MULTIPLE SKLEROSIS TANNIA RIZKYKA IRAWAN H1A012059
PENDAHULUAN Multiple Sklerosis (MS) adalah suatu penyakit
yang dipicu oleh berbagai kausa, salah satunya adalah virus serta genetis yang akan menyebabkan perubahan mekanisme system imun di dalam susunan saraf pusat. Pentingnya ketepatan penegakan diagnosis MS sangat berpengaruh terhadap prognosis pasien.
EPIDEMIOLOGI Hampir 400.000 individu di Amerika Serikat
dan 2,4 juta orang diseluruh dunia menderita MS. Wanita memiliki resiko 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada laki-laki untuk terdiagnosis MS dan kebanyakan kasus MS terjadi pada usia antara 20 sampai 50 tahun, dengan puncaknya pada usia 29 tahun. (Price, Wilson, 2012; Wajda, Sosnoff, 2015;Wingerchuk, Carter, 2014)
ETIOLOGI Penyebab MS belum diketahui, namun
diperkirakan melibatkan kombinasi antara faktor genetic dan factor non- genetik seperti infeksi virus, factor metabolisme atau lingkungan. Kemudian, ini akan menyebabkan gangguan autoimun dan akan menyerang SSP secara berulang (Marvin M. 2012).
(Marvin M., 2012)
PATOFISIOLOGI Terdapat respon imunologi yang mempengaruhi terjadinya
multiple sklerosis. Pada sistem imun bawaan memainkan peran dalam melakukan inisiasi dan mempengaruhi sel T dan sel B dalam multiple sklerosis, misalnya ketika sel dendrit menjadi semi matang dan menginduksi sel T untuk menghasilkan sitokin lalu menghambat IL – 10 atau TGF. Sel T berdiferensiasi Th 1, Th 2, dan Th 17. Dimana ketika sel T berdiferensiasi ke Th 1 peradangan sudah dimulai dan sudah mulai menjalar dan reseptor Th 17 mulai memperlihatkan tanda klinis dari multiple sklerosis baik itu yang akut ataupun kronis.
( Loma, R., 2011)
Multiple Sclerosis ditandai dengan inflamasi kronis,
demyelinasi dan gliokis (bekas luka_ mendorong virus secara genetik mudah diterima individu Hancurnya digodendrosit (sel yang membuat mielin) hilangnya mielin, menghilangnya dari oligodendrosit, dan poliferasi astrositplak , atau sklerosis yang dapat menghancurkan mielin tetapi serat saraf tidak dipengaruhi dan impulsif saraf akan tetap terhubung. (Jose Sa, M., 2012)
Manifestasi Klinis: Gangguan sensorik : Jika lesi terdapat pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis,
fleksi leher menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan ke bawah medulla spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan penglihatan: kekaburan penglihatan, lapang pandang yang abnormal dengan
bintik buta (skotoma) , traktus dari otot-otot ekstraokular dan nistagmus. Kelemahan spastik anggota gerak: kelemahan satu anggota gerak pada satu sisi tubuh
atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak, Refleks tendon mungkin hiperaktif. Tanda-tanda serebelum: nistagmus (gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah
horisontal atau vertikal) dan ataksia serebelar dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan volunter, intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria (bicara dengan kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan tersendat-sendat.
(Wilson LM, Price SA, 2012)
Con’t Disfungsi kandung kemih: Lesi pada traktus
kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan pengaturan sfingter Gangguan suasana hati: Banyak mengalami suatu
perasaan senang yang tidak realistic atau disebu teuforia. Hal ini diduga disebabkan terserangnya substansia alba lobus frontalis
Pemeriksaan Penunjang Magnetic Resonance Imaging (MRI) Tes neurofisiologis Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF)
TERAPI Fingolimod Terapi multiple sklerosis telah mengalami pergeseran,
terapi first line MS sebelum fingolimod diresmikan adalah IFN beta. Setelah dibandingkan, data-data mengindikasikan bahwa pada 12 bulan, rerata jumlah lesi T1 yang diperkuat gadolinium secara bermakna lebih rendah pada pasien yang diterapi dengan fingolimod (0,5 mg) dibandingkan dengan pasien yang menggunakan interferon β-1a secara intramuskular, yaitu 0,2 berbanding 0,5 (p<0,001). Efek fingolimod (0,5 mg) dibandingkan dengan plasebo pada pemberian selama 24 bulan juga berbeda bermakna, yaitu sebesar 0,2 berbanding 1,1 (p<0,001) (Groves et al, 2013).
TERIMA KASIH