LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
OLEH KELOMPOK 1 A1-D Prana Dika Ardiyanto
(161200092)
Putri Dalem Nuning Stiti
(161200093)
Putu Agus Andi Dharma
(161200094)
Putu Ita Yuliana Wijayanti
(161200095)
Putu Ryan Mahardika
(161200096)
Sang Ayu Nyoman Wahyu Astika Dewi
(161200097)
JURUSAN S1 FARMASI PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI 2017
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) I.
TUJUAN PRAKTIKUM a. Mengetahu definisi PPOK b. Mengetahui patogenesis dan patologi PPOK c. Mengetahui klasifikasi PPOK d. Mengetahui tatalaksana penyakit PPOK (farmakologi dan non farmakologi) e. Dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri dengan menggunakan metode SOAP
II. DASAR TEORI 2.1 Definisi PPOK Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit kronis yang umum pada saluran udara yang ditandai dengan hilangnya fungsi paru secara bertahap dan progresif. PPOK merupakan penyakit yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang tidak dapat dibalik sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya. Kondisi yang paling umum terdiri dari PPOK adalah bronkitis kronis dan emfisema (William, D.M dan Bourder, S.V dalam Dipiro, J.T., et al., 2008). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien. Hambatan aliran napas kronik pada PPOK merupakan gabungan dari penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkim dengan kontribusi yang berbeda antar pasien ke pasien. PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran napas dan rusaknya parenkim paru (Soeroto, A.Y dan Suryadinata, H., 2014). 2.2 Patogenesis dan Patologi PPOK Perubahan patologis pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) terjadi di saluran udara besar (tengah), bronkiolus (perifer) kecil, dan parenkim paru (Mosenifar, Z., 2017).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditandai dengan obstruksi aliran udara yang tidak dapat berbalik kembali dan respons inflamasi abnormal di paru-paru. Semua perokok memiliki beberapa pembengkakan di paru-paru, tetapi pengembangan PPOK memiliki respons yang meningkat atau tidak normal terhadap penghirupan zat beracun. Respons yang diperkuat ini dapat menyebabkan hipersekresi mukosa (bronkitis kronis), kerusakan jaringan (emfisema), dan gangguan pada mekanisme perbaikan dan pertahanan normal yang menyebabkan radang saluran napas ringan dan fibrosis (bronkiolitis). Perubahan patologis ini mengakibatkan peningkatan ketahanan terhadap aliran udara di saluran napas kecil, peningkatan pemenuhan paru-paru, perangkap udara, dan penyumbatan aliran udara progresif, semua ini ciri khas PPOK (MacNee, W., 2006). Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Emfisema dibagi menjadi tiga sebagai berikut : a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah dan umumnya berkembang pada pasien dengan defisiensi homozigot alpha1-antitrypsin (AAT) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003; Mosenifar, Z., 2017). c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura. Emfisema paraseptal tidak terkait dengan obstruksi aliran udara (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003; Mosenifar, Z., 2017). Peradangan ada di paru-paru, terutama saluran udara kecil, dari semua orang yang merokok. Respon protektif normal terhadap racun yang dihirup diperkuat pada PPOK, yang menyebabkan kerusakan jaringan, kerusakan mekanisme pertahanan yang membatasi penghancuran tersebut, dan terganggunya mekanisme perbaikan. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural di saluran udara meningkat dengan tingkat keparahan penyakit dan berlanjut bahkan setelah penghentian merokok. Selain peradangan, dua proses lain terlibat dalam patogenesis PPOK yaitu ketidakseimbangan antara protease dengan antiprotease dan ketidakseimbangan antara oksidan dengan
antioksidan (stres oksidatif) di paru-paru. PPOK ditandai oleh peningkatan jumlah neutrofil, makrofag, dan limfosit T (CD8) di paru-paru. Secara umum, tingkat peradangan berhubungan dengan tingkat obstruksi aliran udara. Sel-sel inflamasi ini melepaskan berbagai sitokin dan mediator (Leucotriene B4, chemoattractant neutrofil dan sel T yang diproduksi oleh makrofag, neutrofil, dan sel epitel; Faktor kemotaktik; TNF-α, IL-1β, IL-6) yang berpartisipasi dalam proses penyakit. Pola inflamasi ini sangat berbeda dengan yang terlihat pada penderita asma (MacNee, W., 2006). Beban oksidatif meningkat pada PPOK. Sumber oksidan termasuk asap rokok dan oksigen reaktif dan spesies nitrogen yang dilepaskan dari sel inflamasi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan dari stres oksidatif. Banyak penanda stres oksidatif meningkat pada PPOK yang stabil dan selanjutnya meningkat dalam eksaserbasi. Stres oksidatif dapat menyebabkan inaktivasi antiprotease atau stimulasi produksi mukosa. Hal ini juga dapat memperkuat peradangan dengan meningkatkan aktivasi faktor transkripsi (seperti faktor nuklir κB) dan karenanya ekspresi gen mediator pro-inflamasi (MacNee, W., 2006).
Gambar 1. Patogenesis PPOK (MacNee, W., 2006)
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi pada PPOK (MacNee, W., 2006) 2.3 Faktor Resiko PPOK Penyakit paru obstruktif kronik terjadi lebih dominan disebabkan oleh asap rokok. Faktor resiko yang berpengaruh dalam penyakit paru obstruktif kronik (selain perokok) meliputi (Brashier, B.B dan Kodgule, R., 2012) : a. Genetik Faktor risiko genetik yang ditetapkan untuk COPD adalah gen SERPINA1 yang mengkodekan serine protease inhibitor, alfa-1 antitrypsin (AAT). Perturbasi pada gen SERPINA1 menyebabkan defisiensi AAT-1, yang menyebabkan aktivitas protease yang tidak terhambat dan berpuncak pada perkembangan emfisema. Alel M dikaitkan dengan AAT normal sedangkan alel Z merupakan defisiensi AAT. Namun, hanya 1-2% populasi yang menunjukkan anomali di Serpina1, menunjukkan bahwa banyak variasi genetik lainnya akan bertanggung jawab untuk pengembangan PPOK. Pemahaman saat ini adalah bahwa COPD adalah penyakit poligenik yang melibatkan interaksi kompleks antara berbagai polimorfisme gen. Banyak gen telah dikaitkan dengan COPD seperti SERPINE 2, TNF-α, heme oxygenase-1, Glutathione S-transferase P1, Transforming growth factor B1 α-nicotinic acetylcholine receptor. b. Paparan partikel 1. Asap tembakau (50% perokok mengembangkan PPOK)
2. Polusi udara dalam ruangan dari pemanasan dan memasak dengan bahan bakar Biomassa di rumah dengan ventilasi buruk 3. Debu kerja, organik dan anorganik : a). Pengemudi mobil, mekanik kendaraan, manufaktur pupuk, senyawa kimia senyawa chlorinated, bahan peledak, produk karet, etsa logam, plastik, paparan amonia pada pendinginan dan penyulingan minyak bumi, debu biji-bijian dan jamur di petani, pabrik pabrik tekstil, manufaktur kulit, manufaktur produk makanan dan penjualan, petugas perawatan kecantikan dan tukang las di industri otomotif; b). Eksposur untuk silika kristal: industri semen, manufaktur batu bata, tembikar dan pekerjaan keramik, pasir silika, granit dan industri tanah diatom, pertambangan emas, dan pendirian besi dan baja 4. Pencemaran udara di tempat terbuka i. Mengurangi volume paru-paru: pertumbuhan dan perkembangan paru; tuberkulosis sebelumnya (28-68% kasus TB pasca-perawatan; 2,9-6,6 lipatan meningkatkan risiko); infeksi saluran pernapasan berulang berulang (risiko 2-3 kali lipat); dan nutrisi buruk ii. Usia tua atau lanjut usia (obstruksi fisiologis) iii. Status Sosio-ekonomi rendah (Multi komponen) Risiko pengembangan PPOK terkait dengan faktor-faktor berikut (Global Intiaive, 2017): a. Asap tembakau : termasuk rokok, cerutu, dan jenis tembakau tembakau lainnya, serta asap tembakau lingkungan. b. Pencemaran udara dalam ruangan : dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan memanaskan di tempat tinggal yang kurang berventilasi, merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi wanita di negara berkembang. c. Paparan kerja : termasuk debu organik, anorganik, zat kimia dan asap. d. Polusi udara di luar ruangan : berkontribusi terhadap total partikel inhalasi paru-paru, meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dalam menyebabkan PPOK. e. Faktor genetik : defisiensi herediter yang parah dari alpha-1 antitrypsin (AATD). f. Usia dan jenis kelamin dan jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko PPOK.
g. Pertumbuhan dan perkembangan paru : setiap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru selama masa gestasi dan masa kanak-kanak (berat lahir rendah, infeksi saluran pernapasan dan lainnya) berpotensi meningkatkan risiko terkena PPOK. h. Status sosial ekonomi : ada bukti kuat bahwa risiko pengembangan PPOK berbanding terbalik dengan status sosial ekonomi. i. Asma dan hiperaktifitas saluran napas : asma mungkin merupakan faktor risiko untuk pengembangan pembatasan aliran udara dan PPOK. j. Bronkitis kronis : dapat meningkatkan frekuensi eksaserbasi total dan parah. k. Infeksi : riwayat infeksi pernafasan anak yang parah telah dikaitkan dengan berkurangnya fungsi paru-paru dan meningkatnya gejala pernafasan di masa dewasa. 2.4 Klasifikasi PPOK Ketidaksesuaian antara nilai FEV1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan FEV1. Pada tabel di bawah ini tercantum klasifikasi PPOK ringan, sedang dan berat berdasarkan gejala dan pengukuran Spirometri. Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003; Soeroto, A.Y dan Suryadinata, H., 2014).
2.5 Tatalaksana PPOK Pasien dengan diagnosis PPOK pada penatalaksanaannya memiliki tujuan utamanya yaitu mencegah atau meminimalkan perkembangan. Tujuan spesifik tata laksana PPOK yaitu (Dipiro, J.T., et al., 2008) : a. Mencegah perkembangan penyakit b. Meringankan gejala c. Perbaiki toleransi latihan d. Perbaiki status kesehatan secara keseluruhan e. Mencegah dan mengobati eksaserbasi f. Mencegah dan mengobati komplikasi g. Kurangi morbiditas dan mortalitas Tujuan penatalaksanaan menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) sebagai berikut: a. Mengurangi gejala b. Mencegah eksaserbasi berulang c. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru d. Meningkatkan kualiti hidup penderita Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : 1. Edukasi Tujuan edukasi pada pasien PPOK yaitu mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan; melaksanakan pengobatan yang maksimal; mencapai aktiviti optimal dan meningkatkan kualiti hidup. Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah: a. b. c. d. e.
Pengetahuan dasar tentang PPOK Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya Cara pencegahan perburukan penyakit Menghindari pencetus (berhenti merokok) Penyesuaian aktiviti
Gambar 3. Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) 2. Obat-obatan (terapi farmakologi) Bronkodilator Kelas bronkodilator yang tersedia untuk pengobatan PPOK meliputi β 2-agonis, antikolinergik, dan methylxanthines. Bronkodilator umumnya bekerja dengan cara mengurangi tekanan otot polos jalan nafas (relaksasi), sehingga meminimalkan keterbatasan aliran udara (Dipiro J.T., et al., 2008). a. Short-Acting Bronchodilators Terapi awal untuk pasien COPD yang mengalami gejala yang intermiten adalah bronkodilator short-acting. b. Short-Acting Sympathomimetics (β2-Agonists) Pada pengelolaan PPOK, agen simpatomimetik dengan β2-selektifitas, atau β2-agonis, harus digunakan sebagai bronkodilator. β2-Agonis menyebabkan bronkodilatasi dengan merangsang enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosin monofosfat siklik. Siklik adenosin monofosfat bertanggung jawab untuk membatasi relaksasi otot polos bronkus, yang menyebabkan bronkodilatasi. Selain itu, bisa memperbaiki pembersihan mukosiliar. Agonis short-acting, selektif β2-agonis seperti albuterol, levalbuterol, dan pirbuterol, lebih sering digunakan untuk terapi. Agonis inhalasi short-acting inhalasi hanya sedikit meningkatkan FEV1 secara akut namun dapat memperbaiki gejala pernafasan dan toleransi latihan meskipun ada peningkatan kecil dalam pengukuran spirometrik. Pasien dengan PPOK dapat menggunakan β 2agonis onset cepat sesuai kebutuhan untuk menghilangkan gejala atau secara
terjadwal untuk mencegah atau mengurangi gejala. Durasi aksi β 2-agonis shortacting adalah 4 sampai 6 jam. c. Short-Acting Anticholinergics Antikolinergik seperti ipratropium atau atropin menghasilkan bronkodilatasi dengan reseptor kolinergik yang resisten terhadap otot polos bronkus. Aktivitas ini menghambat asetilkolin, dengan efek bersih menjadi pengurangan guanosin monofosfat siklik, yang biasanya berfungsi untuk menyempitkan otot polos bronkial. Reseptor muskarinik pada otot polos saluran nafas termasuk subtipe M1, M2, dan M3. Aktivasi reseptor M1 dan M3 oleh asetilkolin menghasilkan bronkokonstriksi; Namun, aktivasi reseptor M2 menghambat pelepasan asetilkolin lebih lanjut. d. Long-Acting Bronchodilators Terapi bronkodilator inhalasi jangka panjang dapat diberikan sebagai β2-agonis
atau antikolinergik. Bronkodilator kerja lama
memberikan manfaat yang serupa pada agen short-acting. Selain itu, mereka mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup. e. Long-Acting, Inhaled β2-Agonists Long-acting, inhalasi β2-agonists memberikan kenyamanan dan manfaat durasi kerja yang lama untuk pasien dengan gejala persisten. Baik salmeterol dan formoterol diberi dosis setiap 12 jam dan menyediakan bronkodilatasi yang berkelanjutan untuk menghilangkan gejala akut.. Long-acting β2-agonists juga berguna untuk mengurangi gejala nokturnal dan meningkatkan kualitas hidup. Bila dibandingkan dengan bronkodilator short-acting atau teofilin, baik salmeterol dan formoterol memperbaiki fungsi paru-paru, gejala, frekuensi eksaserbasi dan kualitas hidup. f. Long-Acting Anticholinergics Tiotropium bromida, agen antikolinergik yang menghambat efek asetilkolin dengan mengikat reseptor muskarinik pada otot polos saluran nafas dan kelenjar lendir, yang menghambat efek kolinergik dari bronkokonstriksi dan sekresi lendir. Tiotropium lebih selektif daripada ipratropium dalam menghambat reseptor muskarinik yang penting. Tiotropium terdisosiasi perlahan dari reseptor M1 dan M3, memungkinkan bronkodilatasi berkepanjangan. Disosiasi dari reseptor M2 jauh lebih cepat, memungkinkan penghambatan pelepasan
asetilkolin.
Studi
mengikat
tiotropium
di
paru-paru
manusia
menunjukkan bahwa kira-kira 10 kali lipat lebih kuat daripada ipratropium dan melindungi terhadap bronkokonstriksi kolinergik lebih dari 24 jam. g. Combination
Anticholinergics
and
β2-Agonists
Regimen
kombinasi
bronkodilator sering digunakan dalam pengobatan PPOK, terutama karena
penyakit ini berkembang dan gejala memburuk seiring berjalannya waktu. Menggabungkan bronkodilator dengan mekanisme tindakan yang berbeda memungkinkan dosis efektif serendah mungkin untuk digunakan dan mengurangi efek samping yang potensial dari agen individual.1 Kombinasi dari agonis agonis pendek dan panjang dengan ipratropium telah ditunjukkan untuk memberikan kelegaan gejala tambahan dan perbaikan fungsi paru. h. Methylxanthines Teofilin dan aminofilin, telah tersedia untuk pengobatan COPD setidaknya selama lima dekade dan pada satu waktu dianggap sebagai terapi lini pertama. Namun, dengan tersedianya agonis β2-agonis inhalasi lama dan antikolinergik inhalasi, peran terapi methylxanthine secara signifikan terbatas. Metilxantin dapat menghasilkan bronkodilasi melalui berbagai mekanisme, termasuk (a) penghambatan fosodiesterase, sehingga meningkatkan kadar adenosin monofosfat siklik, (b) penghambatan masuknya ion kalsium ke otot polos, (c) antagonisme prostaglandin, (d) stimulasi katekolamin endogen, (e) antagonisme reseptor adenosin, dan (f) penghambatan pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit. i. Kostikosteroid digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). j. Antibiotik hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003): Lini I : Amoksisilin Makrolid Lini II : Amoksisilin dan Asam Klavulanat Sefalosporin Kuinolon Makrolid baru Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih Amoksilin dan klavulanat; Sefalosporin generasi II & III injeksi; Kuinolon per oral atau dapat ditambah dengan yang anti pseudomonas; Aminoglikose per injeksi; Kuinolon per injeksi; atau Sefalosporin generasi IV per injeksi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
k. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Dua obat antioksidan yang paling banyak dipelajari untuk PPOK adalah N-acetylcysteine dan carbocysteine. N-Acetylcysteine adalah prekursor Lsistein dan glutathione yang berkurang, yang mengurangi tingkat stres oksidatif sel dan produksi spesies oksigen reaktif. N-Acetylcysteine juga mengurangi ikatan disulfida dan ikatan sulfhidril yang menghubungkan bersama polimer mucin, sehingga mengurangi viskositas sputum (Kim, V. dan Criner, G.J., 2013). l. Mukolitik dan Antitusif Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Pemberian antitusif harus dilakukan dengan hati-hati (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 3. Terapi oksigen Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen yaitu untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktiviti, mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri dan meningkatkan kualiti hidup. Terapi oksigen diindikasikan untuk Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90% dan Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P.pullmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 4. Ventilasi mekanik Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 5. Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi
akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). 6. Rehabilitasi Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai simptom pernapasan berat; beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan kualiti hidup yang menurun (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
Gambar 4. Tahapan Terapi COPD (Alldredge, B.K., dkk, 2013) Terapi Non Farmakologi 1. Berhenti Merokok Komponen utama pengelolaan PPOK adalah penghindaran atau pengurangan risiko terhadap faktor risiko. Paparan asap tembakau lingkungan merupakan faktor risiko utama, dan penghentian merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko pengembangan PPOK dan memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit. Efektivitas biaya intervensi merokok lebih baik dibandingkan intervensi yang dibuat untuk penyakit kronis utama lainnya. Penghentian merokok menyebabkan
penurunan simtomatologi dan memperlambat laju penurunan fungsi paru bahkan setelah kelainan signifikan pada tes fungsi paru telah terdeteksi (FEV1:FVC <60%). Penghentian merokok adalah satu-satunya intervensi, terbukti mempengaruhi penurunan jangka panjang dalam FEV1 dan memperlambat perkembangan PPOK. Perokok yang menjalani intervensi merokok memiliki lebih sedikit gejala pernafasan dan penurunan FEV1 tahunan yang lebih kecil dibandingkan dengan perokok yang tidak memiliki intervensi. Pasien intervensi memiliki tingkat kematian yang lebih rendah sebagai konsekuensi
penyakit
arteri
koroner
(penyebab
utama
kematian),
penyakit
kardiovaskular, dan kanker paru-paru (Dipiro, J.T., 2008).
Gambar 7. 5 Tahap Program Berhenti Merokok 2. Imunisasi Vaksin dapat dianggap sebagai agen farmakologis; Namun, peran mereka dijelaskan di sini untuk mengurangi faktor risiko eksaserbasi PPOK. Influenza adalah komplikasi umum pada PPOK yang dapat menyebabkan eksaserbasi dan gagal napas. Menurut pedoman GOLD dan jika tidak ada kontraindikasi, pasien dengan PPOK berisiko mengalami morbiditas dan mortalitas yang meningkat jika mereka mengalami salah satu dari komplikasi infeksi. Individu dengan risiko terbesar untuk morbiditas dan mortalitas signifikan dari pneumonia influenza adalah mereka yang menderita penyakit kronis, termasuk penyakit paru-paru. Secara optimal, vaksin influenza harus diberikan antara bulan Oktober dan Januari. Hal ini memungkinkan respon antibodi yang memadai sebelum musim influenza puncak, yang biasanya terjadi pada kuartal pertama tahun ini. Imunisasi tahunan diperlukan untuk memastikan perlindungan antibodi yang memadai terhadap virus influenza dan efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas dari influenza (Dipiro, J.T., et al., 2008; Alldredge, B.K., dkk., 2013).
III. ALAT DAN BAHAN Alat : 1. Form SOAP. 2. Form Medication Record. 3. Catatan Minum Obat. 4. Kalkulator Scientific. 5. Laptop dan koneksi internet. Bahan : 1. Text Book 2. Data nilai normal laboraturium. 3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis). IV. KASUS Pasien NMA, MRS 30 Januari 2017 didiagnosa PPOK dengan riwayat penyakit bronkitis. Pasien mengeluh sesak napas 3 hari yang lalu, nyeri dada (-), mual (-), muntah (-), demam (-), batuk (+), TD 136/95, suhu 36 0C, HR 113 x/minute, RR: 26 x/minute, saturasi O2 86%, pemeriksaan thorax: kardiomegali ringan, bronkitis dengan infeksi sekunder, aorta aterosklerosis. Hasil pemeriksaan hematologi adalah sebagai berikut. Eritrosit: 4,47; Hb: 13,9; Hematrocit: 42%; Wbc : 220; Segmented neutropil: 84,5; Lympocyte: 10%; Blood ureum: 25,60; Blood creatinine: 0,33; Sodium: 142; Potassium: 4; Chloride: 102. Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut. 1.
Infus RL 500 ml/24 jam
2.
Drip aminophylline 151 mg/jam
3.
Methylpred inj 2 x 125 mg (stop 30/1/17) – 2 x 62,5 (31/1/17)
4.
Methypred tab (2 x 16 mg)
5.
Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp)
6.
Bisolvon (setiap 4 jam 20 tetes ) stop 1/2/17
7.
Ceftriaxone inj 2 x 1 gram (ketika di UGD)
8.
Curcuma tab 3 x 1
9.
Paracetamol inj 3 x 1 gram (prn)
10. Fluimucil 600 mg tab 2 x 1
11. Omeprazole inj 1 x 40 mg 12. Flixotide resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp) 13. Euphilin mite tab (2 x 125mg) 14. Inpepsa syr (3 x 15 ml) 15. Azithromycin tab 1 x 500 mg (di ruang rawat start 31 Janurari 2017)
V. HASIL PRAKTIKUM 1. FORM SOAP PHARMACEUTICAL CARE PATIENT PROFILE Tn. / Ny. NMA Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl. MRS : 30 Januari 2017
Usia
Tgl. KRS :
: 60 tahun
Tinggi badan : 155 cm Berat badan
: 65 kg
Presenting Complaint Sesak napas 3 hari lalu, dan batuk Diagnosa kerja
:
Diagnosa banding
: PPOK, Cardiomegali ringan, Bronchitis dengan infeksi sekunder,
aorta atherosclerosis Relevant Past Medical History: Riwayat Penyakit: Bronchitis Drug Allergies: -
Tanda-tanda Vital Tekanan darah Nadi Suhu RR
30 Januari 2017 136/95 mmHg 113 x /menit 36oC 26 x/menit
Medication No.
Nama Obat
Indikasi Dosis yang Dosis Terapi digunakan (literatur) LABORATORY TEST 1 Infus RL Test (normal Cairan elektrolit 500 ml/24 jam 30 Januari 2017 range) Drip 2Leukosit (4000-10000/mm Obat 151 mg/jam 6-7220 mg/kg IV 3 ) sesak Aminophyline Methyl 30mg 13,9IV tiap 12 3Hb (L: 13-17 g/dL) Antiinflamasi 2 x 125 mg prednisoln jam selama 5 hari Eritrosit (4,5 – 5,5inj(x1012/L)) 4,47 Methyl 8 mg PO AC, 4mg 42% 4Hct (L:40-54%) Antiinflamasi 2 x 16 mg prednisolon tab PC mg/dL) 25,6 5BUN (10-24 Combivent resp Obat sesak 1 resp x 4 jam 3 ml tiap 6 jam Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl)Obat sesak dan 0,33 6 Bisolvon 20 tetes x 4 jam 8 mg 2 x sehari Natrium (135-15 mEq/L)mukolitik 142 7Kalium Ceftriaxone inj Antibiotik 2 x 1 gram 1-2 (3,5-5,0 mEq/L) 4gram/hari Suplemen neutrofil 84,5 8Segmen Curcuma tab 3 x 1 tab 500 mg makanan Limfosit 10% 1,25 mg/kg IV 9Klorida Paracetamol inj Antipiretik 3 x 1 gram 102 4 x sehari setiap 10 Fluimucil tab Mukolitik 2 x 600 mg 11 Omeprazole inj Asam lambung 1 x 40 mg 20-40 mg/hari Further Information Required Alasan 500-2000 mcg2x Jawaban No 12 Flixotide resp Obat sesak 1 resp x 4 jam seharidan 65 tahun, 155cm, 65 kg, Berapa usia pasien, jenis kelamin, Melengkapi data pasien Euphiline mite 4,8- pada 7,2 mg/kg POPerempuan 1 tinggi badan, berat badanObat pasien ? mengetahui resiko 13 sesak 2 x 125faktor mg tab setiap 12 jam pasien 14 Inpepsa lambung 3 x 15 ml Apakah pasiensirup memilikiObat riwayat Mengetahui hubungan - genetik Tidak ada Azithromicin 2 15 keluarga yang mengalami antibiotik dalam penentuan 1 x 500 mgresiko 1 x 500 mg PPOKtab ? Bekerja di sebuah Bar Mengetahui etiologi dan factor 3 Apakah pekerjaan pasien ? diruang terbuka dekat resiko pantai Apakah pasien merokok atau Mengetahui etiologi, faktor resiko Tidak 4 berada dilingkungan dengan asap dan penentuan terapi non rokok ? farmakologi Apakah riwayat penyakit bronkitis pasien sudah tertangani ? Jika sudah, apakah Mengetahui riwayat pengobatan 5 pasien ada mengkonsumsi obat dan penetuan penatalaksaan terapi Belum pernah diobati utk bronkitis? Obat apa saja yang pasien dikonsumsi serta dosis yang digunakan ? 6
Berapa nilai VEP pasien?
Mengetahui klasifikasi PPOK
7
Apakah ada riwayat penyakit lain Menentukan ketepatan terapi selain bronchitis ?
Problem List (Actual Problem) Medical
Pharmaceutical
65% Tidak ada
1 PPOK
1
2 Saturasi Oksigen
2
3 Cardiomegali Ringan 4 Bronchitis dengan infeksi sekunder 5 Aorta atherosklerosis 6 Nyeri Ulu Hati 7 Hipertensi
3 4 5 6 7
C1 Pemilihan obat C1.5 Duplikasi dari kelompok terapetik atau bahan aktif yang sesuai. P1 efektivitas terapi P1.3 gejala atau indikasi yang diobati P1 efektivitas terapi P1.3 gejala atau indikasi yang diobati P1 efektivitas terapi P1.3 gejala atau indikasi yang diobati
tidak tidak
tidak
tidak
PHARMACEUTICAL PROBLEM Subjective (symptom) Sesak napas 3 hari lalu, batuk (3 bulan terakhir berdahak), nyeri (-), mual (-) tetapi akan mual jika mengalami stress, muntah (-) Objective (signs) Tanda-tanda Vital Tekanan darah Nadi Suhu RR
30 Januari 2017 136/95 mmHg 113 x /menit 36oC 26 x/menit
LABORATORY TEST Test (normal range) 30 Januari 2017 3 Leukosit (4000-10000/mm ) 220 Hb (L: 13-17 g/dL) 13,9 Eritrosit (4,5 – 5,5 (x1012/L)) 4,47 Hct (L:40-54%) 42% BUN (10-24 mg/dL) 25,6 Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl) 0,33 Natrium (135-15 mEq/L) 142 Kalium (3,5-5,0 mEq/L) 4 Segmen neutrofil 84,5 Limfosit 10% Klorida 102
Assesment (with evidence) Problem Medik Saturasi Oksigen
PPOK
Aorta atherosklerosis Hipertensi bronkitis dengan infeksi sekunder
Nyeri ulu hati
Treatment Belum diberikan Treatment
DRP P1.3 gejala atau indikasi yang tidak diobati Methylpred inj 2 x 125 mg (stop P1.5 Duplikasi dari kelompok 30/1/17) – 2 x 62,5 (31/1/17) terapetik atau bahan aktif yang Methypred tab (2 x 16 mg) tidak sesuai. Euphilin mite tab (2 x 125mg) P1.5 Duplikasi dari kelompok dan Drip aminophylline 151 terapetik atau bahan aktif yang tidak sesuai. mg/jam Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam Tidak ada DRP 1 resp) Bisolvon (setiap 4 jam 20 tetes ) Tidak ada DRP stop 1/2/17 Fluimucil 600 mg tab 2 x 1 Tidak ada DRP Flixotide resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam Tidak ada DRP 1 resp) P1 efektivitas terapi Tidak diberikan Treatment P1.3 gejala atau indikasi yang tidak diobati P1 efektivitas terapi Belum Diberikan Treatment P1.3 gejala atau indikasi yang tidak diobati Ceftriaxone inj 2 x 1 gram (ketika di UGD) Azithromycin tab 1 x 500 mg Tidak ada DRP (di ruang rawat start 31 Janurari 2017 Omeprazole inj 1 x 40 mg Tidak ada DRP Inpepsa syr (3 x 15 ml) Paracetamol inj 3 x 1 gram (prn) Curcuma tab 3 x 1
Plan (including primary care implications) Problem Medik Saturasi Oksigen
PPOK
Planning Treatment
Terapi oksigen - Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp) - Methypred tab (2 x 16 mg) - ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram ketika di UGD - fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 2-3 kali sehati setiap 8 jam. - N-acetylcysteine dengan dosis 600 mg/hari diberikan 2-3 kali setiap 8 jam.
Aorta atherosclerosis Hipertensi bronkitis dengan infeksi sekunder
Nyeri ulu hati
antiplatelet (clopidogrel 1 simvastatin (1x20 mg) Amlodipin 5 mg 1 x sehari
x
mg)
dan
Ceftriaxone inj 2 x 1 gram (ketika di UGD) Azithromycin tab 1 x 500 mg (di ruang rawat start 31 Janurari 2017 Omeprazole inj 1 x 40 mg Inpepsa syr (3 x 15 ml) Paracetamol inj 3 x 1 gram (prn)
Terapi Non Farmakologi Imunisasi influenza setiap setahun sekali. Monitoring Efektivitas Efektifitas obat dapat dilihat dari keadaan pasien antara lain: VEP dan saturasi oksigen meningkat Nyeri ulu hati membaik Tekanan darah terkontrol Aorta aetrosklerosis tertangani (LDL, HDL dan TG) Batuk dan sesak berkurang
75
Efek Samping Obat Aminopiline : diare, mual dan muntah Combivent resp: sakit kepala, diare, mual, rhinitis Fluimucil tab: bronkokontriksi, bronkospasm, mual Ceftriaxone inj: diare dan rash Azithromycin: diare dan mual Amlodipin : sakit kepala Simvastatin: konstipasi Clopidogrel: diare, rash, rhinitis
VI.
PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini, dilakukan penyelesaian kasus terkait penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK). Pada kasus ini, dilakukan penyelesaian menggunakan metode SOAP. Adapun pasien dari kasus ini adalah Ny. NMA, masuk rumah sakit pada tanggal 30 januari 2017 dan didiagnosa PPOK dengan riwayat penyakit bronchitis. Pasien mengeluh sesak nafas 3 hari yang lalu, nyeri dada(-), mual (-), muntah (-), demam (-), batuk (+). Tanda objektif yang ditunjukkan seperti tekanan darah 136/95, suhu tubuh 36˚C, HR 113x/minute, RR 26x/minute, saturasi O2 86%, pemeriksaan thorax : cardiomegaly ringan, bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta atherosclerosis. Hasil pemeriksaan hematologi sebagai berikut: Eritrosit 4,47; Hb 13,9; Hematrocit 42%; Wbc 220; segmented neutropil 84,5; Lympocyte 10 %; Blood ureum 25,60; Blood creatinine 0,33; sodium 142; potassium 4; Chloride 102. Berdasarkan masalah kesehatan yang dialami Ny. NMA, dilakukan assesment sehingga dapat diketahui bahwa terkait terapi pengobatan yang kemudian disesuaikan dengan penyakit yang dialami pasien terdapat beberapa masalah sebagai berikut. -
Pasien mengalami Hipertensi Stage I, ditunjukkan dengan tekanan darah Ny. NMA adalah 136/95 mmHg. Menurut JNC 7, pasien dengan SBP (140-159) dan (DBP 90-
-
99) termasuk ke dalam hipertensi stage I. Pada hasil pemeriksaan foto thorax masien mengalami cardiomegaly ringan,
-
bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta artherosclerosis. Pasien mengalami PPOK stage ringan yang ditunjukkan dengan nilai VEP 65%. Pasien memerlukan terapi oksigen karena saturasi oksigen sebesar 86%.
Berdasarkan assesement yang dilakukan, maka terapi pengobatan yang dapat disusun dalam Planning Therapy Ny. NMA adalah sebagai berikut. 1. Terapi Oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen jangka panjang (> 15 jam perhari) pada pasien dengan gagal nafas kronik menunjukkan peningkatan kelangasungan hidup. (Evidence B). Terapi oksigen jangka panjang diindikasikan untuk pasien :
PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88 % dengan atau tanpa hiperkapnia yang dikonfimasi 2 kali dalam periode 3 minggu (Evidence B)
PaO2 diantara 7,3 kPa (55 mmHg) dan 8.0 kPa (60 mmHg) atau SaO2 88 % , disertai dengan hipertensi pulmonal, edema perifer yang menunjukkan gagal jantung, atau polisitemia (Hematokrit > 55 %) (Evidence D)
Keputusan dalam pemberian terapi oksigen jangka panjang harus berdasarkan pada PaO2 atau saturasi pada saat istirahat lebih kurang 2 kali selama periode 3 minggu pada pasien yang stabil. 2. Pemberian Antihipertensi Peningkatan tekanan darah systole maupun diastole, merangsang peningkatan resiko artherosclerosis, resiko ini meningkat sejalan dengan derajat keparahan hpertensi. Aterosklerosis adalah suatu perubahan yang terjadi pada dinding arteri yang ditandai dengan akumulasi lipid ekstra sel, rekrutmen dan akumulasi leukosit, pembentukan sel busa, migrasi dan proliferasi miosit, deposit matrik ekstra sel (misalnya: kolagen, kalsium), yang diakibatkan oleh multifaktor berbagai patogenesis yang bersifat kronik progresif, fokal atau difus serta memiliki manifestasi akut ataupun kronik yang menimbulkan penebalan dan kekakuan pada pembuluh arteri. Penebalan pada dinding arteri inilah yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. Diketahui pasien memiliki tekanan darah 136/95 mmHg, menunjukkan bahwa tekanan darah pasien berada diatas normal yakni 120/80 mmHg (WHO, 2011). Pada pilihan terapi
yang dianjurkan untyk menangani tekanan darah pasien dianjurkan Amlodipin 5 mg 1 x sehari. 3. Pengobatan PPOK a. Bronkodilator
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. Pada kasus ini pasien diberikan combivent resp (setiap 4 jam 100-200 mcg) atau maksimum penggunaa setiap 6 jam untuk 1 resp untuk mencapai efek yang lebih cepat.
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, pemberian antiinflamasi berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. Saat pasien berada di UGD diberikan methylprednisolon injeksi 2 x 125 mg, sedangkan untuk pengobatan di rumah pasien diberikan methylprednisolon tablet dengan dosis tab 2 x 16 mg.
Antibiotika
Antibiotik harus diberikan pada pasien eksaserbasi dengan tiga gejala cardinal yaitu meningkatnya rasa sesak nafas, volume dahak, dan perubahan dahak menjadi purulen; memiliki 2 tanda cardinal jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah satunya; atau memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau noninvasive). Pemberian antibiotik diberikan selama 5-10 hari. Pilihan jenis antibiotic tergantung dari pola resistensi bakteri setempat. Terapi antibiotic empiris biasa menggunakan aminopenisilin dengan atau tanpa asam klavulanat, golongan makrolida, atau tetrasiklin. Kultur dahak diperlukan pada pasien yang sering mengalami eksaserbasi dan pengobatan tidak berhasil dengan antibiotic empiris. Pada kasus ini pilihan terapi antibiotic yang digunakan adalah golongan sefalosporin yaitu ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram ketika di UGD.
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan
sebagai pemberian yang rutin. untuk terapi pasien diberikan fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 2-3 kali sehati setiap 8 jam.
Mukolitik Penggunaan mukolitik pada pasien COPD menunjukkan hasil yang bervariasi.
Walaupun beberapa pasien dengan sputum yang kental menunjukkan efek yang menguntungkan dengan mukoliti, namun secara keseluruhan keuntungannya hanya sedikit sehingga penggunaannya secara luas tidak dapat direkomendasikan (Evidence D). Obat-obat seperti N-acetylsistein dan carbocystein menunjukkan peran dalam pengobatan COPD eksaserbasi dan dapat mengurangi eksaserbasi pada pasien COPD yang tidak mendapat kortikosteroid inhalasi (Evidence B). Untuk menangani bronchitis yang dialami oleh pasien diberikan N-acetylcysteine dengan dosis 600 mg/hari diberikan 2-3 kali setiap 8 jam. Untuk pencegahan, pemberikan vaksinasi untuk influenza dan pneumococcus setiap tahun perlu
dilakukan
karena
dapat
mengurangi
eksaerbasi
dan
meningkatkan
kualiti
hidup.Vaksinasi influenza dapat menurunkan infeksi yang berat seperti infeksi saluran nafas bagian bawah dan kematian pada pasien COPD (Evidence A). GOlD Vaksin Pneumokokus direkomendasikan pada pasien yang berumur diatas 65 tahun atau dibawah 65 tahun dengan VEP1 < 40 % atau dengan penyakit komorbid seperti penyakit jantung. Selain tatalaksana farmakologi dengan obat-obatan perlu adanya tatalaksana non farmakologi untuk mendukung keberhasilan terapi pada pasien PPOK seperti. a. Edukasi untuk pasien. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. b. Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. c. Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai : -
Simptom pernapasan berat.
-
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat.
-
Kualiti hidup yang menurun.
VII. KESIMPULAN Ny. NMA usia 65 tahun dengan berat badan 65 kg, tinggi badan 155 cm masuk rumah sakit pada tanggal 30 januari 2017 dan didiagnosa PPOK dengan riwayat penyakit bronchitis. Pasien mengeluh sesak nafas 3 hari yang lalu yang disertai batuk. Pada pemeriksaan Objektif tekanan darah 136/95, suhu tubuh 36˚C, HR 113x/minute, RR 26x/minute, saturasi O2 86%, pemeriksaan thorax : cardiomegaly ringan, bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta atherosclerosis. Hasil pemeriksaan hematologi sebagai berikut: Eritrosit 4,47; Hb 13,9; Hematrocit 42%; Wbc 220; segmented neutropil 84,5; Lympocyte 10 %; Blood ureum 25,60; Blood creatinine 0,33; sodium 142; potassium 4; Chloride 102. Dari hasil pemeriksaan, pasien menderita beberapa penyakit : 1. Hipertensi : TD : 136/95 mmHg 2. Pada hasil pemeriksaan foto thorax pasien mengalami cardiomegaly ringan, bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta artherosclerosis. 3. PPOK stage ringan yang ditunjukkan dengan nilai VEP 65% serta saturasi oksigen sebesar 86%. Dari data diatas terapi farmakologi yang diberikan sebagai berikut : 1. Hipertensi stage 1, Ny. NMA di anjurkan untuk mengkonsumsi amlodipine 5 mg 1x1 2. Cardiomegaly ringan, bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta artherosclerosis
Pemberian Antibiotik diberikan ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram dan Apabila ketika pasien sudah keluar dari rumah sakit masih terjadinya infeksi maka diberikan antibiotik golongan penicillin yaitu amoxicillin 3x1 selama 5 hari. 3. PPOK stage ringan Ny. NMA diberikan : 1. Terapi Oksigen 2. Bronkodilator Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2 yaitu pemberian combivent resp (setiap 4 jam 100-200 mcg) atau maksimum penggunaa setiap 6 jam untuk 1 resp untuk mencapai efek yang lebih cepat. 3. Antiinflamasi Pada saat di UGD pasien diberikan methylprednisolon injeksi 2 x 125 mg, dan jika masih ada inflamasi pasien tetap diberikan methylprednisolone 4 mg 3x1 saat pasien di rumah. 4. Antioksidan Pasien diberikan fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 2-3 kali sehati setiap 8 jam untuk terapi mukolitik pada pasien. Adapun terapi non farmakologi yaitu : 1. Edukasi Memberikan informasi kepada pasien untuk mengurangi aktifitas yang berat serta memberikan semganat hidup agar kualitas hidup pasien terjamin dengan baik. 2. Nutrisi Pemberian nutrisi yang cukup dengn gizi seimbang 3. Rehabilitasi rehabilitasi diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup pasien. 4. Imunisasi influenza setiap setahun sekali.
DAFTAR PUSTAKA Brashier, B.B dan Kodgule, R., 2012. Risk Factors and Pathophysiology of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Supplement To Japi. February 2012, Volume 60. Avaiable at: http://www.japi.org/february_2012_special_issue_copd/04_risk_factors_and.pdf “diakses 18 November 2017” Dipiro, J.T., et al. 2008. Pharmacotheraphy : A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. Global Intiaive. 2017. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease : Pocket Guide To Copd Diagnosis, Management, And Prevention. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Inc. Kim, V. dan Criner, G.J., 2013. Chronic Bronchitis and Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Am J Respir Crit Care Med Vol 187, Iss. 3, pp 228–237, Feb 1, 2013. American Thoracic Society. Avaiable at : http://www.atsjournals.org/doi/pdf/10.1164/rccm.2012101843CI “diakses 25 November 2017” MacNee, W. 2006. ABC of chronic obstructive pulmonary disease Pathology, pathogenesis, and pathophysiology. BMJ Volume 332, 20 May 2006. Avaiable at : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1463976/ “diakses 5 November 2017” Mosenifar, Z. 2017. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Los Angeles: University California. Avaiable at : https://emedicine.medscape.com/article/297664overview#a3 “diakses 5 November 2017”
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Avaiable at : http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf “diakses 5 November 2017”