Indikasi “Do Not Resuscitate” Keputusan untuk menulis perintah DNR harus didasarkan pada dua pertimbangan penting. Yang pertama adalah penilaian bahwa RJP akan sangat tidak mungkin untuk berhasil dalam memulihkan irama jantung kembali ke normal. Kedua didasarkan pada preferensi pasien, seperti yang diungkapkan oleh salah satu pasien atau pengganti. Preferensi pasien seringkali mencerminkan penilaian mereka sendiri terhadap kualitas hidup sendiri. Kedua aspek harus dinilai dalam setiap keputusan untuk menulis perintah DNR. Semua orang yang menderita henti kardiorespirasi tak terduga (cardiac arrest) harus dilakukan RJP namun dapat dikecualikan dalam beberapa kondisi tertentu. Perintah DNR dapat diberikan dengan beberapa pertimbangan tertentu yaitu: 1. Pasien memiliki perintah DNR. 2. Pasien yang sudah meninggal dunia saat dibawa ke rumah sakit (Dead on Arrival) dipastikan dengan timbulnya tanda-tanda kematian seperti lebam mayat. 3. Pasien demensia stadium lanjut dan sedang dimana RJP bermaksud untuk mencegah kematian dini dan tidak sesuai untuk seseorang yang sudah mengalami gejala penuaan lanjut. (Ismail M.F, Hashi A, Nurumal M.S et al, Islamic Moral Judgement on Resuscitation Issue, IMJM; 17(2) 4. Pasien sudah tidak mempunyai harapan hidup walaupun keadaan umum pasien masih sadar, misalnya pada kasus pasien kanker stadium lanjut yang sudah dalam kondisi kronis. Perintah DNR dapat diberikan apabila terdapat bukti ilmiah yang mengata bahwa tidak terdapat sebarang manfaat yang diharapkan karena fungsi vital pasien sudah memburuk sehingga meskipun RJP diberikan. (Hiberman M, Kutner J, Parsons D, et al, Marginally effective medical care: ethical analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation. Jurn of Med Ethics. Colorado; 1997: 23.hal. 361-367) 5. Pasien dengan stroke persisten (lebih dua puluh empat jam) dibuktikan secara klinis dengan adanya deficit neurologis, ditandai dengan gejala awal penurunan kesadaran. 6. Pasien dengan kerusakan otak yang mengancam nyawa termasuk pasien dengan kompresi batang otak disebabkan perdarahan intraserebral yang luas. Biasanya perdarah disertai dengan infark hemisfer luas atau lesi serebral. (Fang SY, Wang YW, Lin IM, Allow natural death versus do-not-resuscitate: titles, information contents, outcomes, and the considerations related to do-not-resuscitate decision, BMC Palliative Care; 2018: 17(14).)
1
7. Pasien AIDS stadium lanjut dimana henti kardiorespirasi tak terduga (cardiac arrest) merupakan komplikasi terakhir sehingga tindakan RJP tidak lagi dapat membantu memulihkan keadaan pasien. . (Hiberman M, Kutner J, Parsons D, et al, Marginally effective medical care: ethical analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation. Jurn of Med Ethics. Colorado; 1997: 23.hal. 361-367)
Kontraindikasi “Do Not Resuscitate” Permintaan DNR sepihak Hal ini didapatkan dari persetujuan dari pasien atau wali pasien untuk tidak dilakukan RJP. Namun, ahli etika medis memberikan beberapa pertanyaan, apakah pernah secara etis dapat diterima oleh seorang dokter untuk membuat keputusan sepihak, yaitu keputusan untuk tidak melakukan resusitasi tanpa persetujuan dari pasien atau wali pasien. Mereka yang mendukung keputusan sepihak berpendapat bahwa penilaian medis untuk tidak melakukan RJP bukan indikasi medis ketika akan memberikan probabilitas yang sia-sia atau memberikan hasil yang tidak banyak bermanfaat (Ardagh M. Futility has no utility in resuscitation medicine. Journal of
Medical Ethics 2000;26;396-399). Mereka yang menolak keputusan sepihak mempertahankan bahwa pasien harus selalu memiliki hak untuk menolak atau memilih RJP, Karena keputusan tentang tujuan pengobatan, dan kemungkinan diterima untuk mencapai tujuan tersebut adalah pertimbangan nilai yang hanya dapat dibuat oleh pasien tersebut. (P Biegler. Should patient consent be required to write a do not resuscitate order? J Med Ethics 2003;29:359–363) Tergantung pada tujuan bahkan kesempatan terkecil untuk keberhasilan resusitasi kepada pasien. Para kritikus juga mencatat bahwa ada kekurangan kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan "sia-sia" dan bahwa dokter tidak konsisten dalam aplikasi mereka dalam konsep kesia-siaan. Akhirnya, mereka juga memperingatkan bahwa keputusan sepihak terbuka bagi minoritas biasa terhadap resiko ras dan pasien lain yang mungkin mengalami diskriminasi.
2
Kriteria Pasien Kompeten dan tidak kompeten mengambil keputusan DNR
Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten dalam mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau oleh surrogate decision-maker. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal DNR dengan pasien/walinya:
a. Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau R hanya menunda proses kematian yang alami b. Pasien tidak sadar secara permanen c. Pasien berada pada kondisi terminal d. Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan
Berikut merupakan kriteria bagi pasien yang dianggap kompeten dan tidak kompeten dalam memberikan perintah DNR serta pihak lain yang dapat mengambil keputusan (pada pasien yang tidak kompeten):
a. Kriteria pasien kompeten 1. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa yang telah berusia lebih dari 18 tahun, yang memikili kapasitas yang adekuat untuk membuat keputusan dan memiliki kesadaran untuk menanggung resiko dari keputusan yang dibuat. 2. Pasien yang kompeten dengan sadar membuat keputusan untuk melakukan DNR setelah mendengarkan penjelasan tentang segala hal yang berhubungan dengan tindakan tersebut dan konsekuensinya. (Berlin L. Do Not Resuscitate Malpractice Issues in Radiology, AJR:175, December 2000) 3. Jika pasien memang kompeten untuk mengambil keputusan tersebut maka persetujuan keluarga, petugas medis, atau keputusan lainnya tidak dibutuhkan untuk membuat keputusan. Adanya ketidaksetujuan dari keluarga tidak dapat membatalkan keputusan yang diambil oleh pasien yang kompeten.
3
b. Kriteria pasien tidak kompeten 1. Seorang pasien yang tidak kompeten adalah pasien yang berusia dibawah 18 tahun, dan atau
memiliki
retardasi
mental
sehingga
tidak
dapat
memutuskan
atau
mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil terkait DNR. 2. Ketika menangani pasien yang tidak berkompeten, seorang dokter perlu memikirkan keputusan medis seperti apa yang sekiranya tidak akan efektif jika diberikan untuk mengantisipasi adanya keinginan pasien membuat pernyataan DNR. 3. Pada pasien yang tidak kompeten, yang lebih penting untuk dipikirkan oleh seorang dokter adalah bahwa tindakan permintaan DNR tidak dapat disetujui oleh dokter yang merawat. Dikarenakan hal tersebut, dokter harus berdiskusi dengan keluarga pasien untuk mengambil keputusan yang menyangkut keinginan pasien. 4. Jika pasien mengikuti suatu asuransi, maka dokter yang merawat harus mengikuti keputusan yang sudah dimiliki oleh asuransi tempat pasien ikut. Dokter yang merawat perlu mendiskusikan keaadaan pasien dengan dokter perusahaan yang dimiliki oleh pihak asuransi pasien. 5. Jika pasien memiliki pelindung yang ditunjuk, dokter harus mengikuti keputusan yang diambil oleh pelindung pasien. Dokter harus mendiskusikan keadaanpasien dengan pelindung yang memiliki otoritas terhadap perawatan medis pasien. Dokumen yang berhubungan dengan hubungan pasien dan pelindung harus disertakan dlaam rekam medis pasien. 6. Seorang dokter tidak dibenarkan secara etik untuk mempertahankan atau mengambil keputusan terhadap intervensi yang menyangkut pilihan hidup pasien. Jika pandangan dokter secara medis berbeda dengan pihak pasien maka keluarga, wali yang ditunjuk, ataupun pelindung pasien berhak mencari pandangan lain tentang keadaan pasien pada dokter lainnya. Jika hal ini terjadi, maka dokter yang merawat pasien harus memberikan tanggungjawab merawat pasien pada dokter yang dipercaya oleh keluarga untuk merawat pasien. c. Wali/Pengampu dari Pengambil Keputusan (Surrogate Decision Makers) Ketika seorang pasien telah kehilangan kapasitas untuk membuat keputusan medis, maka saudara dekat atau temannya dapat menjadi wali/pengampu dalam membuat keputusan pengganti bagi pasien. Banyak Negara mempunyai hukum yang menunjuk wali/pengampu pengganti hukum pembuat keputusan melalui kuasa hukum perawatan kesehatan untuk waktu 4
yang lama (durable power of attorney for health care). Adapun urutan prioritas pembuat keputusan untuk wali yang ditunjuk adalah sebagai berikut: 1. Pasangannya 2. Anak dewasa 3. Orang tua 4. Saudara kandung 5. Orang yang dipilih pasien sebagai wali pengganti apabila pasien nanti dalam keadaan inkapasitas 6. Perawat kesehatan yang profesional yang ditunjuk oleh hukum. Pengganti atau wali/ pengampu harus membuat keputusan yang sesuai dengan keinginan pasien pada saat pasien tidak mempunyai kapasitas dalam mengambil keputusan. Jika keinginan pasien tidak diketahui maka keputusan yang diambil harus berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk pasien. (Part 2: Ethical Issues. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Journal of American Heart Association Circulation 2005;112;IV-6-IV-11) Anak-anak harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pada tingkat yang sesuai dengan kedewasaan dan sebaiknya ditanya tentang persetujuan perawatan kesehatan pasien ketika dia mampu melakukannya. Di banyak negara berapa usia yang pantas untuk diminta mengambil keputusan ini berbeda-beda. Jika terdapat konflik antara orang tua dan anak dalam mengambil keputusan maka setiap upaya harus dilakukan untuk menyelesaikan konflik.
5
6