LAPORAN KASUS BESAR PERITONITIS ET CAUSA PERFORASI APPENDICITIS
Penyusun : Qorry Amanda, dr. Pembimbing : Dadi Garnadi, dr. Sp.B Pendamping: Any Rusydiani, dr.
PROGRAM DOKTER INTERNSIP RSUD BATANG 2016 1
BORANG PORTOFOLIO
NamaPeserta
: Qorry Amanda, dr.
NamaWahana
: RSUD Batang
Topik :PERITONITIS TanggalKasus : Januari 2016 NamaPasien :Sdr. F.
No RM : 342345
TanggalPresentasi: 29-06-2016
Nama Pembimbing: Dadi Garnadi, dr. Sp.B. NamaPendamping : Any Rusydiani, dr.
TempatPresentasi : Ruang Komite Medik RSUD Batang ObyektifPresentasi : √ Keilmuan
Ketrampilan
Penyegaran
√ TinjauanPustaka
√ Diagnostik
√ Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
√Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi : Tujuan : diagnosis, manajemen, prevensi Bahan Bahasan :
√ TinjauanPustaka
Cara Pembahasan : Diskusi
Riset
Kasus
√ Presentasi dan diskusi Email
Audit Pos
2
BAB I LAPORAN KASUS I.
IDENTITAS PASIEN A. Nama: Sdr. F.H. B. Usia: 17 tahun C. Jenis Kelamin: Laki-laki D. Agama: Islam E. Pekerjaan: Siswa F. Alamat: Pungangan RT 02 RW 02 Limpung G. No. CM: 342345 H. Tanggal Masuk RS: 26-1-2016 pukul 13.55 WIB I. Cara Pembayaran: KIS
II.
ANAMNESIS A. Keluhan Utama: Nyeri Perut B. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke IGD RSUD Batang diantar kedua orangtuanya dengan keluhan nyeri perut hebat sambil membawa rujukan hasil pemeriksaan laboratorium puskesmas. Nyeri perut dirasakan pertama kali sekitar 7 hari SMRS terasa seperti sakit maag. Nyeri pertama kali dirasa di sekitar ulu hati hingga pusar, terasa perih tidak enak, disertai mual. Pasien kemudian memutuskan istirahat 1 hari dan tidak masuk sekolah sambil minum obat maag yang biasa dibeli di warung. Nyeri kemudian membaik pada hari kedua, dan sembuh pada hari ketiga. Pasien mengaku minum obat tersebut dari hari pertama hingga hari ketiga. 1 hari SMRS mulai maghrib pasien merasakan tidak enak dibagian perut kanan bawah yang semakin memberat dan meluas ke seluruh bagian perutnya. Pasien merasa sangat kesakitan, mual (+), muntah (+) 2 kali berupa sisa cairan dan makanan, serta mengalami demam sejak malam harinya. Demam dirasakan terus menerus disertai badan terasa sangat kedinginan dan agak menggigil. Pasien sudah minum obat penurun panas tetapi belum sepenuhnya merasa lebih baik seperti seda kala. Nyeri dan demam yang dirasakan pasien bertambah hebat sepanjang malam sehingga pasien memutuskan memeriksakan diri ke puskesmas terdekat pada pagi 3
harinya. Dari hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam keadaan demam dan sel darah putih yang sangat tinggi. Oleh dokter puskesmas kemudian pasien disarankan segera memeriksakan diri ke RS terdekat agar mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut dan pertolongan. Pasien masih bisa kentut (+), BAB terakhir 2 hari SMRS agak mencret, volume sedikit, warna kuning-kecoklatan, frekuensi 3-4 kali sehari, membaik sendiri tanpa obat. Adanya keluhan lain seperti gangguan berkemih, nyeri pinggang menjalar, berak darah atau kehitaman, nyeri kepala, sesak napas, mimisan, gusi berdarah, kejang, pingsan,ataupun benjolan di daerah perut atau selangkangan disangkal oleh pasien. C. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien memiliki riwayat gastritis atau maag yang sering kumat terutama bila telat makan dan makan terlalu pedas. Pasien tidak pernah menjalani rawat inap ataupun tindakan operatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Manapun. Riwayat penyakit berat seperti darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, ginjal, asma, dan alergi disangkal oleh keluarga pasien. D. Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat keluarga atau kerabat yang sedang nyeri perut disertai demam serupa dengan yang dialami pasien di lingkungan rumah disangkal. E. Riwayat Penyakit Sosial dan Lingkungan Pasien merupakan anak ke-2 dari 3 bersaudara, masih berstatus sebagai pelajar SMA, sehari-harinya belajar di sekolah dan tinggal rumah kedua orangtuanya. Riwayat sering makan makanan di luar sehari-harinya, sering mengonsumsi makanan pedas atau minuman berkafein/beralkohol, dan merokok disangkal. Pasien jarang mengonsumsi sayur-sayuran dan hanya dapat makan buah semangka dan jeruk.
III.
PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan di IGD, tanggal 26 Januari 2016 pukul 13.55: A. Status Generalis: 1. Keadaan Umum: Tampak lemas dan gelisah 4
2. Kesadaran: Composmentis; E4V5M6 3. Pemeriksaan Tanda Vital: Tekanan Darah: 110/70 mmHg Nadi: 110 kali per menit Respiration Rate: 26 kali per menit Suhu: 38 C 4. Pemeriksaan Kepala Bentuk: Mesocephal, Rambut: Warna hitam, tidak mudah dicabut Mata: Conjungtiva anemis -/- Sklera ikterik -/- Pupil isokor 2 mm / 2 mm reaktif +/+ THT: Napas cuping hidung -/- discharge -/- darah -/5. Cavum Oris: Bibir kering +, lidah typhoid (-), 6. Regio Colli: Struma (-), Limfadenopati (-), JVP tidak naik 7. Thorax Pulmo: Datar, Simetris statis dan dinamis, tidak nampak jejas, SDV +/+ Rhonki -/- Wheezing -/- Stridor -/8. Cor: Tampak ictus cordis, tak kuat angkat, S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-), ukuran jantung dalam batas normal 9. Abdomen: Cembung, Pulsasi maupun peristaltik tidak terlihat, Bising Usus (↓) pelan, hipertimpani, defence muscular (+), nyeri tekan (+) seluruh lapang abdomen 10. Ekstremitas: Hangat, nadi isi dan tegangan kuat, reguler, cepat, simetris kanan dan kiri ; capillary refill <2/<2, edem -/11. Genitourinaria: Laki-laki, dalam batas normal 12. Colok Dubur: tidak ada massa yang tampak dari luar, tonus kuat mencengkram, ampulla recti tidak kolaps, nyeri tekan di seluruh kuadran, prostat teraba ± 2.5 cm sulkus medianus prostat teraba, pole atas prostat tercapai, sisa feses sedikit pada handscoen, darah (-), sisa jaringan (-).
5
B. Status Neurologis: 1. Kesadaran kualitatif: composmentis 2. GCS: E4V5M6 3. Reflek fisiologis: +/+ 4. Reflek patologis: -/5. Tonus: normal/normal 6. Klonus: -/7. Kekuatan: 5/5 8. Sensorik: N/N 9. Kaku Kuduk: (-) 10. Rangsang Meningeal (-) IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium 26/01/2016 dari Puskesmas No.
Nama Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
1.
Hemoglobin (Hb)
16.2 g/dl
13 -16
2.
Leukosit
28.7 x 103 ul
4-10 x 103
3.
Trombosit
351.000 ul
150.000-400.000
4.
Eritrosit
5.620.000 uL
4.500.000 - 6.000.000
5.
Hematokrit
46.6%
40.0-58.0
6.
MCV
82.9 fl
82.0-92.0
7.
MCH
28.0 pg
27.0-31.0
8.
MCHC
34.3 g/dl
32.0-36.0
9.
Basofil
0.4
0-1
10.
Eosinofil
1.4
1-4
11.
Neutrofil Batang
26.9
3-5
12.
Neutrofil Segmen
93.5
15-70
13.
Limfosit
5.0
20-40
14.
Monosit
1.5
2-10
6
A. Laboratorium 26/01/2016 dari RSUD Batang No.
Nama Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
1.
Hemoglobin (Hb)
15.7 g/dl
11.5-15.5
2.
Leukosit
26.29 x 103 ul
4.50-13.50 x 103
3.
Trombosit
317.000 ul
150.000-450.000
4.
Eritrosit
5.550.000 uL
4.000.000 - 5.200.000
5.
Hematokrit
43.9%
35.0.-45.0
6.
MCV
79.1 fl
77.0-95.0
7.
MCH
28.3 pg
25.0-33.0
8.
MCHC
35.8 g/dl
31.0-37.0
9.
Basofil
0.0
0-1
10.
Eosinofil
0.0
0-3
12.
Neutrofil
94.6
42-74
13.
Limfosit
42.0
17-45
14.
Limfosit Absolut
1.11x103/uL
0.90-5.20
15.
Monosit
1.2
0-5
16.
RDW-SD
38 fL
37-54
17.
RDW-CV
13.4%
11-16
18.
LED 1 jam
30.0 mm/jam
<10
19.
LED 2 jam
40.0 mm/2 jam
<20
20.
Glukosa Sewaktu
98 mg/dL
70-140
21.
IgM Anti Dengue
negatif
negatif
22.
IgG Anti Dengue
negatif
negatif
23.
Salmonella Typhi IgM
2.0
Negatif: <= 2 Borderline: 3 Positif: >= 4
7
B. Pemeriksaan Radiologi BNO 3 Posisi (26/1)
8
INTERPRETASI:
Udara usus prominent dengan distribusi udara usus merata
Tampak coiled spring
Air fluid level prominent bertingkat KESAN: Ileus Paralitik
V.
DIAGNOSA A. Diagnosa Utama: Appendicitis Akut B. Diagnosa Komplikasi: Peritonitis
VI.
INITIAL PLAN Assessment: Appendisitis Akut A. IP Dx 1. Nyeri perut kanan bawah
(√)
2. Mual – muntah
(√)
3. Demam
(√)
4. Leukositosis
(√)
5. Neutrofilia
(√)
6. Anoreksia
(√)
7. Diare
(√)
8. Nyeri Tekan Mc-Burney
(√)
9. Psoas Sign (+)
(√)
10. Rectal Toucher: nyeri tekan jam 10-11
(√)
11. Appendikogram
(X)
12. USG Appendix
(X)
B. IP Tx 1. Rawat Inap
(√)
2. Rehidrasi-IV Line
(√)
3. Antibiotik
(√)
4. Appendiktomi
(√)
9
C. IP Mx 1. Kesadaran 2. Keadaan Umum 3. Tanda-tanda Vital (suhu, nadi, TD, RR) 4. Tanda kegawatan akut abdomen (perforasi, perdarahan) 5. Tanda kegawatan syok hipovolemik / syok septik (output urin dan TTV) D. IP Ex 1. Menjelaskan pada keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien: bahwa pasien menderita radang usus buntu yang dapat membahayakan jiwanya bila tidak segera dilakukan tindakan untuk mengevakuasi radang usus buntu tersebut. 2. Menjelaskan kepada keluarga bahwa terapi yang diberikan adalah terapi definitif dan if untuk mencegah komplikasi yang lebih berat dan membahayakan keselamatan nyawa pasien. 3. Bekerjasama dengan keluarga untuk mengawasi adanya tanda-tanda syok atau akut abdomen seperti perdarahan atau perforasi saluran cerna. Assessment: Peritonitis Generalisata A. IP Dx 1. Nyeri perut hebat seluruh lapang
(√)
2. Demam
(√)
3. Takikardi
(√)
4. Defence Muskular (+)
(√)
5. Abdomen distensi (+)
(√)
6. Bising Usus berkurang
(√)
7. Rectal Toucher: nyeri seluruh kuadran
(√)
8. Foto BNO 3 posisi
(√)
9. Foto Barium Meal
(X)
10. CT Scan
(X)
B. IP Tx 1. Rehidrasi IV-Line cegah syok hipovolemik
(√)
2. Antibiotik
(√)
3. Analgesik
(√) 10
4. Laparatomi Eksplorasi/Laparaskopi
(√)
C. IP Mx 1. Kesadaran 2. Keadaan Umum 3. Tanda-tanda Vital (suhu, nadi, TD, RR) 4. Tanda Dehidrasi 5. Tanda kegawatan syok hipovolemik / syok septik (output urin dan TTV) 6. Kadar Elektrolit dan Koreksinya D. IP Ex 1. Menjelaskan pada keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien: bahwa pasien telah mengalami komplikasi akibat radang usus buntunya sehingga merasa sangat kesakitan dan perutnya membesar. 2. Menjelaskan kepada keluarga bahwa terapi yang diberikan adalah berupa tindakan operatif yang dapat mengevakuasi sisa-sisa jaringan dan kotoran usus buntu yang telah tersebar di seluruh lapang perut pasien. 3. Bekerjasama dengan keluarga untuk mengawasi adanya tanda-tanda gawat darurat imbalance elektrolit seperti penurunan kesadaran, kejang, spasme otot, hipotonus, keringat dingin, akral dingin, atau henti napas mendadak. VII.
VIII.
PROGNOSA Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: dubia ad bonam
Quo ad sanam
: dubia ad bonam
PERJALANAN PENYAKIT (3 Januari - 6 Januari)
TANGGAL 26/01/16
PERJALANAN PENYAKIT
TERAPI YANG DIBERIKAN
S: demam (+), nyeri perut post OP
1. Inf. RL 20 rpm
O:
2. Inj. Ceftriaxon 2 gr/24 j 3. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
TTV: t: 37.5; HR 88; TD: 120/90; RR: 28
4. Inj. Pantoprazole 1 vial/24 j 5. Inj.Ketorolac 1 vial/8 j
11
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
Mata: CA-/- SI -/-
THT: discharge -/- NCH -/-
Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-
Cor: s1s2 reguler; murmur (-); gallop
6. PCT tab 3x500 mg
(-)
Abd: Datar, BU (+), supel, NT post OP (+)
Ext: Hangat, nadi isi dan tegangan kuat, edem -/-
A: Post Laparaskopi Peritonitis et causa Appendisitis Perforasi H0 27/01/16
S: Nyeri sedikit pada daerah post OP; flatus
1. Diet susu
(+); BAB (+) sedikit; mual (+)
2. Ekstra dulcolax supp. I bila
O:
belum BAB 3. Inf. RL 20 rpm
TTV: t: 36; HR: 87; TD: 114/75; RR: 20
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
Mata: CA-/- SI -/-
THT: discharge -/- NCH -/-
Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-
Cor: s1s2 reguler; murmur (-); gallop
4. Inj. Ceftriaxon 2 gr/24 j 5. Inj. Ondansetron 4 mg/8 j 6. Inj. Ketorolac 1 vial/8 jam 7. Inj. Pantoprazole 1 vial/24 j 8. Inj. Ranitidin 1 vial / 12 j 9. Inj. Metronidazol 500 mg/8 j 10. PCT tab 3x500 mg
(-)
Abd: Datar, BU (+), supel, NT post OP (+), epigastrium (+)
Ext: Hangat, nadi isi dan tegangan kuat, edem -/-
A:
12
Post Laparaskopi Peritonitis et causa Appendisitis Perforasi H1 28/01/16
S: Nyeri perut post op berkurang; BAB (+)
1. Inf. RL 20 rpm
baik
2. Inj. Ceftriaxon 2 gr/24 j
O:
3. Inj. Ketorolac 1 vial/8 jam 4. Inj. Ranitidin 1 vial / 12 j
TTV: t: 36; HR: 78; TD: 116/66; RR:
5. Inj. Metronidazol 500 mg/8 j
20
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
Mata: CA-/- SI -/-
THT: discharge -/- NCH -/-\
Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-
Cor: s1s2 reguler; murmur (-); gallop (-)
Abd: Datar, BU (+), supel, NT epigastrium (-)
Ext: Hangat, nadi isi dan tegangan kuat, edem -/-
A: Post Laparaskopi Peritonitis et causa Appendisitis Perforasi H2 29/01/16
S: Tidak ada keluhan O: 1. BLPL
TTV: t: 36; HR: 76; TD: 117/73; RR: 20
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
Mata: CA-/- SI -/-
THT: discharge -/- NCH -/-\
Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-
Cor: s1s2 reguler; murmur (-); gallop
13
(-)
Abd: Datar, BU (+), supel, NT post OP sedikit (+)
Ext: Hangat, nadi isi dan tegangan kuat, edem -/-
A: Post Laparaskopi Peritonitis et causa Appendisitis Perforasi H3
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapt disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Kejadian peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah. Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen yang umumnya berasal dari perforasi organ berongga. Contohnya perforasi organ-organ pada sistem pencernaan, seperti perforasi gaster, duodenum, atau appendisitis. Keterlambatan penanganan appendisitis sering menjadi alasan penting terjadinya perforasi. Peritonitis sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus bedah.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI APPENDIX Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm di bawah junctura iliocaecal dengan lainnya bebas. Apendiks adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak mempunyai posisi anatomi yang konstan. Lumennya melebar di bagian distal dan menyempit di bagian proksimal. Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus yang di sebut titik McBurney. Apendiks didarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri tanpa
15
kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke nodi mesenterici superiors. GULT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan, termasuk apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin sekretoar. IgA sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Tetapi karena jumlah jaringan limfe pada apendiks vermiformis kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna menyebabkan pengangkatan apendiks vermiformis tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari yang secara normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Adanya hambatan aliran pada lendir di muara apendiks vermiformis berperan dalam patogenesis apendisitis. Sekitar 20-30% kasus apendisitis perforasi terjadi di Afrika, sedangkan di Amerika sebanyak 38,7% insidensi apendisitis perforasi terjadi pada laki-laki dan 23,5% pada wanita.
C. ETIOLOGI Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks vermiformis. Fekalit adalah penyebab utama terjadinya obstruksi apendiks vermiformis.7 Disamping hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks vermiformis, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Erosi mukosa apendiks vermiformis akibat parasit E.histolytica merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan apendisitis.2 Pada tahun 1970, Burkitt mengatakan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan kandungan lemak serta gula yang tinggi pada orang Barat, serta pengaruh konstipasi, berhubungan dengan timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks vermiformis dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon. Semua ini akan mempermudah timbulnya appendisitis akut.
16
D. PATOGENESIS Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam pertama. Jaringan mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan, akibatnya terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar 60 cmH2O, yang seharusnya hanya berkapasitas 0,1-0,2 mL.2,21,22 Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan menginvasi dinding apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika tekanan kapiler melampaui batas, terjadi iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi. Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam lumen dan invasi bakteri ke dalam mukosa dan submukosa menyebabkan peradangan transmural, edema, stasis pembuluh darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan apendisitis kataralis. Jika proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan kongesti pembuluh darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding apendiks vermiformis serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis flegmonosa. Kemudian terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks vermiformis yang terjadi gangrene pecah, tandanya apendisitis berada dalam keadaan perforasi. 2,21,22 Untuk membatasi proses radang ini tubuh juga melakukan upaya pertahanan dengan menutup apendiks vermiformis dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.2 Pada anak-anak dengan omentum yang lebih pendek, apendiks vermiformis yang lebih panjang, dan dinding apendiks vermiformis yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, dapat memudahkan terjadinya apendisitis perforasi. Sedangkan pada orang tua, apendisitis perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.23 Apendiks vermiformis yang
17
pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut
E. GEJALA DAN TANDA Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium sekitar umbilikus. Nyeri perut ini sering disertai mual serta satu atau lebih episode muntah dengan rasa sakit, dan setelah beberapa jam, nyeri akan beralih ke perut kanan bawah pada titik McBurney. Umumnya nafsu makan akan menurun. Rasa sakit menjadi terus menerus dan lebih tajam serta lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat, akibatnya pasien menemukan gerakan tidak nyaman dan ingin berbaring diam, dan sering dengan kaki tertekuk. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Hal ini sangat berbahaya karena dapat mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat rangsangan peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Temuan fisik ditentukan terutama oleh posisi anatomis apendiks vermiformis yang mengalami inflamasi, serta organ yang telah mengalami rupture ketika pasien pertama kali diperiksa. Tanda vital seperti peningkatan suhu jarang >1oC (1.8oF) dan denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi perubahan yang signifikan dari biasanya menunjukkan bahwa komplikasi atau perforasi telah terjadi atau diagnosis lain harus dipertimbangkan. Perforasi apendiks vermikularis akan menyebabkan peritonitis purulenta yang di tandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan defans muskuler yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan, dan perut menjadi tegang dan kembung. Peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus
18
paralitik.2, 7 Pasien dengan apendisitis biasanya berbaring dengan terlentang, karena gerakan apa saja dapat meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk menggerakkan paha terutama paha kanan pasien akan melakukan dengan perlahan-lahan dan hati-hati.7 Jika dilakukan palpasi akan didapatkan nyeri yang terbatas pada region iliaka kanan, biasanya di sertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan parietal. Tanda rovsing adalah apabila melakukan penekanan pada perut kiri bawah maka akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Peristalsis usus sering didapatkan normal tetapi dapat menghilang akibat adanya ileus paralitik yang disebabkan oleh apendisitis perforata.2 Uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks vermiformis. Cara melakukan uji psoas yaitu dengan rangsangan otot psoas melalui hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Tindakan ini akan menimbulkan nyeri bila apendiks vermiformis yang meradang menempel di otot psoas mayor. Pada pemeriksaan uji obturator untuk melihat bilamana apendiks vermiformis yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus . Ketika peradangan apendiks vermiformis telah mencapai panggul, nyeri perut kemungkinan tidak ditemukan sama sekali, yaitu misalnya pada apendisitis pelvika. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan colok dubur. Dengan melakukan pemeriksaan colok dubur nyeri akan dirasakan pada daerah lokal suprapubik dan rektum. Tanda – tanda iritasi lokal otot pelvis juga dapat dirasakan penderita
19
F. DIAGNOSIS I. PENEGAKKAN DIAGNOSIS Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan laboratorium
20
yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh Guraya SY menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi merupakan indikator yang dapat menentukan derajat keparahan apendisitis. Tetapi, penyakit inflamasi pelvik terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut.
Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering terdapat gambaran gas usus abnormal yang non spesifik. Pada appendicitis akut yang terjadi lambat
dan
telah
terjadi
komplikasi
(misalnya
peritonitis)
tampak:
- scoliosis ke kanan - psoas shadow tak tampak - bayangan gas usus kananbawah tak tampak - garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak 21
- 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak Pemeriksaan tambahan radiografi lainnya yaitu pemeriksaan barium enema dan scan leukosit berlabel radioaktif. Jika barium enema mengisi pada apendiks vermiformis, diagnosis apendisitis ditiadakan. Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul
II.
DIAGNOSIS BANDING
G. KOMPLIKASI UMUM Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
22
Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002). Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011). Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi pro\sedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992) H. TATALAKSANA 1. Sebelum operasi a. Observasi Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan. b. Antibiotik. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan tindak bedah sambal memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses atau perforasi. 23
2. Operasi a. Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi) b. Appendiktomi elektif (appendisitis kronis) c. Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat) Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid
3. Pascaoperasi Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posii Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjai gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
24
BAB III PEMBAHASAN I.
SUBYEKTIF Seorang laki-laki berusia 17 tahun datang ke IGD RSUD Batang dengan keluhan nyeri perut hebat di seluruh lapang perut, terutama di perut kanan bawah. Nyeri pertama kali dirasakan sekitar 7 hari SMRS tetapi pada bagian ulu hati disertai mual dan sebah seperti sakit maag. Pasien juga mengalami demam tinggi sejak 1 hari SMRS disertai mual dan muntah, nyeri pada perut kanan bawah dirasa memberat hingga ke seluruh lapang perut. Kondisi ini sesuai dengan appendisitis yang telah mengalami perforasi dan menyebabkan komplikasi peritonitis. Pasien juga melaporkan tidak ada keluhan lain seperti gangguan berkemih atau riwayat gangguan berkemih, juga tidak ada nyeri pinggang menjalar atau BAK keruh seperti pasir. Hal ini menyingkirkan diagnosa banding kolik ureter akibat nefrolitiasis. Pasien menyatakan masih bisa kentut (+) BAB terakhir agak mencret. Hal ini menyingkirkan diagnosa banding akut abdomen akibat ileus obstruktif atau ileus paralitik.
II.
OBYEKTIF Dari hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam keadaan demam, t: 38 C, abdomen cembung, bising usus menurun, hipertimpani, defence muskuler, dan nyeri tekan seluruh lapang abdomen. Hal ini mendukung bahwa fokus infeksi yang dialami pasien cenderung berada pada traktus gastrointestinalis. Didapatkannya mcBurney sign (+), rovsing sign (+), blumberg sign (+), psoas sign (+) bersamaan dengan adanya demam, leukositosis-shift to the left, mual dan muntah menunjang alvarado score untuk diagnosa appendisitis akut. Adanya nyeri tekan seluruh abdomen disertai muscular defence dan nyeri tekan pada seluruh kuadran rectal touche mengindikasikan pasien mengalami peritonitis. Dari data-data anamnesis dan pemeriksaan, dapat ditarik kesimpulan pasien menderita peritonitis et causa perforasi appendisitis.
25
III.
ASSESSMENT Pada umumnya, diagnosa appendisitis dapat ditegakkan secara klinis dari data anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan. Akan tetapi ada beberapa parameter pemeriksaan yang dapat membantu memperkirakan kemungkinan terjadinya appendisitis pada pasien, salah satunya adalah alvarado score. Alvarado score mencakup keterangan mengenai pasien berupa 6 gejala klinis dan 2 pemeriksaan laboratorium. 6 gejala dan tanda klinis tersebut mencakup nyeri perut kanan bawah menjalar, anoreksia, mual dan muntah, nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah, nyeri tekan lepas, dan demam. Sedangkan 2 pemeriksaan laboratorium yang diperhitungkan menjadi parameter berupa leukositosis dan shift to the left leukosit. Pada pasien di atas, semua parameter alvarado skor positif yang berarti berjumlah 10. Hal ini berarti appendisitis akut ‘very probable’. Penegakkan diagnosa peritonitis biasanya dilakukan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjang. Peritonitis merupakan diagnosa komplikasi dari penyakit lain sehingga menemukan faktor pemicu adalah aspek yang sangat penting dalam menentukan diagnosa.Pada pasien ini didapatkan distensi abdomen, nyeri abdomen hebat yang akut pada seluruh lapang, penurunan frekuensi bising usus, defence muskular, dan nyeri di seluruh kuadran mukosa rectum saat dilakukan rectal toucher. Hal ini sesuai dengan gejala dan tanda yang dialami pasien yang menderita peritonitis. Dari data-data yang didapat, pasien disimpulkan menderita peritonitis sekunder et causa perforasi appendisitis.
26
DAFTAR PUSTAKA De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Shwartz’s Principles of Surgery. 9 thEd. USA: McGrawHill Companies. 2010. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. http://library.usu.ac.id//fk/bedah-emir%20jehan.pdf. Temple CL, Huchcroft SA, Temple WJ. The natural history of appendicitis in adults. A prospective study. Ann Surg 1995 Mar; 221: 278-81. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit = Pathophysiology.clinical concepts of disease processes/Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson; alih bahasa, Peter Anugerah; editor, Caroline Wijaya. –Ed.4.- Jakarta: EGC, 1994. Genuit, Thomas,...[et al], 2004. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Instant Access to The Minds of Medicine http://www.emedicine.com/. Molmenti, Hebe, http://medlineplus.gov/
2004.
Peritonitis.
Medical
Encyclopedia.
Medline
Plus
27