangan split set untuk memperoleh kekuatan yang diinginkan sehingga pemilihan batang bor dan mata bor harus dilakukan secara teliti dan juga proses pengeboran juga harus dilakukan secara teliti 3. Pemasangan split set yang berukuran panjang akan menjadi lebih sulit 4. Pemasangan split set untuk jangka panjang tidak memungkinkan terkecuali split set dilindungi oleh zat anti korosi Perhitungan jumlah dan jarak antar split set dapat dihitung menggunakan persamaan berikut (Biron dan Arioglu, 1983) :

2.9. Shotcrete Shotcrete merupakan campuran dari semen, pasir, dan aggregate halus yang diaplikasikan dengan menggunakan alat mekanis, yang dibantu dengan udara bertakanan tinggi (Hoek et al. 1995). Penggunaan shotcrete awalnya diterapkan dalam perkuatan terowongan sipil. Seiring perkembangan waktu penggunaan shotcrete juga diterapkan dalam terowongan tambang bawah tanah (Hoek et al. 1995). Penggunaan shotcrete pada tambang bawah tanah penting diaplikasikan pada lubang bukaan permanen seperti shaft, haulages, dan ruangan chusher (Hoek et al. 1995). Penggunaan shotcrete pada bukaan permanen bertujuan untuk menambah sistem perkuatan. Selain itu, shotcrete juga berfungsi sebagai penahan blok-blok batuan yang terlepas dari batuan induknya yang berpotensi jatuh sehingga mengganggu konsentrasi pekerja.

Shotcrete dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan cara pencampurannya yaitu dry mix shotcrete (Gambar 2.9) dan wet mix shotcrete (Gambar 2.10).

Gambar 2.9. Dry Mix Shotcrete (Hoek et al. 1995)

Gambar 2.10. Wet Mix Shotcrete (Hoek et al. 1995) Dry mix shotcrete merupakan jenis shotcrete dimana pencampuran material agregat dan semen dilakukan didalam hopper, dan air yang digunakan pada shotcrete jenis ini di control oleh noozle. Dalam penggunaannya material campuran semen dan aggregate ditembakkan bersamaan dengan air menggunakan udara bertekanan tinggi. Wet mix shotcrete merupakan jenis shotcrete dimana pencampuran material aggregate,air dan semen dilakukan secara bersamaan di dalam mixer. Untuk menggunakan shotcrete ini prinsipnya sama dengan dry mix shotcrete yaitu dengan menggunakan udara bertekanan tinggi untuk menyemprotkan shotcrete. Rabcewicz mengusulkan persamaan untuk menentukan ketebalan shotcrete sebagai berikut (Biron dan Arioglu, 1983) :

2.10. Perlengkapan penunjang Sistem penyanggaan dengan baut batuan biasanya diaplikasikan bersama-sama dengan perlengkapan penunjang agar baut batuan yang dipasang memberikan kekuatan yang optimal sehingga dapat menjamin keamanan pada lubang bukaan Perlengkapan penunjang yang biasa digunakan bersamaan dengan penggunaan split set adalah face plate dan weld mesh. 2.10.1. Face plate Faceplate (Gambar 2.11) merupakan perlengkapan penunjang yang biasa digunakan bersamaan dengan baut batuan (rockbolt). Faceplate berfungsi untuk mendistribusikan kekuatan rockbolt secara merata.

Gambar 2.11. Jenis-jenis face plate (Schach, 1971)

2.10.2. Wire mesh Wire mesh berfungsi untuk menyangga agar blok-blok batuan yang berpotensi lepas dari batuan induknya tidak terjatuh. Wire mesh yang sering digunakan memiliki dua tipe yakni chainlink mesh dan weld mesh (Gambar 2.12). Penggunaan chainlink dan weld mesh sangat tergantung pada lokasi dan keadaan lubang bukaan. Chainlink mesh dan weld mesh harus dilapisi dengan senyawa atau bahan anti korosi apabila ingin diaplikasikan pada lubang bukaan yang bersifat permanen. Pemasangan wire mesh sangat disarankan untuk daerah dengan masa batuan yang memiliki struktur geologi berupa kekar yang sangat rapat dan daerah dengan indikasi potensi keruntuhan baji (Hoek et al. 1995).

Gambar 2.12. Weld mesh Pemilihan jenis wire mesh yang akan digunakan pada lubang bukaan tambang bawah tanah juga harus memperhatikan lokasi kerja dan permukaan bidang batuan yang akan disangga. Daerah yang memiliki permukaan yang kasar dan area kerja yang terbatas sebaiknya menggunakan chainlink mesh sebagai perlengkapan penunjang untuk pemasangan rock bolt. Daerah yang memiliki area kerja yang luas dan permukaan yang halus serta kemungkinan pemasangan shotcrete sebaiknya menggunakan weld mesh (Hoek et al. 1995).

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat percobaan secara langsung, berdasarkan permasalahanya. Penelitian ini termasuk sebagai penelitian korelasional dan penarikan kesimpulan untuk dijadikan sebagai perbandingan. Metode yang akan dilakukan dalam pengambilan data yang dibutuhkan untuk keperluan penyelesaian penulisan laporan tugas akhir ini adalah: 3.1.1. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Pengambilan data - data di lapangan seperti : a. Nilai kuat tekan batuan Nilai kuat tekan batuan diperkirakan dengan menggunakan parameter-parameter pengujian kuat tekan batuan di lapangan (field test). Pengujian batuan dilakukan mulai dari parameter yang terendah sampai parameter yang tertinggi sampai batuan tersebut hancur. Nilai kuat tekan yang diperoleh berdasarkan hasil uji kuat tekan di lapangan kemudian dikorelasikan dengan nilai UCS batuan yang diperoleh dari hasil pengujian menggunakan compression machine. b. Nilai Rock Quality Designation (RQD) batuan Pengukuran nilai Rock Quality Designation (RQD) dilakukan dengan mengukur frekuensi kehadiran kekar pada heading, dinding kanan, dan dinding kiri lubang. c. Spasi ketidakmenerusan Spasi ketidak menerusan diukur dengan menggunakan alat ukur panjang yaitu meteran. Pengukuran dilakukan dengan mengukur bidang ketidakmenerusan yang berdekatan dalam satu t set. d. Kondisi ketidakmenerusan Kondisi ketidakmenerusan berupa panjang kemenerusan, lebar bukaan/rekahan antar bidang ketidakmenerusan, kekasaran permukaaan t, material pengisi

antar t, dan pelapukan. Nilai dari variabel-variabel diatas dapat ditentukan dengan melakukan pengukuran menggunakan alat ukur panjang dan pengamatan pada lokasi penelitian. e. Kondisi air tanah Kondisi air tanah diperoleh melaui pengukuran debit menggunakan gelas ukur dan pengamatan secara visual dilapangan. f. Orientasi keluarga kekar Orientasi kekar diukur menggunakan kompas tipe brunton. Pengukuran orientasi kekar bertujuan untuk menentukan g. Jumlah split set yang digunakan pada daerah penelitian Perhitungan jumlah split set bertujuan untuk mengetahui jumlah split set yang digunakan secara aktual. Perhitungan jumlah split set dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu tongkat yang diberi cat semprot di bagian atasnya. h. Jarak antar split set Jarak antar split set dihitung menggunakan alat ukur panjang yaitu meteran. Tujuan dilakukan pengukuran adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian penggunaan split set menurut rekomendasi dan keadaan aktual. 3.1.2. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari PT. Cibaliung Sumberdaya. Data sekunder yang dibutuhkan pada penelitian ini, adalah sebagai berikut : a. Dimensi terowongan pada daerah penelitian. b. Rekomendasi sistem penyanggaan pada daerah penelitian c. Sifat fisik dan mekanik batuan yang ada di daerah penelitian. d. Properties rockbolt dan shotcrete yang terdapat di perusahaan. e. Kemajuan rata-rata terowongan . 3.1.3. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis, melakukan perhitungan dan mengkorelasikan antara data primer dan data sekunder untuk menyelesaikan setiap permasalahan. Data-data RMR, perhitungan tinggi runtuh, beban runtuh, dan penentuan faktor keamanan diolah menggunakan perangkat lunak microsoft office excel. Data tersebut disusun kedalam tabel sehingga dapat dilihat

perbandingan penggunaan penyangga sebelum dan setelah dievaluasi. Permodelan sistem penyanggaan dilakukan dengan software phase 2. 6.0. 3.1.4 Penyusunan Laporan Penyusunan laporan dilakukan dengan bimbingan secara berkala dan pembuatan laporan secara sistematis.

Evaluasi Teknis Sistem Penyanggan Menggunakan Klasifikasi Masa Batuan Rock Mass Rating System pada Development Area PT. Cibaliung Sumberdaya, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten

Pengumpulan Literatur

Orientasi Lapangan Pengumpulan Data

Data Primer : 1.Nilai kuat tekan batuan 2.Nilai RQD batuan 3.Spasi ketidakmenerusan 4.Kondisi ketidakmenerusan 5.Kondisi air tanah 6.Orientasi bidang ketidakmenerusan 7.Jumlah penggunaan split set 8.Jarak antar split set

Data Sekunder : 1.Dimensi terowongan 2.Sifat fisik dan mekanik batuan 3.Properties split set dan shotcrete yang digunakan perusahaan 4.Kemajuan rata-rata terowongan

Pengolahan Data

Analisis Data Kesimpulan dan Saran

Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian

BAB IV. WAKTU PELAKSANAAN

4.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian tugas akhir ini rencananya akan dilaksanakan di PT. Cibaliung Sumberdaya selama 2 bulan yaitu pada bulan 1 November 2018 – 1 Januari 2019 dengan perincian kegiatan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut: Tabel 4.1 Rencana Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tugas Akhir Di PT. Cibaliung Sumberdaya

No 1 2 3 4 5

Uraian Kegiatan Orientasi Lapangan Pengumpulan Referensi dan Data Pengolahan Data. Konsultasi dan Bimbingan Penyusunan dan Pengumpulan Laporan Persentasi Hasil

1

2

3

Minggu 4 5

6

7

8

BAB V. BIODATA MAHASISWA

DATA PRIBADI Nama

: Bagas Bimantara

Tempat, Tanggal Lahir

: Tebing Tinggi, 19 September 1996

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Mutiara Lingkungan I, Tebing Tinggi

No Handphone

: 0821 6583 2165

Status

: Belum Menikah

E-mail

: [email protected]

DATA PENDIDIKAN Sekolah Dasar

: Ir. H. Djuanda (2002-2008)

SMP

: SMPN 6 Tebing Tinggi (2008-2011)

SMA

: SMAN 4 Tebing Tinggi (2011-2014)

Perguruan Tinggi

: Institut Teknologi Medan (2014-sekarang)

PENGALAMAN  Mengikuti Organisasi Kampus (HMTP-ITM)  Asisten Lab. Mekanika Tanah  Menguasai software Autocad , Surpac 6.3.2. dan Phase 2 6.0.  Mengikuti Pelatihan Balai Diklat Tambang Bawah Tanah Nasional

 Kerja Praktek Di PT.Jhonlin Baratama, Kalimantan Selatan(1 Bulan 2 Minggu)  Mengikuti ISMC (Indonesia Student Mining Competetion) tingkat Asia

VI. PENUTUP

Demikianlah proposal permohonan Penelitian Tugas Akhir yang direncanakan dilakukan di PT. Cibaliung Sumberdaya harapan saya untuk dapat melakukan Penelitian Tugas Akhir dan mendapat sambutan yang baik dari pihak perusahaan. Melihat keterbatasan dan kekurangan yang saya miliki, maka saya sangat mengharapkan bantuan dan dukungan baik moril maupun materil dari pihak perusahaan untuk kelancaran Penelitian Tugas Akhir ini. Semoga hubungan baik antara pihak industri pertambangan dengan pihak institusi pendidikan pertambangan di Indonesia tetap berlangsung secara harmonis demi kemajuan

dunia

pendidikan

dan

perkembangan

industri

pertambangan

Indonesia.Atas perhatian dan bantuan yang diberikan.saya ucapkan terima kasih.