Dua Keinginan Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayanglayang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap. Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman -- berhati-hati tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan. Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, "Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!" Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, "Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku." Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taringtaringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan." Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian." Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya. Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku." "Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya. Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu." (dari "Kelopak-Kelopak Jiwa" - Gibran Khalil Gibran)
Negeri Kebenaran oleh Idries Shah Ada seseorang yang yakin bahwa waktu jaga sehari-hari, sebagaimana yang kita saksikan, tidak mungkin sempurna. Ia pun pergi mencari Guru Zaman yang sejati. Banyak kitab-kitab yang telah dibacanya dan banyak kalangan-kalangan yang telah diterjuninya, sehingga ia telah dapat mendengar ucapan-ucapan dan menyaksikan perbuatan-perbuatan dari berbagai guru. Ia melaksanakan perintah-perintah yang keras beserta latihan-latihan spirituil yang sangat menarik hatinya. Ia sangat gembira karena mendapatkan pengalaman-pengalaman. Namun kadang-kadang ia bingung karena ia sama sekali tak tahu tingkatan apa yang telah dicapainya dan dimanakah atau kapankah pencariannya itu akan berakhir. Pada suatu hari ketika sedang mengkaji segala tingkah lakunya ia mendapati dirinya telah berada di dekat rumah kediaman manusia-manusia arif bijaksana yang sangat terkenal. Di dalam rumah itu ia bertemu dengan Khaidir, penunjuk-jalan rahasia yang menunjukkan jalan ke arah kebenaran. Khaidir membawanya ke suatu tempat di mana ia dapat menyaksikan manusia-manusia yang sedang sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ia bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya. Mereka menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak mengkuti ajaran-ajaran yang sejati, yang tidak setia kepada tugas yang dibebankan ke atas pundak kami, dan yang [hanya] memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri." Kemudian ia dibawa pula oleh Khaidir ke suatu tempat di mana setiap orang mempunyai wajah yang berseri-seri dan berbahagia. Kepada mereka ia bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya. Mereka menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti Petunjuk-petunjuk Jalan yang sebenarnya." "Tetapi bila engkau telah mengabaikan petunjuk-petunjuk itu mengapakah engkau bisa berbahagia?" bertanya si pengelana. "Karena kami lebih senang memilih kebahagiaan daripada kebenaran," jawab mereka, "seperti orangorang yang memilih guru-guru mereka sendiri sebenarnya memilih kesengsaraan pula." "Tetapi bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita yang paling tinggi dari ummat manusia?" bertanya pula si pengelana. "Tujuan yang terakhir dari ummat manusia adalah kebenaran. Kebenaran itu lebih daripada kebahagiaan. Seseorang yang telah mendapatkan kebenaran dapat memiliki perasaan-perasaan yang bagaimanapun menurut keinginannya atau membuang semua perasaan-perasaan itu. Kami telah berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah kebenaran dan orang-orang percaya kepada kami. Dan hingga saat inipun engkau sendiri menyangka bahwa kebahagiaan itu pastilah sama dengan kebenaran. Tetapi kebahagiaan akan memenjarakan dirimu
sebagaimana yang dilakukan oleh kesengsaraan." Kemudian sang pengelana rnenemukan dirinya telah berada kembali di halaman itu dengan Khaidir di sisinya. "Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu," kata Khaidir. "Aku ingin mengetahui mengapa aku telah gagal dalam mencari dan bagaimana aku dapat berhasil," jawab si pengembara. "Engkau telah menyia-nyiakan seluruh hidupmu," kata Khaidir, "karena engkau adalah manusia pembohong. Engkau sebenarnya mencari kepuasan pribadi walaupun engkau [sebenarnya] dapat [memilih] mencari kebenaran." "Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu. Dan hal ini tak terjadi terhadap setiap orang." "Ya, engkau telah dapat menemuiku karena ketulusan hatimu cukup besar untuk menginginkan kebenaran demi kebenaran itu sendiri walaupun untuk sesaat saja. Ketulusan hatimu yang sesaat itulah yang menyebabkan aku datang untuk memenuhi himbauanmu." [sesaat kemudian] Kini si pengelana merasakan keinginan yang menggelora untuk menemui kebenaran meskipun ia akan tenggelam. Namun Khaidir telah beranjak pergi dan ia pun mengejarnya. "Jangan engkau ikuti aku ", seru Khaidir, "aku akan kembali ke dunia yang penuh tipu, karena disitu[lah] aku seharusnya berada untuk melakukan tugasku." Ketika si pengelana melihat ke sekelilingnya, sadarlah ia bahwa ia tak lagi berada di halaman rumah sang guru arif bijaksana tetapi sedang berada di tengah-tengah negeri kebenaran.
Kebun oleh Idries Shah Seorang guru dari tingkatan yang tertinggi hidup sebagai seorang petani. Sang guru telah menulis berbagai kitab dan wejangan. Pada suatu hari, seorang lelaki, yang telah membaca segala tulisan-tulisan sang guru dan menganggap dirinya sebagai pencari kebenaran, datang bertamu untuk membahas berbagai masalah yang muluk bersama sang guru. "Aku telah membaca semua kitab-kitabmu," si tamu berkata, "aku sependapat dengan beberapa kitab dan tidak sependapat dengan yang lain-lainnya. Kemudian dalam kitab-kitab tertentu, aku sependapat dengan bagian-bagian tertentu tapi tidak dapat memahami bagian-bagian yang lain. Sebagian dari kitab-kitabmu lebih kusukai daripada [sebagian] yang lain-lainnya." Si petani arif bijaksana membawa si tamu ke dalam kebun, di mana terdapat aneka rupa binatangbinatang beserta makanannya dan berkata: "Aku adalah petani penghasil pangan. Engkau lihatkah wortel dan apel-apel itu? Ada orang yang menyukai wortel tetapi ada pula yang menyukai apel. Engkau lihatkah binatang-binatang itu? Beberapa orang telah menyaksikan semua binatang-binatang ini, namun mereka mempunyai pilihan mereka sendiri-sendiri, yaitu untuk dipacu, untuk dikembang-biakan dan untuk dimakan. Ada orang-orang yang menyukai ayam dan ada pula yang menyukai domba. Persamaan di antara binatang-binatang dan tanaman-tanaman ini bukanlah karena sama-sama disukai atau sama-sama tak disukai tetapi adalah bahwa semuanya adalah bahan pangan. Semuanya dapat dimakan!"
Tiga Buah Penafsiran oleh Idries Shah Tiga orang guru sufi yang telah bertekad hendak mendapatkan kebenaran sampai ke rumah salah seorang dari guru-guru yang ternama. *) Mereka memohon pertolongan dari sang guru. Sebagai jawaban, sang guru membawa mereka ke dalam kebunnya. Ia mengambil sebuah ranting kayu mati, menuju petak-petak kebunnya dan menebas kembang-kembang dari pohon-pohon yang menjulang. Ketika mereka kembali ke dalam rumah, sang guru arif bijaksana duduk beserta siswa-siswanya dan bertanya: "Apakah makna dari perbuatanku itu? Barang siapa di antara kamu memberi penafsiran yang benar akan menerima pengajaranku". Guru sufi yang pertama menjawab: "Penafsiranku terhadap pelajaran tadi adalah "manusia-manusia yang menyangka bahwa mereka lebih banyak mengetahui daripada orang-orang lain harus disamaratakan dengan orang-orang lain dalam menerima pengajaran"." Guru sufi yang kedua menjawab: "Pemahamanku mengenai perbuatanmu tadi adalah "sesuatu yang terlihat indah mungkin tidak penting dalam totalitasnya"." Guru sufi yang ketiga menjawab: "Akan kuterangkan bahwa semua perbuatanmu itu menunjukkan "sebuah benda mati, bahkan sebuah ranting pengetahuan yang dipergunakan secara berulang-ulang, masih dapat mencelakakan bendabenda yang hidup"." Sang guru berkata: "Kalian semua kuterima sebagai murid karena setiap orang di antara kalian memiliki penafsiran. Tak seorang pun di antara kalian mengetahui makna yang selengkapnya dan bersama-sama semua penafsiran-penafsiran kalian belumlah sempurna, namun masing-masing telah mengemukakan sebuah kebenaran." *) Yang dimaksudkan adalah Mir Alishan Nawai.
Pedagang Rahasia oleh Idries Shah Seorang guru mistik, setelah ia mencapai pengetahuan yang serba rahasia mengenai kebenaran sejati, yaitu pengetahuan yang hanya dapat dicapai oleh segelintir manusia, ia bermukim di Basrah. Di sana ia memulai sebuah usaha dan dalam beberapa tahun saja telah memperoleh kemajuan. Pada suatu hari seorang guru sufi yang telah mengenalnya beberapa tahun yang lalu, namun masih berada di atas jalan yang ditempuh oleh para pencari kebenaran, singgah di tempat kediamannya. "Betapa gundah hatiku menyaksikan engkau yang telah meninggalkan pencarian dan jalan kaum mistik," berkata sang guru sufi. Pedagang yang arif bijaksana itu hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa.
Sang guru sufi kemudian meneruskan perjalanan dan didalam wejangan-wejangannya dikemudian hari ia sering kisahkan, betapa seseorang bekas sufi yang kemudian beralih kepada cita-cita yang rendah dalam dunia perdagangan karena ia tampaknya tak memiliki tekad yang perlu untuk menyelesaikan perjalanan. Tetapi sang guru sufi pengelana ini akhirnya bertemu dengan Khaidir, sang penunjuk jalan rahasia. Si guru sufi memohon kepada Khaidir untuk mengantarkannya kepada guru arif bijaksana pada zaman itu, yang akan memberkahi terang ke dalam hatinya. Khaidir berkata: "Jumpailah seseorang pedagang anu, duduklah di kakinya, dan laksanakanlah kerja kasar yang disuruhnya". Sang guru sufi tidak habis pikir, iapun berkata dengan tergagap: "Tetapi betapa mungkin bahwa pedagang itu adalah salah seorang dari manusia-manusia terpilih, apalagi sebagai guru agung zaman kini?" Khaidir menjawab: "Karena ketika ia mendapatkan terang ia pun telah berhasil memperoleh pengetahuan duniawi. Untuk pertama kali ia rnenyadari bahwa sikap manusia suci menarik orang-orang tamak yang berpura-pura mencari pengetahuan spirituil dan menolak orang-orang tulus yang tidak takjub kepada penampilan lahiriah. Aku telah menunjukkan kepadanya betapa guru-guru yang saleh dapat ditenggelamkan oleh pengikut-pengikutnya. Maka ia memberi pengajaran dengan diam-diam dan bagi orang-orang yang dangkal penglihatan ia hanyalah seorang pedagang biasa."
Di Zawiyyah Sebuah Masjid Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid. Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren. "Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada santri pertama, "apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?" "Agama," jawab santri pertama. "Berapa jumlahnya?" "Satu." "Tidak dua atau tiga?" "Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan." ** Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?" "Islam."
"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?" "Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda." "Kenapa kau katakan demikian?" "Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam." "Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?" "Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia." ** Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda," katanya, "bahasa apa yang digunakan?" Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an." "Bagaimana membuktikan hal itu?" "Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam." "Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?" "Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah." "Maksudmu, Nak?" "Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi." ** "Temanmu tadi mengatakan," berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, "bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?" "Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan," jawab santri keempat, "Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan." "Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?" "Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah." "Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?" "Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu --sebelum dimanipulasikan-- sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama --dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan-- sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia."
** Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?" "Islam, Kiai." "Apa agama Ibrahim?" "Islam." "Apa agama Musa?" "Islam." "Dan agama Isa?" "Islam." "Sudah bernama Islamkah ketika itu?" "Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum." ** "Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam. "Membebaskan," jawab santri itu. "Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!" "Menyelematkan, Kiai." "Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?" "Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam --sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu-- dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah." "Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?" "Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah." ** Pak Kiai menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?" "Benar, Kiai," jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah." "Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?"
"Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya." "Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?" "Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya." ** "Cahaya Islam. Apa itu gerangan?" Santri ke delapan menjawab, "Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia." "Pemikiranmu lumayan," sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?" "Ya, Kiai." "Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?" "Dinihari rekayasa teknologi." "Dari Nuh?" "Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah." "Hud?" "Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih." "Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?" "Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil." "Pada Ismail?" "Pengurbanan dan keikhlasan." "Ayyub?" "Ketahanan dan kesabaran." "Dawud?" "Tangis, perjuangan dan keberanian."
"Sulaiman?" "Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan." "Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!" "Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian." "Dari Zakaria?" "Dzikir." "Isa?" "Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub." "Adapun dari Muhammad, anakku?" "Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya." ** Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?" "Tak menentu, Kiai," jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub --tetapi-- yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu." Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami." "Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan." Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh. "Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera." "Anakku," Pak Kiai menyela, "pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa." "Insyaallah tidak, Kiai," jawab sang santri, "Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi
kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang." ** Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam. "Sampai tahap ini," kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab." "Kami berusaha, Kiai," jawab mereka. "Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?" "Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan," berkata salah seorang. "Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang," sambung lainnya. "Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang lain lagi. "Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah." "Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan." "Hikmah, maw'idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan." "Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah." "Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan." "Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah." Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?" "Lentur, Kiai!" kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu. "Fal-yatalaththaf!" ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, "titik pusat Al-Qur'an!" 1987 Emha Ainun Nadjib
Matahari Islam Berpendar-pendar oleh Emha Ainun Nadjib Jakarta , Jumat, 13-12-2002 16:29:09
GATRA.com - SAYA sedang menikmati pemandangan indah: berpendar-pendarnya matahari terbit kebangkitan Islam di Indonesia. Kekuatan mana di muka bumi ini yang berani melawan kedahsyatan simpanan kekuatan umat Islam, kalau santri sekelas Amrozi dan rombongannya saja mampu mengguncang dunia dan memerangahkan bumi? Dengan kemampuan teknologi bom yang ultramodern? Ini baru level santri. Belum kiai ini, kiai itu. Belum Syekh Fulan atau Polan, Habib sana atau Habib sini, atau Gus Anu atau Gus Ano. Beberapa santri saja sudah cukup membuat Polri, BIN, Mossad, CIA, dan dinas intelijen Australia porak-poranda kesombongannya. Baru sekadar Amrozi! Itu baru Lamongan sayap dusun luar --dunia sudah guncang. Belum Lamongan bagian Langitan dan kantong-kantong kekuatan bom Islam lainnya di kabupaten itu. Belum Bojonegoro, Tuban, Gresik. Jangankan lagi omong Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo --dan jangan pula sebut Jombang! Tandingan Jombang bukan pasukan-pasukan elite kelas dunia. Jombang disiapkan untuk menaklukkan ultra-sophisticated teknologi perang Dajjal yang kini ditatar di kedalaman laut Bermuda Triangle. Kalau semua kekuatan Islam itu, cukup Jawa Timur saja, pada suatu hari serempak ber-triwikrama, mateg aji, unjuk kebolehan, pastilah Amerika dan Eropa rata tanah, seluruh permukaan bumi jadi padang pasir! *** Memang, sebagian kecil kaum muslimin berprihatin dan bersedih hati atas persangkaan dihancurkankannya citra ulama dan kiai, dirusaknya nama baik dunia pesantren oleh kasus-kasus terorisme belakangan ini --atas yang mereka sangka tentang nasib Amrozi dan Imam Samudra. Atas seolah terpecahnya kepemimpinan Islam. Berserak-serak dan tercerai-berainya kekuatan umat Islam. Atas mitos dan prasangka tentang krisis moral, krisis akhlak, krisis bermacam-macam yang akhirnya disebut krisis total, dan sebagainya. Padahal, Tuhan kasih kunci: "Engkau menyukai sesuatu yang sebenarnya buruk bagimu, dan engkau membenci sesuatu yang sesungguhnya baik bagimu." Apa yang kau sangka pengikisan nilai Islam ternyata pembangkitan nilai Islam. Sebaliknya, apa yang kau pikir mengibarkan nilai Islam nanti terbukti justru merusaknya. Apa yang kau kira de-Islamisasi sesungguhnya memiliki rahasia Islamisasi. Sebaliknya, apa yang kau yakini sebagai Islamisasi nanti kau jumpai sebagai proses penyirnaan Islam. Kalau pengetahuanmu tidak rangkap dan gampang dijebak oleh sesuatu yang seolah-olah menyenangkan atau seakan-akan menjengkelkan, engkau akan sangat kaget jika suatu hari mendengar Amrozi memberikan pengakuan bahwa sesungguhnya dia jualah yang meledakkan Gunung Papandayan. Dan kalau para aparat tidak mau ngemong hati orang Islam, siap-siap suatu hari ada pasukan santri siluman lagi yang meledakkan Gunung Semeru, meletuskan Merapi, serta menumpahkan air samudra ke permukaan Pulau Jawa. Hendaknya para penguasa membatasi keangkuhannya dengan menyadari bahwa para santri memegang warisan kekuatan-kekuatan dari masa silam: tongkat Nabi Musa, kapak Ibrahim, keris Kolomunyeng Sunan Giri, tongkat pendek Syekh Abdul Qodir Jaelani, serban Sunan Kalijaga, Setan Kober Penangsang, Sangkelat Karebet, dan belum lagi ilmu-ilmu sirrul asror dari Mbah Hamid, Sakajiwa-nya Adipati Kolopaking, kain mandarnya Imam Lapeo, atau air liur mustajabnya Gus Ud Kedungcangkring. Itu semua simpanan baku tradisional umat Islam. Santri macam Samudra dan Amrozi bukan pemegang warisan kelas utama. Kalau nanti yang bergerak adalah mbahurekso kaum muslimin benar-benar, akibatnya tan kinoyo ngopo tan keno kiniro. Tak bisa Anda bayangkan dan rumuskan. Sementara itu, jangan disangka umat Islam adalah kaum yang sibuk membangga-banggakan khazanah
masa silam. Kalau engkau pelajari dengan saksama, kekuatan mutakhir yang dibangun umat Islam juga tidak bisa diremehkan siapa pun. Baik di bidang politik dan kekuasaan, di bidang pemikiran, di bidang tarikat dan batiniah, maupun di bidang teknologi dan budaya. *** Apalagi kekuatan tasawuf kaum muslimin. Nashrudin Hoja, sesudah keledainya dicuri orang di halaman masjid, malah masuk masjid lagi dan bersujud lama sekali. Orang-orang bertanya: kehilangan kendaraan kok malah bersujud? Nashrudin menjawab: "Saya tadi melakukan sujud syukur. Sungguh saya berterima kasih kepada Allah bahwa hanya keledai saya yang hilang, sedangkan diri saya ini tidak ikut dicuri orang..." Ini bukan hanya bermakna kritik atas hilangnya kepribadian manusia yang dicuri kekuatan nafsu kekuasaan, keserakahan kapitalistik, ditelan ideologi dan bukan me-manage ideologi pilihannya, dehumanisasi oleh industri, depersonalisasi oleh komunalisme, lenyapnya kemanusiaan oleh kepandaian atau oleh kebodohan. Tak hanya itu. Kisah Nashrudin ini juga bermakna sufistik, misalnya bahwa rezeki itu tidak hanya berbentuk memperoleh atau mendapatkan, melainkan bisa juga berbentuk kehilangan. Keuntungan tidak selalu berarti memiliki, bisa juga pada saat tidak memiliki. Kemenangan tidak hanya berarti menang dalam perebutan dan kenduri, kemenangan malah mungkin terjadi pada seseorang yang berpuasa dari perebutan, pesta pora, dan kerakusan. Orang mengatakan bahwa kekuatan politik umat Islam terpecah-pecah, karena ia tidak tahu bahwa itu memang strategi yang disengaja. Politisi Islam tahu, jangan sampai terjadi hegemoni Islam di negara yang bukan Islam. Islam itu ngemong, bukan menguasai. Apa yang tampak terpecah-pecah itu sesungguhnya dinamika pluralisme dalam tubuh umat Islam. Islam itu memerdekakan, membuka pintu tafsir atau interpretasi seluas jumlah pemeluknya. Bisa ada sejuta mazhab dalam Islam. Jangankan sekadar beberapa puluh partai politik Islam. Orang bilang ekonomi kaum muslimin terpuruk, karena mereka tidak mengerti pilihan utama pemeluk Islam berada di tengah-tengah. Ada level ghony, kaya. Ada level miskin dan ada level fakir. Orang Islam tidak memilih kaya, tapi juga menolak menjadi fakir. Cukup pilih miskin saja. Rasulullah Muhammad sendiri adalah 'abdan nabiyya: Nabi yang rakyat jelata. Beliau ditawari punya kekuasaan dan kekayaan seperti Nabi Sulaiman, namun menolak. Itu pun, umumnya kaum muslimin masih tergolong kaya dibandingkan dengan Nabi Muhammad, yang rumah tinggalnya bersama Siti Aisyah panjangnya hanya 4,80 m, lebarnya 4,62 m. Itu pun tanpa kulkas, tanpa VCD player, AC, furnitur, dan aksesori. Jadi, kalau dari sisi negatif, perekonomian umat Islam seperti terpuruk, dari sisi positif hal itu menunjukkan bahwa mereka lebih memilih kekayaan akhirat daripada kekayaan dunia. *** Jadi, apa yang perlu dicemaskan dari keadaan umat Islam di Indonesia? Kalau dikalahkan di dunia, toh engkau menang di akhirat. Dunia cuma sekejap, akhirat abadi. Apa keberatanmu? Kalau namamu dicoreng kehinaan di bumi, engkau memperoleh kemuliaan di langit. Bumi hanya mikrokosmos, sedangkan langit makrokosmos. Apa alasanmu untuk tidak bersyukur? Makin namamu dihancurkan, ditangkap, dihukum di dunia, makin populer dan tinggi indah kursimu di surga. Nikmat Allah yang mana yang masih engkau dustakan? Allah menagih jihu, dan tidak mempertanyakan kemenangan duniawimu. Allah menantikan syahidmu, dan membayar penderitaan duniamu dengan pendaran-pendaran cahaya wajah-Nya sendiri yang abadi menggiurkanmu.
Katakanlah kita mulai kehilangan Buya Hamka, kita memiliki yang lebih dari itu: Quraish Shihab. Kita kehilangan Muhammad Natsir, malah muncul Yusril Ihza Mahendra. Mulai kehilangan Cak Nurcholish Madjid, malah dianugerahi Ulil Abshar Abdalla. Umpamanya pun kehilangan Ustad Zainuddin MZ, kita punya yang lebih dimensional: Aa Gym. Dan kalaupun akhirnya pada suatu hari nanti Gus Dur uzur, kita punya Saifullah Yusuf. Kita punya banyak tokoh Islam fenomenologis. Pemikiran-pemikirannya mungkin menggelisahkan dan menjengkelkan ulama-ulama tua, tapi lambat laun orang-orang tua harus belajar kepada anak-anaknya. Mereka itu letaknya di pinggir, tak terlalu dianggap kental Islamnya, tapi nanti akan ternyata keilmuannya memang ijtihadiyah --hanya saja, kita orang-orang tua terlambat memahaminya. Kita punya banyak Nashrudin lain. Kecenderungan sikapnya seolah bertentangan dengan tradisi konvensional kaum tua. Padahal, sungguh kritik mereka sangat menohok. Setelah kaum muslimin "kehilangan keledai", Nashrudin-Nashrudin ini seakan tidak menunjukkan sikap militan untuk mengutuk si pencuri. Mereka malah kelihatan seperti melakukan sujud syukur atas tertangkapnya Ustad Ba'asyir, Amrozi, dan Samudra. Bahkan terdengar seakan memuji-muji pihak yang dianggap musuh dan justru kaannahum mengutuk saudara-saudaranya seagama. Itu semata-mata karena model kritisisme Nashrudin memang mempersyaratkan kecerdasan pikiran tingkat tinggi, kepekaan dan kejernihan hati yang sungguh-sungguh --untuk mampu menangkapnya. Itulah sebabnya, "yang kau anggap baik ternyata berbahaya, yang kau anggap buruk malah sebenarnya baik". Islam liberal malah dicurigai, sementara Islam sensual justru dibiarkan saja merajalela di manamana dari kampus-kampus hingga mal-mal. *** Sungguh saya menikmati berpendarnya matahari kebangkitan Islam di Nusantara, terutama selama Ramadan, ketika siang, malam, pagi, sore, kita diguyur kenikmatan dan kemuliaan acara-acara Ramadan di sekian banyak siaran (syiar) televisi. Engkau yang berpengalaman melanglang buana ke mancanegara, jawablah apa ada Ramadan sesemarak tayangan TV-TV kita? Engkau ingat hukum kompetensi: yang berwenang atas kualitas dunia sepak bola adalah PSSI, tinju adalah KTI, tepung adalah Bogasari, rawon adalah Probolinggo, dan gudeg adalah Yogyakarta. Jangan pesan gudeg ke Banyuwangi, jangan cari petinju hebat ke PSSI, dan jangan menambal ban bocor ke penjual rujak. Kalau mau berdakwah, PSSI-nya adalah ulama. Siaran TV Ramadan memuat penyamaran-penyamaran strategis yang tentu didasarkan pada tiga prinsip dakwah: dengan hikmah, perlakuan yang tepat, menyerbu konsumen berdasarkan apa yang baik bagi konsumen. Kalau Topan-Leysus ada tanpa ustad, acara bisa tetap jalan. Kalau hanya ustad yang ada sedangkan Topan-Leysus tak ada, acara bisa batal. Demikian juga yang primer adalah Eko Patrio dan Ulfah Dwiyanti, Taufiq Savalas dan Elma Theana, dan seterusnya. Ustad yang hadir berposisi sekunder. Apakah industri TV melanggar prinsip kompetensi? Tidak. Itu yang disebut penyamaran strategis. Supaya orang lain tak gampang mengidentifikasi kita, maka hijau disamarkan dengan kuning, merah disamarkan dengan jingga. Ustad atau kiai yang sesungguhnya adalah Topan, Leysus, Eko, Taufiq, dan lain-lain. Kiai yang tawadlu adalah yang menghindarkan diri dari sifat-sifat yang Tuhan tersinggung kepada pelakunya: riya', takabur, ujub, suka pamer, menonjol-nonjolkan diri. Kiai-kiai sejati kita itu sepanjang tahun tidak pernah menunjukkan siapa mereka sebenarnya, tidak pernah memamerkan kekiaiannya, mereka menyamar jadi artis. Hanya pada Ramadan mereka harus polos luar-dalam, sebab puasa adalah ibadah yang diminta Allah pribadi secara langsung.
Siapa tahu, ternyata mereka itulah Wali Songo abad ke-21. [Emha Ainun Nadjib, Budayawan] [Kolom, GATRA, Nomor 04 Beredar Kamis 13 Desember 2002]
Syahadat Saridin Emha Ainun Nadjib Waktu yang diminta oleh Saridin untuk mempersiapkan diri telah dipenuhi. Dan kini ia harus membuktikan diri. Semua santri, tentu saja juga Sunan Kudus, berkumpul di halaman masjid. Dalam hati para santri sebenarnya Saridin setengah diremehkan. Tapi setengah yang lain memendam kekhawatiran dan rasa penasaran jangan-jangan Saridin ternyata memang hebat. Sebenarnya soalnya di sekitar suara, kefasihan dan kemampuan berlagu. Kaum santri berlomba-lomba melaksanakan anjuran Allah, Zayyinul Qur'an ana biashwatikum - hiasilah Qur'an dengan suaramu. Membaca syahadat pun mesti seindah mungkin. Di pesantren Sunan Kudus, hal ini termasuk diprioritaskan. Soalnya, ini manusia Jawa Tengah: lidah mereka Jawa medhok dan susah dibongkar. Kalau orang Jawa Timur lebih luwes. Terutama orang Madura atau Bugis, kalau menyesuaikan diri dengan lafal Qur'an, lidah mereka lincah banget. Lha, siapa tahu Saridin ini malah melagukan syahadat dengan laras slendro atau pelog Jawa. Tapi semuanya kemudian ternyata berlangsung di luar dugaan semua yang hadir. Tentu saja kecuali Sunan Kudus, yang menyaksikan semua kejadian dengan senyum-senyum ditahan. Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca syahadat, ia berdiri tegap. Berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap ke depan. Ia menarik napas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya umik-umik [komat-kamit] entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat. Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak ia berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan ia pilih yang paling tinggi. Ia meloncat. Memanjat ke atas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa. Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-blarak [daun kelapa kering] di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki di tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriak dan melompat tinggi melampaui pucuk kelapa, kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi. Semua yang hadir berteriak. Banyak di antara mereka yang memalingkan muka, atau setidaknya menutupi wajah mereka dengan kedua telapak tangan. Badan Saridin menimpa bumi. Ia terkapar. Tapi anehnya tidak ada bunyi gemuruduk sebagaimana seharusnya benda padat sebesar itu menimpa tanah. Sebagian santri spontan berlari menghampiri badan Saridin yang tergeletak. Mencoba menolongnya. Tapi ternyata itu tidak perlu. Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak ada apa-apa. Dan akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk di hadapan beliau. Takzim dan mengucapkan, sami'na wa atha'na -aku telah mendengarkan, dan aku telah mematuhi. Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk di sekitar datang berduyun-duyun. Berkumpul
dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian apa pun. Akhirnya Sunan Kudus masuk masjid dan mengumpulkan seluruh santri, termasuk para penduduk yang datang, untuk berkumpul. Saridin didudukkan di sisi Sunan. Saridin tidak menunjukkan gelagat apaapa. Ia datar-datar saja. "Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?" Sunan Kudus membuka pembicaraan sambil tetap tersenyum. "Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat, melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa yang matang dan siap menjadi pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya." Para santri mulai sedikit ngeh, tapi belum sadar benar. "Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya. Dan Saridin memilih satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa." Di hadapan para santri, Sunan Kudus kemudian mewawancarai Saridin: "Katamu tidak takut badanmu hancur, sakit parah atau mati karena perbuatanmu itu?" "Takut sekali, Sunan." "Kenapa kamu melakukannya?" "Karena syahadat adalah mempersembahkan seluruh diri dan hidupku." "Kamu tidak menggunakan otakmu bahwa dengan menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa itu kamu bisa cacat atau meninggal?" "Aku tahu persis itu, Sunan." "Kenapa kau langgar akal sehatmu?" "Karena aku patuh kepada akal sehat yang lebih tinggi. Yakni bahwa aku mati atau tetap hidup itu semata-mata karena Allah menghendaki demikian, bukan karena aku jatuh dari pohon kelapa atau karena aku sedang tidur. Kalau Allah menghendaki aku mati, sekarang ini pun tanpa sebab apa-apa yang nalar, aku bisa mendadak mati." "Bagaimana kalau sekarang aku beri kau minum jamu air gamping yang panas dan membakar tenggorakan dan perutmu?" "Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau kemudian aku mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku mati." Sunan Kudus melanjutkan: "Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, insya Allah, tetapi bisa membahayakan orang lain?" "Maksud Sunan?" "Bagaimana kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?" "Kalau itu terjadi, yang membahayakan bukanlah aku, Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri," jawab Saridin, "Setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Tuhan melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnya, dengan
keyaknannya, dengan tempat ia berpijak, serta dengan berbagai kemungkinan sunatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda." "Orang memang tak akan menyebutmu kadal, kuda, atau kodok, melainkan bunglon. Apa katamu?" "Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya."
Sebuah Teladan oleh Jalaluddin Rakhmat Ini adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani. Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basra. Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat tangan dan berdo'a: "Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya, yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik 'arasy nan agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, karena Engkaulah sebaikbaiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay'ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim." Ketika kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan sahabat-sahabatnya, sambil mengangkat AlQur'an di tangan kanannya: "Siapa di antara kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Qur'an. Jika tangannya terpotong peganglah AlQur'an ini dengan tangan yang lain; jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia terbunuh." Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu muda, mula-mula Ali tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali menyerahkan Al-Qur'an kepada anak muda itu, "Bawalah AlQur'an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan: Al-Qur'an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian." Tanpa rasa gentar dan penuh dengan keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan Aisyah. Dia mengangkat Al-Qur'an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian.
Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas lehernya. Pejuang perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali ibn Abi Thalib. Ali mengucapkan do'a untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya. "Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orangorang saleh di antara mereka." Sejarah kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya, pasukan Ali berusaha menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah retak. Ali sendiri memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Mu'awiyah mengerahkan pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan kekalahan sudah di ambang pintu, mereka mengangkat Al-Qur'an, memohon perdamaian. Ali, yang sangat mencintai ukhuwwah, menghentikan peperangan. Seperti kita ketahui bersama, Ali dikhianati. Karena kecewa, segolongan dari pengikut Ali memisahkan diri. Golongan ini, kelak terkenal sebagai Khawarij, berubah menjadi penentang Ali. Seperti biasa, Ali mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti biasa pula, upaya tersebut gagal. Dari: Islam Aktual. Jalaluddin Rakhmat. Mizan, Jakarta 1991
ABDAL: PEMIMPIN KAFILAH RUHANI MENUJU ALLAH oleh Jalaluddin Rakhmat Dalam kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari tempat berangkat ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang sudah mereka singgahi. Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru, keadaan baru, dan pemandangan baru. angat sulit menceritakan pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai stasiun itu. Dalam literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah atau maqam. Pengalaman ruhani yang mereka rasakan disebut hal. Ada segelintir orang yang sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perja1anan mereka. Maqam mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya', kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir, "Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas cahayamu" (QS 57:13). Dalam kelompok awliya' juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Yang paling rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang tinggi) disebut awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia. lbnu Umar meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah menolak bencana --karena kehadiran Muslim yang saleh-- dari seratus keluarga tetangganya." Kemudian ia membaca firman Allah, "Sekiranya Allah tidak menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini" (QS 2: 251).
Penghulu para awliya' adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan awtad ada abdal (artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru. "Bumi tidak pernah sepi dari mereka," ujar Rasulullah Saw., "Karena merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong" (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765). Abu Nu'aim dalam Hilyat Al-Awliya' meriwayatkan sabda Nabi Saw., "Karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana." Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas'ud bertanya, "Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?"' Rasulullah Saw. bersabda, "Karena mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa mereka, Allah menolakkan berbagai bencana." Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada mereka. Kata Rasulullah Saw., "Mereka tidak mencapai kedudukan yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa." Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi awliya', kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah lainnya? Seperti kita semua, para sahabat heran. Mereka bertanya, "Ya Rasulullah, fima adrakuha?" Beliau bersabda, "Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin" (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim). Dalam hadis lain, Nabi berkata, "Bishidqil wara', wa husnin niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami'il muslimin" (Dengan ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim) (lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767). Jadi, yang mempercepat orang mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. bukanlah frekuensi shalat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita? Yang sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah, pertama, adalah al-sakha (kedermawanan). Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang sempit --keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas pada "aku" sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk "aku". Kebahagian diukur dari sejauh mana sesuatu menjadi "milikku." Orang yang dermawan adalah orang yang telah meninggalkan "aku." Ia sudah bergeser ke falsafah "Untuk Dia". Karena itu Nabi Saw. bersabda, "Orang dermawan dekat dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan surga. Orang bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka". Tanpa kedermawanan, shalat, shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan. Orang dermawan sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan, sebelum mereka masuk ke surganya. Kedermawanan telah membawanya dengan cepat ke stasiun-stasiun terakhir dalam perjalanannya menuju Tuhan. Kedua, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim. Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan, menghinakan, mencemooh atau memfitnah sesama Muslim. Di depan Ka'bah yang suci, Nabi Saw. berkata, "Engkau sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan." Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan keakuannya. Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan adalah kepentingan akunya, kepentingan
kelompoknya, kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus disingkirkan, karena pahamnya tidak menyenangkan paham mereka. Mereka hanya mau menyumbang bila proyek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka hanya mau mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi atau dibimbing oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila kepentingan golongannya terancam. Ia telah beragama, ia telah mukmin; tetapi agamanya masih berkutat dalam keakuannya. An-nashihat lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan, ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena kedermawanan dan kecintaan kepada kaum Muslim, Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan. Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu. Percepatlah perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.[] (Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 168-171)
MATA YANG TIDAK MENANGIS DI HARI KIAMAT oleh Jalaluddin Rakhmat Semua kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt. Al-Quran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan. Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan. Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, "Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah." Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat? Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: "Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan AlKitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16). Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf. Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata
penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat. Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orangorang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, "Aku takut kepada Allah". Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt. Kemudian mata yang ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah. Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti.[] (Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 165-167)
Jalaluddin Rumi Penyair dan tokoh sufi terbesar dari Persia
Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?" Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka." Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?" Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti." Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?" Aku berkata, "Sampai ada panggilan." Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan. Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan." Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku." Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling." Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa." Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya. œ Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya." Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi. œ PENGARUH TABRIZ. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tibatiba seorang lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya." Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam
meninggalkan Konya. Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase. œ WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit." Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya. œ Aku mati sebagai mineral dan menjelma sebagai tumbuhan, aku mati sebagai tumbuhan dan lahir kembali sebagai binatang. Aku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku harus takut? Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku. Sekali lagi, aku masih harus mati sebagai manusia, dan lahir di alam para malaikat. Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat, aku masih harus mati lagi; Karena, kecuali Tuhan, tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
Setelah kelahiranku sebagai malaikat, aku masih akan menjelma lagi dalam bentuk yang tak kupahami. Ah, biarkan diriku lenyap, memasuki kekosongan, kasunyataan Karena hanya dalam kasunyataan itu terdengar nyanyian mulia; "Kepada Nya, kita semua akan kembali" Contributed by TB Iwan
œ
Apa Yang mesti Ku lakukan Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal didiku sendiri Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut, Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar, Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api, Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin, Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan. Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu" dan "Ya man Hu" Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau, Saat itu aku pasti menyesali hidupku Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum, Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa. O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini, Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.
Nashruddin dan Filsafat Ketika Timur Lenk menguasai kota Aq Syahr, datang seorang pengikut filsafat. Ia mengutarakan kepada Timur Lenk, dengan bantuan seorang juru bicara, bahwa ia ingin menguji ulama Aq Syahr. Timur Lenk mengumpulkan seluruh ulama dan berkata pada mereka, "Seorang laki-laki ahli filsafat ingin menguji kalian. Jika tidak seorangpun dapat menjawab pertanyaannya, mereka menganggap bahwa negara Romawi tidak memiliki seorang ulama pun, dan bahwa ilmu itu telah sirna. Bila hal itu terjadi, harga diri kalian hilang." Ulama Aq Syahr lalu berkumpul di suatu ruangan khusus dan memusyawarahkan masalah tersebut. Mereka agak putus asa memikirkan bagaimana caranya mengatasi bahaya yang siap menghadang di
hadapan mereka. Bahkan mereka akan menyewa ulama dari luar daerah untuk menghadapinya, meskipun tempatnya jauh. Akhirnya mereka sepakat untuk mengajukan Syekh Nashruddin. Mereka mengutus seseorang untuk menemuinya, dan Nashruddin pun menerima kedatangan mereka. Lalu diutarakanlah apa yang mengganggu pikiran mereka. Nashruddin berfikir sejenak, lantas berkata: "Serahkan urusan ini kepadaku!" Mereka bertanya, "Apa yang akan anda lakukan?" Nashruddin menjawab, "Aku akan mengadakan tanya jawab dengannya. Jika jawabanku tepat, itu bagus. Bila tidak, aku pasti akan berkata 'Aku laki-laki jadzab, aku masuk sesuai kehendak hatiku'. Lalu kalian hendaknya berkata, 'Kami tidak menganggapnya sebagai orang pandai.' Lalu datangkan orang selain aku! Bila aku berhasil, kalian harus memberiku hadiah." Mereka menjawab, "Baiklah, apapun yang anda inginkan, akan kami usahakan. Yang penting, laki-laki itu harus kalah." Pada hari yang telah ditentukan, sebuah panggung didirikan di sebuah lapangan yang luas. Timur Lenk duduk dengan pakaian perang dikelilingi para prajurit yang bersenjata lengkap. Laki-laki ahli filsafat itu hadir. Rambutnya tidak menarik dan bentuknya lucu. Ia lalu duduk di dekat singgasana kerajaan. seluruh hadirin menunggu kedatangan Syekh Nashruddin, rival ahli filsafat itu. Nashruddin hadir dengan mengenakan surban besar dan berjubah. Di belakangnya mengiringi para muridnya, di antaranya Hamad. Mereka berdua masuk ke panggung dan Nashruddin duduk di sebelah Timur Lenk. Setelah minum dan istirahat sejenak, ahli filsafat itu maju ke tengah dan membuat lingkaran. Ia lalu menunggu jawabannya dengan memandang ke arah Nashruddin. Nashruddin berdiri dan menancapkan tongkatnya tepat di tengah lingkaran. Ia membagi lingkaran menjadi dua bagian, dan memandang ke arah ahli filsafat. Lalu Nashruddin membuat garis lagi, sehingga lingkaran terbagi menjadi empat bagian. Tiga bagian menuju ke arah Nashruddin dengan isyarat jari dan satu bagian untuk si ahli filsafat. Nashruddin meletakkan kedua tangannya di belakang punggung yang diarahkan ke ahli filsafat. Ahli filsafat puas dengan apa yang dilakukan Nashruddin itu. Ia merasa, bahwa Nashruddin tahu apa yang dimaksudkannya. Selanjutnya ahli filsafat membuat kedua tangannya dan membentuknya seperti kerah baju. Lalu kedua tangan itu diturunkan dari atas ke bawah dan jari jemarinya terbuka, lalu kedua tangannya dinaikkan ke udara beberapa kali. Nashruddin berbuat sebaliknya: membuka jari jemarinya dan diturunkan ke bawah. Ahli filsafat puas dengan apa yang dilakukan Nashruddin. Setelah itu, ahli filsafat meletakkan jari jemarinya di atas tanah dan berjalan merangkak sebagaimana layaknya binatang. Ia mengisyaratkan ke arah perut, seakan-akan keluar sesuatu dari dalam perutnya. Nashruddin mengeluarkan sebutir telur dari saku dan menggerakkan kedua tangannya seakan hendak terbang. Melihat jawaban Nashruddin, ahli filsafat itu sangat puas dan kagum. Ia maju ke arah Nashruddin dan mencium tangannya dengan penuh penghormatan. Ia mengatakan, bahwa Aq Syahr beruntung mempunyai seorang cerdik pandai seperti Nashruddin. Seluruh hadirin memberikan ucapan selamat kepada Nashruddin dan memberikan hadiah yang melimpah serta uang banyak. Bahkan ada yang menjanjikan harta benda di lain waktu. Tidak ketinggalan Timur Lenk memberi hadiah kepada Nashruddin dan menempatkannya di kelompok orang kaya. Setelah semua penonton bubar, Timur Lenk dan para pengawalnya mengelilingi ahli filsafat dan bertanya dengan bantuan juru bahasa, "Kami tidak mengerti isyarat-isyarat yang anda lakukan dengan Syekh Nashruddin. Jelaskan kepada kami apa yang terjadi sebenarnya?" Ahli filsafat menjawab, "Melihat perselisihan ulama filsafat Yunani dan ulama Bani Israil tentang terbentuknya alam semesta, saya tidak tahu apa pendapat ulama Islam tentang hal tersebut. Maka saya ingin mempelajarinya. Saya isyaratkan pada Nashruddin bahwa bumi itu bulat dan besar. Nashruddin
membenarkan ucapan saya dan berkata, 'Bumi itu terbagi menjadi dua bagian. Setengah lingkaran utara dan setengah belahan selatan.' Lalu Nashruddin membaginya menjadi empat bagian. Tiga bagian ke arahnya dan satu bagian ke arahku. Ia mengisyaratkan, bahwa tiga bagian bumi adalah lautan dan satu bagian daratan. Nashruddin juga memberitahukan bahwa bumi terbagi menjadi tujuh negara. Lebih lanjut saya isyaratkan isi bumi dan rahasianya dengan mengangkat jari jemari ke udara dan menggerakkannya, maksudku tumbuh-tumbuhan, barang tambang dan bagaimana proses terjadinya. Syekh Nashruddin mengangkat kedua tangannya menunjuk ke bawah dan mengisyaratkan turunnya hujan adalah ke bawah, yang tercurah dari langit. Kekuatan matahari dan pengaruh makhluk angkasa di bundaran bumi membantu proses bumi, sehingga mendatangkan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Cara Nashruddin menjelaskan hal itu sesuai dengan pendapat ulama filsafat periode akhir. Kemudian aku isyaratkan tentang perkembang-biakan makhluk dengan melalui proses pembuahan. Namun banyak yang terlewatkan olehku, lalu Nashruddin bermaksud menunjukkan sebagian dari makhluk secara global. Karena itu, saya jadi tahu bahwa Syekh kalian memang pandai dan menguasai pengetahuan tentang langit dan bumi, maupun ilmu logika dan ketuhanan. Dan ia termasuk seorang ahli filsafat. Kalian patut bangga dengan adanya ahli filsafat seperti dia di negeri kalian." Lalu mereka berpamitan kepada ahli filsafat dengan penuh penghormatan. Setelah itu mereka ganti menjumpai Nashruddin dan meminta penjelasan atas jawaban-jawabannya. Berkatalah Nashruddin kepada mereka, "Ahli filsafat itu sedang kelaparan seperti halnya diriku. Ketika ia menggambar lingkaran, maksudnya adalah bahwa di depan rumahnya terdapat kue berbentuk seperti lingkaran yang dibuatnya. Aku membaginya menjadi dua bagian dengan maksud agar sama rata. Akan tetapi, karena ia tidak faham, aku membaginya menjadi empat bagian. Tiga bagian untukku dan satu bagian untuknya. Ia setuju dan mengiyakan dengan isyarat kepala. Selanjutnya, ia mengisyaratkan beras di atas api. Aku isyaratkan kepadanya tentang memasukkan pula bumbu, garam, kismis, dan fustuq ke dalamnya. Ketika berjalan ia bermaksud memberitahukan bahwa dirinya sangat lapar dan menginginkan makanan lezat. Aku isyaratkan kepadanya, bahwa dirku bahkan lebih lapar darinya yang nyaris membuatku terbang karenanya. Pagi hari aku ingin membuat kue, namun yang kutemukan hanya sebutir telur pemberian istriku. Aku belum sempat menelannya ketika kalian memanggilku. Lalu kumasukkan ke dalam saku dan menjaganya secara hati-hati." Seluruh hadirin berkata, "Demi Allah, ini hal yang hebat dan menakjubkan! Bagaimana anda mengerti permasalahannya dan menjawab seperti itu? Ahli filsafat menerima dan membenarkan jawaban Anda, padahal jawaban Anda tersebut tidak seperti yang diinginkannya." Demikianlah, mereka semua bergembira dan tertawa riang lalu pulang ke rumah masing-masing. Sekalipun demikian mereka tetap bingung.
Hikayat Sang Pena Oleh Syed Nawab Ali Seorang fakir yang sedang dalam perjalanan mencari penerangan melihat secarik kertas dengan coretan-coretan di atasnya. "Mengapa," tanya sang fakir, "kau menghitami wajahmu yang putih-bersih?" "Tidak adil kau menuduhku melakukannya," jawab sang kertas. "Bukan aku yang melakukannya." "Tanyakanlah kepada sang tinta mengapa dia keluar dari wadahnya, padahal dia cukup tenang berada di dalamnya, dan mengapa dia menghitami wajahku." "Kau benar," kata sang fakir. Lalu dia berpaling kepada sang tinta dan bertanya kepadanya.
"Mengapa kau bertanya kepadaku?" jawabnya, "Aku sedang duduk tenang di dalam wadah tinta dan tidak berpikir untuk keluar, tetapi mata pena yang tajam itu menyorengku, lalu mendorongku keluar dan menaburkanku di atas permukaan sang kertas. Di sana kau dapat melihatku terbaring tak berdaya. Pergilah ke sang pena dan tanyakan kepadanya." Sang fakir berpaling kepada sang pena dan bertanya mengapa dia bersikap sewenang-wenang. "Mengapa kau menggangguku?" jawab sang pena. "Lihat, siapa aku ini? Tak lebih dari sebatang buluh yang tiada berarti. Aku waktu itu sedang tumbuh di tepian sungai bening keperak-perakan, di tengahtengah pepohonan hijau nan rindang, ketika, kau tahu, sebuah tangan merentang ke arahku. Sang tangan memegang sebuah pisau. Sang pisau mencabut akar-akarku, menguliti seluruh batang tubuhku, memisah-misahkan seluruh persendianku, menumbangkanku, membelah kepalaku, lalu memenggalnya. Aku segera dikirim ke sang tinta, dan harus mengabdi sebagai pelayan hina-dina. Janganlah kau menambah parah luka-lukaku. Pergilah ke sang tangan dan bertanyalah kepadanya." Sang fakir memandang sang tangan, lalu bertanya: "Benarkah itu? Apakah kau demikian kejamnya?" "Jangan marah dulu, Tuan," jawab sang tangan. "Aku hanyalah segumpal daging, tulang, dan darah. Pernahkah Tuan melihat sekerat daging memiliki kekuatan? Dapatkah sebentuk tubuh bergerak dengan sendirinya? Aku hanyalah alat yang digunakan oleh sesuatu yang disebut vitalitas. Dia menunggangiku dan memaksaku berputar-putar. Tuan tahu, orang mati mempunyai tangan tetapi tidak dapat menggunakannya karena vitalitas telah meninggalkannya. Mengapa aku, sebuah alat, mesti dipersalahkan? Pergilah Tuan ke sang vitalitas. Tanyakanlah kepadanya mengapa dia menggunakanku." "Kau benar," kata sang fakir, kemudian bertanya kepada sang vitalitas. "Acap kali pengecam sendiri mendapat kecaman, sementara yang dikecam terbukti tak bersalah. Bagaimana kau tahu bahwa aku telah memaksa sang tangan? Aku sudah berada di sana sebelum dia bergerak, dan tidak pernah berpikir untuk menggerakkannya. Aku tidak sadar dan pemirsa pun tidak sadar akan diriku. Tiba-tiba suatu agen datang kepadaku dan menggerakkanku. Aku tak punya cukup kekuatan untuk melanggarnya ataupun kemauan untuk mematuhinya. Mengenai perkara yang membuatmu menegurku, aku melakukannya sesuai dengan keinginannya. Aku tak tahu siapa agen itu. Dia disebut sang kemauan dan aku hanya mengenal namanya. Seandainya hal itu diserahkan kepadaku, kupikir aku tidak akan melakukan apa-apa." "Baiklah," lanjut sang fakir, "aku akan mengajukan pertanyaan kepada sang kemauan, dan bertanya kepadanya mengapa dia telah mempekerjakan secara paksa sang vitalitas yang menurut keinginannya sendiri tidak akan melakukan sesuatu." "Jangan dulu terlalu terburu-buru," pekik sang kemauan. "Sedapat mungkin aku akan mengajukan alasan yang cukup memadai. Yang Mulia Pangeran, sang pikiran, mengutus seorang duta besarnya yang bernama pengetahuan, yang menyampaikan pesannya kepadaku melalui nalar, berbunyi: 'Bangkitlah, gerakkanlah vitalitas.' Aku terpaksa melakukannya, karena aku harus patuh kepada sang pengetahuan dan sang nalar, tetapi aku tak tahu apa alasannya. Selama tidak menerima perintah aku bahagia, tetapi begitu ada perintah aku tak berani melanggarnya. Apakah sang raja seorang penguasa yang adil ataukah zalim, aku harus patuh kepadanya. Aku telah bersumpah, selama sang raja ragu-ragu atau masih merenungkan suatu masalah, maka aku hanya diam saja, siap melayani; pegitu perintah sang raja disampaikan kepadaku, maka rasa patuh yang memang sudah menjadi pembawaanku akan segera memaksaku untuk menggerakkan sang vitalitas. Maka janganlah Tuan mengecamku. Sebaiknya pergilah Tuan menghadap sang pengetahuan dan mendapatkan keterangan di sana." "Anda benar," setuju sang fakir, lalu dia meneruskan perjalanan, menghadap kepada sang pikiran dan para duta besarnya, yaitu pengetahuan dan nalar, untuk meminta penjelasan.
Sang nalar memohon maaf dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah lampu, dan dia tidak mengetahui siapa yang menyalakannya. Sang pikiran mengaku tidak bersalah dengan mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah tabula rasa. Sedangkan sang pengetahuan bersikeras menyebut dirinya hanyalah sebuah prasasti, yang baru bisa digoreskan setelah lampu sang nalar menyala. Maka dia tidak dapat dianggap sebagai penulis prasasti tersebut, yang kemungkinan merupakan hasil goresan sebuah pena tertentu yang tidak terlihat. Sang fakir kemudian menjadi bingung, tetapi setelah berhasil menguasai diri lagi, dia berkata kepada sang pengetahuan: "Aku sedang melakukan perjalanan mencari penerangan. Kepada siapa pun aku menghadap dan menanyakan alasan, aku selalu disuruh menghadap yang lainnya. Meskipun demikian, aku merasa senang dalam pengejaranku ini, karena semuanya memberikan alasan yang masuk akal. Tetapi, Tuan Pengetahuan, maafkanlah aku kalau kukatakan bahwa jawaban Tuan tidak memuaskanku. Tuan mengatakan bahwa Tuan hanyalah sebuah prasasti yang digoreskan oleh sang pena. Aku telah berjumpa dengan sang pena, sang tinta, dan sang kertas. Mereka masing masing terbuat dari buluh, campuran warna hitam, dan kayu serta besi. Dan aku pun telah melihat lampu-lampu yang dinyalakan oleh sang api. Tetapi di sini aku tidak melihat satu pun dari mereka itu, walaupun Tuan berbicara tentang kertas, lampu, pena, dan prasasti. Tentunya Tuan tidak sedang bermain-main denganku, bukan?" "Tentu, tidak," timpal sang pengetahuan. "Aku berbicara dengan sebenar-benarnya. Tetapi aku dapat memahami kesulitanmu. Bekal yang kau bawa hanya sedikit, kuda yang kau tunggangi sudah letih, dan perjalanan yang kau tempuh cukup jauh dan berbahaya. Hentikanlah perjalananmu ini, karena aku khawatir kau tidak akan dapat berhasil. Tetapi, bagaimanapun, jika kau sudah "siap menanggung risiko, maka dengarkanlah. Perjalananmu mencakup tiga wilayah. Pertama, alam dunia. Benda-benda di dalamnya adalah pena, tinta, kertas, tangan dan sebagainya, seperti yang telah kau lihat tadi. Yang kedua adalah alam langit, yang akan mulai kau masuki bila kau telah meninggalkanku. Di sana aku akan menjumpai puncakpuncak awan yang padat, sungai-sungai yang luas dan dalam, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi tak terdaki, yang aku tak tahu bagaimana kau akan mampu mendakinya. Di antara kedua alam ini terdapat alam ketiga sebagai wilayah perantara, yang disebut alam gejala. Kau telah melampaui tiga lapis di antaranya, yaitu vitalitas, kemauan, dan pengetahuan. Dengan tamsil dapat dikatakan: orang yang sedang berjalan, ia masih berada di alam dunia: jika ia sedang berlayar pada sebuah kapal maka ia mulai memasuki alam gejala: jika ia meninggalkan kapal tersebut lalu berenang dan berjalan di atas air, maka ia telah dianggap berada di alam langit. Jika kau belum tahu bagaimana caranya berenang, maka kembalilah. Sebab daerah perairan dari alam langit itu bermula dari saat kau muiai dapat melihat pena yang menulis pada lembaran hati. Jika kau bukan orang yang diseru: Wahai iman yang kecil, mengapa kau ragu-ragu?1) maka bersiap-siaplah. Sebab dengan iman kau tidak hanya akan berjalan di atas lautan tetapi kau akan terbang di angkasa." Sang fakir kelana kemudian terdiam sejenak, lalu memandang sang pengetahuan dan mulai berkata: "Aku sedang mengalami kesulitan. Bahaya-bahaya yang menghadang pada jalan yang telah Tuan gambarkan itu membuat hatiku kecut, dan aku tak tahu apakah aku cukup kuat menghadapinya dan berhasil pada akhirnya." "Ada ujian untuk mengetahui kekuatanmu," kata sang pengetahuan. "Bukalah matamu dan pusatkan pandanganmu padaku. Jika kau dapat melihat pena yang menulis pada sang hati, kukira kau akan mampu melangkah lebih jauh lagi. Sebab orang yang mampu menyeberangi alam gejala, lalu ia mengetuk pintu alam langit, maka ia akan dapat melihat pena yang menulis pada hati." Sang fakir mengikuti nasihat tersebut, tetapi ia tidak dapat melihat pena itu, karena pandangannya
tentang pena adalah tidak lain dari pena yang terbuat dari buluh atau kayu. Lalu sang pengetahuan memperhatikan dirinya sambil berkata: "Di sanalah kesulitannya. Tidakkah kau tahu bahwa perabot rumah tangga sebuah istana. menunjukkan kedudukan pemiliknya? Tiada satu pun di alam semesta ini menyerupai Allah,2) oleh karenanya sifat-sifat-Nya pun transendental. Dia tidak berbentuk dan tidak pula menempati ruangan. Tangan-Nya bukanlah segumpal daging, tulang dan darah. Maka pena-Nya pun tidaklah terbuat dari buluh ataupun kayu. Tulisan-Nya bukan lah dari tinta yang keluar dari benda tajam dan runcing. Namun banyak orang dengan bodohnya tetap berpegang pada pandangan yang menyamakan Dia dengan manusia. Hanya sedikit yang menghargai konsepsi yang secara transendental murni tentang Dia, dan percaya bahwa Dia tidak hanya berada di atas segala batas kebendaan tetapi bahkan berada di atas segala batas perumpamaan. Tampaknya kau masih terombang-ambing di antara dua pandangan, karena di satu pihak kau beranggapan bahwa Allah itu tidak bersifat kebendaan, bahwa kata-kata-Nya tidak bersuara dan tidak berbentuk; di lain pihak kau tak dapat meningkat pada konsepsi transendental tentang tangan, pena dan kertas-Nya. Apakah kau kira makna dari Hadis, 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai Citra-Nya' itu terbatas pada wajah manusia yang tampak saja? Tentu tidak; sifat batin yang dapat dilihat dari pandangan batin sajalah sesungguhnya yang dapat disebut citra Allah.3) Namun demikian, dengarkanlah: Engkau kini berada pada gunung yang suci, tempat suara gaib dari hutan yang terbakar berkata: 'Aku adalah Aku;4) sesunqguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu.5) Sang fakir, yang sedang mendengarkan dengan terkagumkagum itu, tiba-tiba melihat seolah-olah ada seberkas sinar, kemudian tampaklah pena yang bekerja menuliskan pada hati, tiada berbentuk. "Beriburibu terima kasih kuucapkan kepadamu, wahai Pengetahuan, yang telah menyelamatkanku dari kejatuhan ke dalam jurang kemusyrikan. Terima kasih kuucap kan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku telah menunda-nunda waktu, maka kini kuucapkan selamat tinggal!" Kemudian sang fakir melanjutkan kembali perjalanannya. Berhenti sejenak ketika melihat kehadiran sang pena yang tak tampak itu. Dengan sopan ia bertanya seperti dahulu: "Kau sudah tahu jawabanku," jawab sang pena yang misterius itu. "Kau tentunya tidak dapat melupakan jawaban yang diberikan kepadamu oleh sang pena di alam bumi sana." "Ya, aku masih ingat," jawab sang fakir, "tetapi bagaimana mungkin jawabannya bisa sama, karena tidak ada kemiripan antara kamu dengan sang pena yang di sana itu." "Kalau demikian, tampaknya kau telah melupakan hadits: 'Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menyerupai citraNya'. "Tidak, Tuan," sela sang fakir, "Aku telah menghapalkannya." "Dan kau pun telah melupakan ayat suci Al-Quran: 'Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya:6) "Tentu, tidak," seru sang fakir, "Aku dapat mengulang-ulang seluruh isi Al-Quran di luar kepala." "Ya, aku tahu, dan karena kini kau sudah memasuki pelataran suci dari alam langit, maka aku pikir aku dapat dengan aman mengatakan bahwa sesungguhnya kau telah mempelajari makna ayat-ayat tersebut dari sudut pandang yang negatif. Namun sebenarnya ayat-ayat tersebut memiliki nilai positif juga, dan harus digunakan sebagai sesuatu yang membangun pada peringkat ini7) Lanjutkanlah terus perjalananmu dan kau akan memahami apa yang kumaksudkan." Sang fakir memandangi dirinya dan menemukan dirinya itu memantulkan sifat Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera ia menyadari adanya kekuatan yang tersimpan di balik pernyataan sang pena yang misterius itu, tetapi dengan dorongan sifat ingin tahunya ia hampir saja mengajukan pertanyaan tentang Yang Maha Suci, ketika suatu suara bagaikan halilintar yang memekakkan telinga terdengar dari atas, berkumandang: "Ia tidak ditanya tentang perbuatannya, tetapi perbuatannya itulah yang akan ditanya." Dengan diliputi keterkejutan, sang fakir menundukkan kepalanya penuh khidmat tanpa sepatah kata
pun. Tangan Allah Yang Maha Pengasih merentang ke arah sang fakir yang tiada berdaya itu; ke dalam telinganya dibisikkanlah nada-nada suara merdu merayu: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan menuju Kami. " (QS 29:64) Setelah membuka kedua matanya, sang fakir mengangkat kepalanya dan menghadapkan hatinya dengan penuh khusyuk dalam doa: "Mahasuci Engkau, wahai Allah Yang Maha Kuasa: segala puji bagi nama-Mu, wahai Tuhan seru sekalian alam! Mulai saat ini aku tak akan lagi takut pada segala makhluk, kahkan seluruh kepercayaanku kepada-Mu, ampunan-Mu adalah pelipur laraku, rahmatMu adalah tempatku berlindung." (Mudah-mudahan, dengan mengingat keesaan Allah, masalah tersebut akan menjadi jelas). Dikutip dari buku : Rahasia-Rahasia Ajaran Tasawuf Al-Ghazali, Oleh Syed Nawab Ali, penerbit Gema Risalah Press, 110 halaman, pada 12 Maret 1995 harganya Rp1500.Catatan: 1) St. Matthew, XIV 53-31: "Dan peda perempat malam ia menghampiri mereka, berjalan di atas laut. Dan ketika murid-muridnya melihat ia berjalan di laut, mereka menjadi gempar dan berkata telah melihat hantu, lalu mereka berteriak ketakutan. Namun sejurus kemudian Yesus berfirman kepada mereka: 'Berbuat baiklah, bergembiralah, inilah Aku, janganlah takut.!" Kemudian Peter menjawab: Tuhan, kalau benar itu Engkau, izinkanlah aku mendekati-Mu di atas air.' Dan Peter turun dari perahu lalu berjalan di atas air untuk menghampiri Yesus. Namun ketika melihat angin ia merasa takut, lalu ketika mulai tenggelam ia berkata: 'Tuhan, tolonglah aku; Dan dengan sertamerta Yesus mengulurkan tangan-Nya, Ialu mengangkat tubuhnya dan berfirman: 'wahai orang yang kurang beriman, mengapa kau ragu-ragu." 2) Cf. AI-Quran, 42: 11: 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." 3) Cf. Genesis, I. 27. 4) Exodus, III, 14. 5) Al-Quran 20: 12. Pada umumnya ditafsirkan bahwa Musa dalam ayat ini diperintahkan meninggalkan "kedua terompahnya" untuk menghormati 'tempat suci, Thuwa, Namun Razi dalam ulasannya menyebutnya sebagai sebuah ungkapan dan mengatakan bahwa bahasa Arab menggunakan kata Na'al (sepatu) untuk menyebut istri dan keluarga. Perintah untuk menanggalkan sepasang terompah Musa itu oleh karenanya merupakan sebuah ungkapan metaforis agar ia mengosongkan hatinya dari perhatiannya terhadap keluarga? lihat Tafsir-i-Razi, Jilid V1, 19, edisi Istambul. 6) Al-Quran. 39; 67. Ayat lengkapnya berbunyi: "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya: padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat den langit digulung dengan tangan kanan-nya; Maha Suci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan." 7) Al-Ghazali telah membicarakan masalah ini secara lengkap dalam bukunya yang berjudul Iljam alAwam, Dikatakannya bahwa setiap benda mengalami empat tahap keberadaan. Ia menggambarkan sebagai berikut; "Api" adalah yang (1) tertutis pada kertas; (2) diucapkan sebagai api; (3) membakar; dan (4) dicerap oleh akal mudah terbakar. Dua tahap yang pertama pada dasarnya bersifat konvensional tetapi mengandung nilai pendidikan. Demikian pula halnya, pemanusiaan ayat-ayat suci Al-Quran hendaknya ditelaah berdasarkan keempat tahap tersebut di atas.
Mawar Senja Gugur Kelopaknya (1/2) oleh Ema Kaysi Selembar surat bersampul biru muda jatuh di pangkuan Nur. Saat itu senja merona bersemburat cahaya jingga di ufuk barat. Sekelompok burung pipit terbang melintasi anjungan. Angin semilir meniup kelopak flamboyan, mahkotanya berhamburan mencium bumi. Dulu, Nur paling benci bila dikatakan bagai flamboyan. Pohon yang tinggi tegar berbunga kecil yang mudah gugur, ibarat gadis angkuh yang mudah patah hati. "Hush, tidak boleh mencela makhluk Tuhan." Si Mas bilang, "Mungkin kamu memandangnya dari sudut yang berbeda. Bagi saya, flamboyan itu memberi kesejukan. Coba kalau seisi taman dipenuhi mawar. Bagaimana kita bisa duduk sambil berteduh seperti hari ini." Ah si Mas bisa saja. Biasanya Nur mendebat dengan berbagai argumen. Tapi ujungnya sama saja, si mas akan bilang "Saya kan tidak bilang kalau kamu seperti flamboyan." Biasanya lagi, Nur masih memprotes juga. "Jadi maumu apa?" tanya si Mas akhirnya. "Mawar" jawab Nur. Si Mas akan tertawa. "Mau ngomong mawar kok muter-muter soal flamboyan." Tapi kali ini Nur tidak berminat untuk bercanda tentang flamboyan dan mawar. Selembar surat bersampul biru mengusik perhatiannya. Sudah belasan kali surat itu ia baca. Masih saja Nur tertegun mengikuti baris demi baris kalimat yang ditulisnya. Ada nafas berat yang dirasakannya dalam isi surat itu. "Ibarat hari, saya ini sudah hampir senja dik Nur. Bukan saya tidak rela dengan takdir yang Maha Kuasa, namun saya pun sebenarnya ingin menemukan kesempurnaan dien ini dengan menjalankan yang separuhnya lagi. Apalagi sejak bapak dan ibu berpulang, saya tidak lagi mempunyai keluarga tempat kembali. Tiada tempat berbagi, terasa hidup ini seperti luka yang menganga." Angan Nur melayang membayangkan sosok Kak Nurul di pedalaman, dalam kesendirian, bergulat dengan geliat masyarakat Bangkalan selama sepuluh tahun terakhir ini. Kak Nurul yang dulu bagai sekuntum mawar merekah, lembut dan harum. Indah tanpa cela. Wanginya tertiup angin hingga ke pelosok kampus dan bilik-bilik masjid. Nur tahu banyak pria yang memandangnya di kejauhan, mengaguminya dalam diam. Bukan sekali dua Nur terheran-heran mengapa para brothers itu tidak ada yang mau menikahinya. Apa salahnya menikahi wanita yang begitu "sempurna". Ataukah mereka hanya berani mengaguminya dari jauh namun takut untuk memetiknya. Takut tertusuk durikah? Apakah kepintarannya yang menjadi penghalang, konon kaum pria takut menikahi wanita yang lebih cerdas dari dirinya. Ataukah kecantikannya yang dikhawatiri mendatangkan cemburu. Atau karena pribadi agungnya yang membuat para brothers merasa ciut di hadapannya. Mungkinkah seluruh kelebihan yang bersatu dalam sosok wanita ini membuat para aktivis da'wah pun takut, takut dengan kesempurnaannya. "Barangkali belum jodohnya, Dik. Insya Allah kalau sudah saatnya ada juga brother yang mau meminangnya." Begitu selalu jawaban mas Fatih, suami Nur. Namun saat yang dinantikan itu belum juga kunjung tiba. Hingga kak Nurul mendapat tawaran untuk membantu masyarakat Bangkalan, sepuluh tahun yang lalu. Iapun pergi meninggalkan kampus tempatnya mengajar. Sejak itulah mereka terpisahkan. Nur memandangi wajah mas Fatih. Di bawah cahaya senja yang merona, ...ah makin tampan saja ia dengan garis ketuaan yang mulai menggurat di wajahnya.
"Bagaimana mas?" tanya Nur untuk ketiga kalinya. Wajah yang teduh itu tak bergeming. "Kau serius agaknya, dik" jawabnya. "Benar. Saya sudah lama memikirkannya" sahut Nur. "Tapi saya bukan orang yang tepat untuk itu. Saya tidak cukup adil untuk itu." "Tak ada yang bisa bersikap adil kalau soal perasaan" Nur memotong. "Secara materi, kau sendiri dan anak-anak pun lebih banyak menahan diri bukan?" si Mas balik bertanya. "Saya insya Allah bisa membantumu. Saya bisa mengajar atau kembali seperti dulu." Jawab Nur. Melihat Nur bersikukuh, mas Fatih melembut, "bagaimana kalau kita istikharah dulu." Diusapnya kain yang menutup rambut indah milik Nur. Hari-hari pun berlalu dalam kepatuhan mengikuti hukum alam. Malam siang datang silih berganti. Makhluk Allah menapaki hidupnya di bawah naungan sunatuLlah. Susah-senang hilang timbul bak gelombang laut, datang bergulung lalu pecah di pantai. Satu musim lewatlah sudah. Di sebuah dini hari yang bening, Nur berjalan mengendap ke ruang kerja mas Fatih. Lampunya menyala. Berarti semalaman mas Fatih tidak tidur. Lamat-lamat terdengar suara lirih mas Fatih membaca al Qur'an. Nur beranjak mendekat, namun malang kakinya tersandung kabel lampu. Ugh ! Ia jatuh terpelanting. Mas Fatih menghentikan bacaannya. "Kamu nggak apa-apa dik?" tanya mas Fatih, cemas menghampiri Nur. Yang dihampiri tersenyum menahan malu dan nyeri. "Makanya jangan suka mengintip." Mas Fatih menggodanya, seraya menggosok kaki Nur yang memar. Pipi Nur bersemu dadu saat mas Fatih membantunya duduk di kursi kayu. Menarik nafas sebentar, lalu Nur membuka percakapan. "Kopornya sudah saya siapkan, Mas. Jangan lupa sampaikan salam saya buat kak Nurul." Mas Fatih terdiam. Nur memandangi wajah yang senantiasa nampak ikhlas ini. Mas Fatih tersenyum lembut. "Dik, semoga pengorbananmu yang mulia ini membawamu ke tempat terbaik di sisi-Nya. Tolong doakan agar mas mampu berbuat adil terhadapmu dan anak-anak." Mata Nur membasah. "Terhadap kak Nurul juga...," ujarnya. "Saya rela,mas, janganlah khawatir. Saya tahu tidak semua wanita beruntung seperti saya, hidup di sisi orang sebaikmu." Nur berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, " Membagi kemurahan Allah tidak akan mengurangi rahmat-Nya." Hari itu mas Fatih akan berangkat menuju Bangkalan. Dengan air mata menggenang, diciumnya kedua anaknya. "Ayah akan kembali dalam seminggu. Jaga Bunda baik-baik." pesan mas Fatih kepada kedua balitanya yang masih terlena dibuai mimpi. Nur memberi isyarat dengan tangannya. "Jangan janjikan mereka dengan sesuatu yang sulit bagimu untuk memenuhinya." ujarnya setengah berbisik. "Saya akan memenuhinya, insya Allah" mas Fatih berbalik, menggenggam tangan Nur. Nur berjalan mengantarnya hingga pagar rumah.
"Jaga diri baik-baik ya dik," pesan mas Fatih. "Mas juga." Jawab Nur. Tersenyum dengan sepenuh kerelaan hatinya. Angin pagi memainkan pucuk-pucuk pinus, melambaikan salam perpisahan untuk gelap malam. Mentari menyeruak, mengirim kehangatan di pagi yang beku. Nur membuka hari baru dengan hati ringan. Segumpal rasa cemas dihalaunya dengan kepasrahan. Kedua buah hatinya menjadi penghibur saat sunyi terasa menggigit. Celoteh mereka saat bermain mengusir galau yang kadang menyelinap di relung hati kecilnya. Dan lagi, merawat kedua bocah ciliknya sudah cukup menyibukkannya. Anak adalah hiburan, ia adalah cahaya mata. Nur bersyukur atas karunia yang tidak setiap perempuan merasakannya. Lalu hari pun terasa beranjak dalam tempo cepat, tiba-tiba sore sudah menjelanga. Malam kembali datang menggantikan siang. Gelap menyelimuti bumi saat hamba Tuhan melepas penatnya. Dan Nur kembali termenung ketika anak-anak mulai terlelap. Semoga segala sesuatunya berjalan lancar, Nur membatin. Tidak mudah berhadapan dengan kondisi masyarakat yang belum siap menerima poligami. Anggapan sebagai langkah tercela dan penghalalan bagi kaum pria yang mengumbar nafsu sudah kadung meresap dalam pikiran masyarakat. Bukan salah mereka. Kenyataannya lelaki yang beristeri lebih dari satu adalah kebanyakan mereka yang kurang bertanggung jawab, kalau bukan para pejabat yang menyeleweng. Akibatnya banyak isteri yang tersia-sia, menderita di bawah tanggung jawab seorang lelaki. Jadilah hukum Allah yang satu ini dianggap tidak relevan dan melukai kaum wanita. Benarkah begitu? Lalu berapa banyak wanita malang yang tersaruk-saruk mencari pendamping sementara ratio laki-laki makin mengecil saja. Apa yang akan terjadi bila solusi menjadi sebuah mimpi buruk di benak kaum hawa. Kak Nurul hanyalah sebuah contoh dari ribuan kasus serupa. Dan Nur merasa itu berada di dalam jangkauannya. Nur teringat pertama kali bertemu kak Nurul. Perkenalan itu bermula setelah kuliah PAI yang menghebohkan di semester pertama. Nur sendiri sudah mendengar banyak tentang kak Nurul, assisten Farmakologi yang jelita, mantan mahasiswi teladan yang agamis dan segudang predikat top lainnya. Sementara Nur baru nongol di Universitas. Ketika itu dalam sebuah kelas PAI, Pak RN (semoga Allah merahmati beliau), menguraikan tentang dasar-dasar syariat Islam. Dalam satu kesempatan diskusi terlontarlah pertanyaan tentang poligami. Dengan sigap Nur mengacungkan jari memberikan suara persetujuan. Suasana mendadak hening. Karena Nur duduk paling depan, ia belum sadar apa yang terjadi. Waktu Ia rasakan kesenyapan ini lain dari biasanya, mulailah Nur mengintip kiri-kanan dan belakang. Sadarlah Nur kalau dari enam puluh mahasiswa yang mengikuti kuliah PAI ini dialah satu-satunya yang menyetujui poligami. Aduh mak, grogi bercampur bingung ketika itu, namun Nur tetap berusaha tegar. Buntut dari peristiwa tersebut mudah ditebak, Nur pun jadi bulan-bulanan kawan-kawan. Di antara para cowok mulai menggoda kalau-kalau Nur mau jadi isteri keduanya. Yang mahasiswi tidak kalah sewotnya, dikatakan bahwa ia heartless, tidak punya perasaan, ngomong begitu karena belum kawin, coba kalau sudah menikah, dan masih banyak lagi bantahan mereka. Nur sendiri berusaha untuk tetap bersikap tenang, ia katakan kalaupun mereka tidak setuju, itu tidak akan menghapus ta'addud sebagai bagian dari syariat Islam. Peristiwa heboh itu rupanya membawa berkah tersendiri. Karuan saja kak Nurul mendatangi Nur.
"Rupanya kita punya nama panggilan yang sama ya dik," sapanya ketika memulai perkenalan. Nur hanya terdiam. Dalam hati, malu rasanya membandingkan diri nya dengan wanita dewasa di depan nya ini. Namun kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Nur dan kak Nurul menjadi sepasang sahabat yang akrab. Usia bukanlah hambatan, diskusi demi diskusi tetap hidup dengan jalinan persaudaraan yang penuh makna. Di bawah pancaran cahaya fajar maupun di keremangan sinar bulan dalam tetesan air wudlu dan lantunan ayat-ayat suci, Nur merasa hidup ini begitu berarti. Menjelang pernikahan Nur dengan mas Fatih, Nur memberanikan diri bertanya "Mengapa kak Nurul belum menikah. Bukankah usia kak Nurul lebih dari cukup?", hari itu bertepatan dengan tiga puluh tahun usia kak Nurul. "Jangan tanya saya, dik Nur. Siapa yang tidak ingin membangun surga di istana kecilnya " Dan kisah malang itu sungguh terjadi. Satu demi satu brothers mundur teratur lantaran silau berhadapan dengan kak Nurul. Padahal, kurang bagaimana tawadlunya kak Nurul. Sementara itu usia kak Nurul terus beranjak, para kader muda lebih suka memilih bunga yang bisa dipetik pagi hari. Kini, siapa yang masih teringat mawar indah di senja hari. Usia kak Nurul mulai melewati empat puluh tahun. Di Bangkalan sana, ia membaktikan ilmu dan tenaganya untuk masyarakat papa. Sendiri tanpa sesiapa. Salahkah Nur bila ingin membagi kebahagiaannya dengan kak Nurul? Dan mas Fatih .ah andai ada seribu mas Fatih di dunia ini. "... Maukah kak Nurul menjadi kakak Nur di dunia dan akhirat?" itu adalah pertanyaan Nur di suratnya beberapa bulan yang lalu ketika mas Fatih akhirnya menyerah pada perjuangan Nur. Lama tak berbalas, hingga akhirnya jawaban didapat juga dari surat kak Nurul bulan lalu. "...bagaimanakah mungkin saya menolak permintaan dari seorang adik yang berhati mulia Sebenarnya ada yang tidak dik Nur ketahui setelah beberapa waktu berselang ini .namun saya sepenuhnya tawakal..." Surat terakhir kak Nurul itu ditangkapnya sebagai persetujuan. Maka berangkatlah mas Fatih pagi itu menuju Bangkalan. **** Subuh baru saja usai. Nur bersegera melipat rukuhnya ketika bel pintu berdentang, tergopoh ia berjalan ke arah pintu. Tiba-tiba di dadanya berdebur gelombang. Seperti saat mula pertama ia bertemu mas Fatih di rumah cinta mereka. Hari ini tepat seminggu mas Fatih berangkat. Iakah yang datang memenuhi janjinya kepada buah hati mereka? Tiba-tiba mata Nur basah. Inikah yang namanya haru? Ataukah cinta yang tumbuh di puncak kerelaan? Pintu terkuak. Benar. Dia mas Fatih. Tapi mengapa ia nampak tidak biasa. Ataukah Nur yang tiba-tiba jadi perasa. Seakan wajah mas Fatih berselimut duka. Nur ingin merangkulnya, namun terasa tangannya tertahan. Mas Fatih mengucapkan salam dengan perlahan. Nur membalasnya tak kalah pelan. "Mas datang untuk saya atau anak-anak?" Nur mencoba menggoda, mencairkan kebekuan. "Untuk kita" jawab mas Fatih. Tersenyum, namun berat terasa di dada Nur. Mas Fatih menggandeng tangan Nur. "Boleh masuk, dik?" kali ini ia yang menggoda. Nur mencolek pinggang mas Fatih, ditariknya masuk ke dalam rumah. Nur tidak berani membuka pertanyaan tentang kak Nurul. "Saya akan ceritakan setelah mandi dan shalat subuh." Mas Fatih seakan mengetahui isi hati Nur. Nur hanya mengangguk sebelum beranjak ke dapur meraih secangkir teh manis buat mas Fatih. *** "Ketika saya tiba di ujung desa." Mas Fatih memulai ceritanya. "Ratusan penduduk berbondong-
bondong ke arah tempat tinggal kak Nurul. Saya tidak menduga kalau mereka menyambut saya, saya merasa tidak pantas mendapat sambutan semeriah itu. Namun hati saya bertanya-tanya apa mungkin kak Nurul telah menceritakan rencana pernikahannya kepada masyarakat di sana ...?" mas Fatih berhenti sejenak. Nur menahan nafas. "Saat saya tiba di rumah kak Nurul yang sederhana, barulah saya menyadari wajah-wajah yang hadir menampakkan kedukaan. Sayapun bertanya apakah bisa bertemu dengan kak Nurul. Sebagian yang hadir nampak marah, salah seorang menarik kerah baju saya sambil mengepalkan tinju, untunglah dilerai oleh seorang bapak yang arif yang ternyata adalah pak lurah. Ia bertanya siapa saya dan ada perlu apa dengan kak Nurul. Saya katakan bahwa saya datang dari jauh untuk menikah dengannya. Saya calon pengantinnya. Saat itu terdengar tangis keras beberapa ibu. Pak lurah merangkul saya dan tak hentinya menggoyang bahu saya sampai akhirnya saya ditariknya ke dalam rumah. Di tengah ruangan saya dapati sebuah keranda." Nur tak tahan mendengar cerita mas Fatih. "Keranda siapa? Dimana kak Nurul waktu itu?" pertanyaan Nur memburu. Mas Fatih menggenggam tangan Nur. "Kak Nurul berada di dalam keranda itu, dik ." "Inna liLlahi wa inna ilaihi rajiun" Jantung Nur serasa terhenti sesaat. Nur tersentak. Batin Nur terguncang hebat. Lalu Nur tersedu. Mas Fatih mengusap kepalanya dengan air mata menitik. "Sabarlah dik sabar" "Apa yang telah terjadi?" tanya Nur disela isaknya. "Ada yang tidak kita ketahui tentang kak Nurul." mas Fatih menjelaskan. Tiba-tiba Nur teringat isi surat terakhir kak Nurul ... "Sebenarnya ada yang tidak dik Nur ketahui setelah beberapa waktu berselang ini. Namun saya sepenuhnya tawakal..." Nur teringat kalimat yang ditulis kak Nurul itu. Ia terkesiap. "Apa yang tidak kita ketahui mas?" tanyanya. Mas Fatih menunduk. Jemarinya menghapus ujung sajadah yang terlipat. "Seorang perawat di puskesmas bercerita kepada pak lurah kalau kak Nurul sudah lama mengidap kanker stadium akhir, Nur, sudah metastase kemana-mana." "Ya Allah Saya tidak pernah tahu, " suara Nur bergetar. "Tidak ada yang tahu, Nur, hingga menjelang kepergiannya kecuali perawat yang membantu kak Nur di klinik. Saya ikut mengantar dan menguburkan jenazah kak Nurul. Selepas itu saya menyelesaikan beberapa urusan kak Nurul di sana. Saya juga pergi ke Surabaya ke tempat dokter yang mendiagnosis kak Nur dengan kanker payudara sejak lima tahun yang lalu." Lunglai terasa tubuh Nur. "Kita terlambat, mas. Saya telah melalaikannya " Nur seakan menyesali diri. Mas Fatih membelai kepala Nur dengan lembut. "Tidak, sayang. Allah lah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Insya Allah niat kita telah dicatat di buku-Nya." ujar mas Fatih. "Semoga Allah membalas amal shalih kak Nurul dengan sebaik-baiknya. Masyarakat Bangkalan mencintai kak Nurul karena keikhlasannya
membantu mereka ." Mas Fatih berhenti sejenak. Dirogohnya secarik kertas dari kantung tas pinggangnya. "Ini ada surat dari mbak Ririn, perawat itu." Nur membuka surat yang diberikan mas Fatih, "Salam hormat untuk keluarga Bu Nurul. Ia adalah jiwa yang berbahagia." Air mata Nur berhamburan. Ia kehilangan mawar senja yang hampir dipetiknya di pekarangan cinta merekasang Pencipta telah menyuntingnya di taman surga abadi. ...Mawar senja gugur kelopaknya wangi tersisa di pagi bening Sesosok cinta menebar air surga kembali ke bumi, menuju Dia yang abadi Dalam duka, hati Nur penuh doa. Semoga tempatmu terbaik di sisi-Nya, oh kak Nurul. Satu hal ia tahu pasti, beribu kak Nurul di bumi ini, namun hanya ada satu mas Fatih.
Kerinduan oleh Mohammad Sobary Dan semoga kerinduan ini Bukan jadi mimpi di atas mimpi (Ebiet G. Ade) Fariduddin Attar, guru Jalalluddin Rumi, penyair dan sufi terbesar dari Persia, menuturkan kerinduan sekelompok burung terhadap raja mereka. Maka, mereka pun sepakat menunjuk Hud-hud, burung yang bijak, sebagai pemimpin. Hud-hud memberi tahu, yang mereka cari itu burung Simurgh, dalam bahasa Persi, artinya tiga puluh burung, yang hidup tersembunyi di gunung Kaf, tempat yang jauh, dan berbahaya. Untuk mencapai tempat itu mereka harus menempuh lima lembah dan dua gurun sahara. Mendengar cerita itu, mereka yang berjiwa lemah, yaitu Nuri, Merak, Angsa, Bangau, Bul-bul, dan burung Hantu, mengemukakan berbagai alasan untuk tidak ikut. Si Nuri yang egois, memilih mencari ”cawan suci”, Merak, si burung surga, lebih baik menanti panggilan kembali ke surga, Bul-bul, yang merasa memahami rahasia cinta, menumpahkan cintanya pada bunga mawar, dan Bangau, pencinta air, membual: ”Cintaku pada air membuatku selalu termenung di tepi pantai, namun aku toh tak setitik pun meminum airnya, karena khawatir begitu aku minum, samodra raya itu langsung kering kerontang.” Hud-hud memberi rangsangan dengan cerita mengenai petualangan menarik dalam perjalanan ke Gunung Kaf, di istana raja mereka. Karena itu, perjalanan pun dimulai. Tapi baru saja menempuh dua lembah, mereka mengeluh, dan merasa gentar membayangkan perjalanan selanjutnya. Satu-satunya jalan agar mereka mengerti dan sadar, Hud-hud, harus terus terang bahwa mereka harus menempuh tujuh lembah dan gurun, yang semuanya memikat, simbolik, dan bermakna secara rohaniah.
Burung-burung itu pun merasa gembira dan bersemangat lagi. Kali ini korban berjatuhan. Ada yang mati karena udara sangat panas, ada yang tenggelam di laut, ada yang kelelahan, ada yang kehausan tak berdaya. Dan ada pula yang tersesat. Sisanya tetap meneruskan perjalanan hingga tiba di Gunung Kaf yang mereka impikan. Di pintu gerbang mereka diperlakukan kasar oleh para penjaga. Tapi mereka sudah terbiasa dengan kesukaran. Maka, pelayan pun menjemput, dan menunjukkan mereka jalan ke ruang Baginda. Di dalam, burung-burung itu keheranan karena mereka memasuki ruang hampa, luas tak terbatas. Dalam termangu mereka saling memandang. Di mana Baginda raja yang mereka rindukan? Di sana mereka temukan Simurgh, tiga puluh burung, yang ternyata diri mereka sendiri. Dalam kerinduan mencari sang raja, ternyata mereka hanya menemukan diri mereka sendiri. ”Sang raja tersingkap di dalam cermin kalbu-kalbu mereka sendiri,” kata Attar. Fariduddin Attar memesona kita. Dengan fabel itu, ia sebenarnya bicara perkara yang sangat dalam dan rumit, mengenai gejolak kalbu, yang diharu-biru rasa rindu. Ini potret kerinduan khas kaum sufi untuk bisa berkhidmat, dan memperoleh momen puitik, dan istimewa: berduaan dengan sang pencipta, untuk mempersembahkan ketulusannya sebagai seorang hamba sahaya. ”Di pintumu aku mengetuk / aku tak bisa berpaling” kata Chairil Anwar. ”Di mana kau / rupa tiada, hanya kata merangkai hati” kata Amir Hamzah. ”Betapa gurun merindukan cinta sejumput rerumputan / Rumput menggeleng, tertawa, dan berlalu” kata Tagore. ”Keberadaan lahir / Ketika kita jatuh cinta pada ketiadaan” kata Rumi. Ketiadaan di sini bukan kehampaan, bukan ”emptiness”, bukan ”nothingness”. Ketiadaan ini justru wujud eksistensi. Dalam logika dan kosmologi Jawa ini makna ungkapan ”suwung ning isi”, kosong tapi isi yang terkenal itu. Mencari galih kangkung, dan tapak Kuntul (burung Blekok) melayang, dalam kosmologi Jawa dianggap simbolisasi pencarian akan makna paling hakiki dalam hidup manusia: momen puitik untuk menyatu, manunggal rasa, manunggal karsa dengan ”Baginda”. Mencari tapak Kuntul melayang bukan sebuah kemustahilan. Para empu dalam bidang ”seni kehidupan”, yaitu para wali, para nabi, dan orang-orang suci, masingmasing pernah disergap kerinduan yang sangat pekat, dan menemukan diri menjadi hati Tuhan, tangan Tuhan, dan sarana Tuhan untuk menciptakan keadilan di bumi. Mereka ibarat hanya bayangan yang tak ada tapi nyata gunanya. ”Lilin dibuat untuk menjadi nyala / Dalam suatu saat penghancuran / Yang tak menyisakan bayangan” kata Rumi. Kerinduan, bagi yang pernah, dan masih rindu, tak akan sekadar menjadi mimpi di atas mimpi, yang dikhawatirkan Ebiet. Kerinduan terobati, bukan hanya saat kita bisa bertemu, melainkan juga saat kita merasa pasrah untuk ”menjadi”, termasuk sekadar menjadi sebatang lilin kecil, yang nyala kecilnya, menembus gelap di lorong-lorong jiwa kita.
Bersih Desa oleh Mohammad Sobary
PARA tokoh desa sudah duduk bersila di atas panggung yang dibangun dengan atap tenda di bawah pohon besar yang tampak berwibawa dan memancarkan pesona magis. Di pohon besar itu --menurut kepercayaan setempat-- bersemayam danyang, pepunden, atau leluhur, atau roh penjaga desa. Dialah yang pada siang itu, dan malam nanti, ketika pertunjukan wayang kulit berlangsung, yang menjadi pusat perhatian seluruh penduduk desa. Rombongan tamu --para priyayi Solo-- satu per satu menyusul dengan tertib ke panggung. Ada Sardono W. Kusumo, ada sejarawan Soedarmono, ada psikolog Yayah Kisbiyah, ada Taufik Rahzen, sejumlah aktivis LSM, para seniman, juga dosen-dosen, dan sejumlah wartawan. Saya pun hadir. Di sana saya orang asing. Minat saya besar untuk mengikuti upacara tradisional desa itu. Orang menyebut acara --yang diadakan tiap tahun sekali-- itu "bersih desa". Biarpun secara kultural saya sudah tercabut dari desa sejak kelas satu SMP, saya ingat di kampung saya acara itu tak ada. Bacaan antropologi berjasa menyambungkan kembali saya dengan akar kebudayaan desa yang terputus tadi. Dan saya kira Ben Anderson dan Geertz, yang mengembalikan saya menjadi orang Jawa yang agak tahu tentang kebudayaan Jawa. *** KARANGPANDAN, tempat upacara bersih desa itu berlangsung, terletak di lereng barat kaki Gunung Lawu. Udara masih terasa agak sejuk. Aroma pedesaan masih sangat kentara. Hidangan untuk kami pun khas desa: gethuk (dari singkong) dan ubi goreng. Keduanya masih hangat. Juga teh manisnya. Sambil menikmati gethuk saya mengamati para warga desa, terutama perempuan, berdatangan membawa sesajen, ditaruh di bawah pohon besar itu. Sesajen terdiri dari nasi tumpeng dan nasi biasa, dengan aneka macam lauk-pauk. Ada pula sambal kerecek dan ayam goreng. Di kampung saya, ayam goreng macam itu dulu cuma bisa ditemui setahun sekali tiap ada hajatan penting. Di bawah pohon itu sesajen berderet makin panjang dan makin bervariasi. Para antropolog memandang peristiwa itu sebagai momentum simbolik. Tetapi, bagi para pelakunya, peristiwa kebudayaan itu konkret. Dalam wawasan dan kesadaran kosmologi mereka, sesajen itu bentuk persembahan konkret. Makanan itu secara wadag memang dibawa pulang kembali dan menjadi berkah bagi semua anggota keluarga, atau siapa saja yang turut makan. Tetapi para pepunden atau danyang sudah menikmati inti sarinya. Bagi para pelakunya, berkah itu pun bukan cuma artikulasi simbolik tetapi nyata. Mereka percaya setelah melakukan sesajen hidup lebih tenteram, lebih secure. Sebaliknya, bila upacara tak diadakan, gangguan-gangguan bisa muncul dan membikin hidup kehilangan unsur security-nya. Peneliti asing tanpa keraguan sedikit pun menyebut peristiwa macam ini sebagai ekspresi keagamaan orang Jawa. Memang dalam kacamata antropologi, ini bagian sistem religi atau kepercayaan. Saya kira, lebih tepat jangan diterjemahkan menjadi agama. Ia bagian dari wujud kesadaran kosmologi yang jauh beda dibanding agama (tiga agama besar yang diturunkan Tuhan lewat malaikat untuk para nabi dan pengikut mereka, dan bagi manusia pada umumnya). Dalam kesadaran kosmologi orang Jawa, lelembut, danyang, dan makhluk halus dianggap sesuatu yang "nyata". Mereka ada di sekitar kita. Mereka pun dianggap perlu "ruang" atau "akomodasi" dan hidup berdampingan dengan kita. Agar mereka tak mengganggu kita, maka diperlukan sejenis "traktat". Dan wujud "traktat" itu tampak dalam tradisi "bersih desa" tadi. Ini wacana kebudayaan yang hidup dan berkembang di desa. Bahkan mungkin otomatis menjadi salah satu elemen "roh" desa. Dia bagian dari kajian antropologi yang memikat. Apa fungsi "bersih desa" sebagai "traktat" yang meliputi hidup warga desa-orang, manusia-dengan "lelembut" atau "danyang" tadi?
Saya kira fungsinya untuk mewujudkan harmoni, rukun, dan guyub antar tiap unsur di dalam power relations kedua belah pihak. Untuk apa? Jelas untuk mewujudkan gagasan "koeksistensi" damai antara semua aktor yang terlibat. "Koeksistensi" damai itu akan bertahan bila tiap pihak sadar bahwa mereka harus berbagi ruang "budaya" secara adil dan manusiawi. Keadilan dalam pembagian ruang "budaya" itu menjadi peneguh kohesi sosial agar konflik tak terjadi. Sekali lagi cita-cita untuk harmoni, guyub, dan rukun tadi dengan begitu lalu terwujud. Si danyang tidak usil, tidak mengganggu, dan si manusia tak menyimpang dari keteraturan kosmologis yang namanya "tradisi bersih desa" tadi. *** TRADISI yang hidup di tingkat lokal dan yang kelihatannya cuma kesibukan rutin biasa di desa, saya kira bisa memberi kita refleksi dan perenungan politik bagi kepentingan di luar kolektivitas desa bersangkutan. Apa yang cuma lokal itu diam-diam bisa menyumbang kepentingan lebih luas pada tingkat nasional? Apa sumbangan nasionalnya? Kita bisa menggagas dan menerapkan tradisi "bersih desa" menjadi --boleh saja-- "bersih nasional" atau "bersih negara". Ajaran apa yang dari sana bisa diteladani dan dikembangkan di tingkat nasional saat ini? Mungkin, khususnya, semangat rukun, guyub, dan relasi harmonis antarsemua kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang sedang berserak-serak dan dalam situasi disintegrasi sosial ini. Kita bisa belajar dari desa prinsip berbagi ruang "budaya" secara adil. Kita bisa meniru orang desa untuk mewujudkan gagasan "koeksistensi damai" dengan semua kekuatan sosial, politik, dan budaya yang ada di tengah atau di sekitar kita. Disintegrasi sosial dan aneka corak ketegangan, Insya Allah semoga otomatis teratasi oleh semangat koeksistensi damai tadi. Meneladani semangat ini saya tunjuk dengan, dan bukan bentuk lahiriahnya, karena saya kira akan banyak orang yang keberatan dari sudut agama. Tetapi, sekali lagi, hal ini urusan lain. Kita sedang bicara perkara kebudayaan dan bukan urusan agama. Maka, di bidang kebudayaan, bila dengan lelembut atau danyang saja orang desa mau berbagi ruang demi harmoni dan rukun, dan guyub, orang kota, tokoh-tokoh, yang pandai dan peduli pada masa depan bangsa, mengapa tak mungkin atau tak mau berjuang demi koeksistensi damai, demi harmoni, dan rukun bagi segenap kekuatan dalam masyarakat? Negara, saya kira, wajib bersih dari dengki, iri, dendam, dan keserakahan. "Bersih desa" mungkin sebuah sukma kehidupan yang dengan sendirinya bisa merayap jauh ke tatanan "bersih negara.
Hidup Syahid oleh Mohammad Sobary Seorang pluralis tidak lahir dengan sendirinya. Pluralis, sebagai sifat, maupun watak, terbentuk oleh sebuah proses belajar yang panjang, dan mungkin melelahkan. Jadi, pluralis itu hasil ciptaan yang belum tentu sudah jadi. Tak ada pluralis yang bersifat become dan mapan. Sifat, atau watak, itu masih terus-menerus dalam penciptaan. Dan mungkin dirawat terusmenerus agar bisa tetap konsisten. Untuk menjadi pluralis, tak jarang diperlukan pengorbanan. Ia bisa dikucilkan teman-temannya sendiri, atau diejek, dibenci, dan secara kultural tak lagi dianggap sebagai anggota kelompok. Sang pluralis juga bisa diancam hukuman mati oleh suatu pusat kekuasaan atau oleh orang-orang yang merasa mendapat limpahan kewenangan langsung dari Tuhan biarpun sebenarnya Tuhan tak pernah membisikkan apa pun kepadanya. Di mana-mana orang seperti itu kelihatannya selalu ada dan
membuat orang lain takut atau cemas. Bagi mereka yang berjuang dengan penuh kesadaran, risiko seperti itu sudah mereka perhitungkan dan mereka antisipasi sebagai kemungkinan buruk yang bisa muncul. Mungkin, akhirnya ia tak takut akan ancaman hukuman mati karena ia tahu yang dihadapinya mati syahid, mati di jalan Tuhan. Di banyak kelompok, mati syahid dirindukan. Ini sebuah kematian agung. Ke-syahid-an itu ”iming-iming” dan janji agama yang pasti. Mati syahid dijamin masuk surga, langsung tanpa ditanya-tanya lagi. Mereka yang menganggap pihak lain serba salah itu pun memiliki klaim perjuangan membela agama. Dengan sendirinya mereka pun menggenggam ideologi mati syahid tadi. Mereka tak takut mati. Dua pihak itu berhadapan satu sama lain. Masing-masing membela agama dan Tuhan. Masing-masing tak takut mati. Tetapi, jutaan orang cemas melihat kekerasan itu. Relasi kekuasaan antar kelompok seperti ini mengerikan. Berjuta-juta manusia mendambakan ketenteraman hidup, tetapi para tokoh malah berbicara tentang mati. Berjuta-juta orang menanti lagu kehidupan, para tokoh malah menyanyikan lagu kematian. Mereka lupa bahwa ke-syahid-an itu hadiah langit dan bukan sejenis gelar akademis yang bisa dicari. Orang akan mati syahid atau tidak bukan urusan manusia. Ke-syahid-an itu mahkota langit. Dan sepenuhnya merupakan rahasia langit. Mati di jalan Tuhan, mati syahid, tak bisa direncana dan direkayasa manusia. Tetapi, hidup syahid merupakan kewajiban yang harus kita perjuangkan dengan gigih. Kebudayaan kita lebih membutuhkan orang yang berani hidup syahid, yang mengasihi sesama, saling menolong, dan saling melindungi. Kemiskinan, dan orang-orang tak berdaya, sangat banyak jumlahnya, dan luar biasa mengenaskannya. Mengurus mereka merupakan panggilan keagamaan yang sangat sentral kedudukannya. Hidup harus dipertahankan. Kita mainkan peran keduniaan semaksimal mungkin agar kita tampak lebih bermartabat, baru kemudian bicara hak-hak kelangitan. Hidup yang belum jadi ini harus dibikin agak mendekati titik ”jadi”. Kita yang hari ini gigih sebagai pluralis dan sangat toleran belum tentu bebas dari cobaan. Sebaliknya, mereka yang antisikap pluralis tak mustahil berubah menjadi pluralis sejati dan sangat toleran kepada pihak lain. Banyak hal, banyak sifat dan watak, sikap, dan tingkah laku politik di masyarakat kita yang dipengaruhi atau bahkan ”dibentuk” oleh kepentingan politik dan duit. Sering kita hanya bersandiwara dan membohongi publik. Banyak orang berteriak membela agama, padahal tujuannya mencari kemakmuran duniawi. Ada lembaga yang mewakili kepentingan rohani, tetapi merusak rohani dan kebersamaan yang nyaman dan alami. Dari hari ke hari kita hanya melihat para tokoh bermain sandiwara yang buruk dan membosankan. Kita sibuk belajar berbohong. Sejak dulu peradaban yang kita warisi memang seperti ini wajahnya. Sejak dulu mandat kemanusiaan kita pun jelas: kita diminta melukis atau mewarnai wajah buruk peradaban ini menjadi agak lebih cantik. Maka, jika benar kita toleran, kita harus toleran bukan hanya kepada orang yang toleran, melainkan juga kepada orang yang tak pernah bersikap toleran sekalipun.
Selebihnya, kita tebarkan kebenaran ke mana-mana tanpa mengenal lelah dengan cara yang benar. Dan dengan kesabaran. Inilah doktrin ke-syahid-an yang mengajarkan kita berani hidup syahid.