Pendekatan Multidisipliner Dalam Hukum Islam 364r1g

REVISI MAKALAH PENDEKATAN MULTIDISIPLINER DALAM HUKUM ISLAM MAQASID AL-SHAR’IAH AS PHILOSOPHY OF ISLAMIC LAW JASSER AUDA Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Filsafat Ilmu Keagamaan Islam)”

Oleh : SUHADI NIM. 16791001 Dosen Pengampu: Dr. H. ACHMAD KHUDORI SOLEH, M. Ag

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS INDISIPLINER UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2017

PENDAHULUAN 1. Latar belakang masalah Salah satu problematika dalam aplikasi hukum yang tetap hangat diperdebatkan, baik yang klasik maupun kontemporer, adalah tentang tujuan hukum Islam itu sendiri (the purpose of law).hukum bersifat tetap (certain) walaupun tempat dan waktu terjadinya sebab akibat hukum berbeda. Salah satu di antara sedikit sarjan yang memberikan fokus perhatian secara utuh terhadap kajian Maqoasid al-Shari’ah yang menawarkan pendekatan multi disiplin dalam rangka menyelesaikan problema hukum Islam kontemporer Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan yang terintegrasi dengan ilmu pengetahuan yang relevan dari berbagai bidang, yaitu disiplin umum tentang hukum Islam, filsafat dan teori System

2. Rumusan masalah a. Siapakah Jasser Auda ? b. Apa yang melatarbelakangi Jasser Auda menulisan buku Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic law: a Shistem Approach ? c. Bagaiman analisis sistem yang diusulkan Jasser Auda ? 3. Tujuan a. Mengetahui Biografi Jasser Auda b. Mengetahui latar belakang penulisan buku Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic law: a Syistem Approach c. Mengetahui Analisis sistem yang diusulkan Jasser Auda

1

PEMBAHASAAN A. Biografi Jasser Auda Jasser Auda adalah Associate Professor di Qatar Fakultas Studi Islam (QFIS). Ia memperoleh gelar Ph. D dari Universitas of wales, Inggris, pada konsentrasi filsafat hukum Islam tahun 2008. Gelar Ph. D yang kedua diperoleh dari Universitas Waterloo, Kanada dengan kajian analisis system tahun 2006. Master Fiqih diperoleh dari Universitas Islam Amerika, Michigan, pada tujuan hukum Islam (Maqashid al-Shari’ah) tahun 2004. Gelar BA diperoleh dari jurusan Islamic Studies pada Islamic American University, USA tahun 2001 dan gelar BSc dari engineering Cairo University, Egypt Caurse Av. Tahun 1988. Ia memperoleh pendidikan al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam di Masjid Al-Azhar, Cairo.1 B. Latar belakang penulisan buku Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic law: a Shistem Approach Karya besar Jasser Auda yang berjudul Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic law: a Syistem Approach (Maqasid al-Shari’ah sebagai filsafat hukum Islam : sebuah pendekatan sistem) dilatar belakangi pengalaman pahit yang melahirkan kemarahan Jasser Auda atas sikat teroris yang menyebar ketakutan dan kejahatan di mana-mana. Dan yang memebuat gerah Auda adalah pernyataan teroris yang mengatasnamakan tindakannya itulah sesua dengan aturan yang ada di dalam hukum Islam.

1 Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”, dalam M. Arfan Mu‟ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk, Studi Islam Perspektif Insider Outsider, (Yogyakarta: Ircisod, 2013),.390

2

Teroris beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu bagian jihad di jalan Allah. Pemahaman tersebut jelas kontradiktif dengan dasar yang ada di dalam al-Qur’an dan alHadist yang selama ini dipahami secara mayoritas. Auda tidak setuju dengan pemahaman hukum hukum Islam mereka yang melahirkan kejahatan, ketakutan, pengrusakan dan pembunuh secara membabi buta di kawasan damai manapun.2 Jasser mempertanyakan sebenarnya hukum Islam itu bagaimana? Benarkah tindakan teroris yang anarkis itu dibenarkan oleh hukun Islam padahal Islam memiliki misi perdamaian? Benarkah lslam memperbolehkan membunuh orang di kota yang penuh kedamaian, seperti London di mana ia bekerja? Di manakah kebijaksanaan dan perlindungan bagi setiap orang yang menjadi landasan dasar hukum Islam? karena baginya, syari’ah merupakan sebuah kebijakan dan tercapainya perlindungan dan keselamatan orang di dunia dan akhirat. Jasser Auda percaya bahwa hukum Islam dapat membawa peningkatan produktivitas, prilaku humanis, spiriualitas, kebersihan, persatuan, persaudaraan, dan demokrasi yang tinggi. Akan tetapi fakta yang ia temukan tidak seperti apa yang diharapkan. Sehingga timbul pertanyaan “bagaimana hukum Islam dapat berperan di situasi krisis seperti ini? Di manakah letak kesalahan dalam hukum Islam?3 Di samping itu, yang menjadi problem pemikiran Auda adalah posisi hukum Islam saat ini, di mana laporan tahunan terbaru dari United Nation Devloment Programe (UNDP) menunjukkan indek pembangunan manusia (IPM) dari sisi lebih rendah adalah negara dengan mayoritas Muslim.4 IPM dihitung berdasarkan beberapa faktor; yaitu

Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”,,. 460. 3 Mohammad Darwis, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda’’,,.392. 4 Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”,.430 2

3

pendidikan, politik, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan standar hidup. Negara Arab yang kaya, berpendapatkannya rata-rata perkapita menunjukkan peringkat yang sangat tinggi. Namun dalam hal keadilan, pemberdayaan perempuan, partisipasi politik, dan pemberian kesempataan yang sama peringkatnya lebih rendah.5 Laporan PBB juga menunjukkan beberapa bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusi dan korupsi di sebagian besar negara mayorit Muslim. Realitas tersebut bertentengan dengan tujuan hukum Islam yangmenjadi peran sebagai pendorong bagi masyarakat supaya adil, produktif, maju, manusiawi, spritual, bersih kohesif, ramah, dan demokrasi. Sehingga menggelitik Jasser Auda untuk menanyakan kembali tentang syariah Islam. Dari sinilah ia kemudian melakukan penelitian yang intens dengan harapan bisa memberikan

jawaban

atas

pertanyaan-pertanyaan

di

atas

dengan

pendekatan

multidisiplin yang integrative dengan ilmu pengerahuan dari berbagai bidang yang relevan dengan konteks ini. Dari penelitian tersebut, ia mengidentifikasi beberapa kesalahan dalam system hukum Islam, di antaranya yang paling fatal adalah adanya reduksi terhadap universalitas. Dengankata lain terdapat kehilangan dan fungsi hukum Islam daritujuan dan prinsip-prinsipnya sebagai sebuah aturan yang universal.6 Diskusi Maqasid al-Shari’ah yang dilontarkan Jaser Auda sebenarnya bukan hal yang baru namun sudah ada sejak zaman keilmuan Islam mencapai keemasan. Dalam lintasan sejarah banyak ulama’-ulama’ klasik dan ulama’kontemporer yang aktif mengkaji Maqasid al-Shari’ah tersebut yang dikenal dengan sebutan Mashalih. Karya besar Jasser Auda yang berjudul Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic law : a Shistem Approach dalam memandang kajian hukum Islam banyak Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda,..431 6 Mohammad Darwis, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”.,,.392. 5

4

diilhami pemikiran Imam al-Tirmizi al-Hakim, Abu Zaid al-Balkhi, Abu Bakar al Qaffal, Abu ja’far Muhammad bin Ali, Abu Hasan al-‘Amiri, Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini, Abu Hamid Muhammad bin Mauhammad al-Ghazali, Izzuddin bi Abdi Salam, Shihab al-Din al-Qarafi, Najamuddin al-Tufi, Syamsuddin Ibn al-Qayyim, dan Abu Ishaq al-Syathibi.7 kemudian Abu Ishaq al-Syathibi mengembangkan secara luas dan sistematis dan orang yang pertama melakukan tadwin (kodifikasi).8 Selain itu tidak kalah menarik untuk ditelusuri bahwa Imam Ibnu Taimiyah juga termasuk orang yang mengokohkan pondasi teori Maqashid dan memberi porsi banyak dalam memperkaya khasanah metodologi dan epistemologi Maqashid tersebut.9 Auda dalam manggagas pandangan dalam hukum Islam banyak mengacu pada pandangan Ibnu Qayyim yang menggunakan term hukum Islam dengan termenologi Shari’ah. Syariah didasarkan atas kebijaksanaan dan mencapai kesejahteraan umat dan kehidupan di dunia dan akhirat. Sedangkan dalam pembahasaan Maqasid al-Shari’ah, pemikiran Auda tidak dilepaskan dari pandanganal-Syatibi sebagai bapak Maqasid al-Shari’ah. Dalam karyanya; al-Muwafaqah FI Ushul al-Aham, al-Syatibi mengatakan bahwa pada dasarnya Syari’ah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (Mashalih al-‘Ibad) baik di dunia maupun di akhirat. Dari segi Bahasa Maqasid Syariah berasal dari dua kata, yaitu kata Maqasid dan syariah. Maqasid maknanya adalah maksud, tujuan yang terambil dari kata qasada-

Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat HukumIslam Studi Pemikiran Jasser Auda’’,,.456. 8 Syekh Muhammad al-Thahir bin ‘Asyuro, Maqasid al-syariah al-Islamiyah, (Yordania: Dar al-Nafais, Cet ke-2, 2001), 174 9 Yusuf al-Qardhawi, Nazhriyat Maqasid al-Syari’ah Baina Syekh Ibn Taimiyah wa Jumhur alUshuliyin, (Mesir: Jami’ah al-Qahirah, 2000), 41. 7

5

yaqsidu.10 Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air untuk minum11, atau juga jalan menuju sumber air ini dapat pula dikaitkan sebagai jalan ke sumber pokok kehidupan.12 Kemudian, kata ini dikonotasikan oleh bangsa Arab sebagai jalan yang lurus yang harus diikuti.13 Sedangkan menurut yusuf Qardhowi mengutip dari “Mu’jam Al-Fadz al-Qur’an al-Karim” menjelaskan bahwa kata Syari’at berasal dari kata Syara’a al syari’a yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatau.14 Izzuddin bin Abd al-Salam dalam bukunya al-Qawa’id al-Shugra menjelaskan bahwa Maqasid alSyari’ah adalah ‫والحكم المعانى‬ ِ yaitu makna-makna atau kebijaksanaan-kebijaksanaan.15 Sedangkan menurut Imam al-syatibi, Maqashid as-Syrai’ah adalah tujuan-tujuan disyari’atkanya hukum oleh Allah SWT. Yang berintikan kemaslahatan umat manusia di dunia dan kebahagian di akhirat. Setiap penyari’atan hukum oleh Allah mengandung Maqashid (tujuan-tujuan) yakni kemaslahatan bagi umat manusia.16 Ismail Muhammad Syah, dalam bukunya Filsafat Hukum Islam menjelaskan bahwa secara global, tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya di dunia sampai kehidupan akhirat.17 Menurut al Syathibi Maqasid As-Syariah dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf).18 Al-Shatibi membagi

Maqasid al-Shari’ah menjadi 3 bagian; yaiu:

10

Atabik Ali, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, Multi Gaya Grafika, 1996),

11

Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Shadir, t.th, Jilid VIII),

12

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-syari’ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo,

1454. 10. 1996), 61. 13

Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam (t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th,), 14. Yusuf Qardhowi, Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan aturan Illahi untuk Manusai, (Bandung: Pustaka Mizan, 2003),13. 15 Izzuddin bin Abd al-Salam, Al-Qawa’id al-Shugra, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashirah, 1996), 10. 16 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al Syari’ah menurut al-syatibi, 5 17 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-2, Tahun 1992), 65. 18 Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Dar al-Kutub al-Alamiyah, Beirut, tt). 14

6

Daruriah, Hajiyat, dan Tahsiniyat. Ketiga bagian tersebut bersusun dimulai dengan paling dasar menuju priroritas, dari Daruriah berangsur-angsur menuju Tahsiniyat Daruriyat merupakan sesuatu kemaslahatan yang harus ada pada manusia di dunia dan akhirat, yang jika tidak ada akan menimbulka kerusakan bahkan hilangnya kehidupan, misalnya makan, minum, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain. Hajiyat sesuatu yang dibutuhkan manusiauntuk menghilangkan kesempitan, misalnya keringanan (rukhsah) tidak puasa bagi yang sakit. Tahsiniyat adalah sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindari diri dari keburukan, misalnay akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. As-Syatibi lebih lanjut memetakan Daruriyyat menjadi 5 tujuan, yaitu: Hifzh alDin (menjaga agama), Hifzh an-Nafs (menjaga jiwa) Hifzh al-‘Aql (menjaga akal) Hifzh an-Nasl (menjaga keturunan) Hifzh al-Mal (menjaga harta). C. Analisis sistem yang diusulkan jasser Auda 1. Sifat kognitif (cognitive nature) sisitem hukum Islam Auda menekankan pentingnya memisahkan teks (al-Qur’an dan al-Hadist) dari seseorang terhadap pengalaman teks, sehingga ada perbedaan makna antara syari’ah, fiqh, dan fatwa. Syari’ah adalah wahyu yang diterima dan telah diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagai amanah dan risalah bagi kehidupannya yang mencakup alQur’an dan as-Sunnah. Fiqih merupakan hasil interpretasi pemahaman dan pandangan ahli hukum yang berasal dari berbagai mazhab terhadap teks. Sedangkan fatwa adalah aplikasi dan penerapan syari’ah dan fiqh dalam suatu kondisi kehidupan nyata umat Islam.19 Fiqh juga sebagai proses mental kognitif (idrak) dan pemahaman (al-fahm) Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”,. 459. 19

7

manusia. Secara definitif berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dali yang tafsili.20 Hal ini juga dapat dilihat dari status Ijma’ dalam hukum Islam disamakan dengan teks utama (al-Qur’an dan as-Sunnah) Ijma’ bukan sumber hukum Islam, melainkan sekedar menjadi sebuah mekanisme konsultasi (multiple participant decision making). Ijma’ hanya digunakan dikalangan elite yang bersifat eksklusif. Oleh karena itu, sifat kognitif hukum Islam sangan perlu untuk memvalidasi dan mentashih pandangan pluralistik dari semua mazhab hukum Islam. 2. Keutuhan integritas (wholeness) sistem hukum Islam Berdasarkan perspektif teori sistem, Jasser Auda mengatakan bahwa setiap hubungan sebab akibat harus dilihat sebagai bagian-bagian dari holistik (gambaran keseluruhan) hubungan antara bagian-bagian itu memainkan fungsi tertentu di dalam sebuah sistem. Jaringan antara hubungan terbangun secara menyeluruh dan bersifat dinamis, bukan sekedar kumpulan antar bagian yag statis. Jasser Auda menyatakan bahwa prinsip dan cara berfikir holistik sangat dibutuhkan dalam kerangka Usul fiqh karena dapat memainkan peran dalam isu-isu kontemporer sehingga dapat dijadikan prinsip-prinsip permanen dalam hukum Islam. Dengan sisem ini, Auda mencoba membawa dan memperluas Maqashid as-Shar’iah yang berdimensi individu menuju dimensi universal (Maqashid al’amah) sehngga bisa diterima oleh masyarakat umum, seperti masalah keadilan dan kebebasan.21

20

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah ( Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012),

1. Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat HukumIslam Studi Pemikiran Jasser Auda”,,. 460. 21

8

Dalam konteks hubungan maqassid al-Shariah dengan ushul fiqh, Jasser Auda memberikan 15 ciri-ciri ushul fiqh yang menjadikan Maqashid al-Shariah sebagai dasar pertimbangan.22 1) Otoritas yuridis (hujjiyah) diberikan pada dilalah al-maqashid (impiikasi tujuan) 2) Prioritas Dilalah al-Maqasid, dibandingkan implikasi yang lain, harus tunduk pada situasi saat itu dan pada pentingnya tujuan itu sendiri. 3) Tujuan dari suatu ungkapan harus menentukan validitasdari implikasi terbalik (conary tmplication) 4) Ungkapan skriptual tentang tujuan agung (bigher purpose) hukum yang biasanya bersifat umum dan pasti,tidak boleh dikhususkan (takhshish) dan dikualifikasi oleh dalil-dalil individual. 5) Nilai-niiai moral harus memiliki status sebagai illat (ratio logis) untuk aturan hukum yang terkait sebagai tambahan pada illat literal yang biasanya didapatkan dari metode tradisional. 6) “Koherensi sistematik" merupakan perluasan yang diperlukan dari “koherensi isi” (‘adam syudhudh al-matan). 7) Pendekatan maqhshid bisa mengisi gap konteks yang hilang dari narasi hadits. 8) Al-maqashid dalam konteks tujuan nabi, harus juga digunakan dalam proses kontekstualisai

narasi

hadits,

berdasarkan

pada

tujuan

kenabian

yang

diungkapkan oleh Ibn 'Asyur, yaitu legislatif, pembuatan aturan, pengadilan, kepemimpinan, petuniuk, konsiliasi, saran,konseiing dan non-instruksi. 9) Analisis yang hati-hati atas kepasitas illat menunjukkan bahwa illat biasanya bisa berubah dan tidak bersifatpasti/ tetap sebagaimana diklaim oleh ushul fiqh tradisional. 22 Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ahas Philosophy Of Islamic Law a Sistem Approach (London, Washinton: llT, 2008), 54-55.

9

10) Kontroversi

tentang

legitimasi

independen

mashalih

dihubungkan

atau

diidentifikasi dengan Maqashid al-Syari’ah. 11) Istihsan merupakan bentuk tujuan hukum yang ditambahkan pada alasan yuridis. Sementara itu madzhab-madzhab hukum Islam yang tidak setuju penerapan istihsan sesungguhnya telah menggunakan metode yang lain dalam upaya mewujudkan tujuan (maqashid) hukum. 12) “Mempertimbangkan cara" harusnya tidak terbatas pada sisi negative pendekatan "consequantalist". 13) Perluasan pemahaman al-Qarafi tentang menutup jalan negative (sad al- dharu'i) yang juga meiiputi membuka jalan positif (fath al-dhara'i') diperluas lagi dengan pertimbangan yang terus menerus tentang hasil akhir yang baik dan yang jelek. 14) Analisis Ibn Asyur tentang efek budaya Arab dalam narasi teks mengembangkan tujuan universalitas dalamhukum Islam. 15) Prinsip "presumption of continuity" (istishab) dihadirkan sebagai implementasi dari tujuan agung hukum Islam, seperti keadilan, kemudahan, dan kebebasan memilih. Dari ciri-ciri ini, dapat dilihat bahwa dalil-dalil dan metodologi yang telah berkembang dalam ushul fiqh klasik sesungguhnya tetap dipakai dalam maqashid based-ijtihad,hanya saja dasar utama penentuan hukumnya bukan lagi kekuatan teks, melainkan nilai filosofis Maqhshid al-Shari’ahnya. Pendekatan seperti ini bersifat universal karena berdasar nilai-nilai universal Islam.23 3. Keterbukaan (openness) sistem hukum Islam Keterbukaan sebuah sistem bergantung pada kemampuannya untuk mencapai tujuan dalam berbagai kondisi. Kondisi inilah yang mempengaruhi tercapai suatu 23 Muhammad Darwis “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”,. 418.

10

tujuan dalam berbagai kondisi. Kondisi inilah yang mempengaruhi tercapainya suatu tujan dalam sebuah sistem. Sistem yang terbuka adalah suatu sistem yang selalu berinteraksi dengan kondisi dan lingkungan yang berada di luarnya. Sistem hukum Islam merupakan sistem yang terbuka. Maka dari itu, prinsip opennes sangat penting dalam tatanan hukum Islam dan pintu ijtihad senantiasa terbuka. Pernyataan yang menyatakn bahwa pintu ijtihad telah tertutup, hanya akan menjadikan hukum Islam bersifat statis. Padahal ijtihad merupakan hal yang urgen dalam masalah fiqh, sehingga para ahli hukum Islam mampu mengembangkan mekanisme dan metode tertentu untuk menghadapi isu-isu kontemporer.24 Menurur Jasser Auda, Suaru sistem harus terbuka dandapat menerima pembaharuan, supaya bisa tetap “hidup". Dalam membaharui pendekatan sistem hukum Islam ada dua hal yang perlu diperharikan. pertama, mengubah ‘pola pandang’ atau ‘tradisi pemikiran’ ulama, fiqh. Yang dimaksud dengan tradisi pemikiran adalah kerangka mental ulama fiqh dan kesediaan mereka berinteraksi dengan dunialuar Kedua, membuka diri pada filsafat yang digunakan sebagai mekanisme pemikiran pembaharuan sistem hukum Islam. Bahkan, para sarjana kontemporer sepakat tentang perlunya pengembangan ijtihad dengarr tidak hanya menggunakan pendekatan-pendekatan ushul fiqh klasik,tetapi juga menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu, seperti ilmu sosiologi, ekonomi, filsafat dan pengetahuan tentang masyarakat kontemporer.25

Musyarofah dan Chumaidah, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat HukumIslam Studi Pemikiran Jasser Auda”,. 461. 25 Mohammad Darwis, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”,. 461. 24

11

a. Mengubah Keputusan dengan Budaya pemikiran. Menurut Jasser Auda, pandangan hidup (Worlview) yang dalam bahasa jermannya adalah “Weltanschauung” merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil pemikiran seseorang terhadap dunia, termasuk pemikiran hukum Islam. Namun, ulama’ fiqh masih sering berfikir secara “eksklusif” padahal untung mengembangkan maqashid pada sekarang ini, logika seperti itu tidak boleh digunakan lagi. "Pandangan dan wawasan luas ahli hukum" sangat berperan di dalam sistem hukum Islam, dan ahli hukum yang berpengetahuan luas menjadi sentral dalam mentransformasikan fiqh. Termasuk di dalamnya pengetahuan pada alQur'an dan tradisi kenabian. Semuanya harus terintegrasi dalam sosok ulama fiqh. Namun demikian, wawasan yang luas harus relevan sesuai dengan basis keilmuan yang di perlukan. Agar rumusan hukumyang dihasilkan memiliki akurasi yang tinggi.26 b. Pembaharuan dengan membuka diri terhadap filsafat Jasser Auda mengkritik terjadinya penolakan para ulama' terhadap filsafat Yunani dan metode berpikir lain. Sebab menurut mereka kesemuanya di nilai "tidak bersumber dari Islam". Padahal pembaharuan hukum Islam akan terealisasi dengan membuka diri dari pemikiran-pemikiran termasuk filsafat. Menurut Jasser Auda, Al-Ghazali termasuk yang demikian karena ia mengkritik keras Filsafat Yunani dari orang-orang Islarn yang mengikutinya. Namun pada kesempatan lain al-Ghazali menerima logika Aristoteles.

26 Mohammad Darwis, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”,. 410

12

4. Interrelasi hierarki (interrelated hierarchy) sistem hukum Islam Auda menilai bahwa maqasid klasik terjadi kerana beberapa alasan, yaitu27: pertama; cakupan maqashid klasik di arahkan untuk semua hukum Islam secara umum, sehingga tidak bisa menggambarkan tujuan dalam satu bidang tertentu dalam fiqh. Kedua; maqashid klasik sangat terfokus kepada individual daripada keluarga , masyarakat, dan manusia pada umumnya. Ketiga maqashid klasik tidak memuat nilai dasar yang paling universal seperti keadilan dan kebebasan. Keempat; maqashid klasik diambil dari sumber-sumber fiqih yang literis dan bukan kepada sumbersumber realitas yang asli. Namun demikian, klasifikasi maqashid klasik tersebut perlu ditinjau ulang sesui kontek kekinian yang kemudian dijadikan landasan metodologi dalam sistem hirarki kebutuhan. Jasser mencoba membagi hierarki maqasihid ke dalam kategori, yaitu: Pertama; Maqashid al-‘Amah (General Maqashid) adalah maqashid yang mencakup seluruh masalah yang terdapat dalam prilaku tashri’ yang bersifat universal seperti keadilan, persamaan, toleransi, kemudahan, termasuk aspek Daruriyyat dalam Maqashid Klasik. Kedua; Maqashid Khassah (Spesific Maqashid) yaitu maqashid yang terkait dengan maslahah yang ada dalam proses tertentu, misalnya, tidak boleh menyakiti perempuan dalam ruang lingkup keluarga. Ketiga; Maqashid Juz’iyyah (Percial Maqashid)yaitu maqashid yang paling inti dalam suatu peristiwa hukum. Masalah ini juga disebut hikma atau rahasia. Contohnya adalah kebuthan akan aspek kejujuran dan kuatnya ingatan dalam ingatan kesaksian. Dalam kasus kriminal modern bisa jadi cukup dengan satu saksi yang adil

27

Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ahas 4-5

13

dan tidak harus ada dua saksi asalkan yang bersangkutan mampu menunjukkan sikap jujur dan data yang valid 5. Multi Dimensi (Multi Dimensionality) Sisitem Hukum Islam Sebuah sistem bukanlah sesuatu yang tunggal, namun terdiri dari beberapa bagian yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Prinsip di atas digunakan Jasser Auda untuk memberikritik terhadap akar pemikiran binary opposition di dalam hukum Islam. Dalam pengetahuan ulama' tradisional, konsep dalil Nash dibagi menjadi dua, yaitu dalil yang pasti (Qath’i) dan dalil yang tidak pasti (zhanni). Kemudian, menurut Jasser Nas Qath'i oleh ulama' tradisionai dibagi lagi menjadi tiga, Qath'iyat al-Dilalah (nash yang memiliki implikasi kepastian hukum), Qath’iyah al-thubut (nasb yang keotentikannya pasti), dan al-Qath'i al-mantiqi (nash yang logikanya pasti). Adapun Qath'iyat al-Dilalah berimplikasi kepada kuatnya kepastian hukum yang dikandungnyan. Maka dari itu, nas yang memiliki derajat Qath'iyat tidak bisa lagi direlatifkan sebagaiman kaidah fiqih: “al-yaqinu la yazalu bi al-syak” (sesuatu yang pasti tidak bisa dihilangkan dengan dengan keraguan. Akan tetapi menurut Jasser Auda konsep Qath'iyat al-Dilalah yang demikian, menimbulkan problem serius dalam pemikiran hukum Islam. Hal tersebut karena "kepastian" dalam qath’iyat aldilalah hanya yang didasarkanpada kajian bahasa saja dan cenderung keluar dari konteksserta bersifat parsial.28 Adapun Qath'iyat al-al-thubut merupaka klaim “kepastian” tentang keontetikan nas. Nash yang mutawatir (nas yang diriwayatkan banyak orang yang tidak mungkin

28 Mohammad Darwis, “Maqâshid al-Shariah Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam Studi Pemikiran Jasser Auda”,,.411.

14

bohong/jam’un yastahilun tawatu’uhum ‘ala al-kadzib. Dalam pemikiran fiqh klasik, para ulama’ mengatakan nas yang Qath'iyat al-al-thubut berimplikasi menjadi Qath'iyat al-al-dilalah dan masuk pada kategori “kepastian” yang tinggi dalam pemikiran keagamaan yang harus dipahami (ma’lumun min al-dini bi al-dharurah) bahkan menjadi sesuatu yang diyaqini (Qath'iyat al-al-I’tiqad). Pada akhirnya menurut Jasser konsep Qath'iyat al-Dilalah berkonsekwensi pada munculnya ijma’ ulama yang dipilih

sebagai solusi atau penyelesaian hukum Islam dengan cara

mengadakan consensus yang kemudian diklaim sebagai keputusan yang “pasti” karena telah “mutawatir” Sementara qath'it al-mantiqi dalam teradisi hukum Islam dipakai dalam meodologi qiyas ketika mengacu pada kajian illat. Ketika illat sudah dapat dipastikan maka hasil dari hukum metodologi qiyas akan bernilai qath’i (pasti) sebagai pastinya hukum asalnya (nas). Menurut Jasser, ulama’ tradisional dalam memutuskan konsep qath’i berdasarkan dugaan mereka yang kemudian dinyatakan sebagai “kebenaran pasti”. Dengan demikian ke-qath’i-an sebbuah dalil nas ditentukan melalui proses praduga (zhann) yang memiliki tidak pasti. Lebih jauh lagi, menurut Jasser regulasi qath’i dan zhani menimbulkan adanya dikotonomi dalam nas. Seharusnya dalam pemikiran hukum qath’i dan zhani menjadi pertimbangan yang inheren agar aturan hukum yang dihasilkan fleksibel29 6. Tujuan (Purpose fulness) Sistem Hukum Islam Setiap sistem memilik output (tujuan). Dalam teori sistem. Tujuan dibedakan menjadi goal (al-Hadad)dan purpose (al-Ghayah). Sebuah sistem akan menghaslkan goal jika hanya menghasilkan tujuan dalam situasi yang konstan, bersifat mekanistik, dan hanya dapat melahirkan satu tujuan saja. Sedangkan sebuah sistem akan 29

Ibid,.413

15

menghasilkan purpose (al-ghayah) jika mampu menghasilkan tujuan dengan cara yang berbeda-beda dan dalam hal yang sama atau menghasilkan berbagai tujuaan dalam suatu yang beragam. Dalam kontek ini, Maqashid al-Shari’ah beraada dalam pengertian purpose (alghayah) yang tidak monotolik dan mekanistik, tetapi beragam sesuai dengan situasi dan kondisi. Realisasi Maqashid as-Shari’ah merupakan dasar utama dan fundamental

dalam

hukum

Islam.

Menggali

Maqashid

as-Shari’ah

harus

dikembalikan kepada teks utama (al-Qur’an dan Hadist), bukan pendapat dan fikiran Faqih. Oleh kerena itu, perwujudan Maqashid as-Shari’ah menjadi tolak ukur dari validitas ssetiap ijtihad, tanpa menghubungkannya dengan kecendrungan madzab tertentu. Tujuan penetapan hukum Islam harus dikembalikan kepada kemaslahatan masyarakat yang terdapat di sekitarnya.30

30

Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ahas 51-55.

16

PENUTUP Jassaer Auda memperoleh gelar gelar BA diperoleh dari jurusan Islamic Studies pada Islamic American University, USA tahun 2001, gelar BSc dari engineering Cairo University, Egypt Caurse Av. Tahun 1988 Master Fiqih dari Universitas Islam Amerika, Michigan, pada tujuan hukum Islam (Maqashid al-Shari’ah) tahun 2004. Ph. D dari Universitas of wales, Inggris, pada konsentrasi filsafat hukum Islam tahun 2008. Ph. D yang kedua dari Universitas Waterloo, Kanada dengan kajian analisis system tahun 2006. Latar belakang penulisan buku Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic law: a Shistem Approach adalah pengalaman pahit yang melahirkan kemarahan Jasser Auda atas sikat teroris yang menyebar ketakutan dan kejahatan di mana-mana. Dan yang memebuat gerah Auda adalah pernyataan teroris yang mengatas namakan tindakannya itulah sesua dengan aturan yang ada di dalam hukum Islam. Di samping itu, yang menjadi problem pemikiran Auda adalah posisi hukum Islam saat ini, di mana laporan tahunan terbaru dari United Nation Devloment Programe (UNDP) menunjukkan indek pembangunan manusia (IPM) dari sisi lebih rendah adalah negara dengan mayoritas Muslim Pendekatan analisis sistem hukum Islam yang ditawarka Jasser Auda meliputi 6 karakteristik, yaitu : sifat kognitif, integritas keterbukaan, hierarki yang saling terkait multidimensi, dan memiliki tujuan.

17

DAFTAR PUSTAKA Abd al-Salam, Izzuddin. Al-Qawa’id al-Shugra, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashirah, 1996). Ali, Atabik. Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, Multi Gaya Grafika, 1996) Al-Qardhowi, Yusuf. Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan aturan Illahi untuk Manusai, (Bandung: Pustaka Mizan, 2003) Al-Qardhowi, Yusuf. Nazhriyat Maqasid al-Syari’ah Baina Syekh Ibn Taimiyah wa Jumhur al-Ushuliyin, (Mesir: Jami’ah al-Qahirah, 2000). Al-Qathan, Manna'. al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam (t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th,). Al-Thahir bin ‘Asyuro, Muhammad. Maqasid al-syariah al-Islamiyah, (Yordania: Dar alNafais, Cet ke-2, 2001). Auda, Jasser. Maqashid al-Shari’ahas Philosophy Of Islamic Law a Sistem Approach (London, Washinton: llT, 2008). Faruq Nabhan, Muhammad. Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Shadir, t.th, Jilid VIII). Ishaq al-Syatibi, Abu Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Dar al-Kutub al-Alamiyah, Beirut, tt). Jaya Bakri, Asafri Konsep Maqashid al-syari’ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996) Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah ( Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) Mu‟ammar, M. Arfan. Wahid Hasan, Abdul dkk, Studi Islam Perspektif Insider Outsider, (Yogyakarta: Ircisod, 2013). Muhammad Syah, Ismail. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).

18