Pengertian Indikator Kinerja Surveilans
In Jurnal 15 Maret 2016
PP PAEI 4086 Views
0 comments
PAEI.OR.ID – Surveilans epidemiologi didefinisikan sebagai kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan 1). Sebagai PAEI.OR.ID – Surveilans epidemiologi didefinisikan sebagai kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan 1). Sebagai suatu kegiatan yang diselenggarakan secara sistematis dan terus menerus, maka disamping adanya tujuan yang jelas dan terukur, juga diperlukan adanya indikator kinerja yang jelas dan terukur. Secara umum indikator kinerja biasanya dibagi 2 jenis, yaitu indikator kinerja program dan indikator kinerja surveilans (1)Indikator kinerja program merupakan ukuran besarnya hasil kerja yang diharapkan diperoleh setelah satu rangkaian aktivitas program. Indikator kinerja ini lebih tepat sebagai ukuran pencapaian tujuan program, dan berdasarkan indikator kinerja ini dapat dinyatakan program telah mencapai tujuan yang diharapkan atau tidak. Misalnya, indikator kinerja program pengendalian DBD adalah angka kesakitan <52 kasus per 100.000 penduduk pertahun perProvinsi. (2) Indikator kinerja surveilans merupakan ukuran kualitas suatu sistem kerja. Secara operasional, suatu unit program apabila menyatakan besarnya
masalah program, maka wajib didukung oleh sistem kerja informasi yang baik. Baik atau tidak baiknya sistem kerja informasi ini, dinyatakan dengan ukuran atau indikator kinerja surveilans. Misalnya, angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) di Jakarta adalah sebesar 225 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2010. Penyataan besarnya angka kesakitan DBD ini, diperoleh dari pengumpulan data dari semua rumah sakit atau hanya sebagian rumah sakit (kelengkapan laporan) ?, seberapa akurat kasus DBD itu sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan (keakuratan pengisian variabel) ?, dsb. Kelengkapan laporan dan tingkat keakuratan pengisian variabel DBD tersebut diatas merupakan indikator kinerja untuk mengukur mutu laporan angka kesakitan DBD di Jakarta. Indikator kinerja ini yang disebut “indikator kinerja surveilans DBD”Indikator kinerja surveilans dapat digunakan sebagai bagian dari monitoring dan evaluasi penyelenggaraan sistem surveilans. Data indikator kinerja surveilans menurut karakteristik waktu dan tempat, dapat menuntun kepada sumber data yang perlu mendapat pembinaan dan dukungan dalam penyelenggaraan sistem surveilans yang lebih baik Indikator kinerja surveilans ini sering rancu dengan tujuan surveilans, dan indikator kinerja program. Kerancuan ini dapat mengakibatkan timbulnya kelemahan manajemen penyelenggaraan sistem surveilans, terutama penyelenggaraan sistem surveilans yang berada dalam satu paket dengan penyelenggaraan intervensi program. Beberapa contoh bahasan dibawah ini dapat menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut : Contoh : Surveilans Demam Berdarah Dengue Tujuan program pengendalian DBD adalah menurunnya insidens DBD di semua daerah Indikator kinerja program pengendalian DBD adalah angka kesakitan DBD sebesar kurang dari 50 kasus per 100.000 populasi per tahun di setiap Kabupaten/Kota Tujuan Surveilans DBD adalah terdatakannya angka kesakitan DBD per 100.000 populasi per tahun di setiap Kabupaten/Kota Indikator Kinerja Surveilans DBD adalah setiap rumah sakit yang merawat anak mengirimkan laporan bulanan data kesakitan DBD dengan kelengkapan laporan masingmasing RS lebih dari 75% per tahun Makna indikator kinerja surveilans DBD tersebut diatas adalah sebagai berikut : (1) Berdasarkan laporan Rumah Sakit, besarnya angka kesakitan DBD Kabupaten Bogor, selama tahun 2010 adalah 40 kasus per 100.000 populasi (contoh), maka dapat dinyatakan bahwa program pengendalian DBD Kabupaten Bogor telah berhasil menekan angka kesakitan DBD jauh dibawah indikator kinerja program yang ditetapkan sebesar 50 kasus per 100.000 populasi per Kabupaten per tahun (2) Untuk memastikan laporan tersebut “berkualitas baik” dan “dapat dipercaya”, dapat diuji denganterpenuhinya indicator kinerja surveilans, yaitu : (a) Kabupaten Bogor memiliki 4 rumah sakit, dengan kelengkapan laporan masing-masing rumah sakit
selama tahun 2010 dapat diketahui pada tabel 1 dibawah ini Tabel 1 Daftar Absensi Laporan Bulanan Data Kesakitan Rumah Sakit Kabupaten Bogor, 2010—————————— ———————————————————— Jumlah Laporan Nama RS ———————————————————— Diterima Seharusnya % ———————————— —————————————————— RS Sumber 6 12 50% RS Sehat 10 12 83% RS Bogora 11 12 92% RS Harapan 12 12 50%——————————————— —————————————— — Total 6+10+11+12=39 4×12=48 82% —————————— ———————————————————— Sumber : data contoh (b) Pada daftar absensi laporan tersebut diatas, Kabupaten Bogor memiliki kelengkapan laporan total RS sebesar 82%, atau sudah sesuai dengan indikator kinerja surveilans DBD pertama (kelengkapan laporan total RS sebesar lebih dari 80% pertahun per kabupaten). Berdasarkan indikator kinerja surveilans ini, maka laporan angka kesakitan DBD Kabupaten Bogor sebesar 40 kasus per 100.000 populasi adalah “cukup berkualitas” atau “dapat dipercaya”. (c) Pada daftar absensi laporan tersebut diatas, Kabupaten Bogor memiliki 4 rumah sakit. Satu rumah sakit, RS. Sumber, ternyata memiliki kelengkapan laporan hanya sebesar 75% selama tahun 2010, atau tidak memenuhi indikator kinerja surveilans kedua (kelengkapan laporan masing-masing rumah sakit sebesar lebih dari 75% pertahun). Berdasarkan indikator kinerja surveilans ini, maka laporan angka kesakitan DBD Kabupaten Bogor sebesar 40 kasus per 100.000 populasi adalah “tidak cukup berkualitas” atau “tidak dapat dipercaya”. Contoh : Surveilans AFP (acute flaccid paralysis) dan Virus Polio Liar Tujuan program eradikasi polio adalah tercapainya Indonesia bebas polioIndikator kinerja program eradikasi polio adalah cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan setiap adanya transmisi virus polio liar baru dapat dihentikan dalam waktu kurang dari 1 tahun sejak ditemukan Tujuan surveilans AFP dan virus polio liar adalah terdeteksi dini adanya virus polio liarIndikator kinerja surveilans AFP dan virus polio liar : (1) Kelengkapan laporan mingguan rumah sakit lebih dari 80 % per tahun per kabupaten/kota (2) AFP rate non polio ditemukan minimal 2 per 100.000 anak berusia kurang dari 15 tahun per tahun per Provinsi (3) Spesimen adekuat (diambil, dikirim dan diperiksa sesuai dengan standar) lebih dari 80 % kasus AFP yang ditemukan
Makna indikator kinerja surveilans AFP tersebut diatas adalah sebagai berikut : (1) Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Jawa Timur (contoh), di Jawa Timur tidak ditemukan virus polio liar selama tahun 2010, maka dapat dinyatakan bahwa program eradikasi polio telah berhasil menjadikan Jawa Timur bebas polio. (2) Untuk memastikan laporan tersebut “berkualitas baik” dan “dapat dipercaya”, dapat diuji denganterpenuhinya indikator kinerja surveilans, yaitu : (a) Jawa Timur memiliki 35 kabupaten/kota, dengan laporan kegiatan surveilans AFP sebagai berikut : (1) Dari 35 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur, 33 kabupaten/kota dengan kelengkapan laporan mingguan lebih dari 80 % per Kabupaten/kota selama tahun 2010 (2) AFP rate non polio ditemukan sebesar 2,45 per 100.000 anak berusia kurang dari 15 tahun selama tahun 2010 (3) Spesimen adekuat sebesar 60 % kasus AFP yang ditemukan selama tahun 2010 (b) Berdasarkan indikator kinerja surveilans AFP tersebut diatas, dapat diketahui bahwa indikator kinerja surveilans (1) dan (3) tidak sesuai dengan indikator kinerja surveilans AFP yang ditentukan. Berdasarkan indikator kinerja surveilans ini, maka pernyataan bahwa Jawa Timur “bebas polio” adalah “tidak cukup berkualitas” atau “tidak dapat dipercaya”. Referensi : 1. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, tahun 2004 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/SK/VIII/ 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB) 3. Steven M. Teutsch and R. Elliott Chuschill. Principles and Practice of Public Health Surveillance. 2nd Ed.Oxford University Press, 2000. 4. Sholah Imari. Surveilans Epidemiologi. Prinsip, Aplikasi, Manajemen Penyelenggaraan dan Evaluasi Sistem Surveilans. FETP, Kementerian Kesehatan RI dan WHO, 2010 5. U.S. Departement of Health and Humam Services. Principles of Epidemiology in Public Health Practice. 3rd Ed, Atlanta, GA. 6. WHO. Public Health Surveillance. Oleh: dr. Sholah Imari, MSc* *Wakil
Ketua I, Pengurus Pusat (2013-2017) Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI)
WordPress Themes Free Free WordPress Themes Best WordPress Themes Free WordPress Themes Free free udemy paid course
xiomi firmware WordPress Themes Free free udemy paid course Share:
Rumusan Indikator Kinerja Surveilans
In Jurnal 13 Maret 2016
PP PAEI 6796 Views
0 comments
PAEI.OR.ID – Setiap penyelenggaraan sistem surveilans yang baik, selalu menetapkan ancangan indikator kinerjanya, dan kemudian kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem surveilans adalah berdasar pada indikator kinerja ini. Boleh dikatakan, melakukan monitoring terhadap indikator kinerja surveilans adalah merupakan salah satu kegiatan surveilans terhadap penyelenggaraan program surveilans itu sendiri. Rumusan indikator kinerja harus sederhana, mudah PAEI.OR.ID – Setiap penyelenggaraan sistem surveilans yang baik, selalu menetapkan ancangan indikator kinerjanya, dan kemudian kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem surveilans adalah berdasar pada indikator kinerja ini. Boleh dikatakan, melakukan monitoring terhadap indikator kinerja surveilans adalah merupakan salah satu kegiatan surveilans terhadap penyelenggaraan program surveilans itu sendiri. Rumusan indikator kinerja harus sederhana, mudah dilaksanakan, tetapi tetap mengukur mutu/kualitas kinerja surveilans dengan baik. Setiap satu indikator kinerja surveilans ditetapkan, maka diperlukan beberapa variabel data yang perlu
direkam, dihimpun, diolah dan dianalisis. Banyaknya kegiatan perekaman, pengumpulan, pengolahan data tersebut akan memberikan beban kerja dan menggangu upaya meningkatkan kinerja surveilans. Oleh karena itu, setiap penyelenggaraan sistem surveilans perlu menetapkan sesedikit mungkin indikator kinerja, sesederhana mungkin, tetapi tetap dapat mengukur kualitas penyelenggaraan surveilans tersebut. Indikator kinerja yang paling sering digunakan adalah kelengkapan laporan, ketepatan waktu laporan, kelengkapan distribusi informasi, terbitnya buletin epidemiologi. Beberapa penyelenggaraan surveilans tertentu memiliki indikator kinerja spesifik. (1) Kelengkapan Laporan Kelengkapan laporan selalu mengukur jumlah laporan yang diterima dari pelapor (unit) dibanding dengan jumlah laporan yang harusnya diterima. Kelengkapan laporan adalah sebagai salah satu indikator kinerja surveilans yang paling sering digunakan, baik itu ditingkat nasional, provinsi maupun di kabupaten/kota, bahkan juga digunakan pada indikator kinerja surveilans di unitunit pelayanan dan di masyarakat sebagai laporan kelurahan, desa, atau kelompokkelompok masyarakat. Kelengkapan laporan, merupakan metode pengukuran kinerja yang paling sederhana, dan jika dirumuskan dengan tepat, dapat memberi dukungan pengukuran kinerja surveilans yang tepat, dan dapat memberi manfaat untuk mengidentifikasi adanya permasalah kinerja surveilans lebih fokus dan tepat waktu. Rumusan kelengkapan laporan yang baik adalah kelengkapan laporan unit sumber data awal (unit pelayanan), tetapi pada penyelenggaraan sistem surveilans nasional dan provinsi lebih sering berdasarkan pada kelengkapan laporan unit pengumpul data (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan Provinsi). Contoh: Surveilans DBD Provinsi Sistem surveilans DBD secara nasional berbasis data yang diperoleh dari laporan bulanan data kasus dan kematian DBD Rumah Sakit.
Rumusan Kelengkapan Laporan Unit Pelapor Berdasarkan kelengkapan laporan berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dapat diketahui, bahwa angka kesakitan DBD Kota TangSel sebesar 64,0 kasus per 100.000 populasi, adalah dapat dipercaya, karena kelengkapan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten/kota ke Dinas Kesehatan Provinsi mencapai 100%. Rumusan Kelengkapan Laporan Berdasarkan Data Sumber Data Awal Kelengkapan laporan berdasarkan laporan unit pelapor sebagaimana tersebut diatas tersebut adalah kelengkapan laporan bulanan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (unit pelapor), sementara kelengkapan laporan masing-masing rumah sakit (sumber data awal), tidak diketahui, dan oleh karena itu, angka kesakitan DBD Kota TangSel sebesar 64,0 kasus per 100.000 populasi, adalah belum sepenuhnya dapat dipercaya. Kelengkapan laporan berdasarkan data sumber data awal (rumah sakit) dapat dibuat dalam 2 model, yaitu : Kelengkapan Laporan Total RS per Kab/Kota per tahun dan % RS dengan Kelengkapan Laporan lebih dari indikator kinerja surveilans yang ditentukan (missal 75%) per tahun. Kelengkapan Laporan Total RS per Unit Pelapor (Kab/Kota) per tahun adalah : Jml lap. RS yang diterima dalam periode waktu tertentu (setahun) ———————————————————————————————— x 100% Jml lap. RS yang seharusnya diterima dalam periode waktu yang sama % RS (sumber data awal) dengan Laporan Lengkap per tahun *) : Jml RS dengan jumlah laporan yang diterima lengkap dalam periode waktu tertentu (setahun) ————————————————————————————- x 100% Jml RS yang seharusnya diterima laporannya dalam periode waktu yang sama *) Laporan lengkap sesuai yang ditetapkan, misalnya >75% laporan diterima
Dari sisi penyelenggaraan manajemen penyelenggaraan surveilans yang baik, indikator kinerja surveilans terakhir ini merupakan indikator yang paling baik, karena dapat menunjukkan secara lebih spesifik RS (sumber data awal) yang kurang aktif membuat laporan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mana yang memiliki banyak RS yang tidak lengkap laporannya. Gambar Peta Kelengkapan Laporan RS per Kabupaten/Kota Provinsi Banten dapat menjelaskan maksud tersebut.
Pada laporan tersebut diatas dapat dilakukan analisis sebagai berikut : (a) Rate insidens Kota Tengerang adalah sangat tinggi (merah), tetapi jumlah RS yang melapor rendah (merah), sehingga laporan rate insidens tidak bisa dipercaya (b) Rate insidens Serang adalah rendah (hijau), dan ini dipercaya karena jumlah RS yang melapor tinggi juga (hijau) (c) Secara cepat, berdasarkan kelengkapan laporan Rumah Sakit ini, dapat diketahui Kabupaten/Kota yang perlu mendapatkan prioritas perbaikan peningkatan kinerja surveilans, yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Cilegon (merah) Kelengkapan Laporan Sumber Data Berdasarkan Waktu Pelaporan Kelengkapan laporan biasanya dihitung untuk periode waktu setahun, tetapi seringkali kelengkapan laporan juga perlu dihitung pada saat pelaporan itu dilaporkan, tergantung periode waktu pelaporan. Indikator kinerja berdasarkan kelengkapan laporan pada saat pelaporan ini, sering digunakan pada penyelenggaraan surveilans untuk keperluan pemantauan ketat, seperti pewantauan wilayah setempat, surveiilans pada waktu terjadi KLB dsb. Seberapa ketat dilaksanakan, tergantung kebutuhan masing-masing situasi, bisa tiap hari, tiap bulan atau yang paling sering adalah tiap minggu. Contoh: Pada Laporan Bulanan Data Kesakitan DBD, laporan dibuat dan dikirimkan oleh Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kab/Kota setiap bulan. Contoh laporan sebagai berikut :
Berdasarkan data tersebut diatas dapat disusun gambaran kurva bulanan Data Kasus DBD Kota Tangerang Selatan, 2010, dan kelengkapan laporannya dapat dicermati pada grafik dibawah ini. Sepintas dapat dilihat, kurva kasus DBD menurut Bulan Kejadian pada bulan Agustus, September dan Oktober sebetulnya lebih tinggi, karena ini hanya berdasarkan data laporan Rumah Sakit dengan kelengkapan <80% dari seluruh Rumah Sakit yang harusnya melapor. Pada kurva perkembangan kasus yang ketat, seperti pada pemantauan wilayah setempat ini, seringkali disebutkan batas kritis kelengkapan laporan sebagai indikator kinerja surveilans yang menyatakan untuk berhati-hati melakukan analisis data, jika kelengkapan laporan berada dibawah batas kelengkapan yang diharapkan. (2) Ketepatan Laporan Ketepatan waktu laporan merupakan indikator kinerja kedua yang paling sering digunakan. Ketepatan waktu laporan adalah tersedianya data surveilans pada unit yang memanfaatkan data tersebut tepat waktu pada saat data tersebut dipergunakan.
Secara operasional, ketepatan waktu laporan sering diartikan sebagai tanggal waktu laporan harus sudah diterima. Misal, laporan bulanan data kesakitan Puskesmas diterima di Dinas Kesehatan Kota selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya. Pelaporan dan atau penggabungan data pada periode waktu yang bukan waktu kejadian seharusnya, dapat mengacaukan pola kurva dari data surveilans yang akan dianalisis. Oleh karena itu, data surveilans sebaiknya dikirimkan selalu tepat waktu, jika terlambat, jangan digabungkan dengan data surveilans waktu berikutnya, tetapi tetap dikirim sebagai data surveilans periode waktu yang seharusnya. (3) Keakuratan Jumlah Kasus dan Diagnosis Unit Sumber Data, misalnya Rumah Sakit atau puskesmas, mendapat kasus berdasarkan data kunjungan berobat, atau kunjungan lain, dan kemudian diperiksa dan didiagnosis oleh dokter. Oleh karena itu, terdapat makna keakuratan : keakuratan data sebagai ketepatan diagnosis, dan keakuratan data sebagai ketepatan jumlah kasus yang diidentifikasi, direkam dan dilaporkan oelh sumber data (misal Rumah Sakit). Untuk mengetahui kualitas keakuratan jumlah kasus dan diagnosis dilakukan dengan wawancara (kualitatif) dan observasi kegiatan di lapangan serta membuka pencatatan kasus-kasus yang datang ke unit pelayanan. Keakuratan Data Sebagai Ketepatan Diagnosis Ketidaktepatan penetapan kasus sebagaimana diharapkan adalah bias yang disebabkan karena tidak akuratnya definisi kasus atau kemampuan dokter untuk mendiagnosis:
Bukan kasus, tetapi dinyatakan sebagai kasus Kasus benar dinyatakan sebagai kasus Kasus, tetapi dinyatakan sebagai bukan kasus Keakuratan Data Sebagai Ketepatan Jumlah Kasus Teridentifikasi, Direkam dan Dilaporkan Kasus-kasus yang telah didiagnosis oleh dokter, semestinya terekam dan dilaporkan sebagai kasus, tetapi seringkali kasus-kasus ini tidak terlaporkan:
1. Telah didiagnosis dokter, tetapi tidak tertuliskan diagnosisnya di buku 2. Telah didiagnosis, dan tercatat dalam buku , tetapi terlewatkan Secara operasional, tidak mudah memantau tingkat keakuratan data surveilans sebagamana tersebut diatas, biasanya, pemantauan lapangan (observasi) dilakukan di sumber data awal (misal Rumah Sakit, Puskesmas, laboratorium) untuk mengukur tingkat keakuratan data tersebut : 1. Bagaimana kesepakatan mengenai definisi operasional kasus ? 2. Bagaimana prosedur penemuan kasus dibuat dan diterapkan ?
3. Siapa yang mendiagnosis, apakah mereka cukup memiliki kemampuan profesional yang memadai ? 4. Memeriksa harian dan kartu kasus dan menguji apakah semua kasus yang ditemukan telah direkam dan dilaporkan 5. Menguji pengetahuan dan perhatian setiap orang yang terkait dengan penyelenggaraan surveilans di Sumber Data 6. Menguji apakah umpan balik perbaikan data, absensi dan pencapaian indikato kinerja telah dibuat dan dikirimkan ke sumber data oleh unit yang menerima laporan (4) Estimasi Jumlah Kasus Sebagai Indikator Kinerja Pada surveilans berbasis data masyarakat, indikator kinerja surveilans, seringkali digunakan estimasi jumlah kasus yang ada di masyarakat, baik berdasarkan hasil penelitian dan atau berdasarkan hasil-hasil surveilans sebelumnya, atau hasil surveilans di tempat lain. Contoh: Surveilans AFP menggunakan indikator kinerja “ditemukannya kasus AFP sebesar minimal 2 per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun pertahun”. Artinya, jika jumlah kasus AFP yang ditemukan pada suatu Provinsi kurang dari 2 per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun pertahun, maka dikatakan surveilans dilaksanakan dengan kualitas kinerja rendah. Pada surveilans AFP tersebut, jumlah kasus AFP yang diharapkan ditemukan adalah estimasi jumlah kasus AFP yang ada pada suatu populasi pertahun. Pada beberapa program-program pengendalian penyakit, dimana tindakan terhadap kasus itu merupakan sasaran program, seringkali membuat estimasi kasus sebagai indikator kinerja surveilans, misalnya pada program pengendalian pnemonia, pengendalian TBC, pengendalian penyakit tidak menular, dsb. Disini, surveilans berperan sebagai bagian dari startaegi program untuk menemukan kasus.
Oleh: dr. Sholah Imari, MSc* *Wakil
Ketua I, Pengurus Pusat (2013-2017) Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI)
Free WordPress Themes Nulled WordPress Themes WordPress Themes Nulled WordPress Themes udemy course free coolpad firmware Nulled WordPress Themes free udemy course Share:
Jurnal
Leave a Comment Your email address will not be published. Required fields are marked with * Your Name Your Emai Website
POST COMMENT
Terpopuler
Contoh Laporan Kegiatan Surveilans di Puskesmas 03:29
Muhammad Haris
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mewujudkan masyarakat yang berbudaya sehat tentu merupakan salah satu cita-cita pembangunan nasional yang telah terpatri sejak bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya. Negara sudah sepatutnya menjamin setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat tak terkecuali kesehatan setiap orang. Menciptakan masyarakat yang sehat artinya pemerintah juga mempersiapkan sumber daya manusia yang berkompeten dan mampu bersaing dari segi intelektualitas. Salah satu langkah nyata yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menyediakan pusat pelayanan kesehatan masyarakat (puskesmas) sebagai wadah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Puskesmas memiliki banyak peranan vital, mulai dari peran preventif, promotif, kuratif, hingga rehabilitatif, sehingga dianggap sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Maka perlu kiranya bagi pemerintah untuk melestarikan keberadaan puskesmas dan terus melakukan perbaikan bukan hanya pada sumber daya yang ada di puskesmas itu sendiri melainkan pula sumber daya manusia yang ada di puskesmas secara berkesinambungan. Puskesmas secara detail juga memiliki fungsi untuk mencatat bagaimana penyebaran penyakit yang terjadi di suatu wilayah. Itulah kenapa kemudian peranan tenaga epidemiologi di puskesmas menjadi sangat penting. Secara menyeluruh, tenaga epidemiologi bertanggung jawab dalam mengelola prevalensi dan insidensi penyakit dan memperhatikan betul bagaimana bentuk evaluasi dari temuan penyakit tersebut. Belum lagi kegiatan surveilans epidemiologi di puskesmas yang secara umum bertugas untuk mengumpulkan, mengelola, interpretasi, hingga evaluasi nyata dengan memperhatikan beberapa faktor risiko seperti lingkungan, perilaku, dan hal lainnya. Pola pencatatan penyakit terbanyak di puskesmas setiap tahunnya perlu menjadi perhatian setiap petugas puskesmas. Dengan adanya tampilan data terkait jumlah kejadian penyakit, maka pemerintah dapat lebih efektif dalam menentukan prioritas permasalahan apa yang harus segera ditanggulangi. Pengamatan yang detail disertai data-data yang real mendorong semua oknum kesehatan untuk melakukan evaluasi terkait kinerja dan kebutuhan apa yang harus segera dipenuhi. Jadi penting adanya untuk terus melakukan interpretasi data terhadap penyakit terbanyak yang terjadi di wilayah tertentu mulai dari catatan harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan, agar kontrol lebih mudah dilakukan. B. Tujuan 1. Mengetahui gambaran umum puskesmas kassi-kassi. 2. Meninjau statistik pasien berdasarkan umur dan pendidikan.
3. Mengetahui data 10 penyakit terbanyak yang terjadi di puskesmas kassi-kassi selama tahun 2014. 4. Menganalisis deskriptif tentang penyakit nasofaringitis akut yang terjadi di puskesmas kassikassi tahun 2014. 5. Mengetahui bentuk evaluasi dari tenaga surveilans terhadap terjadinya penyakit nasofaringitis akut di puskesmas kassi-kassi. C. Manfaat 1. Bagi Dinas Kesehatan Sebagai masukan dalam perencanaan program kesehatan masyarakat agar dapat melakukan pemberantasan penyakit secara terarah. 2. Bagi Masyarakat Memberikan informasi tentang penyakit yang paling riskan terjadi dan dampaknya terhadap kesehatan. 3. Bagi Peneliti Memberikan pengalaman nyata yang sangat berharga tentang mekanisme pengambilan data surveilans di puskesmas dan dapat memperkaya pengetahuan kita akan penyebaran penyakit di daerah tersebut. 4. Bagi Ilmu Pengetahuan Memberikan tambahan referensi bagi pembaca.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Puskesmas Kassi-Kassi Puskesmas kassi-kassi merupakan salah satu Puskesmas Pemerintah Kota Makassar dan merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota Makassar. Berdiri sejak tahun 1978/1979, dan merupakan puskesmas perawatan ke-VI di Makassar. Puskesmas ini terletak di jalan Tamalate I no.43 Kelurahan Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini Kota Makassar, dengan luas wilayah kerja kurang lebih 7,32 Ha. Dari 9 kelurahan terdapat 79 RW dan 496 RT. Dari data sekunder yang diperoleh, jumlah penduduk di wilayah kerja puskesmas kassikassi disajikan pada tabel berikut :
NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
KELURAHAN Ballaparang Rappocini Buakana Tidung Bontomakkio Kassi Kassi Mappala
JUMLAH PERJENIS KELAMIN Laki-laki Perempuan 5.596 6.285 4.479 4.321 5.222 5.686 7.145 7.668 3.664 3.564 7.923 8.812 6.202 6.072
JUMLAH 11.881 8.800 10.908 14.813 7.228 16.735 12.274
8. 9.
Banta-Bantaeng 9.510 Karunrung 5.912 JUMLAH 55.653 Sumber: Kantor Kecamatan Rappocini 2014.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
1. 2. 3. a. b. 4. a. b. c.
10.293 6.342 59.043
19.803 12.254 114.696
Jumlah penduduk terpadat ditemukan pada kelurahan banta-bantaeng berdasarkan jenis kelamin juga terbanyak pada kelurahan tersebut dengan perbandingan hampir sama. Jumlah penduduk terbanyak ditemukan pada kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 17.703 jiwa sedang jumlah penduduk terendah pada kelompok umur 70-74 tahun sebanyak 1.079 jiwa. Sarana kesehatan yang terdapat di wilayah kerja puskesmas kassi-kassi terdiri dari : Rumah sakit umum : 2 buah Rumah Sakit Bersalin : 1 buah Puskesmas : 1 buah Puskesmas Pembantu : 2 buah Balai/Klinik Pengobatan : 2 buah Dokter Praktek : 30 orang Bidan Praktek Swasta (BPS) : 20 orang Apotik : 10 buah Posyandu : 78 buah Di puskesmas tersebut terdapat dua orang tenaga sarjana kesehatan masyarakat yaitu tenaga epidemiologi 1 orang dan tenaga kesling 1 orang. Struktur organisasi Puskesmas terdiri atas : Kepala Puskesmas Kepala Subag Tata Usaha Unit Pelayanan Teknis Fungsional Puskesmas Unit Kesehatan Masyarakat Unit Kesehatan Perorangan Unit Jaringan Pelayanan Puskesmas Unit Puskesmas Pembantu (Pustu) Unit Puskesmas Keliling (Puskel) Unit Bidan Komunitas
B. Statistik Pasien Berdasarkan Umur dan Pendidikan Dua variabel yang selalu menjadi penentu dalam mendeskripsikan pasien dalam sebuah puskesmas tak dapat dilepaskan dari umur dan pendidikannya. Kedua variabel ini menjadi indikator yang kuat untuk menganalisis lebih jauh kenapa sebuah penyakit dapat terjadi. Umur menentukan interval waktu yang paling riskan bagi seseorang mengidap suatu penyakit, sedangkan pendidikan menjadi penentu tingkat kematangan berpikir seseorang yang akan mempengaruhi gaya hidup orang tersebut nantinya. Berdasarkan data yang kami peroleh, statistik berdasarkan tingkat umur digambarkan sebagai berikut :
Dari data di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa umur masyarakat yang paling rentan mengalami sakit adalah di umur 15-19 tahun dengan jumlah kejadian 5093 atau dengan persentase 35,8%. Diikuti oleh umur 1 bulan > 1 tahun dan umur 55-59 tahun dengan masingmasing berjumlah 1478 (10,4%) dan 1305 (9,2%). Jadi yang harus menjadi perhatian serius pihak puskesmas adalah kelompok masyarakat di umur 15-19 tahun atau kelompok remaja yang memang merupakan umur yang sangat labil dan merupakan proses pencarian jati diri. Wajar jika mereka masih sangat akrab dengan penyakit. Adapun statistik pasien berdasarkan latar belakang pendidikannya digambarkan di bawah ini :
Dari data sekunder yang didapat, maka kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat yang paling sering menderita suatu penyakit adalah masyarakat yang tingkat pendidikannya SMA/SLTA/MA berjumlah 5606 atau 39,4%. Disusul oleh tingkat masyarakat yang Tidak/Belum Sekolah dengan jumlah 4494 atau 31,6%, dan SD/MI melengkapi 3 besar tingkat pendidikan masyarakat yang rentan terkena penyakit dengan jumlah 1565 atau berkisar 11%. Hal ini selaras dengan hasil statistik berdasarkan tingkat umur yang menunjukkan bahwa umur remaja atau umur anak SMA paling rentan mengalami penyakit di daerah kassi-kassi. Alhasil, dari dua variabel yang telah disajikan, maka kita dapat mengetahui bahwa program intervensi terbesar harusnya dilakukan pada umur 15-19 tahun untuk mengurangi angka penderita penyakit dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. C. Data 10 Penyakit Terbanyak yang Terjadi di Puskesmas Kassi-Kassi Selama Tahun 2014 Penyebaran penyakit di puskesmas kassi-kassi begitu kompleks. Terdapat temuan beberapa penyakit yang menjangkit masyarakat selama kurung waktu 2014. Hal ini tentu saja mendorong perlunya ada penggolongan data penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat sebagai nantinya bahan acuan atau landasan dalam melakukan upaya penanggulangan dan pemberantasan penyakit. Keadaan demografi dan pola hidup masyarakat sekitar sering kali menjadi faktor penentu terjadinya suatu penyakit. Dari pemaparan data yang disajikan dalam bentuk online, terdapat ada 10 penyakit terbanyak yang terjadi di tahun 2014 sebagai berikut :
Dari data di atas, maka diperoleh bahwa nasofaringitis akut merupakan penyakit yang paling banyak terjadi dengan persentase 22,9 % atau berjumlah 1607 penderita dari total 7011 masyarakat yang menderita penyakit. Sedangkan penyakit terbanyak kedua adalah hipertensi dengan persentase 18,5 % atau berjumlah 1299 penderita, dan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) menduduki peringkat ketiga dengan jumlah kejadian 1116 atau 15,9 %. Secara keseluruhan urutan 10 penyakit terbanyak di puskesmas kassi-kassi selama tahun 2014 adalah
nasofaringitis akut, hipertensi, ISPA, dispepsia, diare dan gastroenteritis, batuk, necrosis of pulp, diabetes melitus, sakit kepala, serta disorders of tooth development and eruption. Peningkatan tiap bulannya juga terbilang signifikan. Dari data yang diperoleh misalnya pada kejadian nasofaringitis akut, bulan agustus jumlah penderita adalah 139 meningkat menjadi 630 di bulan september, dari bulan september ke oktober meningkat menjadi 1.034, dan meningkat lagi di bulan november menjadi 1341, dan akhirnya setelah di total di bulan desember mencapai 1607. Artinya hampir setiap bulannya terjadi peningkatan penderita penyakit dengan rata-rata 400-an. Fakta bahwa nasofaringitis akut merupakan penyakit terbanyak yang diderita mendorong untuk dilakukan peninjauan lebih jauh terkait apa sebenarnya yang melatarbelakangi seringnya terjadi penyakit tersebut di sekitaran wilayah kassi-kassi serta gambaran umum tentang penyakit tersebut, meliputi pula pencegahan, pengobatan, manifestasi klinis, dan lain-lain. D. Deskriptif tentang Penyakit Nasofaringitis Akut di Puskesmas Kassi-Kassi Jumlah penderita nasofaringitis akut yang sangat tinggi di puskesmas kassi-kassi tentu saja sangat mengkhawatirkan. Diperlukan adanya upaya penanggulangan untuk mengurangi angka penderita penyakit ini. Untuk mewujudkan hal itu, maka dibutuhkan pengetahuan dasar terkait penyakit ini. Maka perlu kiranya melakukan penjelasan secara deskriptif tentang penyakit yang sering menderita anak ini. Berikut beberapa penjelasannya : 1. Definisi Nasofaringitis Akut Nasofaringitis akut merupakan keadaan infeksi anak yang paling lazim, tetapi kemaknaannya terutama tergantung pada frekuensi relatif dari komplikasi yang terjadi. Pada anak-anak sindrom ini lebih luas daripada orang dewasa, sering melibatkan sinus paranasal dan telinga tengah serta nasofaring. 2. Etiologi Penyakit disebabkan oleh lebih dari 200 agen virus yang berbeda secara serologis. Agen utamanya adalah rhinovirus, yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari semua kasus cold; koronavirus menyebabkan sekitar 10%. Masa infektivitas berakhir dari beberapa jam sebelum munculnya gejala sampai 1-2 hari sesudah penyakit nampak. Streptokokus grup A adalah bakteri utama yang menyebabkan nasofaringitis akut. 3. Epidemiologi Kerentanan terhadap agen yang menyebabkan nasofaringitis akut adalah universal, tetapi karena alasan yang kurang dimengerti kerentanan ini bervariasi pada orang yang sama dari waktu ke waktu. Walaupun infeksi terjadi di sepanjang tahun, di Belahan Bumi Utara ada puncak kejadian pada bulan September kira-kira pada saat sekolah di mulai, pada akhir Januari, dan mendekati akhir bulan April. Kerentanan dapat bertambah karena nutrisi jelek; komplikasi purulen bertambah pada malnutrisi. 4. Patologi Perubahan yang pertama adalah edema dan vasodilatasi pada submukosa. Infiltrat sel mononuklear menyertai, yang dalam 1-2 hari, menjadi polimorfonuklear. Perubahan struktural dan fungsional silia mengakibatkan pembersihan mukus terganggu. 5. Manifestasi Klinis Cold lebih berat pada anak kecil daripada anak yang lebih tua dan dewasa. Pada umumnya, anak yang berumur 3 bulan sampai 3 tahun menderita demam pada awal perjalanan infeksi,
kadang-kadang beberapa jam sebelum tanda-tanda yang berlokalisasi muncul. Bayi yang lebih muda biasanya tidak demam, dan anak yang lebih tua dapat menderita demam ringan. Komplikasi purulen terjadi lebih sering dan lebih parah pada umur-umur yang lebih muda. Sinusitis persisten dapat terjadi pada semua umur. Manifestasi awal pada bayi yang umurnya lebih dari 3 bulan adalah demam yang timbul mendadak, iritabilitas, gelisah, dan bersin. Ingus hidung mulai keluar dalam beberapa jam, segera menyebabkan obstruksi hidung, yang dapat mengganggu pada saat menyusu; pada bayi kecil yang mempunyai ketergantungan lebih besar padapernapasan hidung, tanda-tanda kegawatan pernapasan sedang dapat terjadi. Selama 2-3 hari pertama membran timpani biasanya mengalami kongesti, dan cairan dapat ditemukan di belakng membrana tersebut, yang selanjutnya dapat terjadi otitis media purulenta atau tidak. Sebagian kecil bayi mungkin muntah , dan beberapa penderita menderita diare. Fase demam berakhir dari beberapa jam sampai 3 hari; demam dapat berulang dengan komplikasi purulrn. Pada anak yang lebih tua dan gejala awalnya adalah kekeringan dan iritasi dalam hidung dan tidak jarang, di dalam faring. Gejala ini dalam beberapa jam disertai bersin, rasa menggigil, nyeri otot, ingus hidung yang encer, dan kadang-kadang batuk. Nyeri kepala, lesu, anoreksia, dan demam ringan, mungkin ada. 6. Komplikasi Komplikasi merupakan akibat dari invasi bakteri sinus paranasal dan bagian-bagian lain saluran pernapasan. Limfonodi servikalis dapat juga menjadi terlibat dan kadang-kadang bernanah. Mastoiditis, selulitis peritonsiler, sinusitis, atau selulitis periorbital dapat terjadi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah otitis media, yang ditemukan pada bayi-bayi kecil sampai sebanyak 25 persennya. 7. Pengobatan Tidak ada terapi spesifik. Antibiotik tidak memengaruhi perjalanan penyakit atau mengurangi insidens komplikasi bakteri. Tirah baring biasanya dianjurkan, tetapi tidak terdapat bukti bahwa cara ini memperpendek perjalanan penyakit. Asetaminofen atau ibu protein biasanya membantu dalam mengurangi iritabilitas, nyeri, dan malaise selama hari pertama dan hari kedua infeksi, tetapi penggunaan yang berlebihan harus dihindari. Sebagian besar kegawatan adalah karena obstruksi hidung dan harus dilakukan upaya untuk melegakannya jka keadaan tersebut mengganggu pada saat tidur atau pada saat minum atau makan. Pemasukan obat-obatan melalui hidung merupakan metode efektif untuk melegakan obstruksi hidung. Pada bayi, pemasukan salin steril dapat membantu mengeluarkan fisik mukus yang berlebihan. Tetes hidung palin baik diberikan 15-20 menit sebelum makan dan pada waktu sebelum tidur. Sementara anak pada posisi terlentang dengan leher ekstensi, 1-2 tetes dimasukkan pada setiap lubang hidung. Karena cara ini sering menimbulkan pengerutan membrana mukosa anterior saja, 1-2 ttes dapat dimasukkan 5-10 menit kemudian. Pemasukan dekongestan hidung dengan aplikator berujung kapas tidak dianjurkan. Anak yang lebih tua dapat menggunakan semprot hidung tetapi hanya dengan pengawasan, karena aplikasi demikian cenderung digunakan berlebihan. Obstruksi hidung sukar diobati pada bayi. Pengisapan dengan sedotan lunak kadang-kadang sangat penting untuk ihkan saluran hidung secara adekuat untuk memungkinkan bayi
muda menyusu. Drainase yang terbaik biasanya dapat dicapai dengan menempatkan bayi pada posisi menelungkup, jika hal ini tidak mengganggu pernapasan lebih lanjut. 8. Pencegahan Sebagai tenaga kesehatan masyarakat, diperlukan peran yang lebih aktif dalam melaukan upaya pencegahan terhadap penyakit ini. Penempatan tenaga kesmas dalam puskesmas harus sesuai dengan proporsi dan disiplin ilmunya. Dari penjelasan secara klinis di atas, kita dapat mengetahui beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh tenaga kesmas dalam melukakan upaya pencegahan terhadap penyakit ini, diantaranya : - Memperhatikan pemberian nutrisi kepada masyarakat, khususnya pada anak-anak. - Memperbaiki drainase tempat penampungan bayi. - Memperhatikan sistem sanitasi lingkungan, dan hygiene individu. - Memberikan penyuluhan atau sosialisasi tentang bahaya penyakit ini serta faktor risiko yang mendorong terjadinya penyakit ini. - Melakukan pembersihan hidung dan pengecekan kondisi tubuh anak secara rutin dan berkesinambungan. - Melakukan deteksi dini apabila terjadi gejala awal pada penyakit ini. - Usahakan untuk beristirahat dan selalu dalam keadaan hangat dan nyaman. Perbanyak minum air dan mengonsumsi makanan yang bergizi.
E. Bentuk Evaluasi dari Tenaga Surveilans Terhadap Terjadinya Penyakit Nasofaringitis Akut Di Puskesmas Kassi-Kassi Sebagaimana diketahui, surveilans adalah kegiatan pengamatan secara sistematis dan terus-menerus terhadap suatu penyakit dengan cara pengumpulan (host, agent, environment, dan determinan) pengolahan, analisis, interpretasi, sampai dengan desiminasi informasi kepada unit terkait yang membutuhkan untuk mengambil tindakan. Tujuan surveilans epidemiologi nantinya adalah tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program dan peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Dalam menilai efektivitas kinerja petugas surveilans, kita dapat melihat apakah ciri-ciri surveilans telah dijalankan dengan baik. Ada 5 garis besar ciri-ciri surveilans yaitu : 1. Adanya keteraturan dalam pengumpulan dan interpretasi data 2. Adanya upaya terus-menerus 3. Kesederhanaan, artinya mudah didapat dan dikerjakan 4. Harus mudah dimengerti 5. Ada indikator yang dapat mengukur keberhasilan kegiatan surveilans. Tingginya insiden penyakit nasofaringitis akut tentu saja mendorong perlunya ada upaya evaluasi dari seluruh petugas puskesmas, khususnya petugas surveilans di puskesmas kassikassi sebagai komponen penting. Untuk mewujudkan keberhasilan petugas surveilans, keteraturan data dan hasil penelitian perlu dipaparkan secara jelas. Angka yang menunjukkan jumlah penderita 10 penyakit terbanyak yang mencapai 14.244 orang tentu saja menjadi hal yang miris. Oleh karenanya, beberapa hal yang harus dievaluasi tenaga surveilans di puskesmas kassi-kassi sebagai upaya perbaikan ke depannya adalah :
1. Transparansi data Puskesmas kassi-kassi harus lebih transparan dalam mengungkap temuan-temuan yang didapat agar memberikan kemudahan dalam melakukan evaluasi bersama-sama. 2. Pembuatan Program Kesehatan yang Sesuai Keadaan Masyarakat Kebijakan pihak puskesmas untuk menerapkan suatu program kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar agar program yang dibuat dapat efektif dan berjalan baik. 3. Pencatatan Angka Kejadian Penyakit Secara Rutin Pencatatan secara rutin memang harus dilakukan oleh petugas surveilans. Mulai dari catatan harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan, dan terus berkesinambungan agar data yang diperoleh benar-benar valid dan sesuai fakta yang terjadi di lapangan. Kekacauan data akan mempengaruhi pula upaya penanggulangan nantinya. 4. Evaluasi Menyeluruh Terhadap Struktur Pengurus Surveilans Puskesmas Jika memang dalam struktur kepengurusan surveilans ada pihak yang tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, maka alangkah baiknya dilakukan evaluasi kinerja yang nyata. Bahkan jika dibutuhkan harus ada sanksi yang tegas dan aturan yang ketat agar semua pihak surveilans dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa : Total masyarakat yang menderita penyakit selama tahun 2014 adalah 14.244 dan dibagi dalam 10 penyakit terbanyak di puskesmas kassi-kassi. Adapun 10 penyakit terbanyak yang diderita masyarakat di daerah kassi-kassi yaitu nasofaringitis akut, hipertensi, ISPA, dispepsia, diare dan gastroenteritis, batuk, necrosis of pulp, diabetes melitus, sakit kepala, serta disorders of tooth development and eruption. Penyakit yang tertinggi adalah nasofaringitis akut dengan jumlah 1.607 atau dengan persentase 22,9%.Nasofaringitis akut merupakan keadaan infeksi anak yang paling lazim, tetapi kemaknaannya terutama tergantung pada frekuensi relatif dari komplikasi yang terjadi. Umur 15-19 tahun adalah umur pemduduk yang paling banyak menderita penyakit, dan latar belakang pendidikan SMA/SLTA/MTS menjadi kelompok masyarakat yang paling riskan mengalami penyakit dikarenakan keterbatasan tingkat pengetahuan. Bentuk evaluasi yang dapat dilakukan adalah transparansi data, pembuatan program kesehatan yang sesuai keadaan masyarakat, pencatatan angka kejadian penyakit secara rutin, dan evaluasi menyeluruh terhadap struktur pengurus surveilans puskesmas. B. Saran Semoga adanya laporan ini dapat memberikan gambaran tentang temuan kejadian penyakit di puskesmas kassi-kassi sehingga bentuk tindak lanjut berupa evaluasi kinerja dan program kesehatan dapat diterapkan lebih baik lagi.