BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan
jiwa
merupakan
kemampuan
individu
untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu. Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta
dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor,
yaitu
:
kondisi
fisik
(somatogenik), kondisi perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi dilingkungan sosial (sosiogenik). Ketidakseimbangan pada salah satu dari ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa. Gangguan
jiwa
menurut
Depkes
RI
(2000)
adalah
suatu
perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau
hambatan
dalam
melaksanakan
peran
sosial.
WHO
memperkirakan saat ini di seluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia sendiri pada tahun 2006 diperkirakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dengan ratio populasi 1:4 penduduk. Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasien meninggalkan
gejala
sisa
seperti
adanya
ketidakmampuan
berkomunikasi dan mengenai realitas, serta prilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penuruna produktifitas hidup. Hal ini ditunjang dengan data Bank Dunia pada tahun 2001 di beberapa Negara yang menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY’s) sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Sebagai salah satu
upaya untuk mengurangi penurunan produktifitas maka pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum klien dipulangkan dari rumah sakit. Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna. Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan oleh multi profesi yang terdiri dari dokter, perawat, psikolog, sosial worker serta okupasi terapis yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Dokter memberikan terapi somatik, psikolog
melakukan pemilahan klien berdasarkan hasil
psikotest, kemampuan serta minat klien, sosial worker menjadi penghubung antara klien dengan keluarga dan lingkungan serta okupasi terapis memberikan terapi kerja bagi pasien. Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pengawasan. Sebagai sebuah tim, perawat memberi peran yang sangat penting dalam mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota tim sesuai dengan tujuan yang akan dicapai antara klien dan tim kesehatan sehingga rehabilitasi berjalan sesuai tujuan yang diharapkan menurut para perawat sistem dan budaya kerja yang ada
tidak
memungkinkan
untuk
melaksanakan
peran
tersebut,
sehingga perawat mengerjakan tugas multi profesi sekaligus dari mulai dokter, psikolog, sosial worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu berfikir kritis dan analisis dalam memahami peran perawat dalam terapi Somatik. 2. Tujuan Khusus a. Mahasiswa memahami pengertian terapi Somatik b. Mahasiswa memahami jenis-jenis terapi Somatik c. Mahasiswa memahami peran perawat dalam terapi Somatik C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun internet.
D. Sistematika Penulisan Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan Bab II : Pembahasan terdiri dari pengertian terapi Somatik, Jenis-jenis terapi
Somatik dan peran perawat dalam terapi Somatik
Bab III : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Terapi Somatik Terapi somatik adalah terapi yg diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dgn melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. B. Jenis-jenis Terapi Somatik pada Gangguan Jiwa 1. Pengikatan/ Pengekangan Fisik Pengekangan atau pengikatan fisik (restrain) pada klien gangguan jiwa dilakukan disaat berbahaya baik pada diri sendiri atau orang lain atau strategi yang lainnya
sudah tidak dapat
dijalankan secara efektif. Pengekangan fisik ini menggunakan alat pengekangan mekanik yaitu secara manual, adapun jenis pengekangan Mekanik tersebut adalah : a. camisoles (jaket pengekang) b. pengekang dgn manset utk pergelangan tangan c. pengekangan dengan manset untuk pergelangan kaki. Indikasi pengekangan yaitu: a. Perilaku amuk b. Perilaku agitasi
yang
tidak
dapat
dikendalikan
pengobatan c. Ancaman terhadap infegritas fisik d. Permintaan pasien utk pengendalian perilaku eksternal
dengan
Tindakan perawatan : a. Hargai hak asasi klien. Klien dpt merasa tindakan ini melanggar hak asasinya, maka perawat harus mengantisipainya. Jelaskan bahwa tindakan bukan untuk menghukum klien. Caranya : ~ Identifikasi kejadian pencetus ~ Observasi klien yg mengalami agitasi ~ Buat rencana yg sesuai dengan standar b. Lindungi klien dari cidera fisik akibat proses pengikatan c. Sediakan lingkungan yang aman d. Jaga integritas biologis klien Caranya : Cek vital sign rutin - Mandikan/ jaga kulit tetap bersih dan kering - Sediakan pot dan urinal u/. BAB - Atur suhu ruangan tetap nyaman - Beri posisi anatomis - Periksa daerah ikatan - Ganti posisi tiap 2 jam e. Jaga harga diri klien dengan : ~ Pertahankan privasi klien ~ Jika ada klien lain bertanya, jelaskan tindakan membantu mengendalikan prilakunya. ~ Pertahankan komunikasi verbal ~ Staff konsisten dan jenis kelamin sama ~ Segera lepas jika klien menunjukan
untuk
kemampuan
mengendalikan diri. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan saat melepas ikatan a. Monitor Vital sign b. Pastikan jumlah perawat cukup c. Lepas ikatan mulai dari anggota badan yang tidak dominan d. Anjurkan klien untuk mobilisasi aktif ditempat tidur e. Anjurkan bergerak secara bertahap f. Observasi prilaku klien, apa sudah terkendali g. Dokumentasikan. 2. Isolasi Isolasi adalah menempatkan pasien dalam suatu ruang di mana dia tidak dapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehendaknya. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari penempatan
dalam ruangan yg tertutup, tapi tidak terkunci sampai pada penempatan dalam ruang terkunci dengan kasur tanpa seprei di lantai, kesempatan berkomunikasi yang dibatasi. Indikasi penggunaan: a. Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan pasien atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan intervensi pengekangan yang longgar, seperti kontak interpersonal atau pengobatan b. Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh pasien. Kontraindikasi adalah: a. Kebutuhan untuk pengamatan masalah medik b. Risiko tinggi untuk bunuh diri c. Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori Prosedur Isolasi : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Tunjuk seorang pimpinan Perlihatkan kekuatan yang ada Buat rancangan yang tepat Komunikasi antar perawat jelas Tangkap klien tanpa menyakiti Kendalikan perilaku agresif klien Pindahkan klien ke ruang isolasi Ganti pakaian dengan pakaian yang aman dan nyaman Buat rencana asuhan perawatan lanjutan Tetap pertahankan kontak dengan klien.
Tindakan Keperawatan setelah klien berada di ruang isolasi : Bantu klien memenuhi kebutuhan dasarnya Observasi sesering mungkin Pertahankan komunikasi verbal Catat dan dokumentasikan Beri umpan balik tentang prilakunya Tetap berikan terapi yang lain Segera melepas klien jika prilakunya terkendali
3. TERAPI ELEKTROKONVULSIF (ECT) Terapi elektrokonvulsif (ECT) adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran lintrik melalui elektorode yang dipasang pada satu atau dua "temples." Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung ; pada masalah pasien dan respons terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Rentang jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif antara enam sampai 12 kali, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan sampai 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali seminggu atau setiap beberapa hari, walaupun sebenarnya bisa diberikan lebih jarang atau lebih sering. Walaupun sebagai terapi ECT cukup aman, akan tetapi ada beberapa
kondisi
merupakan
kontra
indikasi
diberikan
terapi
ECT.Kondisikondisi klien yang kontra indikasi tersebut adalah: a. Tumor intra kranial, karena ECT dapat meningkatkan tekanan intra kranial. b. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran. b. Osteoporosis, karena dengan timbulnya grandmall
dapat
berakibat terjadinya fraktur tulang. c. Infark miokardium, dapat terjadi henti jantung. d. Asthma bronkial, karena ECT dapat memperberat penyakit ini. Indikasi penggunaan adalah: a. Penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap obat antidepresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat b. Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak berespon lagi terhadap obat c. Pasien dengan secara akut yang sudah lama tidak menerima pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik d. Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek terapi pengobatan.
Peran Perawat pada ECT : a. Pada persiapan ECT 1) Tangani kecemasan dan kurang pengetahuan klien tentang prosedur ECT 2) Pemeriksaan fisik dan laboratorium 3) Inform consent 4) Klien puasa minimal 6 jam 5) Obat dihentikan sementara 6) Melepas gigi palsu, contac lens,perhiasan,jepit rambut 7) Pakaikan pakaian yang longgar 8) Mengosongkan blas b. Pelaksanaan ECT : 1) Membaringkan posisi telentang 2) Siapkan alat 3) Pasang bantalan gigi 4) Saat ECT, pertahankan sendi dengan supel { bahu, rahang, lutut c. Setelah ECT 1) Observasi dan awasi tanda vital 2) Jaga keamanan klien 3) Jika sudah sadar, bantu klien orientasi, jelaskan apa yang terjadi PERSIAPAN OBAT DAN ALAT ECT ~ Pesawat ECT lengkap ~Suction, ambu bag, spatel lidah, goedel, spuit, wing nedle, defebrilator, Tensimeter ~ Laringoscop dan ETT, O2. ~ SA,Pentotal, diprivum,dormicum ( obat anastesi ) ~ Succynilcoline ( pelemas otot ) ~ Infus set, cairan NaCl, glucose ~ Obat emergency : Adrenalin, epedrin, aminopilin,dopamin,meylon ~ Kapas,plaster,alkohol,verban.
4. FOTOTERAPI
Fototerapi atau terapi sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 520x lebih terang dari pada sinar ruangan. Klien biasanya duduk, mata terbuka, 1,5 meter di depan klien diletakkan lampu setinggi mata. Waktu dilaksanakan fototerapi bervariasi dari orang per orang. Beberapa klien berespon kalau terapi diberikan pada pagi hari, sementara yang lain lebih berespon kalau diberikan pada sore hari. Efek terapi ditentukan selain oleh lamanya terapi juga ditentukan oleh kekuatan cahaya yang digunakan. Dengan kekuatan cahaya sebesar 2500 lux yang diberikan selama 2 jam sehari efeknya sama dalam menurunkan depresi dengan terapi dengan kekuatan cahaya sebesar 10.000 lux dalam waktu 30 menit sehari. Terapi sinar sangat bermanfaat dan menimbulkan efek yang positif. Kebanyakan klien membaik setelah 3-5 hari terapi akan tetapi bisa kambuh kembali segera setelah terapi dihentikan. Keuntungan yg lain klien tdk akan mengalami toleransi terhadap terapi ini. Indikasi : Fototerapi dpt menurunkan 75% gejala depresi yg dialami klien akibat
perubahan
cuaca
(seasonal
affective
disorder(SAD)),
misalnya pada musim hujan atau musim dingin (winter) di mana terjadi hujan, mendung terus menerus yang bisa mencetuskan depresi pada beberapa orang. Mekanisme Kerja : Fototerapi bekerja berdasarkan ritme biologis sesuai pengaruh cahaya gelap terang pada kondisi biologis. Dengan adanya cahaya terang
terpapar
pada
mata
akan
merangsang
sistem
neurotransmiter serotonin & dopamin yg berperanan pada depresi. Efek Samping :
Kebanyakan efek samping yang terjadi meliputi ketegangan pada mata, sakit kepala, cepat terangsang, insomnia, kelelahan, mual, mata menjadi kering, keluar sekresi dari hidung dan sinus. 5. TERAPI DEPRIVASI TIDUR Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan cara mengurangi jumlah jam tidur klien. Hasil penelitian
ditemukan
bahwa
60%
klien
depresi
mengalami
perbaikan yang bermakna setelah jam tidurnya dikurangi selama 1 malam. Umumnya lama pengurangan jam tidur efektif sebanyak 3,5 jam. Indikasi : Terapi deprivasi tidur dianjurkan untuk klien depresi. Mekanisme Kerja: Mekanisme kerja terapi deprivasi tidur ini adalah mengubah neuroendokrin yang berdampak anti depresan. Dampaknya adalah menurunnya gejala-gejala depresi. Efek Samping : Klien yang didiagnosa mengalami gangguan efektif tipe bipolar bila diberikan terapi ini dapat mengalami gejala mania.
A. Pengertian Psikofarmaka Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk klien dengan
gangguan
mental.
Psikofarmaka
termasuk
obat-obatan
psikotropik yang bersifat Neuroleptik (bekerja pada sistem saraf). Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi : 1. Teori biologis (somatik). Mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro Convulsi Therapi (ECT). 2. Psikoterapeutik 3. Terapi Modalitas Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management psikoterapi. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka. Beberapa hal yang termasuk Neurotransmitter adalah Dopamin, Neuroepineprin, Serotonin, dan GABA (Gama Amino Buteric Acid), dll.
Meningkatnya dan menurunnya kadar/konsentrasi neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental. Obat-obatan psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan Neurotransmitter. B. Klasifikasi Menurut Rusdi Maslim, yang termasuk obat-obatan psikofarmaka adalah golongan : 1. Anti Psikotik Anti psikotik termasuk golongan Mayor Transquilizer atau Psikotropik : Neuroleptika Mekanisme kerja : menahan kerja reseptor Dopamin dalam otak (di ganglia) pada sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal Efek farmakologi : sebagai penenang, menurunkan aktifitas motorik, mengurangi insomnia, sangat efektif mengatasi Delusi, Halusinasi, Ilusi dan gangguan proses berpikir Indikasi pemberian anti psikototik : pada semua jenis psikosa, kadang untuk gangguan maniak dan paranoid. Efek samping pada anti psikotik : efek samping pada sistem syaraf 2. Anti Depresi Hipotesis : Sindroma depresi disebabkan oleh defisiensi salah satu atau beberapa aminergic neurotransmitter seperti Noradrenalin, Serotonin, Dopamin pada sinaps neuron di SSP, khususnya pada sistem Limbik. Mekanisme kerja obat :
Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik neurotransmitter Menghambat reuptake aminergik neurotransmitter Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase)
sehingga
terjadi
peningkatan
jumlah
aminergik
neurotransmitter pada neuron SSP Efek farmakologi : mengurangi gejala depresi dan sebagai penenang. Jenis obat yang digunakan adalah : a. Trisiklik b. MAO Inhibitor c. Aminitriptylin
Efek samping : yaitu efek samping Kolonergik (efek samping terhadap sistem syaraf perifer) yang meliputi mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi. 3. Anti Mania (Lithium Carbonate) Mekanisme kerja : menghambat pelepasan Serotonin dan mengurangi sensitivitas dari reseptor Dopamin. Hipotesa : pada mania terjadi peluapan aksi reseptor amine Efek farmakologi : mengurangi agresivitas, tidak menimbulkan efek sedative, mengoreksi/mengontrol pola tidur, irritable. Pada mania dengan kondisi berat pemberian anti mania dikombinasikan dengan obat anti psikotik Efek samping : efek neurologik ringan seperti kelelahan, letargis, tremor di tangan, terjadi pada awal terapi dapat juga terjadi diare dan mual. Efek toksik : pada ginjal (poliuri, edema), peningkatan jumlah litium, sehingga
menambah keadaan edema. Sedangkan pada SSP (tremor,
kurang koordinasi,
nistagmus dan disorientasi
4. Anti Cemas Termasuk Minor Transquilizer. Jenis obat antara lain Diazepam 5. Anti Insomnia : Phenobarbital 6. Anti Obsesif-Kompulsif : Clomipramine 7. Anti Panik, yang paling sering digunakan oleh klien jiwa : Imipramine C. Peran Perawat Dalam Pemberian Obat 1. Pengumpulan data sebelum pengobatan yang meliputi : a. Diagnosa Medis b. Riwayat Penyakit c. Hasil Pemeriksaan Lab d. Jenis obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian e. Program terapi yang lain f. mengkombinasikan obat dengan terapi Modalitas g. Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga tentang pentingnya minum obat
secara teratur dan penanganan efek
samping obat h. Monitoring efek samping penggunaan obat 2. Melaksanakan Prinsip Pengobatan Psikofarmaka
a. Persiapan 1) Melihat order pemberian obat di lembaran obat (status) 2) Kaji setiap obat yang akan diberikan. Termasuk tujuan, cara kerja obat,
dosis,
efek samping obat dan cara
pemberian 3) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang obat 4) Kaji kondisi klien sebelum pengobatan b. Lakukan minimal prinsip lima benar c. Laksanakan program pemberian obat 1) Gunakan pendekatan tertentu 2) Pastikan bahwa obat telah terminum 3) Bubuhkan tanda tangan pada dokumentasi pemberian obat, sebagai aspek 4) legal d. Laksanakan program pengobatan berkelanjutan melalui program rujukan e. Menyesuaikan dengan terapi non famakoterapi f. Turut serta dalam penelitian tentang obat psikofarmaka Setelah seorang perawat melaksanakan terapi psikofarmaka maka tugas terakhir yang penting harus dilakukan adalah evaluasi. Dikatakan reaksi obat efektif jika : a. Emosional stabil b. Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat c. Halusinasi, Agresi, Delusi, menarik diri menurun d. Prilaku mudah diarahkan e. Proses berpikir ke arah logika f. Efek samping Obat g. Tanda-tanda Vital Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmaka yang tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai salah satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan pasien. Peran perawat meliputi hal-hal sebagai berikut : a.
Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberi landasan
pandangan tentang masing-masing pasien. b. Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai terapi pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien c. Pemberian agen psikofarmakologis. Program pemberian obat dirancang secara professional dan bersifat individual
d.
Pemantauan efek
obat. Termasuk
efek
yang diinginkan
maupun efek samping yang dapat dialami pasien. e. Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman dan efektif f. Program Rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien di suatu tatanan perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang. g. Partisipasi dalam penelitian klinis antar disiplin tentang uji coba obat. h. Perawat penelitian
merupakan obat
yang
anggota digunakan
gangguan jiwa i. Kewenangan untuk memberi resep
tim
yang
untuk
penting
dalam
mengobati
pasien
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Salah satu somatik terapi (terapi fisik) pada klien gangguan jiwa
adalah pemberian obat
psikofarmaka.
Psikofarmaka
adalah
sejumlah besar obat farmakologis yang digunakan untuk mengobati gangguan mental. Obat-obatan yang paling sering digunakan di Rumah Sakit Jiwa adalah Chlorpromazine, Halloperidol, dan Trihexypenidil. Obat-obatan yang diberikan selain dapat membantu dalam proses penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga mempunyai efek samping yang dapat merugikan klien tersebut, seperti pusing, sedasi, pingsan,
hipotensi,
pandangan
kabur
dan
konstipasi.
Untuk
menghindari hal tersebut perawat sebagai tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus mampu mengimbangi
terhadap
perkembangan
mengenai
kondisi
klien
terutama efek dari pemberian obat psikofarmaka. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bandung, ternyata perawat tidak melakukan asuhan keperawatan pemberian obat secara tepat, misalkan : Perawat hanya memanggil klien satu persatu tanpa cek kondisi umum klien, misal pemeriksaan tekanan darah, dan lain-lain. Bagi klien yang dapat berjalan lalu dibagikan obat tersebut tanpa tindak lanjut monitoring efek dari obat tersebut. Ada yang dibuang, disembunyikan atau dimakan tanpa diketahui sejauh mana efek obat tersebut. Akibat kurang intensifnya observasi dalam pemberian obat mengakibatkan beberapa klien mengalami efek samping seperti gatal-gatal, bahkan ada yang sampai melepuh yang kemudian dirujuk ke Rumah Sakit
Umum, penglihatan kabur yang disertai mata menonjol. Derajat hubungan antara pengetahuan perawat tentang psikofarmaka dengan pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat sebagian dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan. Dengan
demikian
berarti
bahwa
pengetahuan
hanya
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat pada klien gangguan jiwa di RSJP Bandung, dimana masih ada faktor lain yang mempengaruhi seperti, sikap perawat terhadap pelaksanaan, protap pelaksanaan
dan
kebijakan-kebijakan
yang
mempengaruhi
pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat. B. Saran Perawat jiwa yang ada di rumah sakit (rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, panti kesehatan jiwa, yayasan yang merawat pasien gangguan jiwa), pengajar keperawatan jiwa di sekolah keperawatan, perawat jiwa yang ada di struktur departemen kesehatan dan dinas kesehatan diharapkan bersatu padu untuk menyuarakan kesehatan jiwa pada setiap kesempatan mulai dari sekarang pada setiap orang yang ditemui. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa advokasi dan action.
DAFTAR PUSTAKA Keliat, B.A. dkk.2007. Advance Course Community Mental Health Nursing. Manajemen Community Health Nursing District Level: Jakarta http://www.docstoc.com/docs/PERAN -PERAWAT-PADA REHABILITASI-KLIENGANGGUAN-JIWA Link Sumber : http://diaryforberti.blogspot.com/2014/12/makalahkeperawatan-jiwa-peran-perawat.html#ixzz3YD4D7kMu
BAB II PEMBAHASAN A. Defenisi Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu. (Kozier Barbara, 1995:21). Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Harlley Cit ANA (2000) menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan proses penuaan dan perawat Profesional adalah Perawat yang
bertanggungjawab
Keparawatan
secara
dan
mandiri
berwewenang dan
atau
memberikan
berkolaborasi
pelayanan
dengan
tenaga
Kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya.(Depkes RI,2002). Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Fungsi itu sendiri adalah suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Fungsi Perawat dalam melakukan pengkajian pada Individu sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang di lakukan
berguna untuk
pemulihan Kesehatan berdasarkan pengetahuan yang di miliki, aktifitas ini
di lakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian Pasien secepat mungkin dalam bentuk Proses Keperawatan yang terdiri dari tahap Pengkajian, Identifikasi masalah (Diagnosa Keperawatan), Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi. B. Peran Perawat Merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dan system, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan
yang
bersifat
konstan.
a. Pemberi Asuhan Keperawatan Sebagai
pemberi
mendapatkan
asuhan
kembali
keperawatan,
kesehatannya
perawat
melalui
membantu
proses
klien
penyembuhan.
Perawat memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistic, meliputi upaya untuk mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Pemberi asuhan memberikan bantuan kepada klien dan keluarga klien dengan menggunakan energy dan waktu yang minimal. Selain itu, dalam perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat memberikan perawatan dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat dan sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatannya dilakukan dari yang sederhana sampai yang kompleks. b. Pembuat Keputusan Klinis Membuat keputusan klinis adalah inti pada praktik keperawatan. Untuk memberikan perawatan yang efektif, perawat menggunakan keahliannya berfikir kritis melalui proses keperawatan. Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi klien, pemberian perawatan, dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan dengan menetapkan pendekatan terbaik bagi klien. Perawat membuat keputusan sendiri atau berkolaborasi dengan klien dan keluarga. Dalam setiap situasi seperti ini, perawat bekerja sama, dan berkonsultasi dengan pembe ri perawatan kesehatan professional lainnya (Keeling dan Ramos,1995). c. Pelindung dan Advokat Klien
Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serta melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostic atau pengobatan. Contoh dari peran perawat sebagai pelindung adalah memastikan bahwa klien tidak memiliki alergi terhadap obat dan memberikan imunisasi melawat penyakit di komunitas. Sedangkan peran perawat sebagai advokat, perawat melindungi hak klien sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu
klien
dalam
menyatakan
hak-haknya
bila
dibutuhkan.
Contohnya, perawat memberikan informasi tambahan bagi klien yang sedang berusaha untuk memutuskan tindakan yang terbaik baginya. Selain itu, perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang umum
dengan
menolak
aturan
atau
tindakan
yang
mungkin
membahayakan kesehatan klien atau menentang hak-hak klien. Peran ini juga dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpetasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan
yang
diberikan
kepada
pasien,
juga
dapat
berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian. d. Manager Kasus Dalam perannya sebagai manager kasus, perawat mengkoordinasi aktivitas anggota tim kesehatan lainnya, misalnya ahli gizi dan ahli terapi fisik, ketika mengatur kelompok yang memberikan perawatan pada klien. Berkembangnya model praktik memberikan perawat kesempatan untuk membuat pilihan jalur karier yang ingin ditempuhnya. Dengan berbagai tempat kerja, perawat dapat memilih antara peran sebagai manajer asuhan keperawatan atau sebagai perawat asosiat yang melaksanakan keputusan
manajer
(Manthey,
1990).
Sebagai
manajer,
perawat
mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung jawab asuhan dan mengawasi tenaga kesehatan lainnya. e. Rehabilitator Rehabilitasi adalah proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan lainnya. Seringkali klien mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka. Disini, perawat berperan sebagai rehabilitator dengan membantu klien beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut. f.
Pemberi Kenyamanan Perawat klien sebagai seorang manusia, karena asuhan keperawatan harus ditujukan pada manusia secara utuh bukan sekedar fisiknya saja, maka
memberikan
kenyamanan
dan
dukungan
emosi
seringkali
memberikan kekuatan bagi klien sebagai individu yang memiliki perasaan dan kebutuhan yang unik. Dalam memberi kenyamanan, sebaiknya perawat membantu klien untuk mencapai tujuan yang terapeutik bukan memenuhi ketergantungan emosi dan fisiknya. 7. Komunikator Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar sesame perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Dalam memberikan perawatan yang efektif dan membuat keputusan dengan klien dan keluarga tidak mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas. Kualitas komunikasi merupakan factor yang menentukan
dalam
memenuhi
kebutuhan
individu,
keluarga
dan
komunitas. 8. Penyuluh Sebagai penyuluh, perawat menjelaskan kepada klien konsep dan datadata tentang kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas perawatan diri, menilai apakah klien memahami hal-hal yang dijelaskan dan mengevaluasi kemajuan dalam pembelajaran. Perawat menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan klien serta melibatkan sumber-sumber yang lain misalnya keluarga dalam pengajaran yang direncanakannya. 9. Kolaborator Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan
berupaya
mengidentifikasi
pelayanan
keperawatan
yang
diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. 10.Edukator Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga
terjadi
perubahab
perilaku
dari
klien
setelah
dilakukan
pendidikan kesehatan. 11. Konsultan Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan
klien
tehadap
informasi
tentang
tujuan
pelayanan
keperawatan yang diberikan. 12. Pembaharu Peran
sebagai
pembaharu
dapat
dilakukan
dengan
mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. B. Fungsi Perawat Definisi fungsi itu sendiri adalah suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. dalam menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya: 1. Fungsi Independen Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan
dan
kebutuhan
elektrolit, aktivitas
kenyamanan,
pemenuhan dan
pemenuhan
lain-lain), kebutuhan
kebutuhan
nutrisi,
pemenuhan cinta
pemenuhan
kebutuhan
mencintai,
dan
pemenuhan
kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. 2. Fungsi Dependen Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya silakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana. 3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainnya,
seperti
dokter
dalam
memberikan
tindakan
pengobatan
bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi onat yang telah diberikan. Peranan perawat sangat menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung
jawab
untuk
memelihara
dan
mengelola
asuhan
keperawatan serta mengembangkan diri dalam meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan keperawatan.