1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Suatu produksi tidak akan berjalan lancar tanpa adanya factor-faktor produksi yang mendukung. Ada 4 faktor yang penting adalah tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen. keempat-empatnya sangat berperan dalam kelangsungan produksi tanpa adanya tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen maka produksi tidak berjalan dengan efektif. Demikian halnya tenaga kerja merupakan salah satu factor produksi yang penting. keberadaan tenaga kerja tidak boleh begitu saja dikesampingkan yang harus diperhatikan kesehatan dan kesejahteraannya. Hal yang tidak bisa lepas begitu saja dari tenaga kerja adalah upah. Oleh karena itu perlu di perhatikan standar upah agar memberikan kerugian kepada kedua belah pihak yaitu pihak perusahaan dan karyawan, seperti yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan pada masa kekholifahan. Jika para pekerja tidak mendapatkan upah yang adil dan wajar, ini tidak hanya akan mempengaruhi daya beli dan taraf hidup para serta keluarganya, dengan demikian secara ekonomi sangat berbahaya bagi suatu Negara jika menghapuskan hak tenaga kerja atas pembagian deviden. Agama Islam memberikan pedoman bagi kehidupan manusia dalam bidang perekonomian tidak memberikan landasan yang bersifat praktis, berapa besarnya upah yang harus diberikan kepada buruh untuk mencukupi kebutuhan hidup. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil tema analisisis fiqih tentang upah dalam makalah ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah dari makalah ini adalah: 1.
Apa yang dimaksud dengan upah dan apa saja dasar hukum Islam mengenai upah?
2.
Apa saja bentuk dan syarat upah?
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Upah dan Dasar Hukum Upah dalam Islam 1. Definisi Upah Menyangkut dengan masalah pengupahan, kodifikasi hukum Islam menempatkan satu pembahasan khusus dalam kitab fiqih yang terdapat dalam bab al-ijarah. Pengertian al-ijarah menurut kebahasaan adalah imbalan atas suatu pekerjaan.1 Namun, pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut: 1.
Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.
2.
Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan
tetapi
untuk
istilah
al-ijarah
mereka
berpendapat
adalah
suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira`menurut istilah mereka, digunakan untuk aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan. 3.
Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4.
Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang
Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, (Beirut: Darul-Fikri, tt), hlm. 94. 1
3
diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.2 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah. Berkenaan
dengan
pengupahan
kepada
tenaga
kerja
dapat
diklasifikasikan kepada dua bentuk pembayaran yaitu gaji dan upah. Menurut pengertian sehari-hari gaji diartikan sebagai imbalan pembayaran kepada pekerja-pekerja tetap dan tenaga kerja profesional seperti PNS, pegawai pemerintahan, dosen, guru, pegawai swasta, manager dan akuntan. Pembayaran gaji tersebut pada umumnya dilakukan sebulan sekali. Sedangkan upah dimaksudkan
sebagai
pembayaran
kepada
pekerja-pekerja
kasar
yang
pekerjaannya selalu berpindah-pindah, misalnya pekerja pertanian, tukang kayu, tukang batu dan buruh kasar.3 Berdasarkan
teori
ekonomi
upah
memiliki
pengertian
sebagai
pembayaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha.4 Karenanya dalam teori ekonomi tidak dikenal perbedaan diantara pembayaran ke atas jasa-jasa pekerja tetap dan profesional (seperti PNS) dengan pekerja kasar, kedua jenis pendapatan pekerja (pembayaran kepada para pekerja) tersebut dinamakan upah. Pengertian upah dalam dalalah al-ijarah konsep Islam dapat berupa dalam bentuk uang atau barang yang dapat dijadikan tsaman (harga) dalam jual beli.5 Ada juga ulama yang berpendapat, bahwa upah itu harus dalam bentuk mata uang yang berlaku dalam sebuah negara.6 Lebih lanjut supaya lebih jelas berkenaan dengan masalah upah, penulis akan menjelaskan sedikit tentang pengertian upah dalam arti konvensional.
2
Ibid., hlm. 98. Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Edisi II, Cet. 13, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 350. 4 Ibid., hlm. 351. 5 Abdurrahman Al-Jaziry, Op.Cit., hlm. 101. 6 Syaikh Qalyubi, Qalyubi wal-`amirah, Juz, III, (Semarang: Syirkah Nur Asia, tt), hlm. 68. 3
4
Dalam hal ini upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya dalam produksi.7 Supaya lebih jelas guna mengetahui apa yang dimaksud dengan upah dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah. Dalam hal tersebut menurut ketentuan pasal 1 huruf (a) PP. No. 8 Tahun 1981, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun untuk keluarganya.8 Sedangkan pengertian imbalan adalah termasuk juga pembayaran honorarium yang dibayar oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus. Karenanya, dapatlah dikatakan yang dimaksud dengan upah adalah imbalan yang berupa uang atau dapat dinilai dengan uang karena telah melakukan pekerjaan atau jasa. Upah juga boleh ditakrifkan sebagai harga yang dibayar kepada perkhidmatan buruh dalam proses pengeluaran.9 Sebenarnya upah merupakan imbalan dalam bentuk uang atau benda lainnya yang diberikan majikan kepada pekerja sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Karenanya, selain itu menurut Benhan, pengertian upah dapat diartikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh seseorang yang memberikan pekerjaan kepada seseorang pekerja atas jasanya dengan sesuai perjanjian.10
2. Dasar Hukum Upah Untuk lebih jelas berkenaan dengan upah atau gaji yang merupakan suatu bagian dari kontrak ijarah, maka hal itu perlu diperjelas sehingga menghilangkan kekaburan dalam penafsiran. 7
Afzalul Rahman, Op.Cit., hlm. 361. F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1994), hlm. 40. 9 Ghafarullahuddin bin Din Habibah Laher, Ekonomi Islam, Seri Ke III, (Selangor Darul Ehsan: Penerbit Asni SDN.BHD, 2000), hlm. 17. 10 Ibid., hlm.20. 8
5
Sumber hukum dalam Islam yang dipakai dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi adalah dengan menggunakan Alqur’an dan Sunah Nabi, di samping masih banyak lagi sumber hukum yang dapat digunakan. Alquran sebagai sumber hukum dasar yang menjadi pijakannya. Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Quran ialah: “Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105). Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah SAW tentang upah: a. Hadist Utama Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wasallam Bersabda : الرحْ َم ِن بْن زَ ْي ِد ب ِْن َّ س ِعي ِد ب ِْن َع ِطيَّةَ ال َّ سلَ ِمي َحدَّثَنَا َعبْد َ َحدَّثَنَا ا ْلعَبَّاس ْبن ا ْل َو ِلي ِد ا ِلد َم ْش ِقي َحدَّثَنَا َو ْهب بْن َّ صلَّى َّ ّللاِ ب ِْن ع َم َر َقا َل َقا َل َرسول َّ أ َ ْس َل َم َع ْن أ َ ِبي ِه َع ْن َع ْب ِد ير أَجْ َره َق ْب َل أ َ ْن َ ّللا َع َل ْي ِه َو َ سلَّ َم أَعْطوا ْاْل َ ِج َ ِّللا ف َع َرقه َّ يَ ِج Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah As Salami berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR: Ibnu Majah). b. Hadist Penguat َّ ي ِ َحدَّثَنَا أَحْ َمد بْن م َح َّمد ْال َم ِكي َحدَّثَنَا َع ْمرو بْن َيحْ َيى َع ْن َج ِد ِه َع ْن أ َ ِبي ه َري َْرة َ َر ِ ّللا َع ْنه َع ْن النَّ ِبي َ ض َ َسلَّ َم قَا َل َما بَع َّ ث َّ صلَّى ص َحابه َوأ َ ْنتَ فَقَا َل َنعَ ْم ك ْنت أَ ْر َعاهَا َعلَى ْ َ ّللا نَ ِبيًّا إِ َّّل َر َعى ْالغَن ََم فَقَا َل أ َ ّللا َعلَ ْي ِه َو َ َط ِْل َ ْه ِل َم َّكة َ قَ َر ِاري Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al Makkiy telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Yahya dari kakeknya dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallambersabda:
6
"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan kambing". Para sahabat bertanya: "Termasuk engkau juga?" Maka Beliau menjawab: "Ya, aku pun mengembalakannya dengan upah beberapa qirat (keping dinar) milik penduduk Makkah". (HR.Bukhari No 2102). Hadits yang mulia ini memerintahkan kita untuk bersegera menunaikan hak pekerja setelah menyelesaikan pekerjaanya. Kenapa? Karena menunda pembayaran gaji pegawai bagi majikannya yang mampu adalah suatu kezaliman. Banyak kesengsaraan yang dialami oleh para pekerja yang gajinya tidak dibayarkan oleh para majikannya, bayangkan saja jika para pekerja itu adalah tulang punggung keluarga apa yang akan terjadi pada keluarganya? Pasti keluarganya akan mengalami kesengsaraan, kesulitan, serta anak-anaknya akan mengalami hambatan dalam pendidikan, betapa sangat menyengsarakan dan betapa zholimnya majikan yang menunda bahkan tidak membayarkan hak para pekerjanya padahal dia mampu. Menurut Abu Hanifah, wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang telah diterimanya. Jika Ijarah tersebut berupa penyewaan, menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, jika mu’jir telah menyerahkan zat benda yang disewakan kepada musta’jir, ia berhak menerima bayaran karena musta’jir (penyewa telah menerima manfaat dari barang yang disewakan. Jika menyewa barang, maka uang sewa dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain. Upah yang adil merupakan upah yang wajib diberikan kepada pekerja. Upah yang adil adalah upah yang setara yang ditentukan oleh upah yang diketahui (disetujui), yang menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Tingkat upah ditentukan oleh tawar menawar antara pemberi kerja dengan pekerja. Upah yang setara diberikan sesuai dengan kualitas pekerjaan. Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si
7
pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.”11 B. Rukun dan Syarat-syarat upah Dalam melaksanakan akad ijarah, haruslah dipenuhi rukun-rukunnya terlebih dahulu, apabila salah satu ruku tidak dapat dipenuhi maka akad batal demi hukum. Adapun rukun ijarah ada 4, yaitu: 1.
Dua orang yang berakad
2.
Shighat akad, yang menyatakan ijab dan qabul
3.
Upah (Ajrun)
4.
Manfaat Dalam akad ijarah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, secara umum,
syarat-syarat tersebut terbagi menjadi 4, yaitu; 1.
Syarat terjadinya Ijarah
2.
Syarat Sah Ijarah
3.
Syarat tetap hukum ijarah,
4.
Syarat berlakunya ijarah, masing-masing syarat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a.
Syarat terjadinya ijarah Yang dimaksud dengan syarat ini adalah syarat yang harus terpenuhi sehingga akad ijarah dapat dilaksanakan, syarat ini dalam istilah
fiqh
disebut
Syarat
In’iqad.
Syarat
tersebut
adalah
akad ijarah dilakukan oleh orang berakal. Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang melakukan akad syaratnya adalahmukallaf yaitu baligh dan berakal, tidak disyaratkan bagi orang yang berakad itu beragama Islam, sehingga diperbolehkan akad dengan non muslim atau sebaliknya. b.
Syarat sah Ijarah Adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga akad ijarah dinyatakan sah, syarat-syarat tersebut adalah: 1) Adanya kerelaan dari dua belah pihak yang berakad,
11
Al Munawi Faidhul Qodir, 1: 718
8
Akad
dilaksanakan
berdasarkan
suka
sama
suka,
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa (4) :9, yang berbunyi 2) Manfaat
atau
jasa
yang disepakati
harus
dijelaskan
guna
menghindari perselisihan. 3) Manfaat atau jasa yang disepakati dalam akad harus benar-benar mungkin untuk dipenuhi secara syar’i. 4) Manfaat atau jasa yang disepakati dalam akad adalah mubah menurut syara’ dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. 5) Pekerjaan yang dijanjikan bukan merupakan suatu kewajiban pekerja sebelum pelaksanaan akad 6) Pekerja tidak boleh mengambil manfaat (secara langsung) dari pekerjaan yang dilaksanakan. c.
Syarat tetap hukum ijarah atau dalam literatur fiqh sering disebut Syarat luzum akad adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga kesepakatan dalam akadijarah memiliki ketetapan untuk diberlakukan, syarat-syarat ini yaitu: i.
Akad hendaknya merupakan akad shahih.
ii.
Terhindarnya obyek akad dari kerusakan-kerusakan setelah diambil manfaatnya.
iii. d.
Tidak terdapat cacat terhadap pekerja maupun pengelola perusahaan.
Syarat berlakunya ijarah, syarat ini disebut juga Syarat Nufudz, yang mensyaratkan dalam akad ijarah adanya hak milik dan kekuasaan atas manfaat atau jasa, sebagai contoh, barang yang disewakan oleh orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka ijarah ini tidak boleh diberlakukan.
9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui. Dasar Hukum al-ijarah Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Alquran ialah: “Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105). Hadits Rasulullah SAW tentang upah: الرحْ َم ِن بْن زَ ْي ِد ب ِْن أ َ ْسلَ َم َع ْن َّ س ِعي ِد ب ِْن َع ِطيَّةَ ال َّ سلَ ِمي َحدَّثَنَا َعبْد َ َحدَّثَنَا ا ْلعَبَّاس ْبن ا ْل َو ِلي ِد ا ِلد َم ْش ِقي َحدَّثَنَا َو ْهب بْن َّ صلَّى َّ ّللاِ ْب ِن ع َم َر قَا َل قَا َل َرسول َّ أَبِي ِه َع ْن َع ْب ِد ف َع َرقه َّ ير أ َجْ َره قَ ْب َل أ َ ْن يَ ِج َ ّللا َعلَ ْي ِه َو َ سلَّ َم أَعْطوا ْاْل َ ِج َ ِّللا Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah As Salami berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR: Ibnu Majah). Dalam melaksanakan akad ijarah, haruslah dipenuhi rukun-rukunnya terlebih dahulu, apabila salah satu ruku tidak dapat dipenuhi maka akad batal demi
10
hukum. Adapun rukun ijarah ada 4, yaitu: 1) Dua orang yang berakad, 2) Shighat akad, yang menyatakan ijab dan qabul, 3) Upah (Ajrun,) Manfaat Dalam akad ijarah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, secara umum, syarat-syarat tersebut terbagi menjadi 4, yaitu; 1) Syarat terjadinya Ijarah, 2) Syarat Sah Ijarah, 3) Syarat tetap hukum ijarah, 4) Syarat berlakunya ijarah, masingmasing syarat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a) Syarat terjadinya ijarah, b) Syarat sah Ijarah Adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga akad ijarah dinyatakan sah, syarat-syarat tersebut adalah: 1) Adanya kerelaan dari dua belah pihak yang berakad, 2) Manfaat atau jasa yang disepakati harus dijelaskan guna menghindari perselisihan. 3) Manfaat atau jasa yang disepakati dalam akad harus benar-benar mungkin untuk dipenuhi secara syar’i. 4) Manfaat atau jasa yang disepakati dalam akad adalah mubah menurut syara’ dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. 5) Pekerjaan yang dijanjikan bukan merupakan suatu kewajiban pekerja sebelum pelaksanaan akad, 6) Pekerja tidak boleh mengambil manfaat (secara langsung) dari pekerjaan yang dilaksanakan. Syarat tetap hukum ijarah atau dalam literatur fiqh sering disebut Syarat luzum akad adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga kesepakatan dalam akadijarah memiliki ketetapan untuk diberlakukan, syarat-syarat ini yaitu: 1) Akad hendaknya merupakan akad shahih. 2) Terhindarnya obyek akad dari kerusakankerusakan setelah diambil manfaatnya. 3) Tidak terdapat cacat terhadap pekerja maupun pengelola perusahaan. Syarat berlakunya ijarah, syarat ini disebut juga Syarat Nufudz, yang mensyaratkan dalam akad ijarah adanya hak milik dan kekuasaan atas manfaat atau jasa, sebagai contoh, barang yang disewakan oleh orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka ijarah ini tidak boleh diberlakukan. B. Saran Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.
11
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, (Beirut: Darul-Fikri, tt), hal. 94 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Edisi II, Cet. 13, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 350 Syaikh Qalyubi, Qalyubi wal-`amirah, Juz, III, (Semarang: Syirkah Nur Asia, tt), hal. 68. F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1994), hal. 40 Ghafarullahuddin bin Din Habibah Laher, Ekonomi Islam, Seri Ke III, (Selangor Darul Ehsan: Penerbit Asni SDN.BHD, 2000). Al Munawi, Faidhul Qodir syarah al jami’ ash-shagir, jilid 1 (Cairo: Penerbit Darul Hadis)